Ahmad Alamsyah Saragih

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengatur suatu prinsip bahwa semua informasi yang ada di Badan Publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan. Bagaimana menentukan suatu informasi masuk dalam kategori dikecualikan? Pertama, Undang-Undang ini mengatur suatu konsekuensi bahaya yang harus dilindungi sebagai dasar pengecualian.

Kedua, sebagai bentuk penerapan prinsip pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas (maximum access limited exemption) UU KIP mewajibkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan pengujian atas konsekuensi sebelum memutuskan untuk menolak memberikan informasi.

Untuk menghindari penafsiran sepihak, UU KIP telah mengatur beberapa jenis informasi yang harus dikecualikan dengan logika konsekuensial. Namun dalam rumusan, tidak sepenuhnya digunakan pendekatan konsekuensial. Beberapa rumusan menggunakan campuran pendekatan kategorikal dan konsekuensial.

Pengujian atas konsekuensi (consequential harm test) dimaksudkan untuk memastikan apakah informasi yang diminta memang harus dikecualikan atau dirahasiakan dengan tujuan melindungi suatu kepentingan tertentu yang dapat tercederai apabila informasi tersebut diberikan kepada pemohon informasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengujian atas konsekuensi adalah untuk memastikan apakah pemberian informasi akan menimbulkan konsekuensi negatif sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang.

Antara filsafat moral/etika dan hukum kerap kali terlihat sebagai disiplin kembar.[1] Filsafat etika dengan metodologinya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang mempengaruhi materi berbagai regulasi. Ambil contoh perpajakan, logika utilitarianisme berkembang menjadi metode analisis manfaat (utilitas) dalam pengenaan tarif, pandangan ini melahirkan suatu ketentuan yang detil dalam regulasi keuangan negara. Posisi filsafat etik sebagai input biasanya terjadi ketika hukum mengalami kelangkaan dalam sumber-sumber hukum tekstual.

Hingga di sini, perkenankan saya untuk menyatakan pengecualian informasi di Indonesia menganut cara pandang negative rule consequentialism. Cara pandang ini akan berimplikasi luas dalam tataran implementasi terkait pengecualian informasi di Badan Publik.

Bagian pertama dari tulisan ini akan menelusuri secara umum terlebih dahulu sejarah perkembangan cara pandang konsekuensialisme sebagai salah satu aliran filsafat etik. Bagian selanjutnya akan melihat bagaimana pandangan ini diinternalisasi ke dalam kerangka regulasi keterbukaan informasi publik. 

Konsekuensialisme

Konsekuensialisme merupakan suatu aliran dalam filsafat moral. G.E.M Anscombe (1958)[2] adalah filsuf abad dua puluh kelahiran Irlandia yang pertama kali memantik terminologi konsekuensialisme melalui artikelnya ‘Modern Moral Philosophy’. Anscombe menyatakan:

… I think it plausible to suggest that this move on the part of Sidgwick explains the difference between old-fashioned Utilitarianism and that consequentialism, as I name it, which marks him and every English academic moral philosopher since him.

Dalam perkembangannya kemudian Konsekuensialisme lebih dikenal sebagai salah satu aliran filsafat moral dengan cara pandang bahwa kebaikan normatif bergantung hanya pada konsekuensi. Suatu tindakan adalah benar secara moral bergantung pada konsekuensi (sebagai lawan dari situasi atau hakikat alamiah suatu tindakan atau segala sesuatu yang terjadi sebelum tindakan).[3]

Konsekuensialis menjadi berbeda dengan kelompok nonkonsekuensialis, sebutlah cara pandang Deontologi atau Kantian. Konsekuensialisme berfokus pada akhir dari suatu tindakan, yakni konsekuensi yang ditimbulkan. Deontologi menyatakan bahwa kebaikan normatif tidak ditentukan oleh konsekuensi, melainkan apakah tindakan yang dilakukan itu memang baik atau apa yang terjadi sebelum tindakan dilakukan. Suatu kewajiban mesti demi kewajiban itu sendiri, bukan demi konsekuensi yang ditimbulkan dari kewajiban tersebut. Tidak peduli apakah kewajiban tersebut menghilangkan peluang untuk memperoleh kebaikan yang diinginkan. Bagi Non Konsekuensialisme, tindakan berbohong bagaimanapun adalah salah, tak peduli apakah berbohong tersebut berkonsekuensi menghasilkan suatu kebaikan.

Beberapa aliran filsafat moral kemudian digabung kan kedalam kelompok konsekuensialisme ini, seperti: utilitarianisme, egoisme, dsb. Salah satu pemikir yang mewakili kelompok konsekuensialisme ini adalah Jeremy Bentham (1748–1832). Bentham dipengaruhi pemikir besar abad 16 David Hume (1711-1776). Melalui karyanya ‘The Principle of Moral and Legislation’, Bentham menyatakan bahwa kesenangan dan kesusahan yang mengendalikan semua yang kita lakukan, yang kita katakan dan yang kita pikirkan. Terkadang dikatakan Bentham telah mengasosiasikan manusia sebagai hewan moral. Pada bagaian awal bukunya, The Principle of Moral and Legislation (1789), ia menjelaskan: [4]

Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think: every effort we can make to throw off our subjection, will serv but to demonstrate and confirm it.

John Stuart Mill (1806–1873), pemikir Inggris yang juga murid Bentham meneruskan mazhab utilitarian ini dengan menggunakan kesenangan sebagai nilai kemanfaatan yang akan mendorong sesorang untuk bertindak. Suatu tindakan dinyatakan benar jika mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya salah jika menghasilkan kekecewaan atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Dalam bukunya Mill menyatakan: [5]

The creed which accepts as the foundation of morals, Utility, or the Greatest Happiness Principle, holds that actions are right in proportion as they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the reverse of happiness. By happiness is intended pleasure, and the absence of pain; by unhappiness, pain, and the privation of pleasure.

Pemikiran Bentham dan Mill kemudian dikenal sebagai hedonistic utilitarian. Beberapa ratus tahun kemudian, kaum Konsekuensialis dipisahkan menjadi dua bagian dalam kaitannya dengan standar normatif kebenaran. Pertama yang berfokus kepada tindakan (act consequentialism), dan kedua adalah yang berfokus kepada aturan (rule consequentialism).

Milton Friedman (1912-2006), adalah satu di antara pemikir abad dua puluh yang dimasukkan dalam kategori act consequentialist. Friedman juga dikenal sebagai ekonom pengusung aliran liberalisme pasar. Ia berpendapat bahwa penyimpangan boleh jadi ada, namun pasar akan memiliki mekanisme untuk mengkoreksinya, maka biarkan semua orang berinteraksi dan terorganisir secara alamiah dalam mengejar kesejahteraan atau well being, sebagaimana yang diutarakan dalam salah satu pernyataannya:[6]

In a free-enterprise, private-property system, a corporate executive is an employee of the owners of the business. He has direct responsibility to his employers. That responsibility is to conduct the business in accordance with their desires, which generally will be to make as much money as possible while conforming to the basic rules of the society, both those embodied in law and those embodied in social custom. If abuses occur, the market will correct them.

Berbeda dengan Friedman, Brad Hooker (2000)[7] dalam bukunya ‘Ideal Code, Real World’ memperkenalkan apa yang disebut sebagai Rule Consequentialism. Hooker memperkenalkan konsekuensi yang didasarkan atas standar normatif kebenaran berdasarkan aturan. Beberapa kritikus mengembangkan sinisme terhadap argumen ini dan menyatakan bahwa Hooker sudah bukan lagi konsekuensialis akibat argumennya yang dinilai incoherent.

Namun Brad Hooker menepis keberatan tersebut dengan alasan rule consequentialism merupakan cara untuk menghasilkan kebaikan yang lebih:[8]

The best argument for rule-consequentialism is that it does a better job than its rivals of matching and tying together our moral convictions, as well as offering us help with our moral disagreements and uncertainties.

Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi tahun 1998, yang kerap dikenal melalui pandangannya mengenai pembangunan dan demokrasi[9] meyakinkan banyak kalangan bahwa kekakuan institusi akhirnya akan diikuti oleh kemunduran dalam kesejahteraan.[10] Sen juga masuk ke lingkaran perdebatan filsafat moral. Ia mengusulkan bahwa kendati pendekatan rule consequentialism memilih standar moral berdasarkan aturan tertentu, namun ia tidak bersifat absolut agar tidak merugikan kebaikan konsekuensial yang ditimbulkan atau ingin dijaga oleh aturan tersebut.[11]

Sen pada akhirnya juga diidentifikasi sebagai penganut consequentialism. Di kalangan ekonom ia juga dikenal sebagai institusionalis. Sen adalah murid John Rawls (1921-2002) yang dikenal dengan buah pikirnya, antara lain A Theory of Justice.[12] David Gordon, Editor pada the Mises Review, menyebutnya sebagai “karya paling penting mengenai Filsafat Moral sejak akhir Perang Dunia II”. [13] Untuk penghormatan terhadap Rawls, Sen menerbitkan karya yang diberi judul The Idea Of Justice,[14] yang berisikan kritik terhadap gagasan dasar Rawls.

Kebanyakan wacana pada aliran Konsekuensialisme dipenuhi dengan gagasan memaksimalkan ke-baikan (goods). Dalam tataran praktis, kebanyakan orang dihadapkan dengan pilihan untuk meminimalkan konsekuensi yang buruk. Kebiasaan ini kerap dihadapi oleh praktisi pembuat keputusan publik. Praktisi lebih akrab dengan situasi yang memaksa untuk memilih yang konsekuensi negatifnya lebih rendah atau meminimalkan konsekuensi buruk.

Kenyataan tersebut akhirnya memperkenalkan cara pandang yang dikenal sebagai negative consequentialism. Pelopor dari wacana ini adalah Karl Popper (1902-1994) yang menyatakan bahwa sangatlah berbahaya jika semua orang terdorong untuk memaksimumkan kesenangan karena ini akan mengarah kepada totalitarianisme.[15] Pendekatan negatif ini dalam banyak hal telah menyebabkan aliran ini mirip dengan apa yang disebut sebagai prioritanisme.[16] Penganut ini akan cenderung melihat standar normatif kebaikan yang berfokus kepada suatu prioritas dan skala.

Ketika dihadapkan pada standar normatif yang menyatakan bahwa membunuh adalah salah, berbagai pandangan akan mencapai kata sepakat. Namun jika dilakukan untuk konteks euthanasia (membunuh atas permintaan untuk menghilangkan penderitaan seseorang akibat sakit yang parah dan tak ada solusi medis), membunuh dalam kasus perang, membunuh untuk menjalankan hukuman mati terhadap koruptor, dan beberapa konteks lainnya, maka masing-masing pandangan dalam filsafat etik besar kemungkinan akan berbeda bahkan mungkin bertentangan.

Bagi praktisi, hal ini akan berdampak pada gradasi pengambilan keputusan manakala telah tersedia instrumen hukum yang mengaturnya. Pemahaman terhadap dua disiplin ini (hukum dan etika) menjadi penting. Setidaknya dapat mengurangi resiko seorang pemutus terjebak dalam positivisme naif yang semata-mata bersandar pada teks, atau sebaliknya mengandalkan subyektivitas berlebihan yang menye-babkan keseluruhan norma menjadi relatif secara ekstrim.

Konsekuensialisme dan Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

Kini kita sampai pada topik dalam keterbukaan informasi yang sering memicu kontroversi kendati telah diatur dalam Undang-Undang, yakni informasi yang dikecualikan. Tanpa pemahaman yang mendalam, seorang pemutus akan beresiko masuk ke dalam jebakan sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, positivisme naif atau relativisme ekstrim.

Pengecualian informasi dalam Undang-undang di satu sisi bersandar pada argumen melindungi atau mencegah konsekuensi negatif yang membahayakan kepentingan mendasar, yakni keamanan nasional dan pertahanan negara, persaingan yang sehat serta hak-hak pribadi warga negara. Di sisi lain pengecualian juga dinyatakan tidak berlaku jika menutup informasi tersebut dapat membahayakan kepentingan umum yang lebih besar.

Dua ketentuan tersebut akan membuka kemungkinan terjadinya konflik kepentingan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka UU KIP telah mengatur lembaga pemutus tahap pertama yakni Komisi Informasi, tahap kedua Pengadilan dan tahap ketiga kasasi ke Mahkamah Agung. Namun beberapa kalangan merasa ketentuan tentang pengecualian ini perlu diatur lebih jelas karena dinilai beresiko mengancam kepentingan profesi tertentu. Satu diantaranya adalah kebebasan pers.[17]

UU KIP menganut asas pengecualian informasi sebagaimana yang diatur pada pasal 2 ayat (4). Sebagai asas tentunya ketentuan ini mengikat pasal-pasal dibawahnya yang terkait dengan pengecualian informasi. Pasal ini mengatur:

ayat (2)

Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.

ayat (4)

Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Jika pada ayat (2) pengecualian dinyatakan bersifat ketat dan terbatas, maka ayat (4) menjelaskan batasan-batasan tersebut. Memaknai ketentuan ini secara gramatikal akan berhadapan dengan kontroversi. Jika dicermati lebih dalam, Pasal 2 ayat (4) UU KIP terdiri dari tiga frasa yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia,
  • Kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada bagian pertama harus sesuai dengan Undang-Undang, Kepatutan dan Kepentingan umum;
  • Untuk memastikan bagian kedua tersebut terpenuhi harus didasarkan pada: (a) pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat, serta (b) setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Pada bagian kedua cukup jelas dinyatakan bahwa kerahasiaan harus sesuai dengan Undang-undang, Kepatutan dan Kepentingan Umum. Dalam praktik, asas kepatutan berpotensi melahirkan kontroversi. Dapat dibayangkan jika suatu informasi yang telah dikecualikan berdasarkan Undang-undang masih harus menyertakan kepatutan. Jika kepatutan didasarkan atas norma-norma yang ada di masyarakat maka ada dua kemungkinan: pertama, satu informasi yang tidak dikecualikan berdasarkan undang-undang ternyata menurut pihak tertentu tidak patut untuk dibuka.

Kemungkinan kedua, suatu informasi yang dinyatakan dikecualikan oleh undang-undang boleh jadi berdasarkan nilai-nilai kelompok masyarakat tertentu sangat patut dibuka. Kondisi ini berpeluang menciptakan kontradiksi dalam penafsiran.[18] Pada bagian penjelasan UU KIP tak ada bagian yang menerangkan apakah asas kepatutan ini dapat membatalkan pengecualian berdasarkan Undang-undang atau sebaliknya. Begitu pula dalam risalah pembahasan ketika UU KIP dirumuskan.

Berbeda dengan asas kepatutan, pada pasal 2 ayat (4) UU KIP dinyatakan secara lebih eksplisit bahwa kepentingan umum dapat menjadi koreksi terhadap pengecualian yuridis (berdasarkan Undang-Undang). Ketentuan ini dijelaskan pada frasa: ‘… serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya’. Dengan demikian suatu informasi yang secara sah dikecualikan berdasarkan Undang-Undang berpe-luang untuk dikoreksi berdasarkan kepentingan publik. Pada bagian penjelasan UU KIP, koreksi melalui kepentingan publik ini dinyatakan sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU KIP:

Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu Informasi, Informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.

Sebelum lebih jauh, ada baiknya melihat bagaimana prinsip pengecualian dilakukan di negara lain yang memiliki Undang-Undang serupa. Untuk Pengecualian, kebanyakan negara menerapkan apa yang disebut dengan Harm Test dan Public Interest TestArticle XIX, suatu International NGO yang aktif mempromosikan keterbukaan informasi mempublikasikan beberapa prinsip dasar sebagai standar internasional yang perlu diacu ketika suatu negara ingin menyusun suatu Undang-Undang yang mengatur kebebasan memperoleh informasi. Satu di antara beberapa prinsip tersebut adalah:

Principle-4:

Limited Scope of Exceptions. Exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to strict “harm” and “public interest” tests. [19]

Prinsip di atas tak berbeda dengan asas pengecualian yang di atur pada pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) UU KIP, yakni sifat pengecualian yang ketat dan terbatas serta didasarkan atas pengujian atas konsekuensi dan kepentingan publik. Untuk menerapkan prinsip keempat tersebut Article XIX memperkenalkan apa yang disebut sebagai Three Part Test[20]

A refusal to disclose information is not justified unless the public authority can show that the information meets a strict three-part test: (1) the information must relate to a legitimate aim listed in the law; (2) disclosure must threaten to cause substantial harm to that aim; and; (3) the harm to the aim must be greater than the public interest in having the information.

Model pengujian di atas dianut oleh berbagai negara yang menerapkan Undang-Undang sejenis dengan UU KIP (Inggris, Kanada, Finlandia, Australia, dll.). Sampai di sini, perlu dicermati bahwa pengecualian memang harus terkait dengan suatu maksud yang legitimate sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang. Hal ini dimaksudkan agar ada kepastian hukum, sehingga praktik pengecualian informasi dapat mengurangi efek kontra produktif akibat konflik yang terjadi antara otoritas publik selaku pemegang diskresi dan warga negara selaku pemohon atau pengguna informasi.

Asas kepatutan pada pasal 2 ayat (4) UU KIP dengan demikian mestilah suatu standar norma yang berlaku di masyarakat namun tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, untuk memastikan apakah pengecualian tersebut terkait dengan maksud pengecualian yang diatur oleh suatu Undang-Undang, maka harus dilakukan pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat. Jika dapat menimbulkan konsekuensi sebagaimana yang diatur oleh undang-undang maka informasi tersebut secara konsekuensial “patut dikecualikan”. Pada bagian penjelasan pasal 2 ayat (4), konsekuensi yang timbul dinyatakan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “konsekuensi yang timbul” adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang­-Undang ini apabila suatu Informasi dibuka.[21]

Oleh karena itu konsekuensi yang dimaksud oleh UU KIP ini dapat disebut sebagai konsekuensi yuridis, untuk membedakannya dengan konsekuensi subyektif yang berlandaskan pendapat semata, atau konsekuensi empirik yang dibuktikan melalui suatu penelitian eksperimental misalnya. Penerapan pengecualian berdasarkan konsekuensi yuridis ini memiliki kemiripan dengan apa yang dinyatakan cara pandang filsafat etik yang dikenal sebagai rule consequentialism. Model yang digunakan adalah model konsekuensi negatif. Bagian selanjutnya akan mendalami hal ini. Berdasarkan kerangka pikir inilah mengapa pada bagian awal tulisan ini saya nyatakan bahwa keterbukaan informasi publik di Indonesia menggunakan pendekatan ‘negative rule consequentialism’.

Seperti yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu, pendekatan konsekuensialisme negatif cenderung menghasilkan apa yang dsebut sebagai pengambilan keputusan berdasarkan prioritas (prioritanism). Hal ini dipertegas dengan penerapan uji kepentingan publik pada UU KIP. Pengujian atas kepentingan publik telah memberikan peluang bagi pengambil keputusan publik untuk mempertimbangkan derajat atau sekala prioritas konsekuensi negatif yang ingin dilindungi dengan menutup informasi berdasarkan suatu Undang-Undang di satu sisi, dibandingkan dengan konsekuensi negatif lain yang akan diderita oleh publik (bukan hanya individu pemohon) akibat tidak bisa mengakses informasi tersebut di sisi lain.

———-

[1] Burg, Wibren van der. Law and Ethics: The Twin Disciplines. Erasmus Working Paper Series on Jurisprudence and Socio-Legal Studies, No. 10-02, 2010, hal. 1.

[2] Anscombe, G.E.M. Modern Moral Philosophy. The Journal of The Royal Institute of Philosophy, Vol. XXXIII, No. 124, January 1958, hal. 11

[3] Lihat Stanford Encyclopedia Of Philosophy, 2003 .

[4] Bentham, Jeremy. The principle of Moral and Legislation. Oxford at the Clarendon Press, London, Newyork and Toronto, Henry Frowde, MCM VII, 1823, chapter I, hal. 1

[5] Mill, J.S. Utilitarianism. 2nd Edition, Longman, Green, Longman, Robert and Green. London, 1864, ch. II, hal. 9.

[6] Friedman, Milton. The Social Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New York Times magazine, 1970.

[7] Hooker, Brad. Ideal Code, Real World. Oxford University Press, 2000.

[8] ___ibid, p. 101

[9] Lihat Sen, Amartya dalam Development As Freedom. Oxford University Press, 1999.

[10] Lihat Sen, Amartya dalam Globalization and Poverty. Jan 1, 2002 v13 i1 pA2(5)

[11] Scheffler, Samuel. Consequentialism an Its Critics. Oxford University Press, 1988, hal. 1-13.

[12] Lihat Rawls, John. A Theory Of Justice. Cambridge, Massachusetts: Belknap Prss of Havard University Press, 1971.

[13] Gordon, David. Going Off the Rawls. The American Conservative, 2008.

[14] Lihat Sen, Amartya. The Idea of Justice. Havard University Press and London; Allen Lane, 2009.

[15] Popper, Karl. The Open Society and Its Enemies. Vo. 2. Routledge, 1945. hal. 329.

[16] Broome, John. Weighing Goods. Oxford: Basil Blackwell, 1991, hal. 222

[17] Lihat pernyataan Bagir Manan (Ketua Dewan Pers, yang sebelumnya menjabat Ketua Mahkamah Agung RI) dalam sambutan tertulis pada diskusi mengenai ‘Undang-undang Keterbukaan informasi Publik, Informasi yang Dikecualikan dan Dampak Terhadap Kemerdekaan Pers’. Diskusi diselenggarakan oleh Dewan Pers dan UNESCO dalam rangka memperingati Hari Pers sedunia pada 3 Mei 2010. Bagir menyatakan: ‘Persolan kedua berkaitan dengan ketentuan-ketentuan informasi publik yang dikecualikan. Hal ini diperkirakan menimbulkan persoalan karena dengan pengecualian yang terlalu banyak masyarakat tidak tahu lagi antara rules dan yang dikecualikan. Beberapa kaedah dalam pengecualian tersebut juga masih memerlukan kesepakatan yang lebih konkrit agar tidak menimbulkan salah pengertian atau sengketa pada waktu pelaksanaan.’

[18] Komisi Informasi Pusat-ICEL Anotasi Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, 2009, hal. 82.

[19] Article XIX, Principles on Freedom of Information Legislation, International Standard Series, 1999.

[20] ____ ibid.

[21] Meskipun dinyatakan konsekuensi yang timbul adalah berdasarkan UU KIP, namun UU KIP juga mengakomodasi pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain pada pasal 17 huruf j. Kekhawatiran akan meluasnya pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain dapat dieliminir melalui penerapan asas pengujian atas konsekuensi dan kepentingan publik.