Selama dua belas tahun pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, keberadaan Komisi Informasi yang diamanahkan membangun iklim keterbukaan belum berjalan dengan maksimal. Ketiadaan peta jalan Komisi Informasi dalam konteks arah dan kebijakan pembangunan nasional menyebabkan lembaga ini seolah jalan di tempat.
Komisi Informasi Pusat periode pertama (2009-2013) telah membangun fondasi kelembagaan untuk mendukung fungsi dasar Komisi Informasi. Harapannya, Komisi Informasi Pusat periode berikutnya 2013-2017; periode 2017-2021; periode 2022-2026 melanjutkan penguatan fondasi kelembagaan disertai dengan penguatan peran strategis lembaga pada isu-isu publik. Namun, penguatan kelembagaan yang diharapkan belum berjalan dengan baik. Salah satu yang mendasar adalah pembentukan Majelis Etik.
Komisi Informasi Pusat pada periode pertama telah membentuk Keputusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia No. 01/KEP/KIP/VIII/2009. Beleid ini kemudian diperbaiki oleh Komisi Informasi Pusat pada periode kedua (2013-2016) melalui pembentukan Peraturan Komisi Informasi No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Komisi Informasi.
Pada praktiknya, karena sifatnya ad hoc dan berdasarkan pada keputusan pleno yang sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, keberadaan majelis etik, khususnya untuk Komisi Informasi Pusat, nyaris tak terdengar pembentukannya untuk merespon laporan publik. Padahal, ada berbagai isu berkaitan dengan pelanggaran prinsip pedoman perilaku yang dilakukan oleh oknum anggota Komisi Informasi, baik di pusat maupun daerah. Antara lain:
- dugaan rangkap jabatan (KI Aceh[1], KI Pusat[2]);
- dugaan perselingkuhan;
- dugaan meninggalkan persidangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan;
- dugaan rekayasa kasus;
- dugaan pengabaian konflik kepentingan dalam persidangan (KI Jabar[3]); dan
- dugaan pengabaian tugas yang menjadi tanggung jawab divisi.
Kondisi di atas berpotensi menurunkan trust publik dan marwah lembaga. Kita juga dapat menyaksikan pendaftaran Komisi Informasi akhirnya diserbu oleh para pencari kerja yang rekam jejaknya tidak memiliki relevansi dengan isu keterbukaan. Sebagian mereka dengan mudah meninggalkan lembaga ini untuk mendaftar ke lembaga negara lain, padahal masa jabatannya belum selesai, atau bahkan baru dilantik.
Di sisi lain, Komisi Informasi mengakui bahwa pemerintah (pusat dan daerah) belum memberikan dukungan anggaran yang memadai bagi Komisi Informasi. Namun, dengan anggaran yang terbatas itu pun, Komisi Informasi terlihat tidak dapat menentukan program strategis yang dapat memicu percepatan keterbukaan. Belum tuntas dengan perbaikan desain Monev Keterbukaan Informasi Badan Publik, Komisi Informasi kembali mengembangkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP)[4]. Sayangnya, hasil dari dua instrumen ini pun belum dimanfaatkan dengan baik oleh Komisi Informasi untuk mempercepat keterbukaan informasi.
Buktinya, ketaatan Badan Publik terhadap UU KIP masih rendah. Hasil Monitoring dan Evaluasi dari Komisi Informasi Pusat RI memperlihatkan bahwa jumlah Badan Publik yang informatif masih sangat sedikit. Pada tahun 2021 lalu, hanya 24,63% Badan Publik yang informatif.
Tahun | Informatif | Menuju Informatif | Cukup Informatif | Kurang Informatif | Tidak Informatif |
2018 | 3,26% | 7,83% | 11,52% | 11,52% | 65,87% |
2019 | 9,58% | 10,70% | 14,93% | 11,55% | 53,24% |
2020 | 17,24% | 9,77% | 17,53% | 13,51% | 41,95% |
2021 | 24,63% | 18,69% | 16,02% | 10,98% | 29,67% |
Komisi Informasi abai pada peran strategis yang harusnya dapat dimainkan. Dengan fungsi dan kewenangannya, Komisi Informasi seharusnya dapat menjadi lembaga sentral yang mendorong perbaikan tata kelola data yang bersifat strategis, baik di level daerah maupun nasional, sebagai basis pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik yang bersifat umum maupun tematik (targetted). Ketiadaan visi ini menyebabkan Komisi Informasi absent pada isu-isu strategis publik yang memiliki relevansi kuat dengan tata kelola data.
Padahal, sejumlah kasus menunjukkan bahwa rusaknya tata kelola data berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan dari kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap bahwa tiga jenis bantuan sosial tidak tepat sasaran, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST), sebagaimana tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021. Hal itu membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.[5] Contoh lainnya, sekitar 300 sertifikat redistribusi tanah yang telah diterima masyarakat sekitar Jasinga dan Pamijahan, Bogor, disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Lahan tersebut merupakan bagian dari 500 bidang sertifikat redistribusi seluas 42,72 hektar yang dibagikan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu.[6]
Sebenarnya dalam RPJMN 2020-2024, telah ditetapkan 4 (empat) pengarusutamaan (mainstreaming) sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif sehingga dapat menjadi katalis pembangunan untuk menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Salah satunya adalah pengarusutamaan transformasi digital. Pengarusutamaan transformasi digital merupakan upaya untuk mengoptimalkan peranan teknologi digital dalam meningkatkan daya saing bangsa dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Strategi pengarusutamaan transformasi digital terdiri dari aspek pemantapan ekosistem (supply), pemanfaatan (demand), dan pengelolaan big data. Jika Komisi Informasi dapat membaca peluang dengan baik, maka sebenarnya inilah ruang yang seharusnya dikelola oleh lembaga ini.
Komisi Informasi Pusat periode 2022-2026 ini perlu segera membenahi warisan persoalan tersebut, baik terkait penguatan kelembagaan maupun visi ke depan. Upaya perbaikan kelembagaan Komisi Informasi ini memerlukan soliditas internal, baik antar komisioner maupun antara komisioner dan sekretariat. Faktor yang menentukan, antara lain kejelasan susunan organisasi dan tata kelola (SOTK), keberadaan majelis etik yang bersifat permanen, serta kedewasaan komisioner dalam menyelesaikan persoalan internal. Tanpa kedewasaan, majelis etik menjadi tempat saling melaporkan dengan memanfaatkan orang lain. Meskipun mekanisme ini memberikan kepastian hukum, namun berpotensi merusak relasi antaranggota, jika tidak disikapi dengan dewasa.
Model kelembagaan seperti DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) atau Dewas (Dewan Pengawas) di Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertimbangkan. Komposisinya terdiri dari unsur akademisi dan praktisi yang memiliki integritas, kapasitas, dan komitmen. Majelis etik diharapkan dapat menjaga perilaku anggota dan kinerja anggota sehingga berdampak pada terjaganya marwah lembaga.
Jakarta, 10 November 2022
Narahubung Arif Adiputro (085693720839)
Anggota FOINI
- Indonesian Parliamentary Center
- Perkumpulan Inisiatif
- KOPEL Indonesia
- YAPPIKA-ActionAid
- PATTIRO Semarang
- PUSPAHAM SULTRA
- IDFoS Indonesia
[1] https://lbhbandaaceh.org/lbh-banda-aceh-dan-mata-lapor-dugaan-pelanggaran-kode-etik-komisioner-komisi-informasi-aceh/ (diakses pada 9 Nov 2022)
[2] https://www.mediasiber.com/utama/desmen-hia-laporkan-pelanggaran-etik-ketua-ki-pusat-dorong-dibentuknya-majelis-etik (diakses pada 9 Nov 2022)
[3] https://penanews.net/pkn-mengadukan-ketua-komisi-informasi-karena-melanggar-kode-etik-anggota-komisi/ (diakses pada 9 Nov 2022)
[4] Nilai IKIP Nasional merupakan hasil analisis dari penilaian 312 Informan Ahli (IA) 34 Provinsi yang memberikan indeks 72,60 dan hasil penilaian 17 IA Nasional yang memberikan indeks 68,54, penilaian IKIP Nasional 2021 merupakan gambaran pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik selama tahun 2020 dari bulan Januari hingga Desember.
[5] Anisa Indraini, BPK Temukan Bansos Rp 69 T Salah Sasaran Orang Meninggal Masih Dapat, detik.com, diakses pada 11 Juli 2022,
[6] Yuliawati, Tumpah Tindih Aset BLBI dan Sertifikat dari Jokowi, Ini Respons BPN, katadata.id, diakses pada 12 Juli 2022,
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/62b9881ebbfa4/tumpah-tindih-aset-blbi-dan-sertifikat-dari-jokowi-ini-respons-bpn