Ahmad Alamsyah Saragih
Undang-undang KIP mewajibkan Badan Publik untuk menyusun suatu pertimbangan tertulis dalam setiap kebijakan terkait pemberian informasi. Sering dipersepsikan bahwa pertimbangan tertulis dimaksudkan sebagai instrumen untuk menolak pemberian informasi. Sesungguhnya pertimbangan tertulis ditujukan untuk pemenuhan hak atas informasi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 UU KIP:
ayat (4):
Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
ayat (5):
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Mengapa Diperlukan?
Dalam rapat pembahsan RUU KMIP (Risalah, 26 Sep 2006), salah satu anggota DPR yang hadir menya-takan bahwa pertimbangan tertulis ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan alasan kepada publik atas keputusan yang diambil oleh Badan Publik dalam memenuhi hak atas informasi. Pertimbangan secara tertulis adalah bentuk akuntabilitas sosial pelayanan Informasi Publik, sebagaimana disampaikan oleh Effendy Choirie (F-PKB):
‘… semangat atau keinginan DPR menuang-kan ayat ini pertimbangan secara tertulis ini ingat sesuatu yang lebih konkrit, di sini menunjukkan pertanggungjawaban, di sini menunjukkan transparansi, di sini menun-jukkan accountability… Oleh karena itu, maka saya kira ini kita pertahankan bersama, dan sekali lagi apa yang diusulkan oleh Pemerintah sudah diakomodasi oleh kita semua dalam ayat sebelumnya. [1]
Pertimbangan secara tertulis adalah bentuk pertanggungjawaban dari otoritas publik untuk menjamin hak masyarakat dalam mengetahui alasan suatu pengambilan keputusan publik sebagaimana diatur dalam tujuan UU KIP, baik dalam memberikan informasi maupun dalam menolak memberikan informasi berdasarkan hasil uji konsekuensi. Pertimbangan tertulis merupakan suatu kebijakan, bukan merupakan bagian dari teknis operasional pelayanan.
Meski lingkupnya pada kebijakan, mengingat luasnya aspek yang harus dipertimbangkan, ada kekhawatiran Pemerintah pasal ini tidak operasional karena tidak semua Badan Publik harus mempertimbangkan seluruh aspek, seperti politik atau pertahanan dan keamanan. Apa lagi jika Badan Publik itu misalnya adalah suatu Yayasan. Anggota DPR menyatakan bahwa pertimbangan tidak harus secara menyeluruh, tergantung konteks informasi dan Badan Publik yang bersangkutan (tidak akumulatif). Pemerintah akhirnya menyetujui pendapat ini.[2]
Semula, selain persoalan letak pasal yang dinilai kurang tepat (masalah sistematika), ada kekhawatiran bahwa pasal ini akan menyebabkan ketidakpastian dalam pengecualian. Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Sofyan A. Djalil, menyampaikan hal ini dalam rapat pembahasan RUU KMIP:
‘… jadi akhirnya pengecualian atau menjadi sangat relatif, karena dimungkinkan Badan Publik kemudian itu membuka atau menutup dengan alasan, padahal itu tidak kita inginkan. Undang-undang ini menginginkan bahwa strict yang wajib terbuka, terbuka semuanya, yang tertutup, tertutup semuanya, walaupun saya sepakat dalam hal-hal tertentu yang tertutup itu ada kepentingan yang lebih besar mungkin perlu dibuka…’[3]
Terjadi perbedaan pendapat apakah pertimbangan tertulis adalah untuk informasi yang dikecualikan atau juga mencakup informasi yang terbuka. Beberapa peserta rapat memilih hanya untuk informasi yang dikecualikan, baik untuk menolak atau untuk membukanya. Pendapat ini di DPR antara lain dikemukakan oleh Andreas Pareira (F-PDIP) dan Hajriyanto H. Thohari (F-PG). Dalam rapat pembahsan RUU KMIP Andreas Preira menyatakan (Risalah, 26 Sep 2006):[4]
‘… apa yang seharusnya ditolak, tetapi bisa diberikan oleh Badan Publik karena pertimbangan. Katakanlah misalnya pertimbangan (untuk keperluan, pen.) akademis, dan dia bisa memberikan dengan catatan bahwa ini tidak untuk dipublikasikan, misalnya seperti itu.’
Pemerintah dalam rapat pembahasan juga menyetujui pendapat tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Sofyan A. Djalil (Risalah, 26 Sep 2006):[5]
‘Saya pikir memang substansi di sini mengatur dua hal, yang pertama adalah memberikan alasan tertulis terhadap penolakan, kemudian juga alasan tertulis kalau misalnya informasi yang dikecualikan ingin diberikan.’
Namun ada juga yang berpendapat bahwa pertimbangan secara tertulis juga diperlukan untuk informasi yang bersifat terbuka dalam situasi tertentu. Dalam rapat pembahasan RUU KMIP, maksud ini antara lain disampaikan oleh Marcus Silano (F-Demokrat). Marcus menyatakan bahwa pertimbangan secara tertulis tidak harus secara eksplisit dinyatakan hanya untuk menolak, karena boleh jadi juga diperlukan untuk informasi yang terbuka namun perlu pembatasan dalam hal-hal tertentu (Risalah, 26 Sep 2006)[6]:
‘… kalau ditolak ya pasti diberikan penjelasan, bahkan juga mungkin juga kalau diterima diberikan penjelasan misalnya ada batasanbatasan tertentu… informasi ini hanya dipergunakan untuk apa? Kan bisa saja begitu. Jadi ini saya kira kebijaksanaan ini cukup luas ini. Kalau menurut saya, jadi tidak perlu ada secara khusus mengatakan penolakan atau menolak…’
Ada kekhawatiran dari Pemerintah beban biaya akan meningkat jika seluruh informasi terbuka ketika diberikan secara mutlak harus diberikan pertimbangan secara tertulis. Namun dalam pembahasan lebih lanjut, disepakati bahwa pertimbangan tertulis diberikan hanya untuk informasi berdasarkan permintaan dan bisa dilakukan dengan cara paperless (dalam bentuk elektronik file).[7]
Gradasi Pemenuhan Hak Untuk Tahu
Dalam pembahasan di atas tidak ada kesimpulan yang secara tegas menyatakan bahwa ketentuan mengenai pertimbangan secara tertulis ini dimak-sudkan hanya untuk informasi yang dikecualikan. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pertim-bangan secara tertulis adalah suatu bentuk dokumen-tasi pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil oleh Badan Publik, ketika:
- menolak memberikan informasi yang dikecualikan;
- memberikan informasi yang dikecualikan dengan persyaratan tertentu;
- memberikan informasi yang terbuka dengan pembatasan tertentu diluar alasan substansial.
Menolak memberikan informasi hanya bisa diputuskan melalui suatu ‘pengujian atas konsekuensi’ yang hasilnya didokumentasikan dalam bentuk pertimbangan secara tertulis. Tahapan pengujian atas konsekuensi akan dibahas pada bagian berikut dari buku ini.
Dalam hal Badan Publik menghadapi permintaan atas informasi yang dikecualikan dan bermaksud memberikan informasi tersebut, UU KIP mensyaratkan untuk melakukan suatu ‘pengujian atas kepentingan publik’, atau sering disebut ‘uji kepentingan publik’. Hasil uji kepentingan publik didokumentasikan dalam bentuk pertimbangan secara tertulis. Pertimbangan ini memuat apakah ada suatu kepentingan yang lebih besar yang harus dilindungi dengan membuka informasi dibandingkan dengan kepentingan yang ingin dilindungi dengan menutup informasi.
Pertimbangan tertulis juga diwajibkan manakala Badan Publik bermaksud memenuhi permintaan terhadap informasi yang bersifat terbuka secara yuridis namun dinilai memiliki suatu resiko tertentu yang tidak diatur oleh suatu Undang-Undang. Penulis akan menyebutnya sebagai ‘analisis informasi sensitif’. Dalam hal ini Badan Publik dapat melakukan pemberian informasi dengan menerapkan teknik atau prosedur tertentu kepada pemohon informasi sepanjang tidak merubah status informasi yang terbuka tersebut menjadi tertutup atau dikecualikan. Alasanalasan yang menjadi dasar penggunaan teknik dan prosedur tertentu tersebut didokumentasikan dalam bentuk suatu pertimbangan secara tertulis.
Diagram-1.1 Pemenuhan Hak Untuk Tahu dan Pertimbangan Secara Tertulis
Di luar informasi terbuka yang bersifat sensitif, pertimbangan secara tertulis tidak diperlukan. Termasuk untuk informasi terbuka yang diwajibkan kepada Badan Publik untuk menyediakannya secara proaktif (diminta ataupun tidak diminta oleh Pemohon), yakni: informasi wajib diumumkan berkala, informasi wajib diumumkan serta merta dan informasi wajib tersedia setiap saat (lihat Diagram-1.1). Bagaimana memperlakukan informasi sensitif tersebut buku ini akan membahasnya tersendiri.
———-
[1] DPR RI, Komisi I. Risalah Rapat Kerja RUU KMIP. Jakarta, 26 September 2006, hal. 28-29.
[2] Lihat pernyataan Prof. Ahmad Ramli yang mewakili Pemerintah dan Anggota DPR Hajriyanto H. Thohari dalam Risalah Raker RUU KMIP, 3 Juli 2007, hal.29-30.
[3] Op. cit, hal. 30-31
[4] Ibid. hal 33
[5] Ibid, hal. 35
[6] Ibid, hal. 33
[7] Lihat pernyataan wakil Pemerintah pada risalah Rapat Panja RUU KMIP, DPR RI, Komisi I, Jakarta, 3 Juli 2007, hal 27-28.