Hari ini, 9 Desember 2014, diperingati sebagai hari anti korupsi dunia. Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo direncanakan akan menghadiri perayaan hari anti korupsi sedunia yang dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Yogjakarta 9-11 Desember 2014. Momentum hari anti korupsi seharusnya dimanfaatkan untuk berbenah dan mengevaluasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Secara terminologi, korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” dari kata kerja “corrumpere” = busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Sementara itu, Transparency International mendefinisikan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi memang identik dengan penyalahgunaan wewenang pejabat publik. Namun budaya korupsi bisa saja menjadi virus di semua lapisan masyarakat. Seorang bos perusahaan bisa saja melakukan tindakan korupsi dengan memangkas gaji karyawannya. Seorang guru di sekolah yang menelantarkan siswanya. Bahkan siswa yang menyontek pun bisa dikategorikan sebagai korupsi.

Menarik untuk menyelisik hasil penelitian Transparansi International Indonesia (TII) tentang integritas dan anti korupsi kaum muda yang diluncurkan 2013 lalu. Hampir semua responden tidak menyetujui tindakan korupsi. Namun di sisi lain mereka permisif terhadap tindakan korupsi terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, 15-20% pemuda memilih untuk tidak melakukan pengaduan jika terjadi tindakan korupsi.

Ketika ditanyakan apakah responden siap melaporkan atau membuat pengaduan jika dihadapkan dengan perilaku korupsi, seperti guru yang meminta imbalan uang jika hendak lulus ujian, maka lebih dari 40% responden rural dan urban memilih akan melakukan pengaduan jika hal itu terjadi, sementara mereka yang mengaku sudah pernah melakukannya kurang dari 10%.

Dari penelitian tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa di tengah masyarakat kita orang yang peduli terhadap anti korupsi secara pasif banyak jumlahnya. Namun timbul dilema keengganan untuk menjadi pejuang anti korupsi secara aktif. Keengganan untuk melaporkan tindakan korupsi bisa jadi disebabkan karena kekhawatiran akan keselamatan pelapor atau alasan lain.

Dalam penelitian lain, TII juga mengungkapkan fakta bahwa tingkat korupsi birokrasi dan korupsi politik masih tinggi di Indonesia. Dalam indeks persepsi korupsi, Indonesia menduduki peringkat 107 dari 175 negara. Indeks korupsi Indonesia jauh tertinggal dibanding negara tetangga, Malaysia. Negeri Melayu tersebut menduduki peringkat 50 dengan skor 52. Sementara itu, Filipina dan Sri Lanka menduduki peringkat 82 dengan skor 38. Selanjutnya, Singapura, berada di level 7 dengan 84 poin.

Negara kita masih mempunyai tugas berat dalam melaksanakan pemberantasan korupsi. Perlu kebijakan dari hulu ke hilir untuk memberantas korupsi yang semakin hari semakin kompleks modus pelaksanaannya.

Selain itu, penting juga melakukan penanaman integritas dan transparansi terhadap semua lapisan masyarakat. Hal tersebut senada dengan strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dirancang oleh KPK. Dalam strategi pencegahan korupsi penekanan yang penting adalah pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini penting karena dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas maka responsibilitas pegawai negara akan ditingkatkan.

Beruntung Indonesia sudah mempunyai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan terbuka. UU KIP merupakan sarana bagi masyarakat untuk melakukan kontrol dan feed back terhadap kinerja pemerintah.

Tentu perjalanan implementasi UU KIP ini bisa dibilang merangkak. Perlu waktu untuk melakukan pembenahan sehingga implementasinya bisa dijalankan sempurna. Mari bersama-sama memanfaatkan UU KIP.