Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) memutuskan sengketa informasi register Nomor 339/VII/KIP-PS/2014 antara Pemohon Citra Hartati dari ICEL terhadap Termohon Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Ruang Sidang KIP Jakarta, Jumat (13/2). Dalam putusan tersebut, KI Pusat menyatakan informasi peta analisis satelit tutupan hutan di Aceh 2010-2013 dalam format JPEG adalah terbuka. Begitu juga seluruh dokumen SK Menhut Penetapan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT beserta lampiran peta format JPEG. Namun informasi Citra Satelit Tutupan Hutan dalam bentuk Shapefile dinyatakan tertutup. Akses peta dalam format shapefile, dinilai pemohon sangat penting guna memonitoring moratorium deforestasi, illegal logging dan perubahan tutupan hutan.

KI Pusat menilai, data shapefile bisa berubah-ubah dan belum mempunyai kekuatan hukum merujuk Pasal 45 junto  Pasal 62 UU Informasi Geospasial. Sementara itu, seluruh informasi yang dimohon oleh Pemohon harus diberikan dalam bentuk format pdf, jpg, maupun GIS-services. Untuk format shapefile (shp) karena tidak bisa disahkan dan diberi watermark, yang artinya tidak memiliki kekuatan hukum/legal dan bisa diubah-ubah oleh pihak lain, maka format tersebut tidak bisa diberikan sampai dengan ditemukannya teknologi untuk pengesahan dan penguncian (pemberian watermark) file tersebut.

Menanggapi putusan tersebut, pihak termohon, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan siap memberikan informasi yang telah ditetapkan terbuka oleh KI Pusat. Sementara itu, timbul kekecewaan dari pihak pemohon, Citra Hartati, beserta Koalisi Penyelamatan Hutan dan Iklim Global terdiri dari,Forest Watch Indonesia (FWI), Walhi, AMAN, Greenpeace Indonesia, HuMa, Debt Watch Indonesia, Bank Information Center, dan Civil Society  Forum for Climate Justice (CSF-CI).

“Ada kekecewaan terhadap majelis komisioner. Kita sudah mencoba menyampaikan dari segi teknis dan substansi kenapa shapefile penting. Mereka hanya mempertimbangkan pasal 45,” kata Citra dalam mongabay.com.

Hal yang sama dinyatakan aktivis koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), Dessy Eko Prayitno. Menurutnya KIP belum memahami esensi dasar dan tujuan keterbukaan informasi, kemudahahan akses dan keutuhan informasi.

“Disayangkan putusan ini hanya mempertimbangkan satu aspek, yaitu potensi pemidanaan KLHK jika membuka peta format shapefile. Substansial kenapa shapefile harus dibuka sama sekali tidak dipertimbangkan.” Kata Dessy, seperti dilansir mongabay.com.