Sebelum masuk pada pertanyaan bagaimana melakukan pengujian atas konsekuensi perlu terlebih dahulu dikenali jenis dan sifat pengecualian informasi. UU KIP tidak secara eksplisit menjelaskan kedua hal ini. Jenis pengecualian informasi sesungguhnya dijelaskan pada Pasal 6 UU KIP yang memuat tentang hak Badan Publik.

Ketiadaan ketentuan yang mengatur sifat pengecualian secara eksplisit, beberapa pihak sering berargumen bahwa sejak UU KIP diberlakukan maka pada prinsipnya tidak ada lagi kerahasiaan. Semua informasi dapat diakses, namun sebagian dikecualikan untuk jangka waktu tertentu.[1]

Pernyataan tersebut berpotensi melahirkan persepsi bahwa dalam UU KIP tidak ada informasi yang dikecualikan secara absolut. Untuk menjelaskan hal ini akan dilakukan perbandingan dengan penerapan pengecualian di negara lain yang membagi sifat pengecualian menjadi dua: pengecualian absolut dan pengecualian dengan kualifikasi.

Jenis Pengecualian Informasi

Dalam UU KIP Badan Publik berhak untuk menolak memberikan informasi dengan dua alasan: yakni penolakan karena alasan substansi, dan penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada Bagian Ketiga Pasal 6 tentang hak Badan Publik:

ayat (1):

Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.

ayat (2):

Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.

Kedua pasal di atas secara sepintas memiliki kemiripan, namun pada risalah pembahasan RUU KMIP (sebelum diubah menjadi KIP), Pemerintah dan DPR menyepakati untuk memasukkan rumusan tersebut dengan maksud ayat (1) adalah pengecualian berdasarkan substansi, sedangkan ayat (2) adalah pengecualian berdasarkan prosedur. Dengan disepakatinya dua ketentuan tersebut maka UU KIP menganut pengecualian substansial dan pengecualian prosedural.[2]

Pasal 6 ayat (3) UU KIP memperjelas tiga domain utama kerahasiaan secara substansial, yakni: (i) kerahasiaan negara; (ii) kerahasiaan untuk persaingan yang sehat; dan (iii) kerahasiaan pribadi. Bagian ini juga memasukkan beberapa ketentuan kerahasian lain terkait rahasia jabatan dan penguasaan dokumen:

ayat (3):

Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. informasi yang dapat membahayakan negara;
  2. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
  3. informasi yang berkaitan dengan hak­-hak pribadi;
  4. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
  5. informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Dasar pengecualian prosedural dalam UU KIP ada pada Pasal 6 ayat (2). Jika sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, maka Badan Publik berhak untuk menolak permintaan agar Informasi Publik yang bersifat terbuka sesuai prosedur yang diatur oleh UU KIP. UU Kebebasan Informasi (FOI Act) di Inggris menyebutnya sebagai pengecualian dengan alasan informasi tersebut hanya dapat diakses melalui cara lain (available by other means)[3].

Sifat Pengecualian Informasi

Undang-Undang Kebebasan Informasi (FOI Act) di beberapa negara umumnya memisahkan sifat pengecualian menjadi dua bagian: pengecualian absolut dan pengecualian dengan kualifikasi.[4] Informasi yang dikecualikan secara absolut bersifat rahasia dan tidak dapat diuji dengan kepentingan publik. Sedangkan informasi yang dikecualikan dengan kualifikasi bersifat rahasia, namun masih dapat dibuka setelah diuji dengan kepentingan publik.

Dalam UU KIP tidak ada ketentuan yang mengatur sifat kerahasiaan secara eksplisit. Di beberapa negara yang telah menetapkan UU Perlindungan Data Pribadi atau Privacy Act, kerahasiaan data pribadi bersifat absolut. Meskipun demikian, dari jangka waktu pengecualian secara implisit UU KIP menunjukkan bahwa informasi pribadi masuk dalam pengecualian yang bersifat absolut. Ini terlihat dari tidak termasuknya pengecualian pada Pasal 17 huruf g dan h (yang mengatur pengecualian informasi pribadi) sebagai pengecualian dengan jangka waktu yang bersifat tidak permanen.[5] Pengecualian dengan kualifikasi lebih lanjut dapat dibagi menjadi dua jenis.[6]

Pengecualian atas dasar kelas atau kategorikal. Pengecualian ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan suatu informasi yang dikecualikan oleh Undang-undang tanpa memerlukan penjelasan atas kepentingan yang akan dilindungi (specific harm) dan relevansinya. Pengecualian dimaksudkan untuk melindungi kerahasiaan keseluruhan informasi yang masuk dalam kategori atau kelompok tersebut. Sebagai contoh, informasi terkait pembahasan dalam rapat-rapat yang bersifat tertutup di DPR. Contoh lain, informasi mengenai metode dan teknik investigasi terhadap pelanggaran internal Badan Publik. Kendati demikian, kerahasiaan atas dasar kelas ini tetap dapat dibuka setelah melalui suatu uji kepentingan publik.

Pengecualian atas dasar praduga. Pengecualian atas dasar praduga terjadinya suatu hal yang mendasari tujuan pengecualian atau alasan mengapa informasi tersebut dirahasiakan. Misalnya dugaan akan terjadinya gangguan terhadap ekonomi nasional, hubungan internasional, persaingan usaha yang sehat, dsb.

Secara umum Pasal 17 UU KIP mengatur pengecualian berdasarkan praduga dengan menggunakan pendekatan konsekuensi negatif. Kita akan sampai pada beberapa persoalan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke tahapan pengujian atas konsekuensi. Untuk kewajiban pertama, PPID akan menemukan kenyataan bahwa rumusan Pasal 17 UU KIP tidak sepenuhnya menggunakan kaidah konsekuensial.

Hanya beberapa ketentuan di Pasal 17 UU KIP yang menggunakan model konsekuensi negatif (Pasal 17 huruf ab dan i). Beberapa pasal menggunakan rumusan campuran antara model konsekuensi negatif dan kategorikal (Pasal 17 huruf cef, dan h). Sebutlah ketentuan tersebut menggunakan model semi kategorikal. Beberapa yang lain cukup sulit untuk dinyatakan menggunakan rumusan konsekuensi negatif atau kategorikal (pasal 17 huruf d… jika diberikan dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia). Pasal ini masih perlu dipertajam dengan memperjelas kepentingan negatif apa yang ingin dilindungi dengan menutup informasi kekayaan alam tersebut.

Hal lain, ada satu ketentuan yang berpotensi menggunakan model kategorikal dan/atau konsekuensial (pasal 17 huruf j). Dalam Pasal 17 huruf j UU KIP, diakomodasi kerahasiaan berdasarkan UndangUndang lain, sehingga tidak tertutup peluang Badan Publik untuk menolak memberikan informasi yang dikecualikan berdasarkan ketentuan yang ada pada Undang-Undang lain. Meskipun pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain diperkenankan akan tetapi sejak UU KIP diberlakukan:

  • secara substansial pengecualian berada pada ketiga jenis kerahasiaan mendasar sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat 3 UU KIP, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan untuk pelindungan persaingan yang sehat, dan kerahasiaan pribadi.
  • suatu informasi hanya dapat dikecualikan oleh Badan Publik apabila pengujian atas konsekuensi bahaya yang ditimbulkan secara yuridis terbukti.

Pengecualian informasi berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan dalam UU KIP diatur dalam Pasal 17. Berdasarkan sifat pengecualian sebagaimana yang dijelaskan pada bagian terdahulu akan terlihat beberapa variasi yang perlu didalami secara hati-hati. Daftar berikut menunjukkan hal tersebut (tabel-1).

Tabel-1 Sifat Pengecualian Informasi dalam Pasal 17 UU KIP

Alamsyah_Jenis Pengecualian

Informasi yang secara absolut dikecualikan tak dapat diuji dengan kepentingan publik. UU KIP tidak secara eksplisit megatur suatu pengecualian yang bersifat absolut. Namun pada Pasal 20 UU KIP, ketentuan yang mengatur jangka waktu pengecualian terkait kerahasiaan pribadi (Pasal 17 huruf g dan h) tidak ditentukan jangka waktu pengecualiannya. Secara implisit, UU KIP mengatur bahwa kerahasiaan pribadi bersifat absolut.

ayat (1):

Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen

ayat (2):

Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pengecualian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kita perlu mencermati sifat pengecualian karena sifat ini berimplikasi pada tahapan pengujian atas informasi tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian lebih lanjut buku ini. Pada tabel berikut terdapat model pengecualian semi kategorikal. Model semi kategorikal bermaksud menetapkan bahwa secara yuridis: ‘hanya kategori informasi yang dinyatakan secara eksplisit’ yang dapat mengganggu kepentingan yang akan dilindungi oleh ketentuan tersebut.

Salah satu contoh model semi kategorikal adalah Pasal 17 huruf c yang memuat tujuh kategori informasi yang berkonsekuensi negatif berupa membahayakan pertahanan dan keamanan. Pengaturan ini dimaksudkan agar jenis informasi yang ditetapkan berkonsekuensi membahayakan pertahanan dan keamanan negara lebih rinci, jelas dan tidak ditafsirkan meluas.[1] Dengan kata lain, jenis informasi terkait sektor pertahanan dan keamanan namun berada di luar ketujuh jenis tersebut dinyatakan tidak berkonsekuensi negatif membahayakan pertahanan dan keamanan negara.

Model ini berbeda dari model praduga sebagaimana yang diterapkan Pasal 17 huruf b. Pada ketentuan ini, semua jenis informasi publik apapun yang apabila dibuka berkonsekuensi negatif mengganggu persaingan usaha yang sehat dan perlindungan atas HAKI termasuk dikecualikan. Tidak ada rincian kategori informasi.

Bagaimana dengan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain sebagaimana dinyatakan pada Pasal 17 huruf j? Dalam kenyataan, sebagian besar pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain tidak menggunakan rumusan pengecualian berbasis praduga. Ini dapat dipahami karena sebagian besar Undang-Undang tersebut disusun dengan model kelas atau kategorikal. Dalam model kategorikal biasanya suatu informasi dinyatakan sebagai informasi rahasia tanpa menyertakan konsekuensi yang ditimbulkan atau menyatakan secara spesifik apa kepentingan yang ingin dilindungi melalui kerahasiaan tersebut.

Dalam menghadapi hal ini, memahami tujuan pengecualian atau mengidentifikasi kepentingan yang ingin dilindungi melalui kerahasiaan tersebut tetaplah penting. Apabila suatu informasi dikecualikan secara kategorikal maka dimungkinkan untuk dilakukan pengujian kepentingan publik atasnya. Dalam pengujian kepentingan publik akan dilihat apakah menutup informasi untuk melindungi suatu kepentingan berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat merugikan suatu kepentingan publik yang lebih luas atau tidak. Dalam hal kepentingan yang akan dilindungi tidak dinyatakan secara eksplisit pada Undang-Undang tersebut, maka penting untuk mendalami risalah pembahasan rancangan Undang-undang tersebut atau meminta pendapat ahli yang relevan.

Kerahasiaan Derivatif

Sering ditemukan bahwa suatu informasi yang dikecualikan secara substansial merupakan turunan dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) dan diuraikan lebih jauh pada Pasal 17 UU KIP. Sebagai contoh:

Kerahasiaan seorang dokter sesungguhnya adalah suatu kerahasiaan yang timbul sebagai konsekuensi untuk melindungi kerahasiaan pribadi seorang pasien. Itu sebabnya dalam banyak hal ia dapat dibuka atas izin tertulis dari sang pasien.

Menjaga kerahasiaan bagi seorang akuntan publik ketika memeriksa suatu Badan Publik pemerintah adalah salah satu bentuk kode etik pemeriksa. Namun jika didalami, kode etik tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan klien. Kerahasiaan dokumen hasil pemeriksaan antara lain dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan informasi di badan publik tersebut agar tidak terjadi suatu gangguan atas proses, atau opini prematur. Secara konsekuen-sial harus dirahasiakan oleh pemeriksa karena jika dibuka dapat ‘menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara prematur’, sebagaimana diatur oleh pasal 17 huruf i UU KIP.

Kerahasiaan tersebut oleh penulis disebut sebagai kerahasiaan derivatif. Umumnya kerahasiaan tersebut diatur oleh Undang-Undang yang dinyatakan sebagai ‘mengatur lebih khusus’. Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak tergesa-gesa memutuskan bahwa suatu kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tertentu bersifat khusus sehingga dapat menegasi UU KIP.

Besar kemungkinan kerahasiaan pada Undang-Undang tersebut memiliki tujuan untuk melindungi satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang juga telah diatur oleh UU KIP. Dengan kata lain, kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tersebut merupakan turunan (derivasi) dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur oleh UU KIP.

———-

[1] Lihat Risalah Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan DPR tanggal 29 Nopember 2006 dan 3 September 2007.

[1] Lihat pernyataan Agus Sudibyo pada rubrik Laporan Utama, Buletin Etika No. 85 Edisi Mei, Dewan Pers, 2010, hal. 2: ‘UU KIP tidak mengenal istilah kerahasiaan, tetapi pengecualian. Secara paradigmatik keduanya berbeda. Pengecualian, berarti sebenarnya semua informasi publik bersifat terbuka, namun ada beberapa hal yang dikecualikan dalam arti ditunda pengungkapannya untuk melindungi kepentingan publik’.

[2] Lihat Risalah Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan DPR. DPR RI, 26 Juni 2007.

[3] Lihat UK Freedom of Information Act 2000, part II, sec. 21. “Information accessible to applicant by other means”.        

[4] Ibid. Appendix 1.

[5] Pasal 20 UU KIP: ayat (1): Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.

[6] Information Commissioner Office (ICO), Freedom of Information Act – Awareness Guidance, No 20, Version 2.0, 2008