“Selamat atas terpilihnya Komisioner baru KI Pusat,” itulah sebaris kalimat yang perlu kita sampaikan kepada tujuh komisioner baru Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) periode 2013 – 2017. Benar, ada catatan selama proses pemilihan ini, tertutupnya satu sesi penting yang perlu diketahui publik, yaitu pemilihan oleh para anggota Komisi I DPR RI, pasca uji kepatutan dan kelayakan. Namun, problem itu sesungguhnya teralamatkan ke DPR RI.

Bagaimana dengan Komisioner baru? Tentu, harus kita dukung bersama. Publik telah melakukan pengawalan proses pembentukan KI periode ini, mulai dari mengingatkan Presiden, mendorong pembentukan panitia seleksi oleh pemerintah dan mengusulkan wakil masyarakat di dalamnya, memberikan dukungan penelusuran rekam jejak para calon anggota Komisi Informasi, mensosialisasikan proses seleksi ini kepada publik, hingga memastikan agar mereka yang terpilih melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI, benar-benar berintegritas, memiliki komitmen, dan kapasitas, sampai dengan memberikan usulan roadmap baru bagi KI ke depan. Proses ini, antara lain dilakukan oleh Freedom of Information Network Indonesia.

Dukungan besar kepada KI periode II, selama proses pembentukannya ini, tentu tak boleh berakhir. Ada sejumlah hal krusial yang perlu dukungan publik, antara lain:

  1. Secara regulasi, hukum beracara di Komisi Informasi perlu pembenahan, sebab prosesnya selama ini cukup lama dan berbelit. Tentu, ada bagian dimana KI perlu koordinasi dengan Mahkamah Agung.  Selain itu, juga ada kode etik yang perlu diselesaikan, sebagai panduan perilaku baik bagi komisioner.
  2. Secara kapasitas personal, beberapa Komisioner saat ini, tidak terlibat dalam proses pembentukan UU KIP dan kelembagaan Komisi Informasi, sehingga ada perspektif filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang mungkin saja terlewat pada mereka.
  3. Secara kepemimpinan, KI membutuhkan sosok yang mampu menggerakkan dan menjaga integritas komisioner lainnya, sehingga tidak ada lagi yang merasa sebagai petinggi (meminjam istilah salah seorang komisioner). Sebuah sindiran pada oknum Komisioner yang datangnya jika matahari telah tinggi (siang) dan pulang sebelum matahari terbenam.
  4. Sebagai badan publik, lembaga ini sendiri merupakan objek dari implementasi UU KIP. Sudahkah 100 % diterapkan? Ternyata belum. Bukan karena komitmen, tetapi di internal sendiri KI sendiri dukungan sekretariat belum memadai.
  5. Dan berbagai persoalan lainnya.

Pertanyaannya, dukungan seperti apa yang bisa diberikan publik? Apapun itu, bisa jadi berupa komitmen sebagai sebuah gerakan maupun melalui program yang disupport oleh pihak tertentu, sebagaimana yang dilakukan selama ini. Apapun itu, komunikasi antara Komisi Informasi dan masyarakat, tetap perlu dibangun. Harapannya, keterbukaan juga ditunjukkan juga oleh para Komisioner baru. Dari sini, awal sinergi mendorong keterbukaan informasi, akan terjaga. Selamat menghadapi tantangan baru. Meminjam istilah Liverpooldian, “You Will Never Walk Alone!”

Berikut  profil singkat mereka.

1.  Evy Trisulo

Selama ini, Evy Trisulo bekerja di Lembaga Administrasi Negara (LAN), sebagai salah satu pejabat struktural di Humas. Dia sendiri mengikuti perjalanan UU KIP mulai proses pembuatan, sosialisasi hingga implementasi. Di LAN, dia mengajar sistem administrasi, wawasan kebangsaan, dan beberapa mata kuliah lain. Menurutnya, keterbukaan harus menjadi budaya di individu birokrasi. Selama ini keterbukaan hanya formalitas di Birokrasi. “Misalnya dengan penunjukan PPID, seolah kewajiban UU itu telah gugur. Sementara dukungan pimpinan tidak ada,” katanya. Ia juga menyoroti bahwa keterbukaan perlu menjadi kurikulum dalam dunia pendidikan.  Sebagai badan publik, pernah dimintai informasi oleh Fitra dan MHS. Namun telah diselesaikan, melalui mediasi. Sejak tahun 2010, menawarkan PPID di LAN, tapi prosesnya masih tarik ulur

2.  Henny S Widyaningsih

Henny merupakan Dosen Komunikasi FISIP UI yang juga Komisioner KI periode lalu. Menurutnya, saat ini KI Pusat, lebih memprioritaskan ke mediasi karena belum banyak badan publik yang memahami UU KIP. Menurutnya, seharusnya ada laporan tahunan KI ke Presiden, tetapi selama ini kesulitan bertemu Presiden, hanya pernah sekali bertemu dengan UKP4. KI telah membuat pedoman pembentukan KI Provinsi. Membuat aturan turunan juklak dan juknis  di Komisi Informasi dalam waktu setahun, berperan dalam menengahi potensi konflik di KI, membangun mekanisme evaluasi dan komunikasi. Internal: Komisioner harus memiliki kompetensi antara lain di bidang hukum/peradilan, kompetensi di bidang komunikasi. Eksternal: membangun jaringan komunikasi di seluruh daerah, mendorong pemahaman masyarakat  terhadap UU KIP, mendorong pemahaman dan komitmen badan publik terhadap implementasi UU KIP dengan membangun komunikasi dengan UKP4 dan Kemendagri.

3.  Rumadi

Rumadi merupakan Dosen Fak. Syariah UIN Syahid Jakarta dan juga aktif di Wahid Institute. Saat ditanya, soal peran PTUN dan KI oleh Pansel,  ia menjelaskan bahwa PTUN dan KI dua lembaga yang berbeda. PTUN tidak memiliki kompetensi seperti yang dimiliki KI. Ia menjelaskan keterbukaan informasi bagian dari upaya merawat nalar publik yang dalam khazanah Islam disebut fungsi syariah untuk “menjaga akal” atau nalar publik.  Seorang Komisioner, menurutnya, harus bersih dari cacat moral, integritas, dan tahan godaaan yang merusak kredibilitas. Selama ini fokus pada isu HAM khususnya kebebasan beragama. Kebebasan beragama, secara frame, sama dengan isu kebebasan informasi. Ia menegaskan bahwa prioritas kinerja KI antara lain asistensi implementasi UU KIP ke badan publik non negara, seperti lembaga publik keagamaan, penguatan struktur internal KI, melakukan asistensi ke kementerian, memberikan reward & punishment kepada kementerian terhadap implementasi  UU KIP, dan melakukan sosialiasi ke publik.

4.  John Fresly

John merupakan anggota KI DKI Jakarta, pernah bekerja sebagai pejabat sandi kedutaan besar di Yugoslavia dan mendampingi Sekretaris Lembaga Negara. Salah satu pendapatnya adalah uji konsekwensi diperlukan untuk semakin menspesifikkan informasi-informasi yang dikecualikan. Mengenai RUU Rahasia Negara, menurutnya perlu ditunda dulu pembahasannya menunggu pembahasan uji konsekwensi ini. Jika terpilih, ia akan mendorong pembentukan KI di provinsi, mendorong badan publik agar lebih siap menjalankan UU KIP, bersinergi dengan DPR dan Kemendagri untuk mendorong keterbukaan informasi, dan perbaikan hukum acara di KI.

5.   Abdul Hamid Dipopramono

Abdul Hamid Dipopramono, merupakan mantan Redaktur Jurnal Nasional. Menurutnya, ia memiliki banyak pengalaman di organisasi sosial dan kemasyarakatan, pengalaman dalam bidang manajemen, pengalaman di media, dan memiliki networking yang luas, terutama dengan para pimpinan media. Sementara mengenai UU KIP, ia berpendapat bahwa pidana dalam UU KIP masih terlalu ringan (menyebarkan informasi yang dirahasiakan). Menurutnya, sosialiasi UU KIP saat ini masing sangat kurang. Bahkan menurutnya, masyarakat masih rancu antara KIP dan KPI sebab KPI lebih populer. Untuk menghindari penyimpangan anggaran, ia akan berkoordinasi dengan KPK, ICW, BPK. Ia mengatakan pernah menulis artikel tentang Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional. Apa yang prioritas kerja di KI? Menurutnya, antara lain penguatan kelembagaan, penguatan SDM, perbaikan web KI (Audio, visual, interaktif dan friendly), serta konsolidasi internal komisioner.

6.   Yhannu Setiawan

Yhannu Setiawan merupakan Ketua Komisi Informasi Provinsi Banten. Menurutnya, KI Provinsi Banten telah menyelesaikan 140 sengketa informasi. KI Banten berhasil mendorong seluruh badan publik membentuk PPID pada tahun 2011, mendorong penggunaan IT dalam layanan informasi publik di pemerintah prov/kab.kota, membangun MoU dengan KPU, Panwas, mendorong agenda keterbukaan informasi. Ke depan, KI perlu mendorong badan publik secara transparan, menjaga hak warga negara, memastikan warga negara mendapatkan hak atas informasi, mendorong kelengkapan sistem internal dan eksternal di KI untuk menjadi supporting agency ke badan publik yang lain, mendorong badan publik pemerintah untuk mengimplementasikan UU KIP melalui koordinasi di tingkat kementerian. Ia berpendapat bahwa keputusan KI di daerah/pusat seharusnya bisa menjadi yurisprudensi.  Keputusan tersebut juga seharusnya menjadi rujukan bagi lembaga negara lain untuk melakukan pengelolaan informasi,  dokumentasi

7.   Dyah Aryani

Dyah Aryani, selama ini aktif di Yayasan 28, sebuah lembaga kajian hukum dan media. Saat ini juga sedang mengadvokasi pembentukan Badan Perfilman Indonesia. Selain itu, ia juga Tenaga Ahli Komite III DPD RI (Pendidikan agama, kebudayaan, pariwisata, pemuda olahraga, perempuan). Menurutnya, KI seharusnya berwibawa, sebab dengan wibawa itulah, KI bisa menjamin dan memastikan seluruh badan publik menerapkan UU KIP. Ia menjelaskan, Yayasan 28 pernah melakukan penelitian implementasi UU KIP di tiga badan publik, Kemenkes, Kemendikbud, dan Polri. Hasilnya? Kemdikbud ternyata merupakan lembaga yang paling tidak terbuka. Agenda yang akan didorong di KI, antara lain: memastikan badan publik untuk mengimplementasikan UU KIP, mendorong pembentukan KI di seluruh provinsi, menjalin sinergi dengan DPR dan media untuk mendorong implementasi UU KIP.