oleh Parliamentary Center | Nov 10, 2022 | Kajian
Selama dua belas tahun pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, keberadaan Komisi Informasi yang diamanahkan membangun iklim keterbukaan belum berjalan dengan maksimal. Ketiadaan peta jalan Komisi Informasi dalam konteks arah dan kebijakan pembangunan nasional menyebabkan lembaga ini seolah jalan di tempat.
Komisi Informasi Pusat periode pertama (2009-2013) telah membangun fondasi kelembagaan untuk mendukung fungsi dasar Komisi Informasi. Harapannya, Komisi Informasi Pusat periode berikutnya 2013-2017; periode 2017-2021; periode 2022-2026 melanjutkan penguatan fondasi kelembagaan disertai dengan penguatan peran strategis lembaga pada isu-isu publik. Namun, penguatan kelembagaan yang diharapkan belum berjalan dengan baik. Salah satu yang mendasar adalah pembentukan Majelis Etik.
Komisi Informasi Pusat pada periode pertama telah membentuk Keputusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia No. 01/KEP/KIP/VIII/2009. Beleid ini kemudian diperbaiki oleh Komisi Informasi Pusat pada periode kedua (2013-2016) melalui pembentukan Peraturan Komisi Informasi No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Komisi Informasi.
Pada praktiknya, karena sifatnya ad hoc dan berdasarkan pada keputusan pleno yang sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, keberadaan majelis etik, khususnya untuk Komisi Informasi Pusat, nyaris tak terdengar pembentukannya untuk merespon laporan publik. Padahal, ada berbagai isu berkaitan dengan pelanggaran prinsip pedoman perilaku yang dilakukan oleh oknum anggota Komisi Informasi, baik di pusat maupun daerah. Antara lain:
- dugaan rangkap jabatan (KI Aceh[1], KI Pusat[2]);
- dugaan perselingkuhan;
- dugaan meninggalkan persidangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan;
- dugaan rekayasa kasus;
- dugaan pengabaian konflik kepentingan dalam persidangan (KI Jabar[3]); dan
- dugaan pengabaian tugas yang menjadi tanggung jawab divisi.
Kondisi di atas berpotensi menurunkan trust publik dan marwah lembaga. Kita juga dapat menyaksikan pendaftaran Komisi Informasi akhirnya diserbu oleh para pencari kerja yang rekam jejaknya tidak memiliki relevansi dengan isu keterbukaan. Sebagian mereka dengan mudah meninggalkan lembaga ini untuk mendaftar ke lembaga negara lain, padahal masa jabatannya belum selesai, atau bahkan baru dilantik.
Di sisi lain, Komisi Informasi mengakui bahwa pemerintah (pusat dan daerah) belum memberikan dukungan anggaran yang memadai bagi Komisi Informasi. Namun, dengan anggaran yang terbatas itu pun, Komisi Informasi terlihat tidak dapat menentukan program strategis yang dapat memicu percepatan keterbukaan. Belum tuntas dengan perbaikan desain Monev Keterbukaan Informasi Badan Publik, Komisi Informasi kembali mengembangkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP)[4]. Sayangnya, hasil dari dua instrumen ini pun belum dimanfaatkan dengan baik oleh Komisi Informasi untuk mempercepat keterbukaan informasi.
Buktinya, ketaatan Badan Publik terhadap UU KIP masih rendah. Hasil Monitoring dan Evaluasi dari Komisi Informasi Pusat RI memperlihatkan bahwa jumlah Badan Publik yang informatif masih sangat sedikit. Pada tahun 2021 lalu, hanya 24,63% Badan Publik yang informatif.
Tahun |
Informatif |
Menuju Informatif |
Cukup Informatif |
Kurang Informatif |
Tidak Informatif |
2018 |
3,26% |
7,83% |
11,52% |
11,52% |
65,87% |
2019 |
9,58% |
10,70% |
14,93% |
11,55% |
53,24% |
2020 |
17,24% |
9,77% |
17,53% |
13,51% |
41,95% |
2021 |
24,63% |
18,69% |
16,02% |
10,98% |
29,67% |
Komisi Informasi abai pada peran strategis yang harusnya dapat dimainkan. Dengan fungsi dan kewenangannya, Komisi Informasi seharusnya dapat menjadi lembaga sentral yang mendorong perbaikan tata kelola data yang bersifat strategis, baik di level daerah maupun nasional, sebagai basis pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik yang bersifat umum maupun tematik (targetted). Ketiadaan visi ini menyebabkan Komisi Informasi absent pada isu-isu strategis publik yang memiliki relevansi kuat dengan tata kelola data.
Padahal, sejumlah kasus menunjukkan bahwa rusaknya tata kelola data berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan dari kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap bahwa tiga jenis bantuan sosial tidak tepat sasaran, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST), sebagaimana tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021. Hal itu membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.[5] Contoh lainnya, sekitar 300 sertifikat redistribusi tanah yang telah diterima masyarakat sekitar Jasinga dan Pamijahan, Bogor, disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Lahan tersebut merupakan bagian dari 500 bidang sertifikat redistribusi seluas 42,72 hektar yang dibagikan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu.[6]
Sebenarnya dalam RPJMN 2020-2024, telah ditetapkan 4 (empat) pengarusutamaan (mainstreaming) sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif sehingga dapat menjadi katalis pembangunan untuk menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Salah satunya adalah pengarusutamaan transformasi digital. Pengarusutamaan transformasi digital merupakan upaya untuk mengoptimalkan peranan teknologi digital dalam meningkatkan daya saing bangsa dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Strategi pengarusutamaan transformasi digital terdiri dari aspek pemantapan ekosistem (supply), pemanfaatan (demand), dan pengelolaan big data. Jika Komisi Informasi dapat membaca peluang dengan baik, maka sebenarnya inilah ruang yang seharusnya dikelola oleh lembaga ini.
Komisi Informasi Pusat periode 2022-2026 ini perlu segera membenahi warisan persoalan tersebut, baik terkait penguatan kelembagaan maupun visi ke depan. Upaya perbaikan kelembagaan Komisi Informasi ini memerlukan soliditas internal, baik antar komisioner maupun antara komisioner dan sekretariat. Faktor yang menentukan, antara lain kejelasan susunan organisasi dan tata kelola (SOTK), keberadaan majelis etik yang bersifat permanen, serta kedewasaan komisioner dalam menyelesaikan persoalan internal. Tanpa kedewasaan, majelis etik menjadi tempat saling melaporkan dengan memanfaatkan orang lain. Meskipun mekanisme ini memberikan kepastian hukum, namun berpotensi merusak relasi antaranggota, jika tidak disikapi dengan dewasa.
Model kelembagaan seperti DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) atau Dewas (Dewan Pengawas) di Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertimbangkan. Komposisinya terdiri dari unsur akademisi dan praktisi yang memiliki integritas, kapasitas, dan komitmen. Majelis etik diharapkan dapat menjaga perilaku anggota dan kinerja anggota sehingga berdampak pada terjaganya marwah lembaga.
Jakarta, 10 November 2022
Narahubung Arif Adiputro (085693720839)
Anggota FOINI
- Indonesian Parliamentary Center
- Perkumpulan Inisiatif
- KOPEL Indonesia
- YAPPIKA-ActionAid
- PATTIRO Semarang
- PUSPAHAM SULTRA
- IDFoS Indonesia
[1] https://lbhbandaaceh.org/lbh-banda-aceh-dan-mata-lapor-dugaan-pelanggaran-kode-etik-komisioner-komisi-informasi-aceh/ (diakses pada 9 Nov 2022)
[2] https://www.mediasiber.com/utama/desmen-hia-laporkan-pelanggaran-etik-ketua-ki-pusat-dorong-dibentuknya-majelis-etik (diakses pada 9 Nov 2022)
[3] https://penanews.net/pkn-mengadukan-ketua-komisi-informasi-karena-melanggar-kode-etik-anggota-komisi/ (diakses pada 9 Nov 2022)
[4] Nilai IKIP Nasional merupakan hasil analisis dari penilaian 312 Informan Ahli (IA) 34 Provinsi yang memberikan indeks 72,60 dan hasil penilaian 17 IA Nasional yang memberikan indeks 68,54, penilaian IKIP Nasional 2021 merupakan gambaran pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik selama tahun 2020 dari bulan Januari hingga Desember.
[5] Anisa Indraini, BPK Temukan Bansos Rp 69 T Salah Sasaran Orang Meninggal Masih Dapat, detik.com, diakses pada 11 Juli 2022,
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6093106/bpk-temukan-bansos-rp-69-t-salah-sasaran-orang-meninggal-masih-dapat.
[6] Yuliawati, Tumpah Tindih Aset BLBI dan Sertifikat dari Jokowi, Ini Respons BPN, katadata.id, diakses pada 12 Juli 2022,
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/62b9881ebbfa4/tumpah-tindih-aset-blbi-dan-sertifikat-dari-jokowi-ini-respons-bpn
oleh Parliamentary Center | Sep 1, 2022 | Opini
Ahmad Alamsyah Saragih
Secara teknis, informasi biasanya dibedakan dengan data. Data adalah fakta mentah yang belum memberikan pengetahuan. Dalam Webster New World Dictionary, data didefinisikan sebagai: ‘things known or assumed’. Terjemahan langsung dari kalimat tersebut adalah sesuatu yang diketahui atau dianggap.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia data diartikan sebagai: ‘keterangan atau bahan nyata yg dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan)’. Menurut O’Brien (2005), data merupakan: ‘fakta atau obsevasi mentah, yang biasanya menyangkut fenomena fisik atau transaksi bisnis. Lebih rinci, data adalah ukuran objektif dari atribut (karakteristik) dan entitas (seperti manusia, tempat, barang dan kejadian)’.[1]
Adapun informasi adalah data yang diolah sehingga memiliki makna atau memberikan pengetahuan. Informasi juga dinyatakan sebagai data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu guna menghasilkan sebuah keputusan (Anton M. Moeliono, 1990).[2] Gordon B. Davis (1991), menyatakan bahwa informasi adalah: ‘data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang’. [3]
Pemaknaan informasi tidak berhenti sebatas di dunia akdemik, tapi juga telah masuk ke wilayah regulasi yang bersifat mengikat di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mendefinisikan informasi sebagai berikut: ‘keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.’[4]
Pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik didefinisikan sebagai berikut: ‘satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya’.[5] Pada kedua definisi di atas, baik UU KIP maupun UU ITE, terdapat suatu kesamaan bahwa informasi adalah sesuatu yang memiliki kandungan makna.
Dalam perkembangan terakhir, dengan pemberlakuan UU KIP, UU ITE, UU Kearsipan, dan UU Intelijen Negara, wacana di seputar informasi telah masuk ke ruang-ruang pengaturan yang tidak jarang mengundang kontroversi. Bagian ini bermaksud untuk menelusuri lingkup dan batasan informasi publik berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Evolusi Perspektif Hak Atas Informasi
Sebagai hak asasi, hak atas informasi masuk dalam kovenan internasional yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing negara pihak, sebagaimana tertulis pada Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1946 dan telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948:
Article 19:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.
Jelas terlihat bahwa hak untuk mencari dan mendapatkan informasi merupakan bagian yang termasuk dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Maka tidak heran jika pada era awal wacana hak atas informasi sangat beririsan dengan profesi jurnalis. Dari sisi profesi, jurnalis memang merupakan pihak yang berkepentingan langsung terhadap akses informasi.
Dalam berbagai literatur, Swedia telah dinyatakan sebagai negara pertama yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi yang dipelopori oleh Anders Chydenius (1776). Meskipun secara substantif Undang-Undang ini lebih bertitik berat pada kebebasan pers.[6]
Seiring dengan perkembangan global berbagai negara pihak mulai meratifikasi kovenan tersebut sesuai dinamika internal masing-masing. Ada yang menggunakan terminologi Kebebasan Informasi atau yang dikenal dengan Freedom Of Information (FOI), antara lain Inggris dan Amerika. Beberapa negara lain menggunakan Right to Information (RTI), antara lain India dan Nicaragua. Belanda, Kanada dan Jepang menggunakan terminologi Acces to Information (ATI).
Pengaturan tersebut secara umum ditujukan untuk menjamin hak memperoleh informasi yang dikuasai oleh otoritas publik. Kebanyakan negara tersebut juga telah mengatur perlindungan atas informasi pribadi yang merupakan bagian dari privacy. Termasuk di dalamnya perlindungan atas data pribadi.
Perlindungan dimaksudkan untuk menjaga privacy yang juga dinilai sebagai hak dasar seseorang dari intervensi negatif oleh negara dan pasar. Kanada bahkan sering mempublikasikan Undang-Undang mereka dengan menyebut Freedom Of Information Act and Protection of Privacy Act, untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan memperoleh informasi dan perlindungan terhadap privacy.
Dalam kehidupan bernegara, informasi telah dinyatakan sebagai hak-hak dasar yang akan menentukan kualitas demokrasi di satu sisi dan kualitas kehidupan warga negara di sisi lain. Sedemikian pentingnya informasi dalam demokrasi hingga ada yang menyatakan bahwa informasi adalah oksigen demokrasi (Andrew Puddephatt, 1999).[7]
Jaminan akses terhadap informasi juga telah menjadi faktor fundamental tidak hanya sekedar karena ia merupakan jaminan untuk hak mengungkapkan pendapat dan berekspresi semata. Akses terhadap informasi, khusunya informasi-informasi yang berada dalam penguasaan otoritas publik, telah dilihat sebagai faktor penting dalam pemenuhan hak-hak sipil maupun hak-hak politik warga negara. Terutama untuk wilayah pengambilan keputusan dan penyelenggaraan urusan publik.
Di India, Bangladesh, Meksiko, Afrika Selatan dan beberapa negara lainnya jaminan akses terhadap informasi ini telah mempermudah penerapan suatu skema akuntabiltas yang dikenal dengan social audit pada sektor publik. Berbagai studi dan publikasi telah memuat pemanfaatan Undang-Undang Kebebasan Informasi dalam mendorong akuntabilitas sosial. [8] Dalam isu lingkungan, akses terhadap informasi masuk dalam ‘27 principle of the Rio Declaration’ pada tahun 1992, [9] yang kemudian dikenal dengan tiga akses: akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi, dan akses terhadap keadilan.
Perjalanan tidak hanya berhenti sampai pada kesadaran bahwa jaminan hak atas informasi telah menjadi prasyarat yang menentukan kualitas demokrasi dan penyelenggaraan urusan publik. Perkembangan teknologi telah menyebabkan informasi dirasakan sebagai kebutuhan dasar yang sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan. Informasi sebagai kebutuhan semakin hari menjadi semakin vital.
Di Indonesia, informasi akhirnya dinilai sebagai kebutuhan pokok. Konsideran menimbang huruf a, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah memuat ini:
Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional;
Dalam wacana ekonomi, informasi semakin mempertegas sosoknya sebagai barang. Sebagaimana lazimnya suatu barang, sebagian informasi mulai dikategorikan sebagai barang ekonomis, dan sebagian lain mulai dikategorikan sebagai barang publik. Pada tiga dekade terakhir abad dua puluh, status sebagian informasi sebagai barang publik telah mewarnai litertur akademik.
Sebagian masih berhati-hati dan menyebutnya sebagai quasi public goods (Hirshliefer, 1971).[10] Beberapa yang lain akhirnya secara tegas telah menyatakannya bahwa sebagian informasi adalah barang publik, terutama informasi terkait dengan pelayanan dasar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti informasi tentang SARS, Flu Burung, dsb. (Getzen, 1997).[11]
Ilmu ekonomi menggunakan terminologi barang publik sebagai lawan dari barang ekonomis. Barang publik ditandai dengan ketiadaan aspek kelangkaan, seperti udara, air, dsb. Adapun barang ekonomis ditandai dengan sifat kelangkaan akan sumber daya (the scarcity of resource). Di antara keduanya adalah barang semi publik atau dikenal dengan istilah quasi public goods, air bersih dari PDAM misalnya. Dalam beberapa kasus, barang semi publik telah menjadi barang ekonomis, antara lain karena kebijakan privatisasi.
Transformasi dari kaca mata ekonomi ke wilayah hukum memiliki implikasi yang relatif berbeda—meskipun bukan berarti tak ada keterkaitan yang erat—dalam cara melihat status informasi. Dalam wilayah hukum, publik akan memiliki kontradiksi yang dikenal dengan istilah privat. Hukum berfokus pada pengaturan terkait kepemilikan beserta implikasi terhadap hak dan kewajiban atas subjek terkait. Demikian juga jika suatu informasi dibedakan menjadi informasi publik dan informasi privat.
Secara sederhana, dalam rezim demokratis makna publik ditandai dengan status kepemilikan yang bersifat kolektif (bersama), dimana pengadaan dan pengelolaannya dikuasakan kepada negara. Adapun makna privat ditandai dengan suatu kepemilikan yang bersifat pribadi. Dalam kenyataan, pengaturan di masing-masing wilayah tersebut telah melahirkan lingkup pengaturan yang juga berbeda meskipun satu sama lain tidaklah mutually exclusive.
Pelarangan dalam wilayah publik bertujuan untuk melindungi kepentingan bersama yang dikenal dengan kepentingan umum, sedangkan pelarangan dalam wilayah privat dimaksudkan untuk melindungi hak-hak pribadi (privacy). Meski demikian, tidak mudah untuk mengidentifikasi secara jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan umum (kepentingan publik), mengingat belum ada definisi baku yang disepakati hingga saat ini (ICO, 2005).[12]
Kembali ke informasi, tidak semua pengadaan atau produksi informasi publik menggunakan material (antara lain data) yang murni bersifat publik. Suatu keputusan publik atau suatu penyelenggaraan urusan pubik sering kali harus dilakukan dengan mengolah terlebh dahulu data dan informasi yang bersifat privat. Dengan demikian pelarangan dalam wilayah pengelolaan informasi publik bertujuan untuk memenuhi kewajiban negara dalam dua hal berikut:
- mencegah pengungkapan atau pemanfaatan data maupun informasi yang akan merugikan kepentingan pribadi atau menciderai hak-hak pribadi (privacy) yang dilindungi oleh Undang-Undang;
- mencegah pengungkapan atau pemanfaatan data maupun informasi yang akan merugikan kepentingan bersama atau menciderai hak-hak kolektif warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Bagaimanapun, wacana akademik tentang informasi sebagai barang publik kini telah masuk ke wilayah hukum yang memiliki implikasi mengikat. Sebagian negara menggunakan terminologi Informasi Publik untuk Undang-Undang yang mengatur hak atas informasi, antara lain: Bulgaria, Equador, Meksiko, dan Peru. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menggunakan terminologi Informasi Publik, antara lain Texas dan Maryland. Sebagai satu contoh pada Texas Public Information Act, informasi publik didefinisikan sebagai:[13]
Public Information means information that is collected, assembled, or maintained under a law or ordinance or in connection with the transaction of official business:
(1) by a governmental body; or
(2) for a governmental body and the governmental body owns the information or has a right of access to it
Dalam administrasi pelayanan, sumber formil sebagian besar informasi ada pada dokumendokumen publik. Berdasarkan kenyataan ini, beberapa negara dengan sadar memilih untuk memfokuskan jaminan akses publik terhadap informasi yang bersumber pada dokumen-dokumen publik tersebut.
Untuk memperjelas hal ini, dalam regulasi mereka memasukkan terminologi public record sebagai sumber informasi. Bersamaan dengan perkembangan teknologi informasi, public record memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar dokumen-dokumen tertulis konvensional. Hungaria mendefinisikan public record sebagai berikut:[14]
Public record: irrespective of the time of origin and the place of custody, any document which belongs or belonged to the current records of an agency fulfilling public duties.
Indonesia akhirnya memilih terminologi ‘Informasi Publik’ dalam pengaturan hak atas informasi melalui UU Keterbukaan Informasi Publik. Pada akhirnya pilihan ini akan menentukan lingkup dan struktur pengaturan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Pada ketentuan umum, UU KIP mengatur definisi Informasi Publik sebagai berikut:
Pasal 1 angka 2
Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik
Perdebatan pertama: Kebebasan atau Hak Warga Negara?
UU KIP semula merupakan usulan masyarakat sipil melalui skema inisiatif DPR dengan judul ‘Kebebasan Memperoleh Informasi Publik’ (KMIP). Dalam pembahasan RUU ini, Pemerintah mengusulkan Judul Rancangan Undang-Undang yang berbeda, yakni: ‘Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Informasi’.
Argumen Pemerintah adalah untuk menyesuaikan dengan ketentuan pada UUD 1945 pasal 28F yang menggunakan terminologi hak. Lihat pernyataan DR Sofyan A. Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu) selaku wakil Pemerintah pada Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR:[15]
‘… Usul ini didasarkan kepada ingin menyesuaikan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28F yaitu di sana disebut: setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi dan seterusnya. Oleh sebab itu, Pemerintah mengusulkan supaya judulnya kita sesuaikan dengan ‘hak warga negara’ untuk memperoleh ‘informasi’… kalau ‘informasi publik’, ini nanti kita cukup lebih sempit dibanding memperoleh informasi yang dijamin oleh konstitusi. Kemudian juga dengan pengalaman di negara lain kita melihat namanama (undang-undang, pen.) yang mereka gunakan juga tidak membatasi kepada informasi pubiik saja…’
Tidak sepenuhnya alasan mengusulkan judul yang berbeda adalah untuk menyesuaikan terhadap Konstitusi. Terminologi tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan pembatasan lingkup yang lebih sempit dibandingkan konstitusi. Penggunaan terminologi ‘Hak’ tapi dengan menambahkan ‘Warga Negara’ sebagai subjek tentunya akan mengeliminir prinsip universal dari pasal 28F UUD 1945 yang menggunakan terminologi subjek berbeda: ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi…’.
Terminologi setiap ‘orang’ di UUD 1945 digunakan untuk menjaga prinsip universal dari Hak Asasi Manusia. Hal ini berimplikasi kepada luasnya subjek yang berhak mengakses informasi, termasuk warga negara asing di dalamnya. Untuk maksud membatasi subjek ini Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah) menyampaikan pendapatnya:[16]
… Undang-Undang KMIP ini pada prinsipnya ada keinginan agar yang memperoleh informasi itu hanya warga Negara Indonesia dan ini berkembang terus dalam pembahasan kita, dan saya kira juga usulan-usulan dari beberapa fraksi… dari studi banding di Tokyo itu, mereka memang memberikan warga Negara asing untuk mengakses informasi yang ada di Jepang, tapi dengan syarat, informasi itu diberikan dalam huruf kanji. Saya kira Jepang bukan satu-satunya yang bisa kita jadikan referensi.
Dalam pembahasan terjadi perbedaan pandangan di antara anggota DPR yang hadir. Sebagian fraksi setuju dengan usul Pemerintah, sementara sebagian yang lain tetap menginginkan Judul RUU seperti semula. Yusron Ihza Mahendra (Fraksi-BPD[17]), yang juga menyetujui usulan Pemerintah, mencoba memperkuat usulan Pemerintah dengan pandangan subjektifnya terhadap kondisi sosiologis paska reformasi.[18]
Fraksi PKB (Effendi Choiri dan A. S Hikam) menyatakan terminologi ‘hak warga negara’ dikhawatirkan justru akan mempersempit wilayah pengaturan. RUU KMIP bermaksud juga untuk mengatur hak dan kewajiban Badan Publik, bukan semata-mata hak warga negara. Beberapa fraksi yang lain juga masih belum bisa menerima usulan Pemerintah tersebut dengan berbagai alasan. Akhirnya Rapat Kerja yang dipinpim oleh Theo L. Sambuaga ini memutuskan untuk membawa pembahasan mengenai hal tersebut ke Panja.
Dalam Rapat Panja yang dipimpin oleh Tosari Wijaya, pembahasan mengenai judul Rancangan Undang-Undang ini memakan waktu cukup panjang, kurang lebih 12 jam. Kesepakatan awalnya berhasil dibangun untuk tetap menggunakan terminlogi ‘Informasi Publik’ pada judul, bukan ‘informasi’. Tetapi kesepakatan tidak terjadi dalam memilih frasa mana yang akan digunakan, apakah: ‘Hak Warga Negara’ sebagaimana diusulkan Pemerintah, atau ‘Kebebasan Memperoleh’ sesuai rancangan inisiatif DPR.
Titik temu tentang hal ini mulai terbangun setelah skors pertama. Akhirnya rapat menghasilkan kesepakatan awal untuk merubah judul menjadi hanya ‘RUU tentang Informasi Publik’. Namun anggota DPR umumnya merasa bahwa judul tersebut masih belum mencerminkan jiwa dari isi Rancangan Undang-Undang tersebut. Semula ada usulan anggota DPR untuk menambahkan kata ‘akses’ pada judul. Akan tetapi usul ini dipertimbangkan ulang karena menurut Pemerintah ‘informasi publik’ itu telah termasuk akses di dalamnya. Makna publik berarti adalah dapat diakses oleh masyarakat luas, oleh karenanya tidak perlu ditambahkan kata akses pada judul Undang-undang.[19]
Menjelang sidang diskors untuk memberikan kesempatan diskusi informal bagi para peserta rapat, Jeffrey Johannes Massie (F-PDS), melontarkan bahwa semangat yang ingin dibangun dalam isi RUU ini adalah merubah suatu kebiasaan yang semula tertutup menjadi terbuka. Berikut adalah pernyataan Jeffrey Johannes Massie:[20]
… sebuah Undang-Undang harus memiliki nature ataupun karakteristik yang spesifik, yang jelas, yang clear, yang distinguished… Menurut saya saatnyalah sekarang pada saat pembahasan RUU ini… dijadikan suatu terobosan bahwa kita ingin menunjukan kepada publik ada satu sikap progresif dari legisltif maupun eksekutif. Untuk menunjukkan, kepada paling tidak bangsa ini, bahwa telah terjadi semacam perubahan attitude atas ‘tertutup’nya informasi yang selama ini dikekang menjadi ‘keterbukaan’ yang tentu masih dibatasi oleh beberapa aturan, bukan keterbukaan yang bablas.
Setelah skors dicabut, rapat Panja RUU KMIP dengan cepat berhasil menyepakati untuk memasukkan kata ‘keterbukaan’ pada judul baru Rancangan Undang-Undang. Judul ‘Kebebasan Memperoleh Informasi Publik’ (KMIP) akhirnya dirubah menjadi ‘Keterbukaan Informasi Publik’ (KIP). Pemerintah juga bisa menerima perubahan ini.
Perdebatan kedua: ‘Informasi’ yang dikecualikan atau ‘Informasi Publik’ yang dikecualikan?
Perdebatan yang panjang dan berulang dalam pembahasan rancangan Undang-undang lagi-lagi terjadi untuk masalah judul. Kali ini mengenai judul Bab yang mengatur tentang pengecualian. Perdebatan ini disebabkan karena perbedaan perspektif dalam menentukan parameter Informasi Publik.
Perbedaan mulai terjadi ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang pada 11 Juli 2007 memasuki Bab pengecualian informasi. Pemerintah mengusulkan judul Bab ‘Informasi Publik Yang Dikeculaikan’, sementara rancangan inisiatif DPR memberi judul hanya ‘Informasi Yang Dikecualikan’. Perdebatan berlangsung cukup konstruktif, Pemerintahpun berpikir ulang:
Bachrum F. Siregar, SE (F-PBR): ‘… saya belum tentu setuju Pak.… Menurut saya, semua yang sudah dinyatakan sebagai ‘informasi publik’ dia harus terbuka, kalau belum terbuka dia belum menjadi informasi publik, mengapa ini kita kecualikan lagi.’ (hal: 20).
Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah): ‘Ini rupanya clear sekali, karena kalau ada ‘publik’ mustinya sudah terbuka, tidak boleh dikecualikan. Jadi prinsipnya supaya konsisten dengan tadi pemikiran Bapak saya kira kami tidak keberatan untuk menghilangkan kata ‘publik’ untuk judul bab ini saja, tetapi yang Iain-lain kan kita selalu bicara tentang hak informasi publik.’ (hal:20)
Sebagian Anggota DPR yang hadir pada rapat cenderung menggunakan perspektif penguasaan informasi oleh Badan Publik sebagai parameter utama Informasi Publik. Mereka berpendapat bahwa: informasi apapun sifatnya, ketika berada di Badan Publik adalah Informasi Publik. Walaupun informasi tersebut menyangkut privacy.[21] Sementara sebagian anggota yang lain cenderung menggunakan perspektif sifat atau karakteristik informasi sebagai parameter utama. Mereka berpendapat bahwa suatu informasi yang bersifat privat, meskipun ada di Badan Publik, bukanlah informasi Publik.[22]
Alasan Pemerintah mengusulkan rumusan ‘Informasi Publik Yang Dikecualikan’ pada Bab yang mengatur tentang pengecualian informasi adalah untuk menjaga konsistensi dengan judul RUU yang menggunakan terminologi Informasi Publik. Dalam pembahasan Pemerintah menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak menolak jika untuk Bab yang mengatur pengecualian hanya digunakan terminologi ‘informasi yang dikecualikan’. Hal ini karena informasi yang dikecualikan tidak hanya informasi publik, tapi ada juga informasi yang bukan informasi publik. [23]
Beberapa anggota memilih untuk menggunakan rumusan ‘informasi yang dikecualikan’ (tanpa kata publik), antara lain dari fraksi PDS. [24] Satu anggota dari Fraksi PKS memilih ‘Informasi Publik Yang Dikecualikan’.[25] Salah satu anggota dari Fraksi PKB[26] mempertanyakan soal konsistensi judul bab dengan pasal-pasal di bawahnya.
Pembahasan cukup panjang dan berulang. Pada akhirnya semua fraksi dan Pemerintah menyetujui judul Bab ini menjadi ‘Informasi Yang Dikecualikan’. Akan tetapi untuk bagian pengecualian yang terkait dengan hak-hak pribadi tetap menggunakan rumusan ‘Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan dapat…’. Pilihan ini menunjukkan bahwa RUU ini lebih berfokus pada pencegahan atas konsekuensi negatif yang timbul akibat pemberian informasi yang dikuasai oleh Badan Publik, bukan informasi itu sendiri.
Meskipun menyetujui untuk perubahan judul tersebut, masih tersisa kegamangan dari pihak Pemerintah terkait batasan Informasi Publik:
Prof. Ahmad Ramli (Wakil Pemerintah): … dari pembahasan ini kami hanya punya satu kekhawatiran bahwa ketika menyusun itu kita tidak bisa memberikan struktur yang jelas kapan kita mengatakan itu (informasi, pen.) publik dan hanya informasi. … misalnya informasi mengenai kesehatan seorang pejabat publik. Kalau seandainya kemudian diekspos di masyarakat karena memang dia mengikuti peraturan perundangundangan… bukan karena dia sudah menjadi publik sebelumnya tanpa dia mengikuti proses itu… jadi kami berfikir barang kali memang kita harus membedakan betul kapan ini dikatakan sebagai informasi publik (dan, pen.) sebagai informasi saja.’ (hal: 30-31)
Adalah perspektif mendasar yang menjadi pangkal persoalan. Secara teoritis diferensiasi antara Informasi Publik dan Privat bersandar pada ‘sifat atau karakteristik’ dan ‘kepemilikan’ (bukan penguasaan) sebagai parameter utama, sementara rancangan norma yang dirumuskan juga memasukkan ‘penguasaan’ informasi oleh Badan Publik sebagai sebagai parameter alternatif, bukan kumulatif, selain parameter sifat atau karakteristik informasi.
Batasan Informasi Publik dalam UU KIP
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pasal 1 angka 2 UU KIP, menyatakan bahwa Informasi Publik adalah ‘informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik’. Sebelum lebih jauh, definisi ini perlu dicermati secara tajam karena mengandung beberapa beberapa batasan yang tidak terlalu jelas. Jika kombinasi frasa dipecah menjadi dua kriteria maka informasi publik berdasarkan UU KIP menyangkut batasan sebagai berikut:
Kriteria pertama:
yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik, yang berkaitan dengan:
- Penyelenggara ‘Negara’ dan/atau ‘Badan Publik lainnya’ yang sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
- Penyelenggaraan ‘Negara’ dan/atau ‘Badan Publik lainnya’ yang sesuai dengan Undang-Undang ini
, serta:
Kriteria kedua:
informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Pada kriteria pertama, frasa ‘dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima’ adalah untuk memenuhi syarat penguasaan oleh Badan Publik (locus). Frasa berkaitan dengan ‘Penyelenggara dan/ atau Penyelenggaraan’ adalah parameter penajam (focus) yang menyangkut subjek dan fungsi di Badan Publik. Frasa ‘sesuai dengan Undang-Undang ini’, adalah parameter syarat situasi (context), yang mensyaratkan tafsir terikat pada ketentuan lainnya secara sistematik.
Kriteria kedua menggunakan sifat atau karakteristik informasi, yakni yang berkaitan dengan ‘kepentingan publik’ sebagai parameter penajam (focus). Dengan kriteria ini, secara gramatikal pengertian Informasi Publik menjadi meluas melampaui kriteria penguasaan oleh Badan Publik. Jika tidak berada di bawah peguasaan Badan Publik, Informasi ini masuk dalam jenis informasi sebagaimana yang diatur di Pasal 6 ayat (3) huruf e UU KIP, yakni ‘Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan’.
Sebagai ilustrasi, kendati belum ada kesepakatan baku tentang batasan kepentingan publik, dapat digunakan contoh sederhana untuk menjelaskan. Bayangkan suatu perusahaan farmasi swasta sedang melakukan penelitian di suatu area. Dalam kunjungan ke lokasi tim mereka menemukan bahwa di lokasi tersebut sedang terjadi serangan epidemi. Setelah hasil sampel dikirim ke laboratorium, ternyata wabah tersebut adalah flu burung.
Secara substantif, sesungguhnya informasi tentang epidemi tersebut adalah Informasi Publik, karena informasi tersebut adalah informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Meskipun perusahaan swasta tesebut sebagai pihak yang pertama menemukannya bukanlah Badan Publik sebagaimana didefinisikan dan terkena kewajiban sesuai UU KIP. Di sini penguasaan tidak bisa membatalkan sifat terbuka dari informasi tersebut.
Kriteria pertama memang relatif mudah untuk diukur atau diidentifikasi, namun kriteria ini beresiko mereduksi pertimbangan substansial dalam menentukan apakah suatu informasi adalah Informasi Publik. Kriteria kedua lebih memberi ruang yang luas karena berbasis pada sifat atau substansi, namun tidak terlalu mudah untuk diukur atau diidentifikasi.
Berdasarkan dua kriteria di atas, apakah ada informasi yang masuk dalam kriteria pertama tapi tidak termasuk sebagai kriteria kedua? Jika informasi yang masuk pada kriteria pertama adalah Informasi Publik, tentunya tidak mungkin ada Informasi Publik yang tidak terkait dengan kepentingan publik. Jika dipaksakan akan terjadi karancuan berfikir atau kekeliruan dalam silogisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
- Informasi di Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini adalah Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, meskipun informasi tesebut mengandung substansi yang bersifat privat.
- Pengecualian berdasarkan UU KIP bertujuan untuk melindungi kepentingan yang dilindungi oleh Undang-Undang atau menghindari konsekuensi bahaya sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang tersebut, baik yang membahayakan negara maupun yang membahayakan privacy, sebagai akibat dari pengungkapan atau pemberian suatu informasi.
Secara teoritis tidak semua informasi yang terkait dengan Penyelenggara atau Penyelenggaraan Badan Publik murni merupakan Informasi Publik. Untuk menyelenggarakan urusan-urusan mereka, tidak jarang Badan Publik harus mengolah baik data maupun informasi privat atau informasi yang bukan publik. Berdasarkan definisi yang dianut, UU KIP telah menyebabkan informasi yang secara teoritik bersifat privat tetap dinyatakan sebagai Informasi Publik sepanjang ia dikuasai (dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima) oleh Badan Publik.
Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur perlidungan terhadap privacy, maupun perlindungan terhadap data pribadi. Pada akhirnya pengecualian informasi dalam UU KIP dikaitkan dengan konsekuensi yang ditimbulkan apabila Informasi Publik diungkap. Informasi ini dikecualikan jika berkonsekuensi antara lain mengungkap privacy (baik hak-hak pribadi maupun kerahasiaan untuk daya saing bisnis) dan membahayakan negara, sebagaimana diatur pada pada Pasal 6 ayat (3) UndangUndang ini. Namun penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang pengecualian informasi karena akan dibahas pada bagian tersendiri.
——————–
[1] O’Brien, James and Marakas, George. Management Information Systems. New York, McGraw-Hill Book, 2005, p. 38.
[2] Moeliono, Anton M. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hal. 331.
[3] Davis, Gordon B. and Olson, Margrethe H. Management Information Systems. New York, McGraw-Hill Book, 1991, p. 28
[4] Lihat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), pasal 1 angka 1.
[5] Lihat Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 1 angka 1.
[6] Lihat The World’s First Freedom of Information Act, Anders Chydenius’ Legacy Today. Anders Chydenius Foundation’s Publications 2, 2006.
[7] Puddephatt, Andrew. International Guidelines Series Article 19. The Public’s Right to Know: Principles on Freedom of Information Legislation states. London, Article 19, 1999. Pada bagian pengantar Puddephatt menyatakan: ‘Information is the oxygen of democracy. If people do not know what is happening in their society, if the actions of those who rule them are hidden, then they cannot take a meaningful part in the affairs of that society. But information is not just a necessity for people it is an essential part of good government. Bad government needs secrecy to survive. It allows inefficiency, wastefulness and corruption to thrive’.
[8] Lihat Alaka, Dena Ringold, at all. Assessing the Use of Social Accountability Approaches in the Human Development Sectors. Washington, The World Bank, 2012.
[9] Principle 10. Public participation: ‘Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.’
[10] Hirshleifer, Jack. The Private and Social Value of Information and the Reward of Inventive Activity. American Economic Review v. 61, no. 4. September 1971, pp. 561-574
[11] Getzen, T,E. Health Economics: Fundamentals and Flow of Funds. John Wiley and Sons, Inc. New York. 1997.
[12] ICO, A Short Guide to the FOIA and Other New Access Rights, The Campaign for Freedom of Information. UK. 2005.
[13] Texas, Public Information Act. Government Code, Chapter 552.
[14] Act LXVI of 1995 on Public Records, Public Archives, and the Protection of Private Archives. Hungaria.
[15] Risalah Rapat Kerja RUU KMIP Komisi I DPR, 15 Mei 2006; hal:5-6
[16] ibid.
[17] Fraksi ini merupakan gabungan partai Bulan Bintang, PDK, PNI Marhaenis, Partai Persatuan Demokrasi Indonesia dan Partai Pelopor.
[18] Lihat pernyataan DR. Yusron Ihza, LLM (F-BPD) pada Risalah Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR, 15 Mei 2006; hal:10: ‘Saya mewakili pandangan Fraksi kami, jadi kami berpendapat bahwa kata hak warga negara untuk memperoleh informasi itu merupakan pilihan yang lebih tepat. Apa dasar argumentasinya? Bahwa terutama sekali melihat iklim yang terjadi pada bangsa kita, terutama sejak reformasi, bahwa orang menuntut hak-hak terus tetapi kita lihat bahwa kita sudah kebablasan. Bahwa kalau kita menggunakan kata kebebasan itu pada akhirnya seolah-olah masyarakat menganggap apapun bebas di negeri ini dan itu akan semakin memperparah situasi. Tadi kalau dalam pandangan Pak Effendy Choirie mengatakan dipersempit kalau menggunakan ‘hak’ dibanding ‘kebebasan’, itu memang demikian. Tetapi untuk kali ini kita sedikit berbeda pandangan Pak Effendy Choirie, tetapi sah-sah saja. Saya berpendapat ini perlu dipersempit sedikit agar tidak terlalu melebar dengan menggunakan kebebasan. Terima kasih’.
[19] lihat pernyataan Prof. Ahmad Ramli (wakil Pemerintah): ‘… informasi publik itu sudah meng-cover keseluruhan. Kami berpendirian bahwa judul inilah sepertinya paling tepat…’ (hal: 58); Risalah Rapat Kerja RUU KMIP di Komisi I DPR, 15 Mei 2006.
[20] ibid.
[21] Abdillah Toha, SE (F-PAN) :‘… dari ketentuan umum itu disebutkan informasi publik itu adalah bla bla bla bla… termasuk informasi pribadi. Itu ketentuan umum ada, jadi ketika dia masuk ke badan publik itu dia menjadi masuk definisi ketentuan umum, Informasi Publik, walaupun nanti dikecualikan.’ (hal: 30); ‘lya, saya lebih condong itu, dipakai istilah informasi, karena itu semua informasi yang ada di badan publik, termasuk informasi pribadi yang ada di badan publik, itu informasi publik.’ (hal: 30).
[22] Drs. Dedi Djamaluddin Malik, Msi (F-PAN): ‘… di DIM 137 ada ‘informasi yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pibadi, dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang’, kemudian ada ‘riwayat, kondisi, dan perawatan kesehatan fisik/psikis seseorang’ misalnya, apa ini masuk juga publik?’ (hal: 23); ‘… kita perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu… Kalau soal informasi militer segala macam itukan publik, sudah clear, lain-lain clear. Proses penyelidikan, data intelijen, itukan publik. Tapi yang menyangkut kondisi keuangan, aset, riwayat dan kondisi perawatan, ini personal semua. Jadi apakah layak tadi disebut ‘publik’ di dalam judul ini atau tadi tidak. Atau kita persepsikan dua hal yang tadi, seakan-akan private ini sebetulnya itu semua dalam kerangka kepentingan publik’ (hal:24-25); DR. Andreas H. Pareira (F-PDIP): ‘… kalau di sosiologi itu kata Weber ‘Setiap tindakan yang dibuat oleh manusia ke manusia yang lain itu namanya interaksi, dan itu pasti tidak termasuk di dalam wilayah individu lagi tapi sudah masuk dalam wilayah sosial’. Kalau kata Pak Dedi yang ahli komunikasi ‘setiap hal yang disampaikan ke orang lain itu bukan privacy lagi, dia sudah masuk pada wilayah publik’. Apa yang Pak Dedi katakan atau Pak Jeffrey katakan… ke X misalnya, itu bukan wilayah privacy Pak Jeffrey lagi ketika dia mengatakan itu. Tergantung komitmen dia dengan X boleh dikatakan atau tidak…’ (hal: 28).
[23] Prof. Ahmad Ramli: ‘… memang tadi ada pencerahan yang sangat baik, kami hanya khawatir ini ada pengertian public domain yang salah dengan kekecualian ini, karena kalau dalam hukum kalau yang namanya public domain itu mesti terbuka dan semua orang bisa memiliki itu…’ (hal:23). ‘Untuk tidak membuat ketimpangan antara judul dengan isi, maka memang sebaiknya kata ‘publik’ dihilangkan. Walaupun awalnya ini usulan Pemerintah, tetapi setelah ada masukan yang sangat baik, Pemerintah sangat akomodatif, dan supaya proporsional kita mengikuti. Karena yang diatur disini tidak semata-mata informasi publik, tetapi ada informasi-informasi pribadi yang sifatnya bukan publik.’ (hal: 24).
[24] Jeffrey Johannes Massie (F-PDS): ‘… Jadi saya sepakat tadi… kalau tidak salah posisi terakhir setelah ada perubahan ‘informasi yang dikecualikan… Terima kasih’. (hal: 25-26)
[25] Hilman Rosyad Syihab (F-PKS): ‘Saya masih tetap dengan ‘informasi publik’ pula. Terlebih lagi berkaitan dengan judul tentang ‘RUU Keterbukaan Informasi Publik’. Kemudian yang kedua ada di Ketentuan Umum yang di DIM 15 itu, yaitu ‘informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola’ dan seterusnya. Dan di DIM-DIM berikutnya yang dalam konteks yang dikecualikan itu semuanya termasuk menurut saya adalah informasi-informasi publik..’ (hal:26)
[26] Usamah Muhammad Al Hadar (F-PKB): ‘Saya ingin konsisten saja Pak. Kalau memang usulan dari DPR memang ‘informasi yang dikecualikan’, di DIM berikutnya itu bukan menyebutkan ‘informasi publik yang dikecualikan…’ (hal:20-21).
oleh Parliamentary Center | Sep 1, 2022 | Opini
Ahmad Alamsyah Saragih
Undang-undang KIP mewajibkan Badan Publik untuk menyusun suatu pertimbangan tertulis dalam setiap kebijakan terkait pemberian informasi. Sering dipersepsikan bahwa pertimbangan tertulis dimaksudkan sebagai instrumen untuk menolak pemberian informasi. Sesungguhnya pertimbangan tertulis ditujukan untuk pemenuhan hak atas informasi, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 UU KIP:
ayat (4):
Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
ayat (5):
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Mengapa Diperlukan?
Dalam rapat pembahsan RUU KMIP (Risalah, 26 Sep 2006), salah satu anggota DPR yang hadir menya-takan bahwa pertimbangan tertulis ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan alasan kepada publik atas keputusan yang diambil oleh Badan Publik dalam memenuhi hak atas informasi. Pertimbangan secara tertulis adalah bentuk akuntabilitas sosial pelayanan Informasi Publik, sebagaimana disampaikan oleh Effendy Choirie (F-PKB):
‘… semangat atau keinginan DPR menuang-kan ayat ini pertimbangan secara tertulis ini ingat sesuatu yang lebih konkrit, di sini menunjukkan pertanggungjawaban, di sini menunjukkan transparansi, di sini menun-jukkan accountability… Oleh karena itu, maka saya kira ini kita pertahankan bersama, dan sekali lagi apa yang diusulkan oleh Pemerintah sudah diakomodasi oleh kita semua dalam ayat sebelumnya. [1]
Pertimbangan secara tertulis adalah bentuk pertanggungjawaban dari otoritas publik untuk menjamin hak masyarakat dalam mengetahui alasan suatu pengambilan keputusan publik sebagaimana diatur dalam tujuan UU KIP, baik dalam memberikan informasi maupun dalam menolak memberikan informasi berdasarkan hasil uji konsekuensi. Pertimbangan tertulis merupakan suatu kebijakan, bukan merupakan bagian dari teknis operasional pelayanan.
Meski lingkupnya pada kebijakan, mengingat luasnya aspek yang harus dipertimbangkan, ada kekhawatiran Pemerintah pasal ini tidak operasional karena tidak semua Badan Publik harus mempertimbangkan seluruh aspek, seperti politik atau pertahanan dan keamanan. Apa lagi jika Badan Publik itu misalnya adalah suatu Yayasan. Anggota DPR menyatakan bahwa pertimbangan tidak harus secara menyeluruh, tergantung konteks informasi dan Badan Publik yang bersangkutan (tidak akumulatif). Pemerintah akhirnya menyetujui pendapat ini.[2]
Semula, selain persoalan letak pasal yang dinilai kurang tepat (masalah sistematika), ada kekhawatiran bahwa pasal ini akan menyebabkan ketidakpastian dalam pengecualian. Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Sofyan A. Djalil, menyampaikan hal ini dalam rapat pembahasan RUU KMIP:
‘… jadi akhirnya pengecualian atau menjadi sangat relatif, karena dimungkinkan Badan Publik kemudian itu membuka atau menutup dengan alasan, padahal itu tidak kita inginkan. Undang-undang ini menginginkan bahwa strict yang wajib terbuka, terbuka semuanya, yang tertutup, tertutup semuanya, walaupun saya sepakat dalam hal-hal tertentu yang tertutup itu ada kepentingan yang lebih besar mungkin perlu dibuka…’[3]
Terjadi perbedaan pendapat apakah pertimbangan tertulis adalah untuk informasi yang dikecualikan atau juga mencakup informasi yang terbuka. Beberapa peserta rapat memilih hanya untuk informasi yang dikecualikan, baik untuk menolak atau untuk membukanya. Pendapat ini di DPR antara lain dikemukakan oleh Andreas Pareira (F-PDIP) dan Hajriyanto H. Thohari (F-PG). Dalam rapat pembahsan RUU KMIP Andreas Preira menyatakan (Risalah, 26 Sep 2006):[4]
‘… apa yang seharusnya ditolak, tetapi bisa diberikan oleh Badan Publik karena pertimbangan. Katakanlah misalnya pertimbangan (untuk keperluan, pen.) akademis, dan dia bisa memberikan dengan catatan bahwa ini tidak untuk dipublikasikan, misalnya seperti itu.’
Pemerintah dalam rapat pembahasan juga menyetujui pendapat tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Sofyan A. Djalil (Risalah, 26 Sep 2006):[5]
‘Saya pikir memang substansi di sini mengatur dua hal, yang pertama adalah memberikan alasan tertulis terhadap penolakan, kemudian juga alasan tertulis kalau misalnya informasi yang dikecualikan ingin diberikan.’
Namun ada juga yang berpendapat bahwa pertimbangan secara tertulis juga diperlukan untuk informasi yang bersifat terbuka dalam situasi tertentu. Dalam rapat pembahasan RUU KMIP, maksud ini antara lain disampaikan oleh Marcus Silano (F-Demokrat). Marcus menyatakan bahwa pertimbangan secara tertulis tidak harus secara eksplisit dinyatakan hanya untuk menolak, karena boleh jadi juga diperlukan untuk informasi yang terbuka namun perlu pembatasan dalam hal-hal tertentu (Risalah, 26 Sep 2006)[6]:
‘… kalau ditolak ya pasti diberikan penjelasan, bahkan juga mungkin juga kalau diterima diberikan penjelasan misalnya ada batasanbatasan tertentu… informasi ini hanya dipergunakan untuk apa? Kan bisa saja begitu. Jadi ini saya kira kebijaksanaan ini cukup luas ini. Kalau menurut saya, jadi tidak perlu ada secara khusus mengatakan penolakan atau menolak…’
Ada kekhawatiran dari Pemerintah beban biaya akan meningkat jika seluruh informasi terbuka ketika diberikan secara mutlak harus diberikan pertimbangan secara tertulis. Namun dalam pembahasan lebih lanjut, disepakati bahwa pertimbangan tertulis diberikan hanya untuk informasi berdasarkan permintaan dan bisa dilakukan dengan cara paperless (dalam bentuk elektronik file).[7]
Gradasi Pemenuhan Hak Untuk Tahu
Dalam pembahasan di atas tidak ada kesimpulan yang secara tegas menyatakan bahwa ketentuan mengenai pertimbangan secara tertulis ini dimak-sudkan hanya untuk informasi yang dikecualikan. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pertim-bangan secara tertulis adalah suatu bentuk dokumen-tasi pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil oleh Badan Publik, ketika:
- menolak memberikan informasi yang dikecualikan;
- memberikan informasi yang dikecualikan dengan persyaratan tertentu;
- memberikan informasi yang terbuka dengan pembatasan tertentu diluar alasan substansial.
Menolak memberikan informasi hanya bisa diputuskan melalui suatu ‘pengujian atas konsekuensi’ yang hasilnya didokumentasikan dalam bentuk pertimbangan secara tertulis. Tahapan pengujian atas konsekuensi akan dibahas pada bagian berikut dari buku ini.
Dalam hal Badan Publik menghadapi permintaan atas informasi yang dikecualikan dan bermaksud memberikan informasi tersebut, UU KIP mensyaratkan untuk melakukan suatu ‘pengujian atas kepentingan publik’, atau sering disebut ‘uji kepentingan publik’. Hasil uji kepentingan publik didokumentasikan dalam bentuk pertimbangan secara tertulis. Pertimbangan ini memuat apakah ada suatu kepentingan yang lebih besar yang harus dilindungi dengan membuka informasi dibandingkan dengan kepentingan yang ingin dilindungi dengan menutup informasi.
Pertimbangan tertulis juga diwajibkan manakala Badan Publik bermaksud memenuhi permintaan terhadap informasi yang bersifat terbuka secara yuridis namun dinilai memiliki suatu resiko tertentu yang tidak diatur oleh suatu Undang-Undang. Penulis akan menyebutnya sebagai ‘analisis informasi sensitif’. Dalam hal ini Badan Publik dapat melakukan pemberian informasi dengan menerapkan teknik atau prosedur tertentu kepada pemohon informasi sepanjang tidak merubah status informasi yang terbuka tersebut menjadi tertutup atau dikecualikan. Alasanalasan yang menjadi dasar penggunaan teknik dan prosedur tertentu tersebut didokumentasikan dalam bentuk suatu pertimbangan secara tertulis.
Diagram-1.1 Pemenuhan Hak Untuk Tahu dan Pertimbangan Secara Tertulis
Di luar informasi terbuka yang bersifat sensitif, pertimbangan secara tertulis tidak diperlukan. Termasuk untuk informasi terbuka yang diwajibkan kepada Badan Publik untuk menyediakannya secara proaktif (diminta ataupun tidak diminta oleh Pemohon), yakni: informasi wajib diumumkan berkala, informasi wajib diumumkan serta merta dan informasi wajib tersedia setiap saat (lihat Diagram-1.1). Bagaimana memperlakukan informasi sensitif tersebut buku ini akan membahasnya tersendiri.
———-
[1] DPR RI, Komisi I. Risalah Rapat Kerja RUU KMIP. Jakarta, 26 September 2006, hal. 28-29.
[2] Lihat pernyataan Prof. Ahmad Ramli yang mewakili Pemerintah dan Anggota DPR Hajriyanto H. Thohari dalam Risalah Raker RUU KMIP, 3 Juli 2007, hal.29-30.
[3] Op. cit, hal. 30-31
[4] Ibid. hal 33
[5] Ibid, hal. 35
[6] Ibid, hal. 33
[7] Lihat pernyataan wakil Pemerintah pada risalah Rapat Panja RUU KMIP, DPR RI, Komisi I, Jakarta, 3 Juli 2007, hal 27-28.
oleh Parliamentary Center | Sep 1, 2022 | Opini
Ahmad Alamsyah Saragih
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengatur suatu prinsip bahwa semua informasi yang ada di Badan Publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan. Bagaimana menentukan suatu informasi masuk dalam kategori dikecualikan? Pertama, Undang-Undang ini mengatur suatu konsekuensi bahaya yang harus dilindungi sebagai dasar pengecualian.
Kedua, sebagai bentuk penerapan prinsip pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas (maximum access limited exemption) UU KIP mewajibkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan pengujian atas konsekuensi sebelum memutuskan untuk menolak memberikan informasi.
Untuk menghindari penafsiran sepihak, UU KIP telah mengatur beberapa jenis informasi yang harus dikecualikan dengan logika konsekuensial. Namun dalam rumusan, tidak sepenuhnya digunakan pendekatan konsekuensial. Beberapa rumusan menggunakan campuran pendekatan kategorikal dan konsekuensial.
Pengujian atas konsekuensi (consequential harm test) dimaksudkan untuk memastikan apakah informasi yang diminta memang harus dikecualikan atau dirahasiakan dengan tujuan melindungi suatu kepentingan tertentu yang dapat tercederai apabila informasi tersebut diberikan kepada pemohon informasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengujian atas konsekuensi adalah untuk memastikan apakah pemberian informasi akan menimbulkan konsekuensi negatif sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang.
Antara filsafat moral/etika dan hukum kerap kali terlihat sebagai disiplin kembar.[1] Filsafat etika dengan metodologinya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang mempengaruhi materi berbagai regulasi. Ambil contoh perpajakan, logika utilitarianisme berkembang menjadi metode analisis manfaat (utilitas) dalam pengenaan tarif, pandangan ini melahirkan suatu ketentuan yang detil dalam regulasi keuangan negara. Posisi filsafat etik sebagai input biasanya terjadi ketika hukum mengalami kelangkaan dalam sumber-sumber hukum tekstual.
Hingga di sini, perkenankan saya untuk menyatakan pengecualian informasi di Indonesia menganut cara pandang negative rule consequentialism. Cara pandang ini akan berimplikasi luas dalam tataran implementasi terkait pengecualian informasi di Badan Publik.
Bagian pertama dari tulisan ini akan menelusuri secara umum terlebih dahulu sejarah perkembangan cara pandang konsekuensialisme sebagai salah satu aliran filsafat etik. Bagian selanjutnya akan melihat bagaimana pandangan ini diinternalisasi ke dalam kerangka regulasi keterbukaan informasi publik.
Konsekuensialisme
Konsekuensialisme merupakan suatu aliran dalam filsafat moral. G.E.M Anscombe (1958)[2] adalah filsuf abad dua puluh kelahiran Irlandia yang pertama kali memantik terminologi konsekuensialisme melalui artikelnya ‘Modern Moral Philosophy’. Anscombe menyatakan:
… I think it plausible to suggest that this move on the part of Sidgwick explains the difference between old-fashioned Utilitarianism and that consequentialism, as I name it, which marks him and every English academic moral philosopher since him.
Dalam perkembangannya kemudian Konsekuensialisme lebih dikenal sebagai salah satu aliran filsafat moral dengan cara pandang bahwa kebaikan normatif bergantung hanya pada konsekuensi. Suatu tindakan adalah benar secara moral bergantung pada konsekuensi (sebagai lawan dari situasi atau hakikat alamiah suatu tindakan atau segala sesuatu yang terjadi sebelum tindakan).[3]
Konsekuensialis menjadi berbeda dengan kelompok nonkonsekuensialis, sebutlah cara pandang Deontologi atau Kantian. Konsekuensialisme berfokus pada akhir dari suatu tindakan, yakni konsekuensi yang ditimbulkan. Deontologi menyatakan bahwa kebaikan normatif tidak ditentukan oleh konsekuensi, melainkan apakah tindakan yang dilakukan itu memang baik atau apa yang terjadi sebelum tindakan dilakukan. Suatu kewajiban mesti demi kewajiban itu sendiri, bukan demi konsekuensi yang ditimbulkan dari kewajiban tersebut. Tidak peduli apakah kewajiban tersebut menghilangkan peluang untuk memperoleh kebaikan yang diinginkan. Bagi Non Konsekuensialisme, tindakan berbohong bagaimanapun adalah salah, tak peduli apakah berbohong tersebut berkonsekuensi menghasilkan suatu kebaikan.
Beberapa aliran filsafat moral kemudian digabung kan kedalam kelompok konsekuensialisme ini, seperti: utilitarianisme, egoisme, dsb. Salah satu pemikir yang mewakili kelompok konsekuensialisme ini adalah Jeremy Bentham (1748–1832). Bentham dipengaruhi pemikir besar abad 16 David Hume (1711-1776). Melalui karyanya ‘The Principle of Moral and Legislation’, Bentham menyatakan bahwa kesenangan dan kesusahan yang mengendalikan semua yang kita lakukan, yang kita katakan dan yang kita pikirkan. Terkadang dikatakan Bentham telah mengasosiasikan manusia sebagai hewan moral. Pada bagaian awal bukunya, The Principle of Moral and Legislation (1789), ia menjelaskan: [4]
Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think: every effort we can make to throw off our subjection, will serv but to demonstrate and confirm it.
John Stuart Mill (1806–1873), pemikir Inggris yang juga murid Bentham meneruskan mazhab utilitarian ini dengan menggunakan kesenangan sebagai nilai kemanfaatan yang akan mendorong sesorang untuk bertindak. Suatu tindakan dinyatakan benar jika mendatangkan kebahagiaan dan sebaliknya salah jika menghasilkan kekecewaan atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Dalam bukunya Mill menyatakan: [5]
The creed which accepts as the foundation of morals, Utility, or the Greatest Happiness Principle, holds that actions are right in proportion as they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the reverse of happiness. By happiness is intended pleasure, and the absence of pain; by unhappiness, pain, and the privation of pleasure.
Pemikiran Bentham dan Mill kemudian dikenal sebagai hedonistic utilitarian. Beberapa ratus tahun kemudian, kaum Konsekuensialis dipisahkan menjadi dua bagian dalam kaitannya dengan standar normatif kebenaran. Pertama yang berfokus kepada tindakan (act consequentialism), dan kedua adalah yang berfokus kepada aturan (rule consequentialism).
Milton Friedman (1912-2006), adalah satu di antara pemikir abad dua puluh yang dimasukkan dalam kategori act consequentialist. Friedman juga dikenal sebagai ekonom pengusung aliran liberalisme pasar. Ia berpendapat bahwa penyimpangan boleh jadi ada, namun pasar akan memiliki mekanisme untuk mengkoreksinya, maka biarkan semua orang berinteraksi dan terorganisir secara alamiah dalam mengejar kesejahteraan atau well being, sebagaimana yang diutarakan dalam salah satu pernyataannya:[6]
In a free-enterprise, private-property system, a corporate executive is an employee of the owners of the business. He has direct responsibility to his employers. That responsibility is to conduct the business in accordance with their desires, which generally will be to make as much money as possible while conforming to the basic rules of the society, both those embodied in law and those embodied in social custom. If abuses occur, the market will correct them.
Berbeda dengan Friedman, Brad Hooker (2000)[7] dalam bukunya ‘Ideal Code, Real World’ memperkenalkan apa yang disebut sebagai Rule Consequentialism. Hooker memperkenalkan konsekuensi yang didasarkan atas standar normatif kebenaran berdasarkan aturan. Beberapa kritikus mengembangkan sinisme terhadap argumen ini dan menyatakan bahwa Hooker sudah bukan lagi konsekuensialis akibat argumennya yang dinilai incoherent.
Namun Brad Hooker menepis keberatan tersebut dengan alasan rule consequentialism merupakan cara untuk menghasilkan kebaikan yang lebih:[8]
The best argument for rule-consequentialism is that it does a better job than its rivals of matching and tying together our moral convictions, as well as offering us help with our moral disagreements and uncertainties.
Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi tahun 1998, yang kerap dikenal melalui pandangannya mengenai pembangunan dan demokrasi[9] meyakinkan banyak kalangan bahwa kekakuan institusi akhirnya akan diikuti oleh kemunduran dalam kesejahteraan.[10] Sen juga masuk ke lingkaran perdebatan filsafat moral. Ia mengusulkan bahwa kendati pendekatan rule consequentialism memilih standar moral berdasarkan aturan tertentu, namun ia tidak bersifat absolut agar tidak merugikan kebaikan konsekuensial yang ditimbulkan atau ingin dijaga oleh aturan tersebut.[11]
Sen pada akhirnya juga diidentifikasi sebagai penganut consequentialism. Di kalangan ekonom ia juga dikenal sebagai institusionalis. Sen adalah murid John Rawls (1921-2002) yang dikenal dengan buah pikirnya, antara lain A Theory of Justice.[12] David Gordon, Editor pada the Mises Review, menyebutnya sebagai “karya paling penting mengenai Filsafat Moral sejak akhir Perang Dunia II”. [13] Untuk penghormatan terhadap Rawls, Sen menerbitkan karya yang diberi judul The Idea Of Justice,[14] yang berisikan kritik terhadap gagasan dasar Rawls.
Kebanyakan wacana pada aliran Konsekuensialisme dipenuhi dengan gagasan memaksimalkan ke-baikan (goods). Dalam tataran praktis, kebanyakan orang dihadapkan dengan pilihan untuk meminimalkan konsekuensi yang buruk. Kebiasaan ini kerap dihadapi oleh praktisi pembuat keputusan publik. Praktisi lebih akrab dengan situasi yang memaksa untuk memilih yang konsekuensi negatifnya lebih rendah atau meminimalkan konsekuensi buruk.
Kenyataan tersebut akhirnya memperkenalkan cara pandang yang dikenal sebagai negative consequentialism. Pelopor dari wacana ini adalah Karl Popper (1902-1994) yang menyatakan bahwa sangatlah berbahaya jika semua orang terdorong untuk memaksimumkan kesenangan karena ini akan mengarah kepada totalitarianisme.[15] Pendekatan negatif ini dalam banyak hal telah menyebabkan aliran ini mirip dengan apa yang disebut sebagai prioritanisme.[16] Penganut ini akan cenderung melihat standar normatif kebaikan yang berfokus kepada suatu prioritas dan skala.
Ketika dihadapkan pada standar normatif yang menyatakan bahwa membunuh adalah salah, berbagai pandangan akan mencapai kata sepakat. Namun jika dilakukan untuk konteks euthanasia (membunuh atas permintaan untuk menghilangkan penderitaan seseorang akibat sakit yang parah dan tak ada solusi medis), membunuh dalam kasus perang, membunuh untuk menjalankan hukuman mati terhadap koruptor, dan beberapa konteks lainnya, maka masing-masing pandangan dalam filsafat etik besar kemungkinan akan berbeda bahkan mungkin bertentangan.
Bagi praktisi, hal ini akan berdampak pada gradasi pengambilan keputusan manakala telah tersedia instrumen hukum yang mengaturnya. Pemahaman terhadap dua disiplin ini (hukum dan etika) menjadi penting. Setidaknya dapat mengurangi resiko seorang pemutus terjebak dalam positivisme naif yang semata-mata bersandar pada teks, atau sebaliknya mengandalkan subyektivitas berlebihan yang menye-babkan keseluruhan norma menjadi relatif secara ekstrim.
Konsekuensialisme dan Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia
Kini kita sampai pada topik dalam keterbukaan informasi yang sering memicu kontroversi kendati telah diatur dalam Undang-Undang, yakni informasi yang dikecualikan. Tanpa pemahaman yang mendalam, seorang pemutus akan beresiko masuk ke dalam jebakan sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, positivisme naif atau relativisme ekstrim.
Pengecualian informasi dalam Undang-undang di satu sisi bersandar pada argumen melindungi atau mencegah konsekuensi negatif yang membahayakan kepentingan mendasar, yakni keamanan nasional dan pertahanan negara, persaingan yang sehat serta hak-hak pribadi warga negara. Di sisi lain pengecualian juga dinyatakan tidak berlaku jika menutup informasi tersebut dapat membahayakan kepentingan umum yang lebih besar.
Dua ketentuan tersebut akan membuka kemungkinan terjadinya konflik kepentingan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka UU KIP telah mengatur lembaga pemutus tahap pertama yakni Komisi Informasi, tahap kedua Pengadilan dan tahap ketiga kasasi ke Mahkamah Agung. Namun beberapa kalangan merasa ketentuan tentang pengecualian ini perlu diatur lebih jelas karena dinilai beresiko mengancam kepentingan profesi tertentu. Satu diantaranya adalah kebebasan pers.[17]
UU KIP menganut asas pengecualian informasi sebagaimana yang diatur pada pasal 2 ayat (4). Sebagai asas tentunya ketentuan ini mengikat pasal-pasal dibawahnya yang terkait dengan pengecualian informasi. Pasal ini mengatur:
ayat (2)
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
ayat (4)
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Jika pada ayat (2) pengecualian dinyatakan bersifat ketat dan terbatas, maka ayat (4) menjelaskan batasan-batasan tersebut. Memaknai ketentuan ini secara gramatikal akan berhadapan dengan kontroversi. Jika dicermati lebih dalam, Pasal 2 ayat (4) UU KIP terdiri dari tiga frasa yang dapat diuraikan sebagai berikut:
- Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia,
- Kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada bagian pertama harus sesuai dengan Undang-Undang, Kepatutan dan Kepentingan umum;
- Untuk memastikan bagian kedua tersebut terpenuhi harus didasarkan pada: (a) pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat, serta (b) setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Pada bagian kedua cukup jelas dinyatakan bahwa kerahasiaan harus sesuai dengan Undang-undang, Kepatutan dan Kepentingan Umum. Dalam praktik, asas kepatutan berpotensi melahirkan kontroversi. Dapat dibayangkan jika suatu informasi yang telah dikecualikan berdasarkan Undang-undang masih harus menyertakan kepatutan. Jika kepatutan didasarkan atas norma-norma yang ada di masyarakat maka ada dua kemungkinan: pertama, satu informasi yang tidak dikecualikan berdasarkan undang-undang ternyata menurut pihak tertentu tidak patut untuk dibuka.
Kemungkinan kedua, suatu informasi yang dinyatakan dikecualikan oleh undang-undang boleh jadi berdasarkan nilai-nilai kelompok masyarakat tertentu sangat patut dibuka. Kondisi ini berpeluang menciptakan kontradiksi dalam penafsiran.[18] Pada bagian penjelasan UU KIP tak ada bagian yang menerangkan apakah asas kepatutan ini dapat membatalkan pengecualian berdasarkan Undang-undang atau sebaliknya. Begitu pula dalam risalah pembahasan ketika UU KIP dirumuskan.
Berbeda dengan asas kepatutan, pada pasal 2 ayat (4) UU KIP dinyatakan secara lebih eksplisit bahwa kepentingan umum dapat menjadi koreksi terhadap pengecualian yuridis (berdasarkan Undang-Undang). Ketentuan ini dijelaskan pada frasa: ‘… serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya’. Dengan demikian suatu informasi yang secara sah dikecualikan berdasarkan Undang-Undang berpe-luang untuk dikoreksi berdasarkan kepentingan publik. Pada bagian penjelasan UU KIP, koreksi melalui kepentingan publik ini dinyatakan sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU KIP:
Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu Informasi, Informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.
Sebelum lebih jauh, ada baiknya melihat bagaimana prinsip pengecualian dilakukan di negara lain yang memiliki Undang-Undang serupa. Untuk Pengecualian, kebanyakan negara menerapkan apa yang disebut dengan Harm Test dan Public Interest Test. Article XIX, suatu International NGO yang aktif mempromosikan keterbukaan informasi mempublikasikan beberapa prinsip dasar sebagai standar internasional yang perlu diacu ketika suatu negara ingin menyusun suatu Undang-Undang yang mengatur kebebasan memperoleh informasi. Satu di antara beberapa prinsip tersebut adalah:
Principle-4:
Limited Scope of Exceptions. Exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to strict “harm” and “public interest” tests. [19]
Prinsip di atas tak berbeda dengan asas pengecualian yang di atur pada pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) UU KIP, yakni sifat pengecualian yang ketat dan terbatas serta didasarkan atas pengujian atas konsekuensi dan kepentingan publik. Untuk menerapkan prinsip keempat tersebut Article XIX memperkenalkan apa yang disebut sebagai Three Part Test: [20]
A refusal to disclose information is not justified unless the public authority can show that the information meets a strict three-part test: (1) the information must relate to a legitimate aim listed in the law; (2) disclosure must threaten to cause substantial harm to that aim; and; (3) the harm to the aim must be greater than the public interest in having the information.
Model pengujian di atas dianut oleh berbagai negara yang menerapkan Undang-Undang sejenis dengan UU KIP (Inggris, Kanada, Finlandia, Australia, dll.). Sampai di sini, perlu dicermati bahwa pengecualian memang harus terkait dengan suatu maksud yang legitimate sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang. Hal ini dimaksudkan agar ada kepastian hukum, sehingga praktik pengecualian informasi dapat mengurangi efek kontra produktif akibat konflik yang terjadi antara otoritas publik selaku pemegang diskresi dan warga negara selaku pemohon atau pengguna informasi.
Asas kepatutan pada pasal 2 ayat (4) UU KIP dengan demikian mestilah suatu standar norma yang berlaku di masyarakat namun tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, untuk memastikan apakah pengecualian tersebut terkait dengan maksud pengecualian yang diatur oleh suatu Undang-Undang, maka harus dilakukan pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat. Jika dapat menimbulkan konsekuensi sebagaimana yang diatur oleh undang-undang maka informasi tersebut secara konsekuensial “patut dikecualikan”. Pada bagian penjelasan pasal 2 ayat (4), konsekuensi yang timbul dinyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “konsekuensi yang timbul” adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang ini apabila suatu Informasi dibuka.[21]
Oleh karena itu konsekuensi yang dimaksud oleh UU KIP ini dapat disebut sebagai konsekuensi yuridis, untuk membedakannya dengan konsekuensi subyektif yang berlandaskan pendapat semata, atau konsekuensi empirik yang dibuktikan melalui suatu penelitian eksperimental misalnya. Penerapan pengecualian berdasarkan konsekuensi yuridis ini memiliki kemiripan dengan apa yang dinyatakan cara pandang filsafat etik yang dikenal sebagai rule consequentialism. Model yang digunakan adalah model konsekuensi negatif. Bagian selanjutnya akan mendalami hal ini. Berdasarkan kerangka pikir inilah mengapa pada bagian awal tulisan ini saya nyatakan bahwa keterbukaan informasi publik di Indonesia menggunakan pendekatan ‘negative rule consequentialism’.
Seperti yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu, pendekatan konsekuensialisme negatif cenderung menghasilkan apa yang dsebut sebagai pengambilan keputusan berdasarkan prioritas (prioritanism). Hal ini dipertegas dengan penerapan uji kepentingan publik pada UU KIP. Pengujian atas kepentingan publik telah memberikan peluang bagi pengambil keputusan publik untuk mempertimbangkan derajat atau sekala prioritas konsekuensi negatif yang ingin dilindungi dengan menutup informasi berdasarkan suatu Undang-Undang di satu sisi, dibandingkan dengan konsekuensi negatif lain yang akan diderita oleh publik (bukan hanya individu pemohon) akibat tidak bisa mengakses informasi tersebut di sisi lain.
———-
[1] Burg, Wibren van der. Law and Ethics: The Twin Disciplines. Erasmus Working Paper Series on Jurisprudence and Socio-Legal Studies, No. 10-02, 2010, hal. 1.
[2] Anscombe, G.E.M. Modern Moral Philosophy. The Journal of The Royal Institute of Philosophy, Vol. XXXIII, No. 124, January 1958, hal. 11
[3] Lihat Stanford Encyclopedia Of Philosophy, 2003 .
[4] Bentham, Jeremy. The principle of Moral and Legislation. Oxford at the Clarendon Press, London, Newyork and Toronto, Henry Frowde, MCM VII, 1823, chapter I, hal. 1
[5] Mill, J.S. Utilitarianism. 2nd Edition, Longman, Green, Longman, Robert and Green. London, 1864, ch. II, hal. 9.
[6] Friedman, Milton. The Social Responsibility of Business Is to Increase its Profits. New York Times magazine, 1970.
[7] Hooker, Brad. Ideal Code, Real World. Oxford University Press, 2000.
[8] ___ibid, p. 101
[9] Lihat Sen, Amartya dalam Development As Freedom. Oxford University Press, 1999.
[10] Lihat Sen, Amartya dalam Globalization and Poverty. Jan 1, 2002 v13 i1 pA2(5)
[11] Scheffler, Samuel. Consequentialism an Its Critics. Oxford University Press, 1988, hal. 1-13.
[12] Lihat Rawls, John. A Theory Of Justice. Cambridge, Massachusetts: Belknap Prss of Havard University Press, 1971.
[13] Gordon, David. Going Off the Rawls. The American Conservative, 2008.
[14] Lihat Sen, Amartya. The Idea of Justice. Havard University Press and London; Allen Lane, 2009.
[15] Popper, Karl. The Open Society and Its Enemies. Vo. 2. Routledge, 1945. hal. 329.
[16] Broome, John. Weighing Goods. Oxford: Basil Blackwell, 1991, hal. 222
[17] Lihat pernyataan Bagir Manan (Ketua Dewan Pers, yang sebelumnya menjabat Ketua Mahkamah Agung RI) dalam sambutan tertulis pada diskusi mengenai ‘Undang-undang Keterbukaan informasi Publik, Informasi yang Dikecualikan dan Dampak Terhadap Kemerdekaan Pers’. Diskusi diselenggarakan oleh Dewan Pers dan UNESCO dalam rangka memperingati Hari Pers sedunia pada 3 Mei 2010. Bagir menyatakan: ‘Persolan kedua berkaitan dengan ketentuan-ketentuan informasi publik yang dikecualikan. Hal ini diperkirakan menimbulkan persoalan karena dengan pengecualian yang terlalu banyak masyarakat tidak tahu lagi antara rules dan yang dikecualikan. Beberapa kaedah dalam pengecualian tersebut juga masih memerlukan kesepakatan yang lebih konkrit agar tidak menimbulkan salah pengertian atau sengketa pada waktu pelaksanaan.’
[18] Komisi Informasi Pusat-ICEL Anotasi Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, 2009, hal. 82.
[19] Article XIX, Principles on Freedom of Information Legislation, International Standard Series, 1999.
[20] ____ ibid.
[21] Meskipun dinyatakan konsekuensi yang timbul adalah berdasarkan UU KIP, namun UU KIP juga mengakomodasi pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain pada pasal 17 huruf j. Kekhawatiran akan meluasnya pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain dapat dieliminir melalui penerapan asas pengujian atas konsekuensi dan kepentingan publik.
oleh Parliamentary Center | Sep 1, 2022 | Opini
Sebelum masuk pada pertanyaan bagaimana melakukan pengujian atas konsekuensi perlu terlebih dahulu dikenali jenis dan sifat pengecualian informasi. UU KIP tidak secara eksplisit menjelaskan kedua hal ini. Jenis pengecualian informasi sesungguhnya dijelaskan pada Pasal 6 UU KIP yang memuat tentang hak Badan Publik.
Ketiadaan ketentuan yang mengatur sifat pengecualian secara eksplisit, beberapa pihak sering berargumen bahwa sejak UU KIP diberlakukan maka pada prinsipnya tidak ada lagi kerahasiaan. Semua informasi dapat diakses, namun sebagian dikecualikan untuk jangka waktu tertentu.[1]
Pernyataan tersebut berpotensi melahirkan persepsi bahwa dalam UU KIP tidak ada informasi yang dikecualikan secara absolut. Untuk menjelaskan hal ini akan dilakukan perbandingan dengan penerapan pengecualian di negara lain yang membagi sifat pengecualian menjadi dua: pengecualian absolut dan pengecualian dengan kualifikasi.
Jenis Pengecualian Informasi
Dalam UU KIP Badan Publik berhak untuk menolak memberikan informasi dengan dua alasan: yakni penolakan karena alasan substansi, dan penolakan karena alasan prosedur. Ketentuan tersebut diatur pada Bagian Ketiga Pasal 6 tentang hak Badan Publik:
ayat (1):
Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ayat (2):
Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua pasal di atas secara sepintas memiliki kemiripan, namun pada risalah pembahasan RUU KMIP (sebelum diubah menjadi KIP), Pemerintah dan DPR menyepakati untuk memasukkan rumusan tersebut dengan maksud ayat (1) adalah pengecualian berdasarkan substansi, sedangkan ayat (2) adalah pengecualian berdasarkan prosedur. Dengan disepakatinya dua ketentuan tersebut maka UU KIP menganut pengecualian substansial dan pengecualian prosedural.[2]
Pasal 6 ayat (3) UU KIP memperjelas tiga domain utama kerahasiaan secara substansial, yakni: (i) kerahasiaan negara; (ii) kerahasiaan untuk persaingan yang sehat; dan (iii) kerahasiaan pribadi. Bagian ini juga memasukkan beberapa ketentuan kerahasian lain terkait rahasia jabatan dan penguasaan dokumen:
ayat (3):
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
- informasi yang dapat membahayakan negara;
- informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
- informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
- informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
- informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.
Dasar pengecualian prosedural dalam UU KIP ada pada Pasal 6 ayat (2). Jika sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, maka Badan Publik berhak untuk menolak permintaan agar Informasi Publik yang bersifat terbuka sesuai prosedur yang diatur oleh UU KIP. UU Kebebasan Informasi (FOI Act) di Inggris menyebutnya sebagai pengecualian dengan alasan informasi tersebut hanya dapat diakses melalui cara lain (available by other means)[3].
Sifat Pengecualian Informasi
Undang-Undang Kebebasan Informasi (FOI Act) di beberapa negara umumnya memisahkan sifat pengecualian menjadi dua bagian: pengecualian absolut dan pengecualian dengan kualifikasi.[4] Informasi yang dikecualikan secara absolut bersifat rahasia dan tidak dapat diuji dengan kepentingan publik. Sedangkan informasi yang dikecualikan dengan kualifikasi bersifat rahasia, namun masih dapat dibuka setelah diuji dengan kepentingan publik.
Dalam UU KIP tidak ada ketentuan yang mengatur sifat kerahasiaan secara eksplisit. Di beberapa negara yang telah menetapkan UU Perlindungan Data Pribadi atau Privacy Act, kerahasiaan data pribadi bersifat absolut. Meskipun demikian, dari jangka waktu pengecualian secara implisit UU KIP menunjukkan bahwa informasi pribadi masuk dalam pengecualian yang bersifat absolut. Ini terlihat dari tidak termasuknya pengecualian pada Pasal 17 huruf g dan h (yang mengatur pengecualian informasi pribadi) sebagai pengecualian dengan jangka waktu yang bersifat tidak permanen.[5] Pengecualian dengan kualifikasi lebih lanjut dapat dibagi menjadi dua jenis.[6]
Pengecualian atas dasar kelas atau kategorikal. Pengecualian ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan suatu informasi yang dikecualikan oleh Undang-undang tanpa memerlukan penjelasan atas kepentingan yang akan dilindungi (specific harm) dan relevansinya. Pengecualian dimaksudkan untuk melindungi kerahasiaan keseluruhan informasi yang masuk dalam kategori atau kelompok tersebut. Sebagai contoh, informasi terkait pembahasan dalam rapat-rapat yang bersifat tertutup di DPR. Contoh lain, informasi mengenai metode dan teknik investigasi terhadap pelanggaran internal Badan Publik. Kendati demikian, kerahasiaan atas dasar kelas ini tetap dapat dibuka setelah melalui suatu uji kepentingan publik.
Pengecualian atas dasar praduga. Pengecualian atas dasar praduga terjadinya suatu hal yang mendasari tujuan pengecualian atau alasan mengapa informasi tersebut dirahasiakan. Misalnya dugaan akan terjadinya gangguan terhadap ekonomi nasional, hubungan internasional, persaingan usaha yang sehat, dsb.
Secara umum Pasal 17 UU KIP mengatur pengecualian berdasarkan praduga dengan menggunakan pendekatan konsekuensi negatif. Kita akan sampai pada beberapa persoalan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke tahapan pengujian atas konsekuensi. Untuk kewajiban pertama, PPID akan menemukan kenyataan bahwa rumusan Pasal 17 UU KIP tidak sepenuhnya menggunakan kaidah konsekuensial.
Hanya beberapa ketentuan di Pasal 17 UU KIP yang menggunakan model konsekuensi negatif (Pasal 17 huruf a, b dan i). Beberapa pasal menggunakan rumusan campuran antara model konsekuensi negatif dan kategorikal (Pasal 17 huruf c, e, f, dan h). Sebutlah ketentuan tersebut menggunakan model semi kategorikal. Beberapa yang lain cukup sulit untuk dinyatakan menggunakan rumusan konsekuensi negatif atau kategorikal (pasal 17 huruf d: … jika diberikan dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia). Pasal ini masih perlu dipertajam dengan memperjelas kepentingan negatif apa yang ingin dilindungi dengan menutup informasi kekayaan alam tersebut.
Hal lain, ada satu ketentuan yang berpotensi menggunakan model kategorikal dan/atau konsekuensial (pasal 17 huruf j). Dalam Pasal 17 huruf j UU KIP, diakomodasi kerahasiaan berdasarkan UndangUndang lain, sehingga tidak tertutup peluang Badan Publik untuk menolak memberikan informasi yang dikecualikan berdasarkan ketentuan yang ada pada Undang-Undang lain. Meskipun pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain diperkenankan akan tetapi sejak UU KIP diberlakukan:
- secara substansial pengecualian berada pada ketiga jenis kerahasiaan mendasar sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat 3 UU KIP, yakni: kerahasiaan negara, kerahasiaan untuk pelindungan persaingan yang sehat, dan kerahasiaan pribadi.
- suatu informasi hanya dapat dikecualikan oleh Badan Publik apabila pengujian atas konsekuensi bahaya yang ditimbulkan secara yuridis terbukti.
Pengecualian informasi berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan dalam UU KIP diatur dalam Pasal 17. Berdasarkan sifat pengecualian sebagaimana yang dijelaskan pada bagian terdahulu akan terlihat beberapa variasi yang perlu didalami secara hati-hati. Daftar berikut menunjukkan hal tersebut (tabel-1).
Tabel-1 Sifat Pengecualian Informasi dalam Pasal 17 UU KIP
Informasi yang secara absolut dikecualikan tak dapat diuji dengan kepentingan publik. UU KIP tidak secara eksplisit megatur suatu pengecualian yang bersifat absolut. Namun pada Pasal 20 UU KIP, ketentuan yang mengatur jangka waktu pengecualian terkait kerahasiaan pribadi (Pasal 17 huruf g dan h) tidak ditentukan jangka waktu pengecualiannya. Secara implisit, UU KIP mengatur bahwa kerahasiaan pribadi bersifat absolut.
ayat (1):
Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen
ayat (2):
Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pengecualian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kita perlu mencermati sifat pengecualian karena sifat ini berimplikasi pada tahapan pengujian atas informasi tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian lebih lanjut buku ini. Pada tabel berikut terdapat model pengecualian semi kategorikal. Model semi kategorikal bermaksud menetapkan bahwa secara yuridis: ‘hanya kategori informasi yang dinyatakan secara eksplisit’ yang dapat mengganggu kepentingan yang akan dilindungi oleh ketentuan tersebut.
Salah satu contoh model semi kategorikal adalah Pasal 17 huruf c yang memuat tujuh kategori informasi yang berkonsekuensi negatif berupa membahayakan pertahanan dan keamanan. Pengaturan ini dimaksudkan agar jenis informasi yang ditetapkan berkonsekuensi membahayakan pertahanan dan keamanan negara lebih rinci, jelas dan tidak ditafsirkan meluas.[1] Dengan kata lain, jenis informasi terkait sektor pertahanan dan keamanan namun berada di luar ketujuh jenis tersebut dinyatakan tidak berkonsekuensi negatif membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Model ini berbeda dari model praduga sebagaimana yang diterapkan Pasal 17 huruf b. Pada ketentuan ini, semua jenis informasi publik apapun yang apabila dibuka berkonsekuensi negatif mengganggu persaingan usaha yang sehat dan perlindungan atas HAKI termasuk dikecualikan. Tidak ada rincian kategori informasi.
Bagaimana dengan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain sebagaimana dinyatakan pada Pasal 17 huruf j? Dalam kenyataan, sebagian besar pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain tidak menggunakan rumusan pengecualian berbasis praduga. Ini dapat dipahami karena sebagian besar Undang-Undang tersebut disusun dengan model kelas atau kategorikal. Dalam model kategorikal biasanya suatu informasi dinyatakan sebagai informasi rahasia tanpa menyertakan konsekuensi yang ditimbulkan atau menyatakan secara spesifik apa kepentingan yang ingin dilindungi melalui kerahasiaan tersebut.
Dalam menghadapi hal ini, memahami tujuan pengecualian atau mengidentifikasi kepentingan yang ingin dilindungi melalui kerahasiaan tersebut tetaplah penting. Apabila suatu informasi dikecualikan secara kategorikal maka dimungkinkan untuk dilakukan pengujian kepentingan publik atasnya. Dalam pengujian kepentingan publik akan dilihat apakah menutup informasi untuk melindungi suatu kepentingan berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat merugikan suatu kepentingan publik yang lebih luas atau tidak. Dalam hal kepentingan yang akan dilindungi tidak dinyatakan secara eksplisit pada Undang-Undang tersebut, maka penting untuk mendalami risalah pembahasan rancangan Undang-undang tersebut atau meminta pendapat ahli yang relevan.
Kerahasiaan Derivatif
Sering ditemukan bahwa suatu informasi yang dikecualikan secara substansial merupakan turunan dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) dan diuraikan lebih jauh pada Pasal 17 UU KIP. Sebagai contoh:
Kerahasiaan seorang dokter sesungguhnya adalah suatu kerahasiaan yang timbul sebagai konsekuensi untuk melindungi kerahasiaan pribadi seorang pasien. Itu sebabnya dalam banyak hal ia dapat dibuka atas izin tertulis dari sang pasien.
Menjaga kerahasiaan bagi seorang akuntan publik ketika memeriksa suatu Badan Publik pemerintah adalah salah satu bentuk kode etik pemeriksa. Namun jika didalami, kode etik tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan klien. Kerahasiaan dokumen hasil pemeriksaan antara lain dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan informasi di badan publik tersebut agar tidak terjadi suatu gangguan atas proses, atau opini prematur. Secara konsekuen-sial harus dirahasiakan oleh pemeriksa karena jika dibuka dapat ‘menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan secara prematur’, sebagaimana diatur oleh pasal 17 huruf i UU KIP.
Kerahasiaan tersebut oleh penulis disebut sebagai kerahasiaan derivatif. Umumnya kerahasiaan tersebut diatur oleh Undang-Undang yang dinyatakan sebagai ‘mengatur lebih khusus’. Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak tergesa-gesa memutuskan bahwa suatu kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tertentu bersifat khusus sehingga dapat menegasi UU KIP.
Besar kemungkinan kerahasiaan pada Undang-Undang tersebut memiliki tujuan untuk melindungi satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang juga telah diatur oleh UU KIP. Dengan kata lain, kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tersebut merupakan turunan (derivasi) dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur oleh UU KIP.
———-
[1] Lihat Risalah Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan DPR tanggal 29 Nopember 2006 dan 3 September 2007.
[1] Lihat pernyataan Agus Sudibyo pada rubrik Laporan Utama, Buletin Etika No. 85 Edisi Mei, Dewan Pers, 2010, hal. 2: ‘UU KIP tidak mengenal istilah kerahasiaan, tetapi pengecualian. Secara paradigmatik keduanya berbeda. Pengecualian, berarti sebenarnya semua informasi publik bersifat terbuka, namun ada beberapa hal yang dikecualikan dalam arti ditunda pengungkapannya untuk melindungi kepentingan publik’.
[2] Lihat Risalah Pembahasan RUU KMIP antara Pemerintah dan DPR. DPR RI, 26 Juni 2007.
[3] Lihat UK Freedom of Information Act 2000, part II, sec. 21. “Information accessible to applicant by other means”.
[4] Ibid. Appendix 1.
[5] Pasal 20 UU KIP: ayat (1): Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.
[6] Information Commissioner Office (ICO), Freedom of Information Act – Awareness Guidance, No 20, Version 2.0, 2008