Pernyataan Sikap
Koalisi Freedom of Information Network Indonesia
Perkuat Infrastruktur Transparansi untuk
Benahi Pengelolaan Data Pemerintah
Presiden Joko Widodo menyampaikan kekecewaannya terhadap data yang tidak sinkron antar satu kementerian beberapa waktu lalu. Ia menyebut Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berbeda dalam data kemiskinan, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Pedagangan (Kemendag) berbeda dalam data pangan.
Data yang valid diperlukan oleh pemerintah sebagai dasar perumusan kebijakan yang tepat. Perbedaan data antar kementerian berpotensi menimbulkan data yang tidak valid. Padahal data yang valid menentukan keputusan yang akan diambil agar tepat dan berkeadilan. Sementara menggunakan data yang tidak valid berpotensi menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna.
Sinkronisasi data antar kementerian bukan masalah baru di negeri ini. Ada ego sektoral di kementerian. Setiap kemeterian melakukan survey untuk mendukung kepentingannya. Misalnya, dalam data pangan KEMENTAN mencatat surplus pangan untuk menunjukkan kesuksesan kinerja sektor pertanian, sementara KEMENDAG mencatat minus untuk mendukung kebijakan impor beras.
Terhadap situasi tersebut, Jokowi menginginkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sumber data utama. “Hentikan semua survey yang selama ini dilakukan,” katanya.
Kesatuan data pemerintah bukan hal yang mudah dilakukan dalam waktu singkat. Tingginya variasi jenis data, tidak memungkinkan semua data dioleh oleh satu lembaga saja. BPS mungkin bisa mengumpulkan survey ekonomi dan kependudukan tapi, data cuaca dan kebakaran hutan, hanya bisa diperoleh dengan kewenangan dan peralatan yang dimiliki oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) memandang bahwa kesatuan data bisa dilakukan jika kualitas data dari masing-masing lembaga negara memadai. Hal itu hanya bisa didapat jika pemerintah mau membenahi infrastruktur pengelolaan data dan pelayanan informasi publik pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kedua undang-undang terebut merupakan jangkar utama untuk mendukung kesatuan data.
UU KIP disahkan pada 30 April 2008, dan efektif diberlakukan 30 April 2010. Kini UU KIP telah genap 6 tahun diberlakukan, namun persoalan pelayanan informasi yang memadai masih belum terwujud di seluruh badan publik. Salah satunya persoalan infrastruktur informasi.
FOINI menilai saat ini ada dua agenda utama yang perlu disiapkan pemerintah:
1. Memperbaiki infrastruktur transparansi dan kearsipan
UU KIP memandatkan dibentuknya infrastruktur keterbukaan informasi publik yakni:
- Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi;
- SOP Pelayanan Informasi;
- Daftar Informasi Publik; dan
- Komisi Informasi,
Namun hingga April 2016, masih terdapat provinsi yang belum membentuk PPID, dan Komisi Informasi (Lihat tabel). Demikian pula dengan penyusunan Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi. Proses penyusunan DIP merupakan fase penentuan, informasi mana saja yang dikecualikan dan informasi mana yang dapat diberikan pada publik. Masih banyak badan publik yang sekedar menggugurkan kewajiban UU KIP dengan membentuk PPID namun tidak melengkapi Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi.
DIP menempati posisi kunci dalam kerangka penguatan pengelolaan informasi dan data di badan publik pemerintah. Dengan adanya DIP, seluruh bagian pada satu badan publik memiliki panduan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengolah informasi dan data dalam berbagai format. DIP juga dapat menjadi panduan untuk sinkronisasi informasi dan data antara satu badan publik dengan badan publik lainnya.
Di sisi lain, persoalan kearsipan juga masih menjadi kendala. Budaya mendokumentasikan arsip dalam bentuk digital belum menjadi budaya. Sehingga sangat bergantung pada dokumentasi/pengarsipan konvensial. Padahal, setiap hari produksi data semakin tinggi. Terlebih di era teknologi informasi digital seperti sekarang.
Rekapitulasi Infrastruktur Transparansi per April 2016
No |
Infrastruktur |
Status |
1. | PPID K/L | 100 % terbentuk. |
2. | PPID Provinsi | 94% Provinsi terbentuk PPID. |
3. | PPID Kabupaten | 67% Kab/Kota terbentuk PPID |
4. | Komisi Informasi | 82% KI Provinsi terbentyuk |
Sumber: database FOINI dan Kemendagri.
2. Meningkatkan kualitas data dan informasi.
Salah satu masalah utama perbedaan data terjadi karena masing-masing kementerian menyelenggarakan survey sendiri. Meski data BPS digunakan sebagai dasar, masalah muncul disebabkan perbedaan indikator dan metodologi survey antara satu kementerian dengan kementerian yang lain. Perbedaan data, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan: apakah datanya valid? up to date? komplit? bisa digunakan? tidak mengulang? apakah ada konsistensi variabel dalam kurun waktu tertentu?
Dalam kerangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka pemerintah perlu:
- Menyusun standar dalam hal indikator dasar yang digunakan dalam setiap kategori pengumpulan data pada setiap sektor. Misalnya, dalam merumuskan kategori kemiskinan tidak hanya bisa diukur dengan pendapatan per hari, per keluarga. Perlu dirumuskan dimensi apa saja yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Tentu saja indikator masing-masing dimensi yang perlu dibicarakan oleh kementerian lintas sektoral.
Selain indikator, perumusan kebutuhan data, proses pengumpulan data, otorisasi, hingga publikasi mesti dirumuskan dan disepakati bersama dan membuka ruang partisipasi masyarakat.
- Membentuk forum akuntabilitas data yang melibatkan stakeholder internal pemerintah dan masukan dari masyarakat luas. Dalam forum akuntabiltas data, berbagai elemen masyarakat dapat komplain bahwa mereka dihitung atau dimasukkan dalam data tersebut sebagai data terpilah. Misalnya, perempuan dan kelompok terpinggirkan harus dihitung secara terpilah dalam data kemiskinan.
Dalam forum ini, akan dicek sejumlah hal oleh sejumlah pihak: kekomplitan data, bisa digunakan dan bisa diakses publik, menjamin kerahasiaan pribadi, tidak mengulang dan valid.
Menyikapi persoalan di atas, FOINI menyatakan perlunya hal berikut:
- Tingkatkan pengawasan dan penguatan infrastruktur transparansi: PPID, KI Pusat dan KI Provinsi, Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi (Pemenuhan amanah UU KIP).
- Buat pusat data terpadu untuk memudahkan akses kelembagaan terhadap data dan akses informasi publik (amanah UU Kearsipan).
- Tingkatkan kualitas data dengan membuat standar perencanaan dan pengelolaan data bagi seluruh K/L dan forum akuntabilitas data.
Contact Person
Hendrik Rosdinar : 0811 1463 983
Tama S. Langkun : 0811 9937 669
Dessy Eko Prayitno : 0815 9086 006
Desiana Samosir : 0813 6928 1962
Anggota FOINI
PATTIRO, IPC, ICW, Media-Link, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, ICEL, Perkumpulan Inisiatif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, LSPP, YAPPIKA, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, Pusako Univ. Andalas, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, Kopel Makassar, TIFA Damai, Mata Aceh, MaPPI FH UI, Gerak Aceh, FITRA SUMUT, PATTIRO Banten, PATTIRO Semarang, FITRA JATIM, JARI Borneo, GEMAWAN, JARI Indonesia Kalteng, LPPAMS, ALPEN Sultra, YASMIB, PUSPAHAM.
Lampiran 1
Reakap Detail Infrasturktur Transparansi
No |
Infrastruktur |
Status |
1. | PPID K/L | 100 % terbentuk. |
2. | PPID Provinsi | Provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Utara belum membentuk PPID. |
3. | PPID Kabupaten | Yang belum terbentuk:
|
4. | PPID Kota | Yang belum terbentuk:
|
5. | Komisi Informasi | Yang belum terbentuk:
|
Sumber: database FOINI dan Kemendagri.