Keterbukaan Informasi Publik dan Status Dokumen Pertanahan

Keterbukaan Informasi Publik dan Status Dokumen Pertanahan

Ahmad Alamsyah Saragih

Pemberlakuan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) telah membawa implikasi luas atas jaminan hak warga negara dalam mengkasses informasi yang dikuasai oleh Badan Publik. UU KIP merupakan regulasi operasional atas hak konstitusional warga negara:

Pasal 28F UUD 1945:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Antara sengketa informasi dan sengketa hak milik atas tanah. Memasuki tahun ketiga pelaksanaan UUKIP, permohonan informasi yang berlanjut ke tahap sengketa informasi juga mulai memasuki ranah informasi di bidang pertanahan. Hampir keseluruhan permohonan informasi di bidang pertananahan yang mulai masuk ke taraf penyelesaian sengketa oleh Komisi Informasi terkait dengan sengketa hak milik atas tanah. Untuk itu diperlukan penajaman batas wilayah kerja penanganan sengketa informasi pertanahan, karena sengketa hak milik atas tanah bukanlah wilayah kerja Komisi Informasi sebagaimana dimandatkan oleh UU KIP.

Kebanyakan pemohon yang mengajukan penyelesaian sengketa informasi terkait dengan tanah berfokus atas tidak terpenuhinya permohonan informasi mereka kepada kantor pertanahan setempat mengenai perubahan status kepemilikan atas tanah. Umumnya ada dua argumen penolakan: (i) pemohon bukanlah pihak yang memiliki hak secara yuridis; (ii) pemberian informasi telah diatur oleh peraturan perundang-undangan tersendiri, dan pemohon tidak termasuk sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengakses informasi tersebut.

Perkembangan nilai ekonomis tanah dari waktu ke waktu telah menyebabkan sengketa pertanahan yang dalam kurun waktu tertentu bersifat laten menjadi ‘manifested’. Secara sosiologis, peluang terjadinya claim akan adanya kekeliruan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah dapat saja terjadi. Meskipun negara telah menerapkan pengumuman terbuka melalui media masa selama jangka waktu tertentu sebagai salah satu tahapan pendaftaran tanah. Di berbagai tempat claim atas adanya tumpang-tindih (overlapping) kepemilikan telah pula meningkatkan permintaan pihak tertentu untuk mengetahui informasi mengenai riwayat kepemilikan atas suatu tanah.

Krisis kepercayaan dan upaya alternatif? Meskipun negara telah menjamin upaya penyelesaian sengketa hak milik atas tanah melalui pengadilan, dalam praktik sebagian pemohon informasi merasa perlu untuk mengetahui terlebih dahulu informasi terkait perubahan hak milik atas tanah yang menjadi objek sengketa untuk memastikan apakah mereka akan menempuh jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau tidak. Dalam praktik, yang bersangkutan dapat saja meminta notaris pembuat akta tanah untuk melihat informasi mengenai perubahan status tersebut ke kantor pertanahan setempat, namun peristiwa ini umumnya terjadi ketika pihak yang bersangkutan membutuhkan informasi yang akurat dan berkekuatan hukum. Perlu didalami lebih jauh apakah rendahnya tingkat kepercayaan telah menjadi salah satu faktor inherent yang menyebabkan peristiwa ini terjadi. Menempuh penyelesaian sengketa informasi melalui Komisi Informasi adalah salah satu jalur yang mereka tempuh untuk mengatasi hal tersebut.

 

Pendaftaran Tanah, Data Pribadi dan Keterbukaan Informasi

UU No. 5 tahun 1960 tentang Perturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah sebagaimana dinyatakan pada salah satu konsideran Berpendapat bahwa:

… perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Segaris dengan pengertian tersebut adalah penegasan mengenai hak menguasai negara dan kewenangan negara dalam menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan angkasa sebagaimana di atur dalam pasal 2 UUPA. Secara gramatikal, perlindungan tersebut adalah jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan, penguasaan dan penggunaan atas tanah. Dalam paraktik, bersamaan dengan berkembangnya rezim HAM yang beroirientasi pada perlindungan atas hak-hak pribadi (privacy) dan liberalisme yang berorientasi kuat pada perlindungan atas investasi di Indonesia, tujuan tersebut telah pula ditafsirkan meluas. Ditafsirkan bahwa proteksi informasi atas kepemilikan tanah juga wajib dilakukan oleh institusi yang menguasai dokumen pertanahan, baik untuk kepemilikan individu maupun upaya membangun iklim investasi yang menarik.

Adakah ketentuan legal di bidang pertanahan yang mengatur hal tersebut? Secara khusus mengenai status data yuridis terkait tanah diatur melalui Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada bagian kesepuluh tentang Penyajian Informasi data Fisik dan Yuridis, dinyatakan bahwa informasi yang terbuka untuk umum adalah dalam bentuk Surat Keternagan Pendaftaran Tanah.[1]

Lebih jauh, peraturan ini menyatakan bahwa hanya kepada pemegang hak dapat diberikan salinan batas bidang tanah miliknya dengan tanah yang berbatasan (pasal 188).[2] Pada bagian lebih lanjut, regulasi ini mengatur bahwa kewajiban Kantor Pertanahan sebagai Badan Publik yang menguasai dokumen-dokumen yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran merupakan dokumen negara yang harus ‘disimpan’ dan ‘dipelihara’ menurut perturan perundang-undangan yang berlaku.[3] Ketentuan tentang penyimpanan dan pemeliharaan dokumen milik negara telah diatur melalui UU N0. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang N0. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, Indonesia telah meninggalkan mindset kerahasiaan negara absolut. Status dokumen negara tidak lagi dapat dijadikan sebagai alasan untuk menetapkannya sebagai dokumen yang dirahasiakan, kecuali diatur oleh undang-undang. Pada prinsipnya semua informasi yang dikuasai oleh Badan Publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan berdasarkan Undang-undang.

UUKIP memberikan hak Badan Publik untuk menolak memberikan informasi dengan alasan substansial maupun dengan alasan prosedural.[4] Penolakan dengan alasan substansial, dimaksudkan untuk jenis informasi yang dikecualikan sebagaimana di atur dalam pasal 17.[5] Sedangkan penolakan berdasarkan alasan prosedural ditujukan untuk jenis informasi terbuka, namun tata cara pemberian informasi telah diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan.[6]

Secara eksplisit tidak ditemui ketentuan yang mengatur bahwa dokumen pertanahan adalah dokumen rahasia. Meskipun ada ketentuan yang menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang digunakan sebagai dasar pendaftaran tanah adalah dokumen negara, tidaklah dapat ditafsirkan bahwa dokumen tersebut secara otomatis adalah dokumen rahasia. Pembatasan atau pengecualian yang diatur dalam regulasi ini lebih bersifat prosedural daripada substansial, dimana diperlukan izin Kepala Kantor Wilayah kepada pemegang hak yang bersangkutan dapat diberikan petikan, salinan atau rekaman dokumen pendaftaran tanah yang menjadi dasar pembukuan hak atas namanya.[7]

UUKIP mengatur bahwa pengecualian mesti bersifat ketat dan terbatas, melalui suatu pengujian atas konsekuensi yang ditimbulkan, dan pengujian atas kepentingan publik.[8]  Kerahasiaan atas suatu dokumen maupun informasi harus didasarkan atas suatu kriteria konsekuensi bahaya yang ditimbulkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.[9] Untuk itu harus dapat dijelaskan tujuan setiap kerahasiaan atau pengecualian berdasarkan peraturan perundang-undangan  tersebut, untuk melihat apakah tujuan pengecualian tersebut masih memiliki relevansi dengan konsekuensi bahaya yang telah ditetapkan pada pasal 17 UUKIP (prejudiced based exemption).[10]

Salah satu tujuan UUKIP adalah menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.[11] Untuk tujuan tersebut maka pada ketentuan lebih lanjut Undang-Undang ini mengatur:

Pasal 11 ayat (1) UUKIP:

Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:

b.  hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;

c.  seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;

Sertifikat terkait hak atas tanah merupakan produk suatu keputusan publik, sehingga termasuk dalam kategori infomasi yang wajib disediakan oleh Badan Publik yang menguasai informasi tersebut. Kendati demikian, UUKIP juga mengatur jenis informasi yang dikecualikan, sebagaimana diatur oleh pasal 6 ayat (3) huruf c, yakni informasi yang menyangkut hak-hak pribadi. Secara lebih terperinci, informasi pribadi yang masuk dalam kategori dikecualikan dalam UUKIP, yakni:

Pasal 17 huruf h UUKIP:

Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:

  1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
  2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
  3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
  4. hasil­hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau
  5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.;

Tanah dalam kesatuan dengan nilai ekonomis dan kepemilikannya adalah informasi mengenai aset sesorang. Dengan demikian aset berupa tanah termasuk informasi pribadi yang dikecualikan berdasarkan UUKIP. Akan tetapi, meskipun suatu Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi yang dikecualikan. UUKIP juga mengatur pengecualian atas pengecualian tersebut:

Pasal 18 ayat (2) UUKIP:

Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila:

a.  pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau

b.  pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-­jabatan publik;

Pasal ini memberikan perlakuan khusus dalam mengakses informasi pribadi. Sepanjang pemohon informasi mendapat persetujuan tertulis dari pihak yang rahasianya diungkap, informasi tersebut wajib diberikan oleh badan publik yang menguasai dokumen.

Semua perbuatan hukum yang terjadi secara langsung terhadap aset seseorang termasuk dalam kategori informasi mengenai kondisi asetnya. Dalam rezim privacy, pemilik aset adalah pemilik informasi atas aset tersebut (subyek data). Dengan demikian, pemohon informasi termasuk pihak yang memiliki hak untuk mengetahui atau mendapatkan informasi perubahan kepemilikan atas tanah ketika terjadi perbuatan hukum langsung mengenai tanah tersebut, sepanjang mendapatkan persetujuan tertulis dari pemilik informasi (dalam hal ini pemilik tanah tersebut, atau mereka yang memiliki hubungan perdata dengan pemilik). Meskipun informasi tersebut tertuang dalam suatu dokumen negara yang dikuasai oleh suatu badan publik tertentu.

Salah satu tujuan kerahasiaan pribadi adalah untuk melindungi hak-hak pribadi seseorang dari intervensi negara dan pasar. Wacana perkembangan kerahasiaan pribadi (privacy) pada tataran internasional biasanya dimulai dengan  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia  pada tahun 1948 yang secara khusus melindungi kerahasiaan pribadi terkait komunikasi dan teritori:

article 12:

No one should be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks on his honour or reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interferences or attacks.

Ketentuan tersebut kemudian diadopsi oleh Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Perkembangan tidak hanya masuk ke rumusan-rumusan komprehensif, tapi juga masuk ke wilayah-wilayah sektoral, seperti: kerahasiaan pribadi dalam sektor perbankan, kesehatan, dsb. Dalam lingkup regional, juga telah dilakukan beberapa konvensi, seperti: European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms.[12]

Dalam perkembangan, kerahasiaan pribadi dapat dibagi menjadi beberapa tema yang terpisah namun saling terkait satu sama lain. Beberapa tema kerahasian pribadi tersebut adalah: kerahasiaan informasi terkait hak-hak pribadi (Information Privacy); kerahasiaan pribadi menyangkut fisik (Bodily Privacy); kerahasiaan pribadi menyangkut komunikasi (Privacy of communications); dan kerahasiaan pribadi terkait teritori (Territorial privacy) .[13]

Kerahasiaan informasi terkait hak-hak pribadi (information privacy ) diatur dalam ketentuan tentang pengecualian pada UUKIP, meski tidak mendetil. Untuk menjamin kerahasiaan ini, biasanya ditetapkan peraturan terkait tata kelola informasi yang menyangkut pengumpulan dan penanganan data personal, seperti informasi tentang keuangan, kesehatan. Tidak jarang peraturan tersebut menggunakan nama Perlindungan Data. Berbagai negara mengaturnya dalam bentuk Undang-undang (Data Protection Act).

Perhatian terhadap information privacy berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Upaya konseptualisasi juga dilakukan oleh Daniel J. Solove. Dalam bukunya Solove menyatakan bahwa pembahsan mengenai privacy antara lain mencakup: the ability to exercise control over information about oneself dan the protection of one’s personality, individuality, and dignity (Solove, 2002)[14]

Untuk membatasi dan mempertajam ketentuan tentang perlindungan informasi yang terkait hak-hak pribadi, Undang-undang perlindungan data personal di berbagai negara menerapkan umumnya prinsip-prinsip berikut: a. obtained fairly and lawfully; b. used only for the original specified purpose; c. adequate, relevant and not excessive to purpose; d. accurate and up to date; e. accessible to the subject; f. kept secure; and g. destroyed after its purpose is completed. [15]

Di luar prinsip-prinsip dasar, belum ada konsensus global tentang jenis data mana yang bersifat pribadi, dan mana yang bukan. Kondisi ini menyebabkan perlakuan terhadap kerhasiaan pribadi menjadi cukup kompleks dan sangat bergantung pada kultur (Banizar, 2011).[16] Rezim privacy biasanya menyusun suatu undang-undang perlindungan data pribadi yang mengatur para subjek terkait, mulai dari pemilik (subyek data), pemegang, pengontrol dan pihak ketiga terkait data pribadi tersebut[17].

Indonesia belum memiliki Peraturan perndang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan data pribadi. Untuk menghindari perbedaan tafsir dan kontroversi atas kepemilikan data pribadi (yang termuat dalam dokumen milik negara), maka digunakan terminologi ‘pihak yang rahasianya diungkap’. Pada pasal 18 ayat 2 huruf b, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dinyatakan bahwa kerahasiaan informasi pribadi tidak berlaku bagi pemohon atau pengguna, sepanjang pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis.

Dalam konteks pertanahan, berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat 2 huruf b UUKIP di atas, dan ketentuan pada pasal 192 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1997, muncul satu pertanyaan berikut:

… apakah sesorang yang ingin mengetahui perubahan status kepemilikan atas tanah mereka yang belum terdaftar di masa lalu namun merupakan bagian dari daftar umum dan dokumen-dokumen yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran oleh pemilik terakhir adalah termasuk yang pihak berhak untuk mengakses informasi?

Kerahasiaan Dokumen vs Kerahasiaan Informasi

UU No. 43 tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Arsip) bertujuan ‘antara lain’ untuk: menjamin ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah, menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat melalui pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya. Juga untuk menjamin keselamatan dan keamanan arsip sebagai  bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[18]

Undang-undang ini mengatur tentang tata kelola arsip termasuk retensi arsip berdasarkan nilai guna suatu arsip. Retensi arsip adalah masa penyimpanan arsip dan berkaitan dengan kapan suatu arsip dapat dimusnahkan. Untk kerahasiaan informasi, juga dikenal istilah retensi informasi yang dikecualikan yang dimaknai sebagai jangka waktu pengecualian informasi. Penggunaan istilah retensi ini sering menyebabkan banyak kesalahpahaman: retensi suatu arsip dinilai sebagai jangka waktu kerahasiaan. Retensi arsip terkait dengan penyimpanan dan pemeliharaan suatu dokumen, bukan upaya untuk menutup informasi yang terkandung di dalamnya. UU Arsip mewajibkan Badan Publik untuk menyusun Jadual Retensi Arsip (JRA), yakni: daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip.

Kepemilikan atas arsip yang diproduksi oleh institusi negara juga telah diatur oleh Undang-undang ini.

Pasal 33, UU Arsip:

Arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan kegiatan yang menggunakan sumber dana negara dinyatakan sebagai arsip milik negara.

Dokumen pertanahan yang diperoleh dari proses pendaftaran tanah, dengan demikian masuk dalam salah satu kategori arsip milik negara. Karenanya tata kelola atas dokumen tersebut terikat pula oleh ketentuan tata kelola yang diatur oleh UU Arsip. Lebih jauh, UU Arsip juga mengatur kerahasiaan suatu arsip antara lain dengan alasan apabila arsip tersebut dibuka dapat mengungkap rahasia atau data pribadi.[19]

Bukan suatu kebetulan bahwa ketentuan yang mengatur tentang kerahasiaan suatu arsip memiliki kesamaan dengan pengecualian informasi pada pasal 17 UU KIP yang disahkan satu tahun sebelumnya. Kesamaan teks tersebut merupakan upaya harmonisasi antara kedua Undang-undang ini. Oleh karenanya pelaksanaan UU Arsip juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan pada UU KIP yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan arsip. Sedangkan kewajiban seorang pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (yang diatur oleh UUKIP) dalam hal pengelolaan dokumen, sebaliknya mengacu pada UU Arsip.[20]

Kerahasiaan suatu dokumen tidak terlepas dari status informasi yang ada di dalamnya. Secara sistematik, kerahasiaan suatu arsip/dokumen dimaknai sebagai berikut:

  1. Kewajiban menutup akses terhadap arsip/dokumen negara adalah upaya untuk melindungi informasi yang dikecualikan yang ada di dalamnya.
  2. Ketentuan pengecualian informasi yang ada di dalam arsip harus mengikuti ketentuan pengujian konsekuensi sebagaimana di atur pada UUKIP.
  3. Manakala  tujuan permintaan atau akses terhadap arsip dapat terpenuhi dengan melakukan perlindungan secara khusus terhadap informasi yang dikecualikan di dalamnya, baik melalui metode penghitaman/pengaburan atau anonimity, maka salinan arsip/dokumen tersebut tetap dapat diberikan.

Dari sisi privacy, ketentuan mengenai kerahasiaan arsip/dokumen pertanahan dengan dengan demikian harus didasarkan atas tujuan untuk melindungi informasi pribadi yang termuat di dalamnya. Manakala penutupan akses terhadap informasi yang termuat dalam dokumen pertanahan telah menyebabkan pihak yang memberikan persetujuan untuk rahasianya diungkap kehilangan akses terhadap informasi tersebut, maka akan terjadi kontradiksi antara tujuan kerahasiaan dokumen pertanahan dengan hak konstitusional warga negara atas informasi yang mereka miliki.

Penolakan untuk memberikan akses informasi atas dokumen tersebut juga perlu mempertimbangkan aspek pengecualian lain yang diatur berdasarkan Undang-undang. Untuk suatu jenis dokumen pertanahan, boleh jadi membuka informasi yang ada di dalamnya (meskipun secara terbatas) berpotensi menimbulkan konsekuensi –konsekuensi lain yang dikecualikan berdasarkan Undan-undang (pasal 17 UUKIP).

Kesimpulan

Kerahasiaan pribadi dalam dokumen pertanahan bersifat absolut? UUKIP mewajibkan Pejabat pengelola Informasi dan dokumentasi untuk melakukan pengujian atas konsekuensi ketika menolak untuk memberikan informasi dengan alasan substansial (lihat pasal 19 UUKIP). Ada dua jenis pengecualian dalam keterbukaan informasi publik: (i) pengecualian absolut; (2) pengecualian dengan kualifikasi. Pengecualian absolut tidak dapat dikenakan uji kepentingan publik, sebaliknya untuk pengecualian dengan kualifikasi dapat dilakukan uji kepentingan publik. Pengujian ini adalah untuk memastikan apakah jika informasi ditutup kepentingan publik yang lebih luas tetap dapat dilindungi atau sebaliknya (lihat pasal 2 ayat 4 UU KIP).

UUKIP tidak secara eksplisit menjelaskan jenis pengecualian tersebut di dalam ketentuannya. Namun demikian, untuk informasi pribadi secara implisit pengecualian bersifat absolut, sehingga akses hanya berlaku bagi subyek data atau bagi pihak-pihak lain akibat perlakuan khusus yang diatur oleh undang-undang.

Kerahasiaan absolut atas informasi pribadi dalam UUKIP dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur jangka waktu pengecualian informasi:

Pasal 20, UUKIP:

(1)   Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pengecualian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada pasal (1) di atas jangka waktu pengecualian untuk seluruh informasi yang dikecualikan pada pasal 17 tidak bersifat permanen, kecuali untuk kerahasiaan pribadi (pasal 17 huruf g dan h). Secara implisit UUKIP menganut kerahasiaan absolut untuk informasi pribadi.

Dari kondisi tersebut dan berbagai penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa belum ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur tentang perlindungan data pribadi. Diperlukan beberapa langkah untuk memperjelas kepastian hak subjek data dalam mengakses informasi pribadi mereka yang dikuasai oleh suatu badan publik:

Pertama, perlu dilakukan pendalaman untuk kemungkinan memperluas tafsir atas ‘siapa yang memiliki hak’ untuk mengakses informasi yang ada dalam dokumen pertanahan sehingga tidak hanya terbatas pada pendaftar akhir. Perluasan ini tentunya tetap mensyaratkan penguasaan informasi atau dokumen sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (3) UUKIP.

Kedua, perlu dilakukan pendalaman untuk kemungkinan penghalusan atas ketentuan yang mengatur kerahasiaan dokumen pertanahan. Hal ini untuk menghindari pelaksanaan ketentuan yang berpotensi meniadakan hak mengakses informasi pribadi oleh subyek data (pemilik informasi). Lebih jauh, tetap harus dipertimbangkan apakah pemberian akses terhadap dokumen yang telah mendapat perlakuan khusus tersebut (penghitaman/pengaburan atau anonimity) tetap memenuhi tujuan sehingga tetap memenuhi asas kemanfaatan.

Ketiga, format putusan komisi informasi telah diatur secara khusus pada UU KIP.[21]Untuk kasus pemohon adalah subyek data, yang juga diperbolehkan untuk mengakses informasi pribadi sebagaimana diatur oleh pasal 18 ayat 2 huruf a UUKIP format putusan juga akan menjadi lebih spesifik, karena informasi tersebut hanya terbuka untuk pemohon, tidak untuk publik luas. Dalam hal ini Komisi Informasi mulai memasuki fungsi-fungsi tribunal dalam perlindungan data pribadi


[1] Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1997, Pasal 187:  (1) Informasi tentang data fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah terbuka untuk umum dan dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan secara visual atau secara tertulis; (2) Informasi tertulis tentang data yuridis mengenai sebidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah; (3) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan bentuk sesuai daftar isian 209.

[2] ___ibid, Pasal 188 ayat (2): Kepada pemegang hak dapat diberikan salinan atau fotocopy peta yang menunjukkan batas-batas bidang tanahnya dengan bidang-bidang tanah yang berbatasan.

[3] ___ibid, Pasal 192 ayat (1): Semua daftar umum dan dokumen-dokumen yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran merupakan dokumen negara yang harus disimpan dan dipelihara menurut pertauran perundang-undangan yang berlaku;

[4] Lihat risalah pembahasan rapat Panja RUU KMIP (yang kemudian disahkan menjadi UU KIP) pada tanggal 26 Juni 2007 dan 3 September 2007.

[5] UUKIP, pasal 6 ayat (1): Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.

[6] ___ibid, pasal 6 ayat (2): Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-­undangan.

[7] Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1997, Pasal 192 ayat (4): Dengan izin Kepala Kantor Wilayah kepada pemegang hak yang bersangkutan dapat diberikan petikan, salinan atau rekaman dokumen pendaftaran tanah yang menjadi dasar pembukuan hak atas namanya yang tersimpan di Kantor Pertanahan.

[8] UUKIP, Bagian kesatu tentang Asas, Pasal 2: (1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik; (2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas; (3)           Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana; (4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang­Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

[9] UUKIP, pasal 19: Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap Orang.

[10] Lihat: Birkinshaw, Patrick. 2010. Freedom Of Information, The Law, The Practice And The Ideal. 4th ed. Cambridege University Press, pp 155-156.

[11] Pasal 3 ayat (1) UU KIP.

[12] Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 1950, (available at: http://www.echr.coe.int), article 8: (1) Everyone has the right to respect for his private and family life, his home and his correspondence; (2 There shall be no interference by a public authority with the exercise of this right except as in accordance with the law and is necessary in a democratic society in the interests of national security, public safety or the economic well-being of the country, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health of morals, or for the protection of the rights and freedoms of others.

[13] Privacy International, Review of Privacy, available at: http: //www.privacyinternational. org.

[14] Lihat Daniel J. Solove. 2002. Conceptualizing Privacy, California Law Review [Vol. 90:1087]: I explore the conceptions of a wide array of jurists, legal scholars, philosophers, psychologists, and sociologists. Despite what appears to be a welter of different conceptions of privacy, I argue that they can be dealt with under six general headings, which capture the recurrent ideas in the discourse. These headings include: (1) the right to be let alone—Samuel Warren and Louis Brandeis’s famous formulation for the right to privacy; (2) limited access to the self—the ability to shield oneself from unwanted access by others; (3) secrecy—the concealment of certain matters from others; (4) control over personal information— the ability to exercise control over information about oneself; (5) personhood—the protection of one’s personality, individuality, and dignity; and (6) intimacy—control over, or limited access to, one’s inti- mate relationships or aspects of life.

[15] OECD, Guidelines Governing the Protection of Privacy and Transborder Data Flows of Personal Data” (1981)

[16] Banizar, David. 2011. The Right to Information and Privacy: Balancing Rights and Managing Conflicts, The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, pp 13.

[17] Lihat UK Data Protection Act 1998

[18] Lihat pasal 3 UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

[19] UU Arsip, Pasal 44:

(1) Pencipta arsip dapat menutup akses atas arsip dengan alasan apabila arsip dibuka untuk umum dapat: a. menghambat proses penegakan hukum; b mengganggu kepentingan pelindungan hak atas kekayaan intelektual dan pelindungan dari persaingan usaha tidak sehat; c. membahayakan pertahanan dan keamanan negara; d. mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya; e. merugikan ketahanan ekonomi nasional; f. merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri; g. mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang kecuali kepada yang berhak secara hukum; h. mengungkapkan rahasia atau data pribadi; dan i. mengungkap memorandum atau surat- surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan.

(2) Pencipta arsip wajib menjaga kerahasiaan arsip tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pencipta arsip wajib menentukan prosedur berdasarkan standar pelayanan minimal serta menyediakan fasilitas untuk kepentingan pengguna arsip

[20] Pasal 8 UUKIP: “Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang­-undangan.”

[21] UUKIP, Pasal 46:

(1) Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini:

a. membatalkan   putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau

b. mengukuhkan  putusan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(2) Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini:

a.  memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang­Undang ini;

b.  memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang­Undang ini; atau

c.  mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran dan/atau penggandaan informasi.

(3) Putusan Komisi Informasi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali putusan yang menyangkut informasi yang dikecualikan.

(4) Komisi Informasi wajib memberikan salinan putusannya kepada para pihak yang bersengketa.

(5) Apabila ada anggota komisi yang dalam memutus suatu perkara memiliki pendapat yang berbeda dari putusan yang diambil, pendapat anggota komisi tersebut dilampirkan dalam putusan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari putusan tersebut.

Prinsip Dasar Dalam Memroses Data Pribadi

Prinsip Dasar Dalam Memroses Data Pribadi

Ahmad Alamsyah Saragih

Permintaan informasi data pribadi yang dikuasai oleh suatu otoritas publik masuk ke dalam rezim privasi, seperti: data hasil penilaian seleksi calon pimpinan, data hasil pemeriksaan kesehatan, daftar kekayaan, dsb. Hingga kini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Pengaturan terpecah-pecah di berbagai Undang-Undang, termasuk di Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Semenjak UU KIP diberlakukan, permintaan terhadap informasi yang masuk dalam kategori data pribadi di Badan Publik juga terjadi. Beberapa bahkan masuk ke dalam tahap sengketa. Kombinasi antara norma yang ambigu di UU KIP dan ketiadaan Undang-Undang perlindungan data pribadi telah menyebabkan Komisi Informasi terpaksa menangani sengketa informasi pribadi tersebut.

Komisi Informasi melakukan penyelesaian sengketa terhadap data pribadi dengan pertimbangan: (i) definisi informasi publik dalam UU KIP tidak secara eksplisit memisahkan data pribadi. Sepanjang suatu informasi dikuasai oleh Badan Publik maka ia masuk sebagai informasi publik, terlepas apakah informasi tersebut dikecualikan atau tidak; (ii) ketentuan dalam UU KIP yang mengatur pengecualian dengan alasan kerahasiaan pribadi tidak berlaku sepanjang memenuhi dua syarat: subyek data memberikan ijin tertulis, atau pengungkapan terkait dengan posisi seseorang dalam jabatan publik.

Sejarah

Perlindungan data pribadi menguat dalam dua momentum. Mementum pertama, adalah kelanjutan dari upaya perlindungan hak asasi yang terus menguat setelah Perang Dunia kedua berakhir. Beberapa kovenan dibentuk dan diratifikasi oleh negara anggota. Upaya ini mendapatkan relevansinya bersamaan dengan kemunculan rezim otoriter di banyak negara berkembang yang kerap memanfaatkan data pribadi untuk kepentingan mengancam kebebasan dan keselamatan warga negara. Indonesia di masa rezim Orde Baru adalah salah satu negara yang pernah menjalankan praktik pelanggaran besar-besaran.

Momentum kedua, adalah dampak perkembangan teknologi informasi yang melahirkan inisiatif perlindungan terhadap individu dari pemanfaatan data pribadi oleh negara maupun pasar secara tak adil. Pada periode 1960an data pribadi marak digunakan bukan hanya oleh otoritas publik, tapi juga pasar. Perbankan adalah salah satu sektor yang paling banyak bersinggungan dengan hal ini. Di era tahun 1970an perhatian atas hal ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai Fair Information Paractices (Gellman, 2015).

Prinsip Dasar

Hampir semua negara yang memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDPA) mengatur pengelolaan data pribadi dengan mengacu pada beberapa prinsip dasar. Parivacy Internasional memperkenalkan beberapa prinsip umum yang dianut oleh negara-negara Uni Eropa sebagai berikut (OECD, 1980): (i) there should be limits to what is collected; (ii) the information should be correct; (iii) there must be no secret purposes; (iv) there must be no creeping purposes; (v) the information must be secure; (vi) no secret organisations, sources, or processing; (vii) individuals have rights to be involved; (viii) organisations must be held to account. [1]

Berikut adalah prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam memproses data pribadi yang diterbitkan oleh Kantor Komisi Informasi di Inggris (ICO, 2013)[2]: (i) adil dan berkekuatan hukum: secara khusus dapat diproses jika memenuhi kondisi atau prasyarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang; (ii) sesuai tujuan: hanya untuk satu atau lebih tujuan yang jelas dan berkekuatan hukum, dan tidak boleh diproses dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud; (iii) memadai: relevan dan tidak berlebihan jika dibandingkan dengan tujuan yang mendasari untuk memprosesnya; (iv) akurat: sesuai kebutuhan dan mutakhir; (v) berjangka waktu: tidak boleh dipegang lebih lama dari kebutuhan untuk mencapai tujuan tersebut; (vi) sesuai hak: melindungi hak-hak subyek data yang dijamin oleh Undang-Undang.

————–

[1] OECD. 1980. Annex to the Recommendation of the Council of 23rd September 1980: Guidelines Governing The Protection of Privacy and Transborder Flows of Personal Data. Paragraphs 7 though 14.

[2] ICO. 2013. Requests for Personal Data About Public Authority Employees, Version: 1.2. United Kindom.

Memroses Data Pribadi: Menerapkan Prinsip Adil dan Berkekuatan Hukum

Memroses Data Pribadi: Menerapkan Prinsip Adil dan Berkekuatan Hukum

Ahmad Alamsyah Saragih

Untuk menerapkan prinsip ‘adil dan berkekuatan hukum’ (fair and lawful), penyedia informasi perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut: (i) kerahasiaan absolut berdasarkan Undang-Undang; (ii) konsekuensi yang timbul akibat pengungkapan; (iii) alasan masuk akal dari subyek data; dan (iv) keseimbangan antara ‘kepentingan publik’ untuk mengungkap dengan ‘hak-hak subyek data’ yang harus dilindungi.

UU KIP memberikan hak kepada Badan Publik untuk menolak memberikan informasi yang apabila diberikan kepada Pemohon informasi dapat mengungkap kerahasiaan pribadi (Pasal 6 ayat 3 huruf c, jo. Pasal 17 huruf g dan h). Meski demikian, UU KIP juga mengakomodasi pengecualian berdasarkan Undang-undang lain.

Kerahasiaan Absolut Berdasarkan Undang-Undang

Indonesia belum memiliki Undang-undang Privasi maupun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Secara umum perlindungan data pribadi mengacu pada Konstitusi, UU HAM, dan Undang-Undang lain yang mengaturnya secara parsial. Kondisi ini menyebabkan akses terhadap data pribadi sering melahirkan polemik tak berkesudahan.

Meski UU KIP mengatur bahwa data pribadi adalah informasi yang dikecualikan, UU KIP tak menyatakan bahwa kerahasiaan pribadi bersifat absolut sehingga penanganannya harus mengacu pada Undang-Undang tertentu. Untuk mengatasi kelemahan ini penyedia informasi (Badan Publik) perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut:

  • Apakah ada undang-undang atau norma universal yang secara eksplisit mengatur kerahasiaan data tersebut bersifat absolut (data pribadi sensitif, dsb.)? Jika masuk dalam kategori kerahasiaan absolut, maka informasi yang diminta tak dapat diproses.
  • Jika tak ada undang-undang atau norma universal yang mengatur, lakukan perbandingan hukum dengan berbagai pengaturan tentang data pribadi. Minta pendapat tertulis dari ahli yang menguasai pengetahuan tentang hal ini.

Konsekuensi Yang Timbul Akibat Pengungkapan

Jika informasi yang diminta tidak masuk dalam kategori informasi dengan kerahasiaan absolut berdasarkan undang-undang atau norma universal, metode anonim dapat menjadi opsi pertama yang ditawarkan kepada Pemohon Informasi. Dalam hal metode anonim, pengaburan atau penghitaman akan dilakukan maka perlu dipastikan:

  • Apakah jika metode tersebut diterapkan, informasi yang disediakan terbebas dari risiko terungkapnya identitas subyek data?, dan
  • Apakah jika metode tersebut diterapkan, informasi yang disediakan masih memiliki relevansi terhadap tujuan permohonan?

Jika satu dari kedua kondisi tersebut tak terpenuhi, penyedia informasi wajib melakukan pengujian atas konsekuensi bahaya yang ditimbulkan. Konsekuensi bahaya yang ditimbulkan memiliki skala berdasarkan tingkat kecenderungan terjadi (likelihood) dan keparahan (saverity)—lihat lampiran-5A1.

Alasan Masuk Akal dari Subyek Data

Dalam transaksi data pribadi antara Subyek Data dan Pemegang Data, harapan-harapan yang yang masuk akal dari Subyek Data menjadi salah satu yang harus diidentidikasi. Dalam banyak kasus, hal tersebut telah merupakan bagian dari perjanjian terformat yang menyertai transaksi. Pemegang data terikat pada perjanjian ini manakala harus menyediakan data kepada pihak ketiga. Transaksi data pribadi tanpa perjanjian tidak menggugurkan kewajiban Penyedia Data untuk memperhatikan harapan masuk akal dari Subyek Data.

Dalam hal subyek data menyetujui secara tertulis, maka informasi dapat diberikan kepada pihak ketiga. Namun konfirmasi tetap perlu dilakukan kepada subyek data untuk mendengarkan alasan yang masuk akal dari mereka, dan menyampaikan mitigasi yang disipakan Penyedia Data untuk mengurangi tingkat risiko pengungkapan data kepada pihak lain. Jika subyek data tak menyetujui, maka alasan masuk akal dari subyek data harus diidentifikasi sebagai salah satu input dalam melakukan pengujian kepentingan publik.

Contoh Kasus 5a-1:

Pemohon Informasi meminta daftar riwayat hidup seorang pegawai di instansi pemerintah. Setelah dikonfirmasi, subyek data (pegawai yang diminta salinan daftar riwayat hidupnya tersebut) menilai bahwa data pribadi berupa rekam jejak dirinya sebaiknya hanya dibuka sepanjang memiliki relevansi dengan posisi jabatan, dan jabatan tersebut memiliki pengaruh kuat terhadap nasib orang banyak. Sementara ia menilai dirinya tidak dalam posisi memegang jabatan dengan kriteria tersebut. Alasan masuk akal dari subyek data yang ada di instansi pemerintah tersebut harus diperhatikan sebagai faktor yang memperkuat keputusan untuk mempertahankan kerahasiaan.

Keseimbangan Antara Kepentingan Publik dan Hak Subyek Data

Meskipun data pribadi bersifat rahasia, ia masih dapat dibuka kepada pihak ketiga dengan mempertimbangkan ada kepentingan tertentu yang lebih besar. Kepentingan yang lebih besar tersebut dapat dijadikan pertimbangan sepanjang memenuhi beberapa batasan sebagai berikut:

  • Data pribadi tersebut tidak termasuk dalam kategori dirahasiakan secara absolut oleh Undang-Undang.
  • Kepentingan tersebut adalah kepentingan publik, bukan kepentingan privat.
  • Tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh pemohon informasi untuk memenuhi tujuannya selain dengan mengakses informasi tersebut.
  • Kepentingan publik yang dimaksud harus bersifat legitimate (rasional dan sesuai dengan ketentuang yang diatur oleh Undang-Undang).

Dalam mempertimbangkan kepentingan publik terhadap hak-hak subyek data, maka alasan masuk akal dari subyek data tetap harus dimasukkan sebagai input. Alasan tersebut akan menentukan cara pemberian yang efektif terhadap pemohon informasi. Dalam Contoh Kasus 5a-1 di atas, penyedia informasi dapat memutuskan untuk memberikan daftar riwayat hidup yang hanya memuat informasi yang relevan dengan posisi dan jabatan pegawai tersebut, sepanjang jabatan tersebut memang memiliki pengaruh besar pada kehidupan publik melalui keputusan yang dihasilkan.

Memroses Data Pribadi: Sesuai Tujuan, Memadai, Akurat dan Berjangka Waktu

Memroses Data Pribadi: Sesuai Tujuan, Memadai, Akurat dan Berjangka Waktu

Permintaan data pribadi harus diproses sesuai tujuan. Dalam melaksanakan prinsip ini penyedia data perlu mendalami tujuan dari permintaan data pribadi tersebut, agar tujuan perlindungan tetap dapat dicapai tapi tujuan permintaan informasi yang sah berdasarkan hukum tetap dapat dipenuhi. Untuk ini perlu diperhatikan beberapa hal berikut: (i) tujuan permohonan informasi (data pribadi) dilindungi hukum, mewakili kepentingan publik dan relevan; (ii) data diproses secara memadai, akurat, semata-mata untuk memenuhi tujuan Pemohon Informasi, dan berjangka waktu.

Informasi publik berada di bawah rezim hak untuk tahu, data pribadi berada di bawah rezim privasi. Rezim hak untuk tahu meletakkan informasi yang bersifat terbuka di wilayah publik dan penyediaan informasi menganut asas universal: semua informasi terbuka selain yang dikecualikan oleh undang-undang (pro disclosure biased). Sebaliknya, rezim privasi meletakkan informasi di wilayah privat, dan penyediaan informasi menganut asas residual: semua informasi bersifat tertutup selain yang diijinkan terbuka oleh Undang-Undang (pro secrecy biased).

Salah satu konsekuensi dari penerapan asas universal yang ekstrim dalam rezim hak untuk tahu adalah larangan bagi penyedia layanan untuk mempertanyakan tujuan permohonan informasi kepada Pemohon, kecuali jika permohonan jatuh pada domain informasi yang dikecualikan. Di beberapa negara, Kanada misalnya, mengetahui tujuan permohonan dinilai berisiko menimbulkan diskriminsi. Penyedia layanan akan memprioritaskan permohonan yang menurut mereka memiliki tujuan lebih penting dari yang lainnya.

Berbeda dengan rezim hak untuk tahu, rezim privasi mengutamakan tujuan permohonan informasi. Penyedia data bahkan harus memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada cara lain yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan permohonan selain dengan mengakses data pribadi tersebut (Alamsyah, 2015). [1]

Tujuan Dilindungi Hukum, Mewakili Kepentingan Publik, dan Relevan

Hanya tujuan permintaan yang sah secara hukum dan mewakili kepentingan publik yang dapat dinilai relevansinya oleh Penyedia Data Pribadi. Dengan demikian mengakses data pribadi untuk tujuan yang mewakili kepentingan privat tak diperkenankan, misalnya: meminta alamat rumah untuk mengirimkan material promosi atau materi kampanye politik.

Contoh kasus 5b-1: Perkumpulan Inisiatif melawan Sekretariat TNP2K

Perkumpulan Inisiatif mengajukan permohonan informasi berupa salinan daftar nama dan alamat penerima Jamkesmas di Kabupaten Bandung. Termohon, Sekretariat TNP2K, menolak memberikan dengan alasan dapat mengungkap rahasia pribadi dan bertentangan dengan UU Adminduk. Dalam pendataan ada perjanjian antara pemerintah dengan responden (subyek data) bahwa data mereka hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan pemerintahan. Dalam persidangan penyelesaian sengketa Informasi di Komisi Informasi Pusat, Perkumpulan Inisiatif tak dapat membuktikan memiliki ikatan kerja sama dengan Pemerintah terkait tujuan permohonannya. Majelis Komisioner memutuskan menolak permohonan Pemohonan.

Selain sah secara hukum, Pemohon data pribadi—kecuali Pemohon adalah Subyek Data, harus menerangkan relevansi tujuan terhadap permintaan data pribadi tersebut. Penyedia data berhak untuk menanyakan metode atau teknik pengolahan data untuk mencapai tujuan tersebut. Jika Penyedia Data menilai tujuan dan metode tersebut tidak memiliki relevansi dengan data yang diminta maka permohonan dapat ditolak, meski tujuan tersebut sah secara hukum.

Memadai, Akurat, Semata-mata Untuk Memenuhi Tujuan dan Berjangka Waktu

Data yang disediakan harus memadai, dalam pengertian penyedia data harus memroses data sedemikian rupa sehingga data yang disediakan dapat digunakan oleh pemohon informasi untuk mencapai tujuannya.

Selain memadai data yang disediakan harus akurat dan mutakhir. Hal ini untuk menghindari pemohon atau pengguna informasi dari kemungkinan pengambilan kesimpulan yang keliru atau sudah tidak sesuai dengan perkembangan.

Penyediaan data harusdipastikan tidak berlebihan sehingga dapat digunakan untuk mencapai tujuan permohonan, namun kecil kemungkinan dapat digunakan untuk tujuan lain yang berbeda dengan tujuan permohonan. Untuk itu Penyedia Data dapat menggunakan metode-metode tertentu untuk mengurangi derajat sensitifitas (pengaburan atau penghitaman, penyaksian tanpa penyalinan, dsb.) sepanjang tujuan permohonan masih bisa dicapai.

Contoh kasus 5b-2: Amhar AZ melawan Kemendiknas

Amhar AZ mengajukan permohonan informasi berupa hasil penilaian Peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan formula perhitungan kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Permohonan ditolak dengan alasan dapat mengungkap rahasia pribadi karena hasil penilaian termasuk dalam kapabilitas seseorang. Dalam mediasi yang dilakukan oleh Komisi Informasi Pusat, akhirnya disepakati informasi diberikan dengan cara mengaburkan nama-nama peserta kecuali nilai mereka, termasuk memberikan formula perhitungan yang digunakan. Pemohon akhirnya memperoleh data-data, melakukan perhitungan berdasarkan formula tersebut dan menyatakan bahwa proses seleksi telah tepat.

Dalam hal tujuan permohonan telah tercapai dan data sebagai sumber informasi yang digunakan oleh Pemohon untuk mencapai tujuan tersebut masih memiliki risiko mengungkap informasi untuk tujuan lain, Penyedia Data harus memastikan salinan data dimusnahkan segera ketika tujuan telah tercapai.

—————

[1] Lihat Alamsyah Notes PDP-005B.27.06.2015subjudul Keseimbangan Antara Kepentingan Publik dan Hak Subyek Data. Hal. 2.

Pengujian Terhadap Konsekuensi Bahaya

Pengujian Terhadap Konsekuensi Bahaya

Kewajiban melakukan pengujian atas konsekuensi dalam UU KIP dibebankan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Hal ini diatur pada Pasal 19 UU KIP:

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa: (i) konsekuensi yang diuji adalah konsekuensi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 UU KIP; (ii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan saksama; (iii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Dari ketentuan ini PPID di Badan Publik memang tidak dikenakan kewajiban melakukan pengujian atas kepentingan publik.

Kata saksama dan teliti memiliki makna yang sama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Keduanya mengandung makna dengan cermat. Khusus untuk teliti, jika dilihat dari kata kerja ‘meneliti’ maka KBBI menjelaskan sebagai berikut: memeriksa (menyelidiki dsb) dengan cermat. Suatu penelitian dimaknai sebagai berikut: kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yg dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum; Kata sistematis dimaknai sebagai: teratur menurut sistem; memakai sistem; dengan cara yg diatur baik-baik. Sedangkan objektif dimaknai: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi[1]

Dengan demikian maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Adapun untuk menentukan apakah seorang PPID telah melakukan dengan penuh kecermatan maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan secara sistematis dan objektif. Kata sistematis mensyaratkan adanya kerangka logis tertentu yang mendasari suatu tahapan. Kata objektif mensyaratkan suatu fakta sebagai dasar argumen. Pertanyaannya kemudian adalah fakta apa yang perlu digali secara cermat dalam pengujian ini? Mengingat konsekuensi yang diuji dalam pengecualian informasi menyangkut suatu konsekuensi yuridis, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lain pada buku ini, maka fakta yang digali dalam pengujian ini adalah fakta yuridis. Pengujian atas konsekuensi yang dimaksud di sini tidak menggunakan fakta empirik sebagaimana riset uji coba atau eksperimental.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penulis akan menguraikan tahapan konsekuensi yang mencakup paling tidak lima tahapan: (i) tahap klarifikasi informasi; (ii) tahap identifikasi fakta yuridis; (iii) tahap identifikasi kepentingan yang akan dilindungi; (iv) tahap pemeriksaan relevansi; dan (v) tahap penetapan.

Tahap-1: Melakukan Klarifikasi Informasi

Pada tahap ini PPID (dapat melalui petugas informasi) melakukan penajaman atas informasi yang diminta oleh pemohon informasi. Alasan permohonan atau tujuan permohonan menjadi penting, meskipun bukan berarti alasan permohonan dapat dijadikan dasar untuk menolak memberikan informasi. Seringkali informasi yang dminta tidak cukup jelas (terutama jika disampaikan melalui surat) karena bisa mencakup volume yang begitu besar sehingga perlu dipertajam yang relevan dengan tujuan permohonan.

Sebagai contoh, seorang guru meminta informasi sebagai berikut: ‘data anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep’. Setelah diklarifikasi tujuan permohonan adalah untuk mengetahui berapa insentif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah secara resmi. Tentunya petugas Informasi dapat mengidentifikasi bagian atau lembar mana dalam dokumen anggaran pendidikan yang memuat informasi tersebut. Klarifikasi akan mempermudah petugas informasi mengidentifikasi dokumen sumber informasi.

Contoh lain, seorang pemohon informasi mengajukan permintaan informasi secara tertulis: ‘salinan dokumen hasil audit BPKP sebagaimana yang diberitakan oleh harian Media Indonesia berikut semua dokumen pendukung termasuk hasil konsultasi’. Dalam tahap klarifikasi informasi ternyata yang dimaksud pemohon adalah ingin mengetahui informasi terkait berita tentang adanya penyimpangan berdasarkan hasil audit BPKP. Informasi yang tersedia adalah dokumen surat hasil review terhadap kelengkapan laporan keuangan oleh BPKP, yang merupakan pembinaan bukan audit. Maka PPID menjelaskan hal tersebut dalam surat bahwa berita penyimpangan salah dan Media telah menyatakan permohonan maaf. Dalam merespon PPID juga menyampaikan hasil pengujian atas konsekuensi terhadap surat BPKP tersebut yang merupakan surat antar Badan Publik.[2]

Tahap-2: Mengidentifikasi Fakta Yuridis

Pada tahap ini jika teridentifikasi bahwa informasi dikecualikan secara prosedural, maka disusun pemberitahuan tertulis bahwa informasi tersebut sebetulnya terbuka akan tetapi harus disampaikan sesuai dengan prosedur tertentu. Jika informasi dikecualikan secara substansial, namun masuk dalam kategori pengecualian absolut maka tahap pengujian langsung masuk pada pemeriksaan relevansi (tahap-4). Jika relevan, PPID menyusun penetapan dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada pemohon bahwa permohonan ditolak berdasarkan ketentuan yang mendasari pengecualian tersebut.

Pengujian konsekuensi tidak perlu dilanjutkan karena secara absolut informasi dikecualikan. Dalam UU KIP kemungkinan ini bisa terjadi ketika informasi yang diminta menyangkut kerahasiaan pribadi seseorang. Tahap lebih lanjut hanya dilakukan jika informasi yang diminta dikecualikan dengan kualifikasi.

Langkah selanjutnya adalah identifikasi dasar hukum pengecualian informasi dengan kualifikasi. Seringkali ditemukan bahwa satu informasi dikecualikan oleh lebih dari satu alasan pengecualian. Sebagai contoh, seorang pemohon informasi meminta secara tertulis: data kredit UKM yang disalurkan oleh Bank Mandiri mencakup besaran nilai, nama dan alamat penerima di tingkat kelurahan.[3] Setelah diidentifikasi, maka informasi tersebut dikecualikan dengan alasan sebagai berikut:

alasan-1:

Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengungkap kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang.

alasan-2:

Pasal 17 huruf b UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Dalam kasus di atas, pengecualian didasarkan atas dua fakta yuridis yakni Pasal 17 huruf h UU KIP (pengecualian absolut) dan huruf b UU KIP (pengecualian dengan kualifikasi berbasis praduga). Dalam kasus tertentu boleh jadi dasar pengecualian juga bersumber dari Undang-Undang lain. Mengapa UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998) tidak masuk sebagai dasar pengecualian pada kasus di atas? UU Perbankan mengatur kerahasiaan nasabah, bukan debitur.

Tahap-3: Mengidentifikasi Kepentingan Yang Ingin Dilindungi

Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi mengenai kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh suatu Undang-Undang yang menjadi dasar pengecualian. Untuk pengecualian yang didasarkan atas ketentuan pengecualian pada Pasal 17 UU KIP, sebagian besar kepentingan yang akan dilindungi cukup jelas. Meskipun demikian perlu dideskripsikan secara lebih konkrit.

Sebagai contoh, pada kasus terdahulu memberikan informasi kredit usaha kecil dan menengah (UKM) di suatu kelurahan dinyatakan untuk menghindari gangguan atas perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Bagaimana menjelaskan ini? Bagi PPID Bank Mandiri, hal ini dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: jika informasi tersebut dibuka dan diketahui oleh pesaing Bank Mandiri, maka debitur dapat didekati dan ditawarkan skema yang lebih menguntungkan. Jika debitur terbujuk dan beralih bank, maka Bank Mandiri akan mengalami kerugian dalam penerimaan. Membuka informasi tersebut akan mengganggu persaingan usaha yang sehat. Bank Mandiri akan kehilangan sejumlah debitur dengan track record baik dan tingkat resiko rendah dalam pengembalian.[4]

Dalam kasus lain, kita bisa melihat bahwa kepentingan yang ingin dilindungi melalui pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata tak berbeda dengan pengecualian pada UU KIP. Sebagai contoh, ICW meminta informasi informasi terkait 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar oleh Mabes Polri setelah pemeriksaan tanggal 23 Juli.[5]

Salah satu alasan penolakan oleh PPID Polri adalah bahwa informasi tersebut dikecualikan berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).[6] Tak ada uraian kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh UU TPPU. Dalam persidangan, Yenti Garnasih, ahli yang didatangkan oleh Mabes Polri, menerangkan salah satu kepentingan yang akan dilindungi melalui UU TPPU. Menurut Yenti Garnasih: ‘berdasarkan Pasal 10 A UU TPPU pejabat, penyidik, PPATK atau siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan tujuannya adalah jika nasabah yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut’.[7]

Pada argumen di atas, kita melihat suatu bentuk pengecualian yang pada dasarnya adalah untuk melindungi kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini juga telah diatur pada Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP. Dengan kata lain tak ada kekhususan dalam hal tujuan pengecualian pada UU TPPU tersebut terhadap UU KIP.

Pengecualian pada UU TPPU juga terkait dengan kerahasian perbankan berdasarkan beberapa pasal pada UU Perbankan.[8] Pengecualian berdasarkan UU Perbankan juga perlu dicermati. Kepentingan apa sesungguhnya yang ingin dilindungi, seperti: kerahasiaan pribadi nasabah, ketahanan ekonomi nasional, persaingan usaha yang sehat, dsb. Besar kemungkinan kepentingan tersebut juga telah diatur pada Pasal 17 UU KIP.

Dalam mengidentifikasi kepentingan yang akan dilindungi seringkali ditemukan bahwa kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tertentu merupakan kerahasiaan turunan (derivasi) dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur oleh UU KIP. Persoalannya tidak semua Undang-Undang menjelaskan konsekuensi negatif yang ingin dilindungi oleh pengecualian yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Untuk itu cara terbaik adalah menelusuri risalah pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut (memorie van toelichting) atau naskah akademiknya.

Jika di dalam kedua dokumen tersebut tidak ditemukan maka mendatangkan ahli yang kompeten untuk menjelaskan adalah salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh.[9] Identifikasi kepentingan yang ingin dilindungi akan menghasilkan dasar hukum pengecualian yang kokoh dan menentukan kualitas penetapan hasil uji konsekuensi oleh PPID. Pelibatan satuan kerja internal yang membidangi hukum menjadi sangat penting.

Di perusahaan swasta yang telah memiliki regulatory management yang mapan, untuk memutuskan menolak memberikan suatu jenis informasi yang strategis, sensitif dan beresiko bagi perusahaan biasanya dibahas di disclosure committee. Semenjak UU KIP diberlakukan beberapa Badan Publik juga telah membentuk tim pertimbangan yang berfungsi sebagaimana disclosure committee pada perusahaan swasta.[10]

Terakhir, perlu diperhatikan apakah pengecualian masuk kategori pengecualian absolut. Jika informasi tersebut masuk kategori pengecualian absolut maka PPID segera menetapkan hasil pengujian atas konsekuensi tersebut untuk menolak memberikan informasi kecuali diatur lain oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, kendati informasi mengenai aset seseorang dikecualikan berdasarkan pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP, Komisi Informasi Pusat memutus BPN untuk membuka informasi terkait permohonan informasi atas tanah hanya kepada pemohon karena pihak pemohon terbukti masuk dalam kategori yang memiliki hak untuk mengakses. Pengadilan telah menetapkan pemohon sebagai pewaris yang sah.[11] Pasal 18 ayat (2) UU KIP menyatakan bahwa tidak termasuk informasi dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 17 huruf g dan h (kerahasiaan pribadi) antara lain bila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetuju-an tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan­-jabatan publik.

Tahap-4: Memeriksa Relevansi Pengecualian

Memeriksa relevansi pengecualian informasi merupakan langkah terakhir untuk menerapkan prinsip ‘saksama dan penuh ketelitian’ dalam pengujian konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KIP. Kadangkala informasi yang dimohon boleh jadi secara yuridis termasuk informasi yang dikecualikan. Hasil identifikasi terhadap kepentingan yang akan dilindungi oleh suatu Undang-Undang menunjukkan kesimpulan sementara bahwa: ‘patut diduga kepentingan yang akan dilindungi secara oleh Undang-Undang akan terganggu jika informasi diberikan’. Akan tetapi ketika dilakukan pemeriksaan terhadap relevansi, informasi tersebut sudah tidak relevan untuk dikecualikan. Sebagai contoh (Alamsyah Saragih, 2012):[12]

Relevansi kerahasiaan pribadi. Seseorang meminta informasi mengenai 10 debitur UKM terbaik dari suatu Bank BUMN. Hasil identifikasi dalam daftar informasi yang dikecualikan, nama debitur masuk dalam kategori dikecualikan. Tujuan pengecualiannya adalah untuk melindungi data pribadi terkait posisi keuangan seseorang sesuai dengan Pasal 17 huruf h UU KIP, kecuali seizin yang pihak yang rahasianya diungkap sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (2). Namun demikian pada saat pemohon meminta, Bank BUMN yang bersangkutan baru saja selesai melakukan pengumuman 10 debitur UKM terbaik dan memberikan penghargaan kepada mereka dalam suatu acara terbuka diliput media. Dengan demikian, menolak permohonan berdasarkan tujuan pengecualian tersebut telah kehilangan relevansinya karena informasi telah terpublikasi.

Relevansi Kerahasiaan Sumber Daya Alam. Seorang jurnalis mengajukan permohonan informasi untuk peliputan potensi sumber daya alam lokal suatu Kabupaten. Dalam daftar informasi yang dikecualikan informasi tersebut termasuk informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 huruf d UU KIP, yakni informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia. Tujuan pengecualian dinyatakan untuk melindungi posisi tawar Indonesia dalam persaingan bisnis pengelolaan sumber daya alam di pasar modal global. Alasan lain keterangan ahli menyatakan bahwa hal tersebut untuk mengurangi peluang intervensi asing yang melemahkan ketahanan ekonomi nasional, kendati masih dapat diperdebatkan. Setelah mencermati daftar sumber daya alam lokal yang diminta, tujuan pengecualian tersebut tidak relevan untuk ditetapkan sebagai dasar penolakan. Informasi yang diminta tidak memiliki nilai strategis sesuai kepentingan yang akan dilindungi berdasarkan Undang-Undang. Bahkan promosi sumber daya alam lokal justru berpeluang mendatangkan investasi untuk penciptaan lapangan kerja lokal. 

Tahap-5: Menetapkanan Hasil Uji Konsekuensi

Tahap ini adalah tahap menuangkan hasil pengujian atas konsekuensi menjadi suatu keputusan publik. Instrumen hukum yang digunakan adalah penetapan. Penetapan akan memuat mulai dari dasar pertimbangan hingga keputusan PPID mengenai status informasi tersebut. Dalam keputusan ini boleh jadi tidak semua dasar hukum pengecualian digunakan sebagai argumen untuk menolak memberikan informasi, melainkan hanya dasar hukum yang terbukti relevan sebagai alasan pengecualian.

Menguji Pengecualian Berdasarkan Undang-Undang lain

Pasal 17 huruf j UU KIP mengatur bahwa suatu informasi dapat dikecualikan jika ada Undang-Undang yang melarang pengungkapan. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang lain.

Pasal 17 huruf j:

informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang­-Undang.

Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial berdasarkan peraturan perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan pada Pasal 6 ayat (1) UU KIP. Dengan masuknya ketentuan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-Undang pada kelompok Pasal 17 UU KIP (secara khusus mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.

Dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR menjadikan UU KIP sebagai Undang-Undang payung (umbrella act). Hal tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) tak menge-nal jenis Undang-Undang tersebut.

Dalam pembahasan bersama DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan peraturan perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi pengecualian berdasarkan peraturan perundang-undangan lain dan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of law). Usul ini diterima oleh DPR:

Prof. Ahmad Ramli (wakil Pemerintah): ‘… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita harus menggunakan asas-asas perundang-undangan… Oleh karena itu kita selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-Undang ini, tapi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang jauh lebih spesifik.’[13]

Dalam praktik, bukan hal yang mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas tersebut. Para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang terhadap yang lainnya. Diperlukan kecermatan dalam menerapkan apa yang selama ini dikenal dengan kaidah ‘yang khusus mengesampingkan yang umum’ (lex specialis derogate legi generalis), sebelum menyatakan bahwa Undang-Undang lain bersifat lebih khusus terhadap UU KIP.

Bagaimana menerapkan asas ini dalam pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain? Pertama, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi kepentingan tertentu yang secara khusus ingin dilindungi oleh pengecualian dalam Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam tujuan). Kedua, asas pengecualian oleh Undang-Undang tersebut tetap mengacu pada UU KIP sepanjang Undang-Undang tersebut tidak mengatur asas pengecualian tersendiri (kekhususan dalam asas). Ketiga, prosedur untuk membuka dan mengakses informasi yang dikecualikan oleh Undang-Undang lain tetap mengikuti UU KIP, sepanjang tidak diatur secara lebih khusus oleh Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam prosedur).

Jika beberapa hal di atas tidak terpenuhi, biasanya terjadi overlap antara UU KIP dan Undang-Undang yang bersangkutan namun tidak ada kekhususan. Dalam praktik, biasanya pengecualian oleh Undang-Undang lain tersebut memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan sebagaimana yang juga telah diatur di UU KIP. Tidak jarang bahkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata merupakan turunan dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur di UU KIP.

Pada masa lalu, langkah legal untuk harmonisasi dapat mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:

Pasal 44 ayat (2) :

Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Lampiran C.1 angka 74, huruf c:

Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.

Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada Pasal 2 UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap pengecualian yang diatur oleh Undang-Undang yang lebih khusus, sepanjang Undang-Undang tersebut tidak menganut asas pengecualian dan prosedur akses tersendiri.

Ketentuan Penutup UU KIP memperkuat hal ini:

Pasal 63:

Pada saat berlakunya Undang-­Undang ini semua peraturan perundang­-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang­-Undang ini.

Dari berbagai ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak UU KIP berlaku, pengecualian atas dasar Undang-Undang lain tetap harus disertai dengan pembuktian atas konsekuensi yang timbul dan pertimbangan atas kepentingan publik yang lebih luas.

Namun demikian sejak diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku. Pengaturan tentang sistematika pada UU No. 12 Tahun 2011 tidak menganut ketentuan sebagaimana pada UU terdahulu.

Upaya harmonisasi antar peraturan perundang-undangan akan kembali bersandar kepada prinsipprinsip umum yang lebih bersifat teoritik atau doktrinal ketimbang ketentuan legal. Harmonisasi diperkirakan akan sangat tergantung pada keyakinan yang dilandaskan pada teori dan doktrin.

Catatan Penutup

Pengujian konsekuensi dalam praktik pengecualian informasi sejak UU KIP diberlakukan akan berdampak kepada beberapa hal berikut: pertama, UU KIP telah mengakomodir pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain. Oleh karena itu, secara sistematik, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain terikat pada asas pengecualian yang diatur pada Pasal 2 ayat (4) UU KIP sepanjang Undang-Undang yang bersangkutan tidak memiliki asas pengecualian tersendiri. Pada ketentuan ini konsekuensi dan kepentingan publik merupakan pertimbangan dasar untuk pengecualian suatu informasi berdasarkan Undang-Undang, baik UU KIP maupun Undang-Undang lain.

Kedua, tidak ada pengecualian tanpa identifikasi kepentingan yang akan dilindungi (konsekuensi negatif) kendati pengecualian tersebut diatur oleh Undang-Undang selain UU KIP. Hal ini akan menjadikan posisi risalah pembahasan (memorie van toelichting) dan naskah akademik sebagai dokumen pendukung kebijakan menjadi vital dalam menyusun pertimbangan hukum pengecualian. Penelusuran diperlukan terutama ketika suatu Undang-Undang tidak secara eksplisit menjelaskan tujuan kerahasiaan suatu informasi.

Ketiga, penerapan kedua hal di atas akan mencegah kontradiksi ketika terjadi upaya-upaya pengaturan kerahasiaan melalui regulasi di luar UU KIP. Kerangka pengujian atas konsekuensi secara yuridis akan mengarahkan setiap pengecualian substansial kepada tiga kerahasiaan mendasar sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (3) dan pasal 17 UU KIP.

Hal ini akan mempermudah mainstreaming keterbukaan informasi publik di berbagai sektor. Diperkirakan tidak cukup mudah untuk menerapkan model konsekuensi negatif di tengah cara pandang pengambil keputusan publik yang cenderung kaku dan tekstual dalam memaknai suatu regulasi dan telah terbiasa dengan pola kerahasiaan sebelum UU KIP diberlakukan.

———-

[1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (http://kbbi.web.id/), diakses pada 10 Desember 2012.

[2] Penetapan No. 01/V/2012. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Komisi Informasi Pusat, tanggal 21 Mei 2012.

[3] Lihat perkara No: 243/VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat RI.

[4] Lihat Penjelasan Termohon pada sidang Ajudikasi sengketa No. 243/ VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri pada tanggal 3 Oktober 2011.

[5] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010 antara ICW v Mabes Polri, Jakarta 8 Februari 2011.

[6] Pasal 10 A UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

[7] Lihat keterangan Yenti Garnasih dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011. Sumber: Salinan Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010. ICW v Mabes Polri. Jakarta 8 Februari 2011.

[8] Dalam UU Perbankan (pasal 40, 41, 41A, 42, 43, dan 44A) diatur ketentuan yang mewajibkan Bank untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Namun demikian untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ketentuan kerahasiaan tersebut berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.

[9] Saragih, Alamsyah. Pengecualian Informasi Pada Badan Publik Negara. Jakarta: Komisi Informasi Pusat RI. 2012, hal. 35.

[10] Antara lain dapat dilihat pada SOP PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Persero) yang mengatur pengelolaan informasi yang dapat diakses dengan izin PT Telkom.

[11] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 175/V/KIP-PS-A/2012. Widarti v Kanwil BPN DIY. 12 September 2012.

[12] Saragih Alamsyah. Op. cit., hal. 66.

[13] DPR-RI, Komisi I. Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU KMIP. 26 Juni 2007.