Kronologi Kasus “Susu Formula”

Institut Pertanian Bogor (IPB) hari Jumat menjelaskan bahwa penelitian tentang susu formula bayi, yang kini menggegerkan masyarakat. dilakukan oleh perguruan tinggi itu tahun 2003.

 “Penelitian IPB itu dilakukan pada tahun 2003 dengan sampling susu yang beredar pada saat itu. Jadi tentu saja produknya sekarang sudah tidak ada lagi,” kata Dr Sri Budiarti selaku juru bicara pihak IPB dalam jumpa pers yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), di Jakarta.

Dosen Fakultas MIPA IPB tersebut menjelaskan bahwa penelitian berjudul lengkap “Potensi Kejadian Meningitis Pada Neonatus Akibat Infeksi Enterobacter Sakazakki yang Diisolasi Dari Makanan dan Susu Bayi” itu pertama kali dilakukan tahun 2003 atas biaya dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

“Lalu pada tahun 2006 baru dipublikan di jurnal ilmiah yang terakreditasi `Food Processing`,” kata perempuan berkerudung coklat tersebut.

Ia pun menjelaskan bahwa IPB tidak berminat membuat masyarakat resah gara-gara hasil penelitian susu formula dan makanan bayi.

“Pada akhir tahun 2007, kami sebagai penerima dana penelitian dari Depdiknas wajib membuat seminar hasil penelitian kami masing-masing, dan di situs resmi IPB itulah kami tampilkan hasil penelitian tersebut,” katanya.

Dalam situs resmi IPB (www.ipb.ac.id) terpampang berita tentang penelitian ini pada tanggal 15 Februari 2008, dan rupanya artikel inilah yang memantik keresahan masyarakat luas setelah berbagai media memberitakannya.

Berbeda dengan keterangan Sri, di artikel itu disebutkan bahwa “Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan IPB mengungkapkan sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April – Juni 2006 telah terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii.”

Ini berarti keterangan Sri tidak sama dengan keterangan di artikel situs resmi IPB, terkait dengan waktu penelian. Sri menyebut penelitian dilakukan tahun 2003 namun di artikel situs resmi disebut penelitian dilakukan pada tahun 2006.

Masih dikutip dari situs IPB, “Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal,” kata ketua tim peneliti Dr Sri Estunigsih.

Di artikel itu disebutkan penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E.sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi.

Tahap kedua, menguji 12 isolat E.sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel).

Dari 12 isolat yang diujikan terdapat 6 isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan.

Ternyata ditemukan 5 dari 6 isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.

“Penelitian ini menyimpulkan di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh E. Sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dan menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit. Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut,” dikutip dari artikel yang sama.

“Namun harus diingat juga bahwa semua bakteri mati musnah bila dicampur dalam air yang suhunya di atas 70 derajat, sehingga masyarakat seharusnya tidak perlu resah terhadap hasil penelitian ini,” kata Sri.

Kronologi Kasus “Susu Formula”

No Waktu Kejadian
1 Senin (14/2/2011). Peneliti dan penemu Enterobacter Zakazakii yang juga dosen di Fakultas Kesehatan Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sri Estuningsih, mengaku tetap tidak akan menyebutkan sejumlah merek susu yang di anggap terkontaminasi bakteri. Hal tersebut diutarakan Sri Estuningsih kepada wartawan di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat.
2 Minggu, 13 Februari 2011 Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Investasi (Disperindagin) Kota Dumai, Riau, berencana menggelar operasi susu formula terkait mencuatnya pemberitaan tentang adanya bakteri sakazakii pada produk tersebut.”Namun rencana operasi susu formula di pasaran Dumai ini masih terkendala tidak adanya alat riksa atau laboratorium,” kata Kepala Disperindagin Kota Dumai, Djamalus kepada ANTARA di Dumai, Minggu.
3 Jumat (11/2/2011). “Komnas Anak dan pengacara David Tobing akan mencoba mendapatkan sita eksekusi dari PN Jakarta Pusat untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut,” kata Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait,kepada detikcom,
Rencana pengajuan sita eksekusi itu akan diajukan Senin (14/2). Jika dikabulkan, maka Komnas PA dan David akan menggumumkan hasil itu ke masyarakat. “Kita akan umumkan hasilnya nanti,” imbuhnya.
4 Kamis (10/2/2011). “Putusan MA sudah jelas diwajibkan Menkes, BPOM dan IPB secara bersama-sama mempublikasikan hasil penelitian dengan menyebutkan nama-nama dan jenis susu formula yang terkontaminasi bakteri melalui media,” kata Pengacara David Tobing di kantornya, Gedung Bumi Putra, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta,
5 Kamis (10/2/2011). “Biar kita dipencet-pencet, tetap nggak bisa (bicara). Karena kita nggak tahu. IPB sebagai universitas yang menjalankan penelitian itu. Tidak tahu kita.”Demikian alasan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih dalam jumpa pers di Kantor Kemenkominfo, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, didampingi oleh Kepala BPOM Kustantinah, Memkominfo Tifatul Sembiring (sebagai moderator) , ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan kuasa hukum IPB Dedi Muhammad Tauhid.

Berikut ini alasan Menkes:

1. Karena Menkes tidak tahu nama merek susu formula tersebut. Hal itu dikarenakan IPB-lah yang melakukan penelitian tentang keberadaan bakteri E Sakazakii di susu formula.

2. IPB sebagai universitas yang independen tidak wajib melaporkan hasil penelitiannya kepada Kementerian Kesehatan. Karenanya, Menkes tidak mendapatkan hasil riset yang dipublikasikan para peneliti IPB tahun 2008 tersebut.

3. Menkes belum mendapatkan salinan putusan kasasi MA secara resmi. Putusan atas gugatan perdata yang layangkan oleh pengacara publik David Tobing itu baru
diunduhnya di website MA.
Endang menjelaskan kejadian bayi yang terpapar E sakazakii cukup jarang. Data dari WHO, menurut Endang,dalam kurun waktu 1961-2003 ditemukan 48 bayi yang terinfeksi di seluruh dunia. Kalau di Indonesia,belum ada laporan. Walau bakteri itu akan mati 15 mati kemudian jika dipanaskan 70 derajat, Endang tetap tidak menganjurkan bayi yang berumur 6 bulan atau kurang untuk minum susu formula. ASI it’s the best.

“Kami mengecam keras pihak-pihak yang mempromosikan susu formula membagikan secara gratis di rumah-rumah bersalin. Kami tidak menganjurkan bayi berusia 6 bulan atau kurang untuk minum susu formula,” tegasnya.

6 Kamis (10/2). Kepala Kantor Hukum dan Organisasi, Dedi Muhammad Tauhid, Mewakili Rektor IPB dalam jumpa pers bersama di Kantor Kementerian Kominfo di Jakarta, menyatakan alasan penolakan membuka informasi tentang susu formula adalah1. IPB mengaku belum menerima salinan putusan MA, sehingga IPB juga belum bisa melaksanakan putusan tersebut.
2. Penelitian IPB terhadap susu formula produksi tahun 2003-2006 bukan berbentuk pengujian. Penelitian itu lebih pada usaha untuk mengeksplorasi bakteri Enterobacter Sakazakii.
3. Biaya yang digunakan untuk penelitian itu, lanjut Dedi, berasal dari dana hibah, bukan dari kementerian terkait. Sehingga, IPB tidak berkewajiban menyampaikan hasil penelitian itu baik kepada Kemenkes maupun BPOM.
7 26 April 2010
MA mengabulkan gugatan konsumen dan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 2975/K/Pdt/2009 yang memerintahkan ketiga pihak tergugat untuk mengumumkan produk susu formula yang tercemar Zakazakii.
Berikut ini alasan perintah putusan MA:

1. Hasil penelitian ini yang tidak dipublikasikan mengakibatkan keresahan di dalam
masyarakat karena dapat merugikan konsumen.

2. Suatu penelitian yang telah dilakukan yang menyangkut suatu kepentingan
masyarakat harus dipublikasikan agar masyarakat lebih waspada.

3. Tindakan tidak mengumumkan hasil penelitian adalah merupakan tindakan yang tidak
hati-hati yang dilakukan tergugat (Menkes, IPB dan BPOM).

8 2008 David yang juga advokat publik mengajukan gugatan pada 2008 ke PN Jakpus. David menilai kala itu kedua anaknya yang merupakan konsumen susu formula itu mengajukan gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan IPB, BPOM dan Menkes. Ketiga tergugat itu dinilai membuat kekhawatiran dan keresahan akibat hasil penelitian IPB tentang merek susu formula yang terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii.
9 Kamis, 28 Februari 2008 Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Sri Estuningsih mengungkapkan, sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April-Juni 2006 telah terkontaminasi Enterobacter sakazakii.”Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal,” kata Estu.

Menurut Estu, selain dirinya, beberapa staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang bergabung dalam penelitian ini antara lain, Drh. Hernomoadi Huminto MVS, Dr. I.Wayan T. Wibawan, dan Dr. Rochman Naim.

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E.sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, menguji 12 isolat E.sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel). Dari 12 isolat yang diujikan terdapat 6 isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada  kemampuan toksinnya setelah dipanaskan. Terdapat 5 dari 6 isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.

Selanjutnya Estu menentukan satu kandidat dari isolat tersebut dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) menggunakan sonde lambung khusus dan steril. Setelah 3 hari kemudian dilakukan pengambilan sampel organ mencit tersebut.

Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin.

Penelitian ini menyimpulkan di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh E.Sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dan menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit. Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut. Sangat penting dipahami bahwa susu formula bayi bukanlah produk steril, sehingga dalam penggunaannya serta penyimpanannya perlu perhatian khusus untuk menghindari kejadian infeksi karena mengkonsumsi produk tersebut.

Diolah dari Antara dan berbagai sumber

Menyikapi Penolakan Pengumuman Informasi Merek Produk Susu Formula

SIARAN PERS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI)
Menyikapi Penolakan Pengumuman Informasi Merek Produk Susu Formula

“PRESEDEN BURUK KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK”

Mahkamah Agung (MA) memerintahkan kepada Kementerian Kesehatan, Institut Pertanian Bogor dan BPOM untuk mengumumkan merek produk susu formula yang tercemar bakteri enterobacter sakaazaki, sesuai dengan tuntutan David ML Tobing. Alih-alih mematuhi perintah MA, ketiga lembaga tersebut menolak untuk mengumumkannya dengan berbagai alasan yang terkesan dicari-cari.

Penolakan tersebut patut disesalkan. Sikap ini merupakan bentuk pelecehan terhadap proses hukum yang berlaku sekaligus pembangkangan terhadap hasil putusannya. Perilaku ini secara langsung akan menimbulkan rasa pesimistis terhadap mekanisme hukum yang berlaku. Jika putusan MA sebagai lembaga tertinggi di negeri ini dapat dilanggar  dengan begitu mudahnya, kemana lagi masyarakat akan menuntut keadilan?

Selain itu, kondisi ini juga preseden buruk terhadap semangat keterbukaan yang tengah dibangun saat ini, seiring dengan diberlakukannya UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Ketertutupan yang tengah dipraktikkan oleh ketiga lembaga tersebut lebih menunjukkan kesan bahwa mereka tidak memihak pada kepentingan masyarakat luas. Ketertutupan ini juga semakin menambah kekawatiran masyarakat, mengingat bakteri sakaazaki merupakan salah satu bakteri yang berbahaya bagi anak usia balita.

Oleh karena itu kami dari Freedom of Information Network Indonesia menuntut:
1. Kementerian Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, dan BPOM untuk mematuhi putusan MA dengan mengumumkan produk susu formula yang mengandung bakteri entorbacter sakaazaki;
2. Presiden RI untuk tegas mengeluarkan instruksi kepada Kementerian Kesehatan, IPB dan BPOM untuk mematuhi putusan MA sebagai bentuk kepatuhan lembaga pemerintah terhadap proses dan putusan hukum.

Jakarta, 11 Februari 2011

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI):

Pattiro Jakarta
Pattiro Serang
Pattiro Semarang
Pattiro Malang
Garut Governance Watch (G2W)
Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB
Paralegal Bengkulu
JARI Indonesia Borneo Barat
Sloka Institute – Bali
Pengenalan Hukum dan Politik Unand Sumatera Barat
Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi HAM Sulteng
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
Indonesian Parliamentary Center (IPC) Jakarta
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Jakarta
Media Lintas Komunitas (MediaLink) Jakarta
Seknas Fitra
Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta
Yayasan Ladang Media  Jakarta

Contact Person:
Bejo Untung 08176030417

Berobat Gratis,  berkah mengetahui UU KIP

Berobat Gratis, berkah mengetahui UU KIP

Bermula dari sebuah diskusi  kader PKK dan posyandu 25-28 bulan januari 2010 tentang kondisi kesehatan  warga dusun. Inaq Nuripe(48 tahun) seorang ibu rumah tangga beranak tiga  warga dusun seoempat  menyampaikan keluhan  mahalnya biaya kesehatan yang  harus ditanggung untuk periksa kesehatan ke rumah sakit.

Inaq Nuripe tidak bisa melakukan kontrol penyakit jantungnya secara rutin karena setiap kali periksa menghabiskan dana lebih dari 100  ribu ditambah ongkos transport ke rumah sakit. Keluhan itu sudah beberapa kali disampaikan kepada kader posyandu dusun Telage Ngembeng. Sebenarnya  kader posyandu bukannya tidak merespon hal ini. ”Kita sudah beberapa kali menyampaikan kepada kepala dusun, kepala desa dan pihak puskesmas perihal ini, tetapi tanggapannya sama pemerintahtidak bisa sembarangan lagi buat kartu membantu orang sakit karena adanya mekanisme jamkesmasda (jaminan kesehatan masyarakat  daerah),”ujar Widuri salah s eorang kader posyandu.

Menurutnya pihak pemerintah desa telah menjelaskan bahwa mekanisme ini mengatur hanya warga yang ada dalam daftar penerima jamkesmasda saja yang berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis di rumah sakit.Secara kebetulan dalam pertemuan ini kader somasi hadir untuk sebagai narasumber/fasilitator diskusi advokasi kesehatan berbasis masyarakat. Dalam diskusi disampaikan bahwa setiap warga yang tidak mampu berhak menerima layanan kesehatan yang murah meskipun dia tidak terdaftar sebagai penerima jamkesmas, lagipula menurutnya banyak data jamkesmas yang tidak  valid dan beberapa kuota jamkesmas di level kabupaten sebagian belum terpenuhi. Menindalanjuti hal ini para kader menanyakan bagaimana caranya mendapatkan informasi data penerima danjumlah kuota jamkesmas  yang lowong. Salah satu hal yang disampaikan somasi adalah dengan menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

UU ini memberi jaminan kepada  setiap warga (pemohon) untuk mendapatkan informasi yang diminta jika memang informasi
itu tersedia di badan publik.  Saran sederhana somasi kepada kader dan warga adalah, mintalah informasi ke Badan Kerjasama
Pengelola Jaminan Kesehatan (BKSPJK) di kabupaten Lombok Barat dengan menggunakan mekanisme ini. Sayangnya mereka tidak
memahami mekanismenya lalu meminta SOMASI dkk memfasilitasi permintaan informasi ini.SOMASI menindaklanjuti dengan membuat dua surat, pertama surat pengaduan perihal adanya warga yang belum menerima layanan kesehatan dari program Jamkesmasda padahal warga ini  termasuk kategori warga miskin, dalam surat disampaikan bukan hanya Inaq Nuripe tapi ada 10 warga dusun Telage Ngembeng yang mengalami nasib yang sama.  Kedua, surat permintaan informasi daftar kuota jamkesmas yang lowong  atau belum terisi dengan melampirkan UU No 14 tahun 2008. Surat permintaan dilayangkan ke Lalu Budarja, kepala BKSPJK Provinsi NB dan Abdul Hadi,Kepala BKSPJK kabupaten Lombok Barat.

Selang 3 hari setelah  surat dilayang diperoleh kabar baik permintaan informasi dipenuhi dan diminta datang ke kantor BKSPJK.  SOMASI menunjuk Saudara Zulkifli menemani Widuri ke BKSPJK Lobar.  Dari 273.452 daftar penerima Jamkesmas, masih ada 12 kuota yang kosong.Hadi menjelaskan bahwa ada 12 kuota yang kosong karena penerima jamkesmasnya meninggal dunia dan pergi bekerja ke Malaysia sebagai TKI ini bisa digunakan oleh 10 orang warga telage ngembeng, asal ada surat pengajuan dari pemerintah desa dan camat untuk 10 orang warga. Oleh kader posyandu hal ini disampaikan kepada 10 orang warga tersebut dan memfasilitasinya untuk mendapatkan surat pengantar dari desa dan camat.

Singkatnya sekarang Inaq Nuripe bisa memeriksakan kesehatannya berbekal kartu Jamkeksda secara rutin di Rumah Sakit Umum
Provinsi NTB. 9 warga lainnya juga merasa senang karena tidak lagi was-was kemana harus berobat jika sakit karena sudah ada
kartu jamkesmasda yang menjamin.

(Hendriyadi SOMASI)