Ahmad Alamsyah Saragih
Secara teknis, informasi biasanya dibedakan dengan data. Data adalah fakta mentah yang belum memberikan pengetahuan. Dalam Webster New World Dictionary, data didefinisikan sebagai: ‘things known or assumed’. Terjemahan langsung dari kalimat tersebut adalah sesuatu yang diketahui atau dianggap.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia data diartikan sebagai: ‘keterangan atau bahan nyata yg dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan)’. Menurut O’Brien (2005), data merupakan: ‘fakta atau obsevasi mentah, yang biasanya menyangkut fenomena fisik atau transaksi bisnis. Lebih rinci, data adalah ukuran objektif dari atribut (karakteristik) dan entitas (seperti manusia, tempat, barang dan kejadian)’.[1]
Adapun informasi adalah data yang diolah sehingga memiliki makna atau memberikan pengetahuan. Informasi juga dinyatakan sebagai data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu guna menghasilkan sebuah keputusan (Anton M. Moeliono, 1990).[2] Gordon B. Davis (1991), menyatakan bahwa informasi adalah: ‘data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang’. [3]
Pemaknaan informasi tidak berhenti sebatas di dunia akdemik, tapi juga telah masuk ke wilayah regulasi yang bersifat mengikat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mendefinisikan informasi sebagai berikut: ‘keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.’[4]
Pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik didefinisikan sebagai berikut: ‘satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya’.[5] Pada kedua definisi di atas, baik UU KIP maupun UU ITE, terdapat suatu kesamaan bahwa informasi adalah sesuatu yang memiliki kandungan makna.
Dalam perkembangan terakhir, dengan pemberlakuan UU KIP, UU ITE, UU Kearsipan, dan UU Intelijen Negara, wacana di seputar informasi telah masuk ke ruang-ruang pengaturan yang tidak jarang mengundang kontroversi. Bagian ini bermaksud untuk menelusuri lingkup dan batasan informasi publik berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Evolusi Perspektif Hak Atas Informasi
Sebagai hak asasi, hak atas informasi masuk dalam kovenan internasional yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing negara pihak, sebagaimana tertulis pada Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1946 dan telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948:
Article 19:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.
Jelas terlihat bahwa hak untuk mencari dan mendapatkan informasi merupakan bagian yang termasuk dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Maka tidak heran jika pada era awal wacana hak atas informasi sangat beririsan dengan profesi jurnalis. Dari sisi profesi, jurnalis memang merupakan pihak yang berkepentingan langsung terhadap akses informasi.
Dalam berbagai literatur, Swedia telah dinyatakan sebagai negara pertama yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi yang dipelopori oleh Anders Chydenius (1776). Meskipun secara substantif Undang-Undang ini lebih bertitik berat pada kebebasan pers.[6]
Seiring dengan perkembangan global berbagai negara pihak mulai meratifikasi kovenan tersebut sesuai dinamika internal masing-masing. Ada yang menggunakan terminologi Kebebasan Informasi atau yang dikenal dengan Freedom Of Information (FOI), antara lain Inggris dan Amerika. Beberapa negara lain menggunakan Right to Information (RTI), antara lain India dan Nicaragua. Belanda, Kanada dan Jepang menggunakan terminologi Acces to Information (ATI).
Pengaturan tersebut secara umum ditujukan untuk menjamin hak memperoleh informasi yang dikuasai oleh otoritas publik. Kebanyakan negara tersebut juga telah mengatur perlindungan atas informasi pribadi yang merupakan bagian dari privacy. Termasuk di dalamnya perlindungan atas data pribadi.
Perlindungan dimaksudkan untuk menjaga privacy yang juga dinilai sebagai hak dasar seseorang dari intervensi negatif oleh negara dan pasar. Kanada bahkan sering mempublikasikan Undang-Undang mereka dengan menyebut Freedom Of Information Act and Protection of Privacy Act, untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan memperoleh informasi dan perlindungan terhadap privacy.
Dalam kehidupan bernegara, informasi telah dinyatakan sebagai hak-hak dasar yang akan menentukan kualitas demokrasi di satu sisi dan kualitas kehidupan warga negara di sisi lain. Sedemikian pentingnya informasi dalam demokrasi hingga ada yang menyatakan bahwa informasi adalah oksigen demokrasi (Andrew Puddephatt, 1999).[7]
Jaminan akses terhadap informasi juga telah menjadi faktor fundamental tidak hanya sekedar karena ia merupakan jaminan untuk hak mengungkapkan pendapat dan berekspresi semata. Akses terhadap informasi, khusunya informasi-informasi yang berada dalam penguasaan otoritas publik, telah dilihat sebagai faktor penting dalam pemenuhan hak-hak sipil maupun hak-hak politik warga negara. Terutama untuk wilayah pengambilan keputusan dan penyelenggaraan urusan publik.
Di India, Bangladesh, Meksiko, Afrika Selatan dan beberapa negara lainnya jaminan akses terhadap informasi ini telah mempermudah penerapan suatu skema akuntabiltas yang dikenal dengan social audit pada sektor publik. Berbagai studi dan publikasi telah memuat pemanfaatan Undang-Undang Kebebasan Informasi dalam mendorong akuntabilitas sosial. [8] Dalam isu lingkungan, akses terhadap informasi masuk dalam ‘27 principle of the Rio Declaration’ pada tahun 1992, [9] yang kemudian dikenal dengan tiga akses: akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi, dan akses terhadap keadilan.
Perjalanan tidak hanya berhenti sampai pada kesadaran bahwa jaminan hak atas informasi telah menjadi prasyarat yang menentukan kualitas demokrasi dan penyelenggaraan urusan publik. Perkembangan teknologi telah menyebabkan informasi dirasakan sebagai kebutuhan dasar yang sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan. Informasi sebagai kebutuhan semakin hari menjadi semakin vital.
Di Indonesia, informasi akhirnya dinilai sebagai kebutuhan pokok. Konsideran menimbang huruf a, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah memuat ini:
Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional;
Dalam wacana ekonomi, informasi semakin mempertegas sosoknya sebagai barang. Sebagaimana lazimnya suatu barang, sebagian informasi mulai dikategorikan sebagai barang ekonomis, dan sebagian lain mulai dikategorikan sebagai barang publik. Pada tiga dekade terakhir abad dua puluh, status sebagian informasi sebagai barang publik telah mewarnai litertur akademik.
Sebagian masih berhati-hati dan menyebutnya sebagai quasi public goods (Hirshliefer, 1971).[10] Beberapa yang lain akhirnya secara tegas telah menyatakannya bahwa sebagian informasi adalah barang publik, terutama informasi terkait dengan pelayanan dasar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti informasi tentang SARS, Flu Burung, dsb. (Getzen, 1997).[11]
Ilmu ekonomi menggunakan terminologi barang publik sebagai lawan dari barang ekonomis. Barang publik ditandai dengan ketiadaan aspek kelangkaan, seperti udara, air, dsb. Adapun barang ekonomis ditandai dengan sifat kelangkaan akan sumber daya (the scarcity of resource). Di antara keduanya adalah barang semi publik atau dikenal dengan istilah quasi public goods, air bersih dari PDAM misalnya. Dalam beberapa kasus, barang semi publik telah menjadi barang ekonomis, antara lain karena kebijakan privatisasi.
Transformasi dari kaca mata ekonomi ke wilayah hukum memiliki implikasi yang relatif berbeda—meskipun bukan berarti tak ada keterkaitan yang erat—dalam cara melihat status informasi. Dalam wilayah hukum, publik akan memiliki kontradiksi yang dikenal dengan istilah privat. Hukum berfokus pada pengaturan terkait kepemilikan beserta implikasi terhadap hak dan kewajiban atas subjek terkait. Demikian juga jika suatu informasi dibedakan menjadi informasi publik dan informasi privat.
Secara sederhana, dalam rezim demokratis makna publik ditandai dengan status kepemilikan yang bersifat kolektif (bersama), dimana pengadaan dan pengelolaannya dikuasakan kepada negara. Adapun makna privat ditandai dengan suatu kepemilikan yang bersifat pribadi. Dalam kenyataan, pengaturan di masing-masing wilayah tersebut telah melahirkan lingkup pengaturan yang juga berbeda meskipun satu sama lain tidaklah mutually exclusive.
Pelarangan dalam wilayah publik bertujuan untuk melindungi kepentingan bersama yang dikenal dengan kepentingan umum, sedangkan pelarangan dalam wilayah privat dimaksudkan untuk melindungi hak-hak pribadi (privacy). Meski demikian, tidak mudah untuk mengidentifikasi secara jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan umum (kepentingan publik), mengingat belum ada definisi baku yang disepakati hingga saat ini (ICO, 2005).[12]
Kembali ke informasi, tidak semua pengadaan atau produksi informasi publik menggunakan material (antara lain data) yang murni bersifat publik. Suatu keputusan publik atau suatu penyelenggaraan urusan pubik sering kali harus dilakukan dengan mengolah terlebh dahulu data dan informasi yang bersifat privat. Dengan demikian pelarangan dalam wilayah pengelolaan informasi publik bertujuan untuk memenuhi kewajiban negara dalam dua hal berikut:
- mencegah pengungkapan atau pemanfaatan data maupun informasi yang akan merugikan kepentingan pribadi atau menciderai hak-hak pribadi (privacy) yang dilindungi oleh Undang-Undang;
- mencegah pengungkapan atau pemanfaatan data maupun informasi yang akan merugikan kepentingan bersama atau menciderai hak-hak kolektif warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Bagaimanapun, wacana akademik tentang informasi sebagai barang publik kini telah masuk ke wilayah hukum yang memiliki implikasi mengikat. Sebagian negara menggunakan terminologi Informasi Publik untuk Undang-Undang yang mengatur hak atas informasi, antara lain: Bulgaria, Equador, Meksiko, dan Peru. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menggunakan terminologi Informasi Publik, antara lain Texas dan Maryland. Sebagai satu contoh pada Texas Public Information Act, informasi publik didefinisikan sebagai:[13]
Public Information means information that is collected, assembled, or maintained under a law or ordinance or in connection with the transaction of official business:
(1) by a governmental body; or
(2) for a governmental body and the governmental body owns the information or has a right of access to it
Dalam administrasi pelayanan, sumber formil sebagian besar informasi ada pada dokumendokumen publik. Berdasarkan kenyataan ini, beberapa negara dengan sadar memilih untuk memfokuskan jaminan akses publik terhadap informasi yang bersumber pada dokumen-dokumen publik tersebut.
Untuk memperjelas hal ini, dalam regulasi mereka memasukkan terminologi public record sebagai sumber informasi. Bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi, public record memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar dokumen-dokumen tertulis konvensional. Hungaria mendefinisikan public record sebagai berikut:[14]
Public record: irrespective of the time of origin and the place of custody, any document which belongs or belonged to the current records of an agency fulfilling public duties.
Indonesia akhirnya memilih terminologi ‘Informasi Publik’ dalam pengaturan hak atas informasi melalui UU Keterbukaan Informasi Publik. Pada akhirnya pilihan ini akan menentukan lingkup dan struktur pengaturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Pada ketentuan umum, UU KIP mengatur definisi Informasi Publik sebagai berikut:
Pasal 1 angka 2
Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik
Perdebatan pertama: Kebebasan atau Hak Warga Negara?
UU KIP semula merupakan usulan masyarakat sipil melalui skema inisiatif DPR dengan judul ‘Kebebasan Memperoleh Informasi Publik’ (KMIP). Dalam pembahasan RUU ini, Pemerintah mengusulkan Judul Rancangan Undang-Undang yang berbeda, yakni: ‘Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Informasi’.
Argumen Pemerintah adalah untuk menyesuaikan dengan ketentuan pada UUD 1945 pasal 28F yang menggunakan terminologi hak. Lihat pernyataan DR Sofyan A. Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu) selaku wakil Pemerintah pada Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR:[15]
‘… Usul ini didasarkan kepada ingin menyesuaikan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28F yaitu di sana disebut: setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi dan seterusnya. Oleh sebab itu, Pemerintah mengusulkan supaya judulnya kita sesuaikan dengan ‘hak warga negara’ untuk memperoleh ‘informasi’… kalau ‘informasi publik’, ini nanti kita cukup lebih sempit dibanding memperoleh informasi yang dijamin oleh konstitusi. Kemudian juga dengan pengalaman di negara lain kita melihat namanama (undang-undang, pen.) yang mereka gunakan juga tidak membatasi kepada informasi pubiik saja…’
Tidak sepenuhnya alasan mengusulkan judul yang berbeda adalah untuk menyesuaikan terhadap Konstitusi. Terminologi tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan pembatasan lingkup yang lebih sempit dibandingkan konstitusi. Penggunaan terminologi ‘Hak’ tapi dengan menambahkan ‘Warga Negara’ sebagai subjek tentunya akan mengeliminir prinsip universal dari pasal 28F UUD 1945 yang menggunakan terminologi subjek berbeda: ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…’.
Terminologi setiap ‘orang’ di UUD 1945 digunakan untuk menjaga prinsip universal dari Hak Asasi Manusia. Hal ini berimplikasi kepada luasnya subjek yang berhak mengakses informasi, termasuk warga negara asing di dalamnya. Untuk maksud membatasi subjek ini Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah) menyampaikan pendapatnya:[16]
… Undang-Undang KMIP ini pada prinsipnya ada keinginan agar yang memperoleh informasi itu hanya warga Negara Indonesia dan ini berkembang terus dalam pembahasan kita, dan saya kira juga usulan-usulan dari beberapa fraksi… dari studi banding di Tokyo itu, mereka memang memberikan warga Negara asing untuk mengakses informasi yang ada di Jepang, tapi dengan syarat, informasi itu diberikan dalam huruf kanji. Saya kira Jepang bukan satu-satunya yang bisa kita jadikan referensi.
Dalam pembahasan terjadi perbedaan pandangan di antara anggota DPR yang hadir. Sebagian fraksi setuju dengan usul Pemerintah, sementara sebagian yang lain tetap menginginkan Judul RUU seperti semula. Yusron Ihza Mahendra (Fraksi-BPD[17]), yang juga menyetujui usulan Pemerintah, mencoba memperkuat usulan Pemerintah dengan pandangan subjektifnya terhadap kondisi sosiologis paska reformasi.[18]
Fraksi PKB (Effendi Choiri dan A. S Hikam) menyatakan terminologi ‘hak warga negara’ dikhawatirkan justru akan mempersempit wilayah pengaturan. RUU KMIP bermaksud juga untuk mengatur hak dan kewajiban Badan Publik, bukan semata-mata hak warga negara. Beberapa fraksi yang lain juga masih belum bisa menerima usulan Pemerintah tersebut dengan berbagai alasan. Akhirnya Rapat Kerja yang dipinpim oleh Theo L. Sambuaga ini memutuskan untuk membawa pembahasan mengenai hal tersebut ke Panja.
Dalam Rapat Panja yang dipimpin oleh Tosari Wijaya, pembahasan mengenai judul Rancangan Undang-Undang ini memakan waktu cukup panjang, kurang lebih 12 jam. Kesepakatan awalnya berhasil dibangun untuk tetap menggunakan terminlogi ‘Informasi Publik’ pada judul, bukan ‘informasi’. Tetapi kesepakatan tidak terjadi dalam memilih frasa mana yang akan digunakan, apakah: ‘Hak Warga Negara’ sebagaimana diusulkan Pemerintah, atau ‘Kebebasan Memperoleh’ sesuai rancangan inisiatif DPR.
Titik temu tentang hal ini mulai terbangun setelah skors pertama. Akhirnya rapat menghasilkan kesepakatan awal untuk merubah judul menjadi hanya ‘RUU tentang Informasi Publik’. Namun anggota DPR umumnya merasa bahwa judul tersebut masih belum mencerminkan jiwa dari isi Rancangan Undang-Undang tersebut. Semula ada usulan anggota DPR untuk menambahkan kata ‘akses’ pada judul. Akan tetapi usul ini dipertimbangkan ulang karena menurut Pemerintah ‘informasi publik’ itu telah termasuk akses di dalamnya. Makna publik berarti adalah dapat diakses oleh masyarakat luas, oleh karenanya tidak perlu ditambahkan kata akses pada judul Undang-undang.[19]
Menjelang sidang diskors untuk memberikan kesempatan diskusi informal bagi para peserta rapat, Jeffrey Johannes Massie (F-PDS), melontarkan bahwa semangat yang ingin dibangun dalam isi RUU ini adalah merubah suatu kebiasaan yang semula tertutup menjadi terbuka. Berikut adalah pernyataan Jeffrey Johannes Massie:[20]
… sebuah Undang-Undang harus memiliki nature ataupun karakteristik yang spesifik, yang jelas, yang clear, yang distinguished… Menurut saya saatnyalah sekarang pada saat pembahasan RUU ini… dijadikan suatu terobosan bahwa kita ingin menunjukan kepada publik ada satu sikap progresif dari legisltif maupun eksekutif. Untuk menunjukkan, kepada paling tidak bangsa ini, bahwa telah terjadi semacam perubahan attitude atas ‘tertutup’nya informasi yang selama ini dikekang menjadi ‘keterbukaan’ yang tentu masih dibatasi oleh beberapa aturan, bukan keterbukaan yang bablas.
Setelah skors dicabut, rapat Panja RUU KMIP dengan cepat berhasil menyepakati untuk memasukkan kata ‘keterbukaan’ pada judul baru Rancangan Undang-Undang. Judul ‘Kebebasan Memperoleh Informasi Publik’ (KMIP) akhirnya dirubah menjadi ‘Keterbukaan Informasi Publik’ (KIP). Pemerintah juga bisa menerima perubahan ini.
Perdebatan kedua: ‘Informasi’ yang dikecualikan atau ‘Informasi Publik’ yang dikecualikan?
Perdebatan yang panjang dan berulang dalam pembahasan rancangan Undang-undang lagi-lagi terjadi untuk masalah judul. Kali ini mengenai judul Bab yang mengatur tentang pengecualian. Perdebatan ini disebabkan karena perbedaan perspektif dalam menentukan parameter Informasi Publik.
Perbedaan mulai terjadi ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang pada 11 Juli 2007 memasuki Bab pengecualian informasi. Pemerintah mengusulkan judul Bab ‘Informasi Publik Yang Dikeculaikan’, sementara rancangan inisiatif DPR memberi judul hanya ‘Informasi Yang Dikecualikan’. Perdebatan berlangsung cukup konstruktif, Pemerintahpun berpikir ulang:
Bachrum F. Siregar, SE (F-PBR): ‘… saya belum tentu setuju Pak.… Menurut saya, semua yang sudah dinyatakan sebagai ‘informasi publik’ dia harus terbuka, kalau belum terbuka dia belum menjadi informasi publik, mengapa ini kita kecualikan lagi.’ (hal: 20).
Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah): ‘Ini rupanya clear sekali, karena kalau ada ‘publik’ mustinya sudah terbuka, tidak boleh dikecualikan. Jadi prinsipnya supaya konsisten dengan tadi pemikiran Bapak saya kira kami tidak keberatan untuk menghilangkan kata ‘publik’ untuk judul bab ini saja, tetapi yang Iain-lain kan kita selalu bicara tentang hak informasi publik.’ (hal:20)
Sebagian Anggota DPR yang hadir pada rapat cenderung menggunakan perspektif penguasaan informasi oleh Badan Publik sebagai parameter utama Informasi Publik. Mereka berpendapat bahwa: informasi apapun sifatnya, ketika berada di Badan Publik adalah Informasi Publik. Walaupun informasi tersebut menyangkut privacy.[21] Sementara sebagian anggota yang lain cenderung menggunakan perspektif sifat atau karakteristik informasi sebagai parameter utama. Mereka berpendapat bahwa suatu informasi yang bersifat privat, meskipun ada di Badan Publik, bukanlah informasi Publik.[22]
Alasan Pemerintah mengusulkan rumusan ‘Informasi Publik Yang Dikecualikan’ pada Bab yang mengatur tentang pengecualian informasi adalah untuk menjaga konsistensi dengan judul RUU yang menggunakan terminologi Informasi Publik. Dalam pembahasan Pemerintah menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak menolak jika untuk Bab yang mengatur pengecualian hanya digunakan terminologi ‘informasi yang dikecualikan’. Hal ini karena informasi yang dikecualikan tidak hanya informasi publik, tapi ada juga informasi yang bukan informasi publik. [23]
Beberapa anggota memilih untuk menggunakan rumusan ‘informasi yang dikecualikan’ (tanpa kata publik), antara lain dari fraksi PDS. [24] Satu anggota dari Fraksi PKS memilih ‘Informasi Publik Yang Dikecualikan’.[25] Salah satu anggota dari Fraksi PKB[26] mempertanyakan soal konsistensi judul bab dengan pasal-pasal di bawahnya.
Pembahasan cukup panjang dan berulang. Pada akhirnya semua fraksi dan Pemerintah menyetujui judul Bab ini menjadi ‘Informasi Yang Dikecualikan’. Akan tetapi untuk bagian pengecualian yang terkait dengan hak-hak pribadi tetap menggunakan rumusan ‘Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan dapat…’. Pilihan ini menunjukkan bahwa RUU ini lebih berfokus pada pencegahan atas konsekuensi negatif yang timbul akibat pemberian informasi yang dikuasai oleh Badan Publik, bukan informasi itu sendiri.
Meskipun menyetujui untuk perubahan judul tersebut, masih tersisa kegamangan dari pihak Pemerintah terkait batasan Informasi Publik:
Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah): … dari pembahasan ini kami hanya punya satu kekhawatiran bahwa ketika menyusun itu kita tidak bisa memberikan struktur yang jelas kapan kita mengatakan itu (informasi, pen.) publik dan hanya informasi. … misalnya informasi mengenai kesehatan seorang pejabat publik. Kalau seandainya kemudian diekspos di masyarakat karena memang dia mengikuti peraturan perundangundangan… bukan karena dia sudah menjadi publik sebelumnya tanpa dia mengikuti proses itu… jadi kami berfikir barang kali memang kita harus membedakan betul kapan ini dikatakan sebagai informasi publik (dan, pen.) sebagai informasi saja.’ (hal: 30-31)
Adalah perspektif mendasar yang menjadi pangkal persoalan. Secara teoritis diferensiasi antara Informasi Publik dan Privat bersandar pada ‘sifat atau karakteristik’ dan ‘kepemilikan’ (bukan penguasaan) sebagai parameter utama, sementara rancangan norma yang dirumuskan juga memasukkan ‘penguasaan’ informasi oleh Badan Publik sebagai sebagai parameter alternatif, bukan kumulatif, selain parameter sifat atau karakteristik informasi.
Batasan Informasi Publik dalam UU KIP
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pasal 1 angka 2 UU KIP, menyatakan bahwa Informasi Publik adalah ‘informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik’. Sebelum lebih jauh, definisi ini perlu dicermati secara tajam karena mengandung beberapa beberapa batasan yang tidak terlalu jelas. Jika kombinasi frasa dipecah menjadi dua kriteria maka informasi publik berdasarkan UU KIP menyangkut batasan sebagai berikut:
Kriteria pertama:
yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik, yang berkaitan dengan:
- Penyelenggara ‘Negara’ dan/atau ‘Badan Publik lainnya’ yang sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
- Penyelenggaraan ‘Negara’ dan/atau ‘Badan Publik lainnya’ yang sesuai dengan Undang-Undang ini
, serta:
Kriteria kedua:
informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Pada kriteria pertama, frasa ‘dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima’ adalah untuk memenuhi syarat penguasaan oleh Badan Publik (locus). Frasa berkaitan dengan ‘Penyelenggara dan/ atau Penyelenggaraan’ adalah parameter penajam (focus) yang menyangkut subjek dan fungsi di Badan Publik. Frasa ‘sesuai dengan Undang-Undang ini’, adalah parameter syarat situasi (context), yang mensyaratkan tafsir terikat pada ketentuan lainnya secara sistematik.
Kriteria kedua menggunakan sifat atau karakteristik informasi, yakni yang berkaitan dengan ‘kepentingan publik’ sebagai parameter penajam (focus). Dengan kriteria ini, secara gramatikal pengertian Informasi Publik menjadi meluas melampaui kriteria penguasaan oleh Badan Publik. Jika tidak berada di bawah peguasaan Badan Publik, Informasi ini masuk dalam jenis informasi sebagaimana yang diatur di Pasal 6 ayat (3) huruf e UU KIP, yakni ‘Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan’.
Sebagai ilustrasi, kendati belum ada kesepakatan baku tentang batasan kepentingan publik, dapat digunakan contoh sederhana untuk menjelaskan. Bayangkan suatu perusahaan farmasi swasta sedang melakukan penelitian di suatu area. Dalam kunjungan ke lokasi tim mereka menemukan bahwa di lokasi tersebut sedang terjadi serangan epidemi. Setelah hasil sampel dikirim ke laboratorium, ternyata wabah tersebut adalah flu burung.
Secara substantif, sesungguhnya informasi tentang epidemi tersebut adalah Informasi Publik, karena informasi tersebut adalah informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Meskipun perusahaan swasta tesebut sebagai pihak yang pertama menemukannya bukanlah Badan Publik sebagaimana didefinisikan dan terkena kewajiban sesuai UU KIP. Di sini penguasaan tidak bisa membatalkan sifat terbuka dari informasi tersebut.
Kriteria pertama memang relatif mudah untuk diukur atau diidentifikasi, namun kriteria ini beresiko mereduksi pertimbangan substansial dalam menentukan apakah suatu informasi adalah Informasi Publik. Kriteria kedua lebih memberi ruang yang luas karena berbasis pada sifat atau substansi, namun tidak terlalu mudah untuk diukur atau diidentifikasi.
Berdasarkan dua kriteria di atas, apakah ada informasi yang masuk dalam kriteria pertama tapi tidak termasuk sebagai kriteria kedua? Jika informasi yang masuk pada kriteria pertama adalah Informasi Publik, tentunya tidak mungkin ada Informasi Publik yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Jika dipaksakan akan terjadi karancuan berfikir atau kekeliruan dalam silogisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
- Informasi di Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini adalah Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, meskipun informasi tesebut mengandung substansi yang bersifat privat.
- Pengecualian berdasarkan UU KIP bertujuan untuk melindungi kepentingan yang dilindungi oleh Undang-Undang atau menghindari konsekuensi bahaya sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang tersebut, baik yang membahayakan negara maupun yang membahayakan privacy, sebagai akibat dari pengungkapan atau pemberian suatu informasi.
Secara teoritis tidak semua informasi yang terkait dengan Penyelenggara atau Penyelenggaraan Badan Publik murni merupakan Informasi Publik. Untuk menyelenggarakan urusan-urusan mereka, tidak jarang Badan Publik harus mengolah baik data maupun informasi privat atau informasi yang bukan publik. Berdasarkan definisi yang dianut, UU KIP telah menyebabkan informasi yang secara teoritik bersifat privat tetap dinyatakan sebagai Informasi Publik sepanjang ia dikuasai (dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima) oleh Badan Publik.
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur perlidungan terhadap privacy, maupun perlindungan terhadap data pribadi. Pada akhirnya pengecualian informasi dalam UU KIP dikaitkan dengan konsekuensi yang ditimbulkan apabila Informasi Publik diungkap. Informasi ini dikecualikan jika berkonsekuensi antara lain mengungkap privacy (baik hak-hak pribadi maupun kerahasiaan untuk daya saing bisnis) dan membahayakan negara, sebagaimana diatur pada pada Pasal 6 ayat (3) UndangUndang ini. Namun penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang pengecualian informasi karena akan dibahas pada bagian tersendiri.
——————–
[1] O’Brien, James and Marakas, George. Management Information Systems. New York, McGraw-Hill Book, 2005, p. 38.
[2] Moeliono, Anton M. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hal. 331.
[3] Davis, Gordon B. and Olson, Margrethe H. Management Information Systems. New York, McGraw-Hill Book, 1991, p. 28
[4] Lihat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), pasal 1 angka 1.
[5] Lihat Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 1 angka 1.
[6] Lihat The World’s First Freedom of Information Act, Anders Chydenius’ Legacy Today. Anders Chydenius Foundation’s Publications 2, 2006.
[7] Puddephatt, Andrew. International Guidelines Series Article 19. The Public’s Right to Know: Principles on Freedom of Information Legislation states. London, Article 19, 1999. Pada bagian pengantar Puddephatt menyatakan: ‘Information is the oxygen of democracy. If people do not know what is happening in their society, if the actions of those who rule them are hidden, then they cannot take a meaningful part in the affairs of that society. But information is not just a necessity for people it is an essential part of good government. Bad government needs secrecy to survive. It allows inefficiency, wastefulness and corruption to thrive’.
[8] Lihat Alaka, Dena Ringold, at all. Assessing the Use of Social Accountability Approaches in the Human Development Sectors. Washington, The World Bank, 2012.
[9] Principle 10. Public participation: ‘Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.’
[10] Hirshleifer, Jack. The Private and Social Value of Information and the Reward of Inventive Activity. American Economic Review v. 61, no. 4. September 1971, pp. 561-574
[11] Getzen, T,E. Health Economics: Fundamentals and Flow of Funds. John Wiley and Sons, Inc. New York. 1997.
[12] ICO, A Short Guide to the FOIA and Other New Access Rights, The Campaign for Freedom of Information. UK. 2005.
[13] Texas, Public Information Act. Government Code, Chapter 552.
[14] Act LXVI of 1995 on Public Records, Public Archives, and the Protection of Private Archives. Hungaria.
[15] Risalah Rapat Kerja RUU KMIP Komisi I DPR, 15 Mei 2006; hal:5-6
[16] ibid.
[17] Fraksi ini merupakan gabungan partai Bulan Bintang, PDK, PNI Marhaenis, Partai Persatuan Demokrasi Indonesia dan Partai Pelopor.
[18] Lihat pernyataan DR. Yusron Ihza, LLM (F-BPD) pada Risalah Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR, 15 Mei 2006; hal:10: ‘Saya mewakili pandangan Fraksi kami, jadi kami berpendapat bahwa kata hak warga negara untuk memperoleh informasi itu merupakan pilihan yang lebih tepat. Apa dasar argumentasinya? Bahwa terutama sekali melihat iklim yang terjadi pada bangsa kita, terutama sejak reformasi, bahwa orang menuntut hak-hak terus tetapi kita lihat bahwa kita sudah kebablasan. Bahwa kalau kita menggunakan kata kebebasan itu pada akhirnya seolah-olah masyarakat menganggap apapun bebas di negeri ini dan itu akan semakin memperparah situasi. Tadi kalau dalam pandangan Pak Effendy Choirie mengatakan dipersempit kalau menggunakan ‘hak’ dibanding ‘kebebasan’, itu memang demikian. Tetapi untuk kali ini kita sedikit berbeda pandangan Pak Effendy Choirie, tetapi sah-sah saja. Saya berpendapat ini perlu dipersempit sedikit agar tidak terlalu melebar dengan menggunakan kebebasan. Terima kasih’.
[19] lihat pernyataan Prof. Ahmad Ramli (wakil Pemerintah): ‘… informasi publik itu sudah meng-cover keseluruhan. Kami berpendirian bahwa judul inilah sepertinya paling tepat…’ (hal: 58); Risalah Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR, 15 Mei 2006.
[20] ibid.
[21] Abdillah Toha, SE (F-PAN) :‘… dari ketentuan umum itu disebutkan informasi publik itu adalah bla bla bla bla… termasuk informasi pribadi. Itu ketentuan umum ada, jadi ketika dia masuk ke badan publik itu dia menjadi masuk definisi ketentuan umum, Informasi Publik, walaupun nanti dikecualikan.’ (hal: 30); ‘lya, saya lebih condong itu, dipakai istilah informasi, karena itu semua informasi yang ada di badan publik, termasuk informasi pribadi yang ada di badan publik, itu informasi publik.’ (hal: 30).
[22] Drs. Dedi Djamaluddin Malik, Msi (F-PAN): ‘… di DIM 137 ada ‘informasi yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pibadi, dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang’, kemudian ada ‘riwayat, kondisi, dan perawatan kesehatan fisik/psikis seseorang’ misalnya, apa ini masuk juga publik?’ (hal: 23); ‘… kita perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu… Kalau soal informasi militer segala macam itukan publik, sudah clear, lain-lain clear. Proses penyelidikan, data intelijen, itukan publik. Tapi yang menyangkut kondisi keuangan, aset, riwayat dan kondisi perawatan, ini personal semua. Jadi apakah layak tadi disebut ‘publik’ di dalam judul ini atau tadi tidak. Atau kita persepsikan dua hal yang tadi, seakan-akan private ini sebetulnya itu semua dalam kerangka kepentingan publik’ (hal:24-25); DR. Andreas H. Pareira (F-PDIP): ‘… kalau di sosiologi itu kata Weber ‘Setiap tindakan yang dibuat oleh manusia ke manusia yang lain itu namanya interaksi, dan itu pasti tidak termasuk di dalam wilayah individu lagi tapi sudah masuk dalam wilayah sosial’. Kalau kata Pak Dedi yang ahli komunikasi ‘setiap hal yang disampaikan ke orang lain itu bukan privacy lagi, dia sudah masuk pada wilayah publik’. Apa yang Pak Dedi katakan atau Pak Jeffrey katakan… ke X misalnya, itu bukan wilayah privacy Pak Jeffrey lagi ketika dia mengatakan itu. Tergantung komitmen dia dengan X boleh dikatakan atau tidak…’ (hal: 28).
[23] Prof. Ahmad Ramli: ‘… memang tadi ada pencerahan yang sangat baik, kami hanya khawatir ini ada pengertian public domain yang salah dengan kekecualian ini, karena kalau dalam hukum kalau yang namanya public domain itu mesti terbuka dan semua orang bisa memiliki itu…’ (hal:23). ‘Untuk tidak membuat ketimpangan antara judul dengan isi, maka memang sebaiknya kata ‘publik’ dihilangkan. Walaupun awalnya ini usulan Pemerintah, tetapi setelah ada masukan yang sangat baik, Pemerintah sangat akomodatif, dan supaya proporsional kita mengikuti. Karena yang diatur disini tidak semata-mata informasi publik, tetapi ada informasi-informasi pribadi yang sifatnya bukan publik.’ (hal: 24).
[24] Jeffrey Johannes Massie (F-PDS): ‘… Jadi saya sepakat tadi… kalau tidak salah posisi terakhir setelah ada perubahan ‘informasi yang dikecualikan… Terima kasih’. (hal: 25-26)
[25] Hilman Rosyad Syihab (F-PKS): ‘Saya masih tetap dengan ‘informasi publik’ pula. Terlebih lagi berkaitan dengan judul tentang ‘RUU Keterbukaan Informasi Publik’. Kemudian yang kedua ada di Ketentuan Umum yang di DIM 15 itu, yaitu ‘informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola’ dan seterusnya. Dan di DIM-DIM berikutnya yang dalam konteks yang dikecualikan itu semuanya termasuk menurut saya adalah informasi-informasi publik..’ (hal:26)
[26] Usamah Muhammad Al Hadar (F-PKB): ‘Saya ingin konsisten saja Pak. Kalau memang usulan dari DPR memang ‘informasi yang dikecualikan’, di DIM berikutnya itu bukan menyebutkan ‘informasi publik yang dikecualikan…’ (hal:20-21).