Pengantar, Tujuh Tema Dasar KIP dan OGP

Pengantar, Tujuh Tema Dasar KIP dan OGP

“Kajian Malam Rabu (KLAMBU)”, begitu teman-teman pegiat FOINI menyebutnya. Diskusi ini dinisiasi oleh Bpk. Ahmad Alamsyah Saragih (mas Alam) dan beberapa pegiat FOINI lain seperti Danardono Siradjuddin (mas Danar), Bejo Untung (mas Bejo), dan Fatcurrahman (mas Fathcur).

Santai tapi serius

SaragihBicara KIP dan OGP, tentu tak tuntas jika hanya dikupas dalam lingkup nasional. Kajian ini memerlukan pendalaman yang melintasi sekat teritori dan flashback waktu hingga tahun 1766 silam. Nah, mas Alam jauh sebelum UU KIP lahir, telah ikut mendorong perda transparansi di berbagai kabupaten/kota di Indonesia, pernah bekerja di World Bank dan menjadi Anggota Komisi Informasi Pusat periode 2009-2013. Pengalaman panjang ini, akan dibagi bersama kita semua dalam

Kajian Malam Rabu dilaksanakan setiap Selasa malam pukul 19.00 sd 21.00 WIB. Di Sekretariat FOINI. Jl. Intan No. 81 Cilandak Barat Jak-Sel. Teman-teman bisa mengikuti diskusi ini via Skype: Pattiro.Jakarta

Tujuh Tema

Untuk tahap I. Ada tujuh tema, yang akan dibahas.

1. Open Government (Transparansi, Partisipasi dan Kolaborasi)

2. Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

3. Transparansi Informasi dalam 3 Cara Pandang

4. Government 3.0: Negara Sebagai Platform

5. Open Government & UU KIP, Urgensi Regulator Informasi

6. Akuntabilitas Sosial dan CSO di Indonesia

7. Catatan Penutup, Lima Agenda Penting

Ok, begitu saja. Yang mau datang, ya silakan datang.

Dinanti dengan senang hati, oleh teman-teman pegiat FOINI.

 

Catatan Penutup, Lima Agenda Utama

Catatan Penutup, Lima Agenda Utama

Open government merupakan suatu gejala global yang ditandai dengan pengelolaan negara yang semakin bergeser ke ruang publik. Perlahan tapi pasti pendekatan open government akan merubah status negara yang semula merupakan salah satu subyek dari tiga subyak utama demokrasi (negara, pasar dan masyarakat sipil) menjadi suatu platform besar. Teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi infrastruktur utama untuk menjalankan fungsi tersebut.

Berbagai inisiatif masyarakat sipil di Indonesia pasca reformasi telah menunjukkan gejala awal menuju perubahan tersebut. Keberhasilan memasukkan regulasi-regulasi yang memayungi transparansi, partisipasi dan akuntabilitas di berbagai lini telah diikuti dengan perubahan pola advokasi masyarakat sipil melalui berbagai skema kolaboratif. Negara dalam tahapan ini mulai tertransformasi menjadi suatu media sosial. Kendati demikian, pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi masih bersifat artificial.

Rekomendasi

Apabila arus global pemerintahan yang terbuka ini terus berlanjut dan meluas di Indonesia maka dalam suatu ‘negara platform’ diperkirakan akan terjadi pertarungan kepentingan antara kekuatan pasar dan masyarakat sipil pada wilayah-wilayah tertentu. Oleh karenanya masyarakat sipil perlu melakukan pembagian kerja berdasarkan area fokus.

Untuk mempertahankan dan memperluas inisiatif yang telah ada, masyarakat sipil Indonesia perlu mengambil agenda utama berikut: (i) menetapkan area fokus: di mana konsentrasi organisasi masyarakat sipil untuk memperluas pengaruh cukup signifikan; (ii) membentuk forum akuntabilitas sosial: untuk mengawal transformasi fungsi negara dan kinerja di masing-masing area fokus; (iii) kolaborasi dengan capaian tertinggi: untuk masing-masing area fokus pemerintahan yang terbuka pada wilayah-wilayah mana kepemimpinan reformis berada; (iv) pengintegrasian warga ke dalam negara platform: untuk mamastikan pemanfaatan infrastruktur pemerintahan terbuka dapat diakses oleh masyarakat marjinal; (v) memperluas wilayah inisiatif: mempromosikan keberhasilan di area fokus melalui agenda bersama organisasi masyarakat sipil di negara anggota.

Akuntabilitas Sosial dan CSO di Indonesia

Akuntabilitas Sosial dan CSO di Indonesia

Model Advokasi Telah Berubah

Rezim Orde Baru tidak menganut suksesi kepemimpinan politik melalui pemilihan, kecuali untuk tingkat pemerintahan terendah (desa), tapi tidak pada wilayah-wilayah urban yang dikenal dengan kelurahan. Situasi ini tak berbeda dengan apa yang diterapkan Cina pada akhir 1980an (Jun, 2012: 81).[1] Untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuatan (concentration of power) politik di luar jalur penguasa, Orde Baru menerapkan politik masa mengambang.

Praktik pengambilan keputusan publik yang terbuka, atau yang dikenal dengan partisipasi, pada era sebelum reformasi cenderung terbatas pada tingkat pemerintahan terendah. Beberapa organisasi masyarakat sipil banyak melakukan pendampingan untuk menerapkan pengambilan keputusan yang lebih inklusif di tingkat komunitas.  Program-program pemerintah maupun yang didanai oleh donor banyak menerapkannya melalui pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (community based development).

Inisiatif penguatan oleh organisasi masyarakat sipil di tingkat desa ini tentunya tidak akan memiliki dampak yang meluas mengingat daya jangkau dan sumber daya yang mereka perlukan menjadi terlalu besar dibandingkan jika ruang partisipasi dibuka pada tingkat pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Secara politis hal ini masih dapat ditoleransi oleh pemerintahan Suharto karena peluang untuk terjadinya konsentrasi kekuatan politik menjadi sangat minim.

Sebagian organisasi masyarakat sipil memilih pendekatan politik yang lebih nyata melalui pengorganisasian untuk meningkatkan kesadaran kritis dan posisi tawar rakyat. Paraktik ini biasanya tersebar pada wilayah-wilayah dimana konflik struktural menjelma (manifested). Inisiatif tersebut biasanya berfokus pada beberapa hal berikut: penguasaan sumber daya yang lebih adil, penyelamatan lingkungan hidup yang terus mengalami kerusakan bersamaan dengan menguatnya posisi sektor privat di tengah rezim politik tertutup, perlindungan HAM dan akses terhadap keadilan. Kelompok ini biasanya memiliki orientasi yang lebih kuat dalam upaya-upaya kritik perubahan kebijakan, meski sangat sulit di era itu.

Bersamaan dengan runtuhnya kepemimpinan Suharto (reformasi 1998), tuntutan akan pemerintah yang lebih terbuka  menjadi salah satu agenda utama di kalangan masyarakat sipil Indonesia. Upaya untuk mendorong transparansi, memperluas ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan menciptakan penyelenggaraan negara yang akuntabel merupakan bagian dari isu dominan yang mewarnai wacana publik di era awal reformasi.

Untuk menjamin transparansi, sejumlah organisasi masyarakat sipil berinisiatif mengusulkan rancangan undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). ICEL merancang naskah awal untuk dibahas bersama dalm koalisi dan kemudian diusulkan ke DPR. Delapan tahun kemudian inisiatif ini menghasilkan apa yang dikenal sebagai UU KIP. Sebagai produk reformasi, tidak mengherankan jika Undang-Undang ini memiliki tujuan yang lebih jauh dari sekedar transparansi di Badan Publik, yakni mendorong partisipasi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara.

Dalam isu partisipasi, YAPPIKA berupaya memasukkan hak warga negara untuk terlibat dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Upaya ini telah mempengaruhi satu ketentuan dalam Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (TCP3). Untuk regulasi yang mengatur tentang ruang partisipasi warga, beberapa organisasi masyarakat sipil telah pula mendorong lahirnya beberapa inisiatif pembentukan beberapa peraturan di bawah undang-undang. Beberapa regulasi tersebut bertujuan untuk menjamin partisipasi warga berdasarkan konteks dan wilayah pengambilan keputusan pada isu-isu tertentu.

Pola advokasi mulai berkembang kepada skema-skema kolaboratif. Secara alamiah pendekatan terdiferensiasi paling tidak menjadi dua pola. Pola pertama tetap meneruskan skema face to face dan pemanfaatan media untuk public pressure. Pola kedua memasuki ruang-ruang advisory dan tak jarang berupa  technical assistant kepada penyelenggara negara. Pemanfaatan media dalam pola-pola kolaboratif biasanya ditandai dengan warna yang lebih promotif ketimbang pressure. Masyarakat sipil mulai memasuki kerja-kerja teknokratik.

Pendekatan kolaborasi berkembang baik pada wilayah-wilayah dimana ditemukan aktor-aktor di lembaga pemerintah yang masuk kategori reformis. Pendekatan ini semakin menguat ketika aktor-aktor reformis tersebut memegang kepemimpinan politik tertinggi di lembaga pemerintah. Kenyataan tersebut menunjukkan pentingnya peran kepemimpinan reformis dalam menerapkan Open Government.

Akuntabilitas Fiskal

Isu akuntabilitas anggaran telah mempertemukan dua nilai utama yang mendasari akuntabilitas: transparansi dan partisipasi. Melalui jaringan kerjanya Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) banyak mendorong pembentukan regulasi dan penyebarluasan praktik-praktik pengambilan keputusan publik partisipatif. Termasuk diantaranya penerbitan panduan-panduan untuk pengelolaan forum perencanaan dan penganggaran di daerah yang dikenal dengan Musrenbang. Jaringan kerja FPPM aktif memperkenalkan proses-proses perencanaan dan penganggaran partisipatif.

Bersamaan dengan diberlakukannya UU KIP, FITRA melakukan serangkaian uji akses terhadap dokumen anggaran untuk melihat efektifitas UU KIP. Informasi yang diminta adalah dokumen DIPA dan RKA-KL. Banyak kementerian dan lembaga pemerintah lainnya masih menolak memberikan. Kementerian Kominfo yang menjadi leading sector dalam pelaksanaan UU KIP di kabinet memberikan dokumen tersebut dalam versi lengkap berupa electronic file. Terjadi perdebatan di antara Kementerian dan Lembaga Pemerintah lainnya: apakah dokumen tersebut seharusnya terbuka? Jika terbuka, sedalam apa informasi yang harus diberikan?

Komisi Informasi Pusat menyelesaikan satu sengketa terkait permintaan dokumen DIPA dan RKA-KL dengan memutuskannya sebagai dokumen terbuka. Untuk mempercepat proses internalisasi di Badan Publik, Komisi Informasi Pusat kemudian menerbitkan surat edaran tentang status dokumen tersebut. Surat Edaran ini dalam beberapa hal telah dinilai memberikan kepastian bagi para pengelola informasi di badan Publik dan mempermudah mereka untuk meyakinkan atasan tentang status dokumen anggaran.

FITRA mengumumkan peringkat Badan Publik berdasarkan hasil uji akses. Dalam memperingati ‘Hari Hak Untuk Tahu’, Komisi Informasi Pusat juga mengumumkan tingkat kepatuhan Badan Publik dalam menjalankan UU KIP. Dua hal ini telah memacu Badan Publik untuk melengkapi publikasi proaktif mereka, termasuk didalamnya mengenai dokumen anggaran dan laporan keuangan kendati mereka belum menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagaimana diperintahkan oleh UU KIP. Pada tahun 2012, survei IBP menunjukkan bahwa Indonesia memiliki open budget index tertinggi di ASEAN.

Dalam hal akuntabilitas keuangan negara, IBC dan relasinya thd BAKN

Akuntabilitas di Sektor Ekstraktif

Di sektor industri ekstraktif koalisi NGO yang dikenal dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, telah mendorong lahirnya Peraturan Presiden mengenai Transparansi Penerimaan Negara di Sektor Industri Ekstraktif Migas, Pertambangan Mineral dan Batubara, yang merupakan pelaksanaan standar global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Mekanisme EITI mensyaratkan adanya penyampaian laporan pembayaran dan penerimaan pendapatan negara oleh entitas perusahaan dan pemerintah, untuk direkonsiliasi oleh auditor independen, dan kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Pelaksanaan EITI di Indonesia dikomando oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian RI.

Koalisi PWYP Indonesia telah melakukan pemilihan tiga orang wakil masyarakat sipil untuk duduk dalam Tim Multipihak bersama wakil Pemerintah, Perusahaan dan Pemerintah Daerah. Sebagaimana ketentuan dalam Perpres, Tim Multipihak ini memiliki kewenangan untuk memutuskan tahun fiskal pelaporan, ruang lingkup dan materialitas pelaporan, entitas perusahaan dan pemerintah yang wajib membuat laporan, format laporan, hingga metode publikasi dan strategi-strategi pencapaian lainnya dalam pencapaian standar patuh (compliant) dari pelaksanaan EITI. Keterlibatan (engagement) masyarakat sipil di sini hingga pada pengambilan keputusan tripartit: Pemerintah-Perusahaan-Masyarakat Sipil.

Laporan EITI Pertama telah dipublikasi pada triwulan pertama 2013. Masyarakat sipil menggunakan laporan tersebut untuk menyesuaikan dengan konteks dan kepentingan audiens di daerah-daerah kaya sumberdaya ekstraktif. Laporan juga digunakan untuk mengidentifikasi potensi kebocoran dari aliran penerimaan sektor ekstraktif pada pertambangan migas, nikel, bauksit, emas dan tembaga, serta mengkomunikasikan data-data laporan EITI kepada komunitas di tingkat akar rumput.

Saat ini, pelaporan tahapan kedua EITI Indonesia sedang berlangsung. Entitas perusahaan semakin bertambah, begitu juga jenis pelaporan. Sebagian mencakup pembayaran di sektor kehutanan, serta telah mulai meluas ketingkat daerah melalui piloting di beberapa daerah penghasil industri ekstraktif.

Pada tingkat lokal, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) telah menginisiasi dan memfasilitasi pembentukan Peraturan Daerah tentang transparansi pengelolaan pendapatan pemerintah daerah dari usaha migas di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pada tahun 2012.  Regulasi ini memberikan kesempatan warga masyarakat mengetahui kemana aliran dana dari pendapatan pemerintah daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif dan sekaligus terlibat dalam pengelolaan dana tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/ CSR) perusahaan migas di kabupaten tersebut

Akuntabilitas Pelayanan Publik

Lebih dari empat tahun Koalisi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) mengawal perumusan UU Pelayanan Publik. Beberapa hal penting berhasil dimasukkan ke dalam Undang Undang ini. Secara prinsipil  koalisi telah berhasil  memasukkan perspektif pemenuhan hak-hak dasar dalam pelayanan publik, bukan hanya pada perspektif administratif. Keterlibatan MP3 telah mewarnai pengaturan mengenai akses informasi dan pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada Udang-Undang ini.

Undang-Undang ini akhirnya mengatur: (i) penetapan Standar Layanan oleh unit layanan dengan melibatkan masyarakat (partisipatif) dan ada jaminan terhadap akses informasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik; (ii) maklumat pelayanan (semula diusulkan piagam warga), yang merupakan janji unit layanan kepada masyarakat untuk menyelengarakan pelayanan sesuai standar yang disepakati; (iii) pelayanan khusus kelompok rentan; (iv) kewajiban membuat mekanisme penanganan pengaduan internal yang terintegrasi secara nasional; (vi) mekanisme penyelesaian sengketa layanan melalui Ombudsman dan peneapan sanksi; (vii) menjamin pengawasan eksternal oleh masyarakat.[2]

Beberapa pegiat organisasi masyarakat sipil yang semula duduk dalam Komisi Ombudsman Nasional telah berinisiatif untuk mendorong terbentuknya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia (ORI). ORI, sebagaimana Komisi Informasi, adalah Lembaga negara penunjang (state auxiliary body) yang berperan untuk menangani pengaduan mal administrasi dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya pelayanan publik.

Di tingkatan praktik, beberapa NGO mengembangkan model penilaian oleh warga. Satu diantaranya adalah melalui Citizen Report Card (CRC). Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) memperkenalkan pemanfaatan CRC sebagai metode warga untuk mengevaluasi pelayanan dasar di beberapa daerah. Beberapa pemerintah daerah kemudian menindaklanjuti hal ini dengan mengadopsi metode tersebut untuk menilai dan memperbaiki kinerja pelayanan publik.

Di Kabupaten Lebak, hasil dari CRC di bidang kesehatan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten dengan mengalokasikan anggaran secara reguler untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait kebutuhan bidan desa. Di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan,  hasil CRC ditindaklanjuti dengan menyusun Peraturan Daerah tentang Pendidikan dan Perda tentang Pelayanan Publik. Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, melalui training pelaksanaan CRC kepada CSO lokal yang dilakukan PATTIRO, inisiatif ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng dengan menjadikan CRC sebagai agenda tahunan dan dikembangkan dari awalnya hanya di sektor kesehatan, ke berbagai sektor lainnya, seperti pendidikan. Di Pekalongan, CRC diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten untuk menilai kinerja pelayanan publik secara partisipatoris melalui apa yang disebut Community Based Monitoring Survey.

Lebih jauh inisiasi ini telah pula melahirkan beberapa institusi di tingkat warga yang disebut sebagai Community Center (CC). CC berfungsi sebagai pusat informasi warga terutama bagi masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mengakses informasi; mendampingi warga dalam melakukan permintaan informasi atau komplain atas pelayanan pemerintah; menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan warga sekaligus melakukan advokasi untuk terjadinya perbaikan pelayanan publik, dan berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan. Di Kabupaten Lebak, pemerintah lokal telah mengadopsinya dan memperluas keberadaan CC ke seluruh kecamatan. Pemerintah Provinsi Banten memfasilitasi pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten setelah CC di Serang melakukan pengumpulan 3.000 tandatangan warga yang menuntut dibentuknya Komisi Informasi.

Di beberapa daerah PATTIRO mengembangkan SMS Gateway untuk memperoleh umpan balik dari warga pengguna air bersih kepada PDAM. SMS Gateway adalah aplikasi yang ditanam dalam sistem yang berbasis web. Fungsinya adalah untuk menyampaikan informasi, menerima SMS dari perangkat mobile dan merespon SMS yang disampaikan oleh masyarakat kepada PDAM.  Melalui aplikasi ini, masyarakat konsumen PDAM dapat menyampaikan informasi terkait kondisi pelayanan air di lingkungannya. PDAM juga dapat merespon secara cepat informasi maupun keluhan yang disampaikan oleh masyarakat untuk kemudian ditindaklanjuti oleh petugasnya. Informasi yang dikumpulkan dari masyarakat ini menjadi bahan perencanaan pelayanan air bersih oleh PDAM.

Di dalam pelayanan perizinan, berbagai lembaga seperti B-Trust, PUPUK, PATTIRO  dan berbagai program donor telah berhasil mendorong perubahan dari pelayanan konvensional menjadi terpadu yang telah dilakukan oleh beberapa daerah.  Masing-masing unit pelayanan yang semula melaksanakan secara terpisah diintegrasikan menjadi satu pelayanan.  Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong praktik ini menjadi kebijakan nasional. Kementerian Dalam Negeri akhirnya menerbitkan peraturan mengenai pelaksanaan hal serupa bagi semua daerah.

Untuk menjaga akuntabilitas dalam pelayanan administrasi ini, diterapkan surat penetapan retribusi dan pajak agar ada kepastian tarif dan pajak daerah termasuk kepastian penyetoran ke kas daerah. Untuk memantau jalannya prosedur digunakan ‘kartu kendali’ atau teknologi informasi dan komunikasi, termasuk di dalamnya penerapan mekanisme penanganan pengaduan.

Mendorong Integritas Penyelenggara Negara

Dalam hal integritas dan anti korupsi, beberapa organisasi masyarakat sipil mulai mendorong perbaikan internal institusi penegak hukum. ICEL dan … telah berhasil memberikan asistensi kepada MA melalui (….) Sebelum UU KIP diberlakukan, MA telah menerbitkan SK 104 tentang (….) SK ini kemudian diperbarui bersamaan dengan pemberlakukan UU KIP. Upaya serupa dilakukan di Kejaksaan agung untuk mendorong pelaksanaan keterbukaan informasi publik. Kegiatan ini telah melahirkan (….) Di Kepolisian RI, Kontras melakukan asistensi untuk mendorong keterbukaan informasi. Dalam laporannya Kontras memberikan catan sebagai berikut (…)

Selain secara rutin mengumumkan indeks persepsi korupsi, Transparansi Internasional Indonesia (TII) telah beberapa tahun mengembangkan pakta integritas, dan keterbukaan informasi di bidang pengadaan barang dan jasa. Di beberapa (lokasi …) upaya ini telah mencapai kemajuan berupa (…). Untuk memberikan ‘dukungan politik’ bagi kepemimpinan reformis, TII juga memberikan Bung Hatta Award. Salah satu penerima, Gamawan Fauzi, kini telah menduduki posisi sebagai Meneteri Dalam Negeri sipil pertama di Indonesia.

Berbeda dengan inisiatif yang menggunakan pendekatan kolaboratif tersebut, Indonesian Corruption Watch (ICW) cenderung terlihat menggunakan pendekatan advokasi yang lebih menekan. Hal tersebut lebih dikarenakan fungsi yang diambil memang merupakan pengawasan publik atas penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian jika skema advokasi dilihat secara menyeluruh, sesungguhnya ICW juga aktif melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK).

***

Perkembangan di atas menunjukkan fakta bahwa inisiatif untuk mendorong akuntabilitas melalui pemerintahan terbuka telah menjadi wilayah kerja yang meluas di kalangan masyarakat sipil pasca reformasi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam pembentuakan koalisi berdasarkan isu tertentu. Tanpa mengabaikan inisiatif untuk membentuk koalisi oleh organisasi masyarakat sipil, dapat dilihat bahwa upaya mendorong pemerintahan yang lebih terbuka dan akuntabel telah berlangsung dengan skema yang terpisah-pisah, natural dan belum memiliki kerangka kolektif.

Inisiatif untuk memperkenalkan model Open Data juga belum dimulai, mengingat fokus advokasi masih mengarah pada area-area spesifik yang dapat dijadikan  titik temu antara aktor-aktor reformis di organisasi pemerintah yang mulai membuka diri dan tuntutan masyarakat  akan akuntabilitas dalam bentuk yang konkrit. Keberhasilan berbagai kolaborasi tersebut ke depan akan ditentukan oleh tiga hal: (i) kemampuan menemukan wilayah kolaborasi dimana resiko politik tetap dapat dikelola oleh aktor-aktor reformis di organisasi pemerintah; (ii) kemampuan mengembangkan bentuk-bentuk akuntabilitas yang memberikan manfaat nyata bagi warga; (iii) kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk mempertahankan dan mengembangkan skema kolektif mereka.

Terlepas dari beberapa kelemahan di tingkat operasional, jaminan hukum untuk transparansi dan akuntabilitas telah cukup memadai di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengembangkan skema transparansi dan akuntabilitas yang mampu menjawab pada kepentingan publik secara langsung (public interest based transparency). Jika pola ini ditemukan, kemungkinan transparansi yang masih berfokus pada penyelenggaraan negara secara bertahap akan meluas ke wilayah korporasi.



[1] lihat Ma Jun, Accountability Without Elections dalam China3.0, ECFR, London, 2012: …  at the end of the 1980s, free and competitive elections were introduced for the selection of heads of village committees in rural areas; recently, this practice has also been extended to the election of urban community committees. However, despite these reforms, neither village committees nor urban community committees are a part of the regime. At present, China’s leadership remains hesitant about introducing competitive elections at the upper level of government.

[2] MP3 juga aktif terlibat dalam perumusan beberapa aturan turunan seperti PP No.96/2012 tentang Pelaksanaan UU Pelayanan Publik dan Permen PAN No.36/2012 tentang Juknis Penyusunan Standar Pelayanan. Bahkan, untuk implementasi penyusunan standar pelayanan, MP3 bekerjasama dengan MenPAN & RB melakukan piloting di 6 Provinsi.

Open Government & UU KIP, Urgensi Regulator Informasi

Open Government & UU KIP, Urgensi Regulator Informasi

Selasa, 31 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB. Tempat: Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 021-75915498

Open Government & UU KIP, Urgensi Regulator Informasi

UU KIP dirancang dengan beberapa tujuan yang dapat diringkas menjadi lima tahapan: (i) membangun sistem pengelolaan dan  layanan informasi yang lebih baik di Badan Publik; (ii) menjamin hak warga negara atas informasi (transparansi); (iii) mendorong keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan (partisipasi); (iv) mendorong akuntabilitas penyelenggaraan negara; (v) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[1]

Beberapa tujuan di atas menunjukkan bahwa UU KIP meletakkan pemenuhan hak atas informasi sebagai dasar untuk pencapaian tiga tujuan terakhir. Sebagian besar isi undang-undang tersebut memang lebih mengatur tentang status informasi, hak warga negara dalam mengakses dan kewajiban badan publik untuk memenuhi hak tersebut. Itu pula sebabnya implementasi UU KIP lebih banyak mengarah pada dua tujuan pertama. Dapat dikatakan bahwa partisipasi dan akuntabilitas adalah outcomes dari impementasi UU KIP.

UU KIP juga mengamanatkan dibentuknya suatu Lembaga Negara Penunjang (state auxiliary body) yakni Komisi Informasi (KI). KI berfungsi sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement) tahap pertama dalam akses terhadap informasi.  Selain fungsi tersebut, KI diberikan wewenang untuk melakukan fungsi pengaturan (regulatory function).

Hingga saat tulisan ini dibuat, KI baru menerbitkan suatu kebijakan umum mengenai standar layanan Informasi, yang dikenal dengan Peraturan Komisi Informasi No. 01/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. KI belum memperluas pengaturan yang lebih terfokus berdasarkan sektor-sektor strategis dengan menerbitkan petunjuk teknis sebagaimana diatur oleh UU KIP. Momentum dan dukungan para pihak memang merupakan prasyarat yang penting untuk efektifitas penerbitan regulasi ini jika akan diambil oleh KI.

Open Government dan Evolusi Komisi Informasi

Kemitraan Pemerintah Terbuka (Open Government Partnership—OGP) mensyaratkan keberadaan Undang-Undang Kebebasan Informasi (FOIA) sebagai payung hukum transparansi. OG juga mensyaratkan inisiatif Pemerintah untuk membuka diri tidak hanya dalam transparansi, melainkan juga membuka ruang-ruang partisipasi warga negara melalui berbagai skema kolaborasi.

Transparansi dalam OG bertujuan agar warga mengetahui apa yang dilakukan oleh Pemerintah (to know what government’s doing). Sedangkan partisipasi dimaksudkan agar Pemerintah mendapatkan dukungan gagasan dan keahlian dari warga dalam menjalankan fungsinya (public to contribute idea and expertise). Kolaborasi melibatkan berbagai level pemerintahan, termasuk sektor swasta untuk meningkatkan efektifitas Pemerintah dalam menjalankan fungsinya (improves the effectiveness of Government).

Secara konseptual OG merupakan inisiatif lebih lanjut dari Pemerintah untuk bergerak proaktif mencapai tujuan dari keterbukaan informasi yang diinginkan oleh UU KIP. Keraguan kerap muncul ketika dihadapkan pada pilihan untuk menerapkan open government data. Skema ini merupakan suatu kebijakan mendasar dari Pemerintah untuk memindahkan berbagai data dasar ke wilayah publik melalui suatu infrastruktur masinal (aplikasi) yang dapat digunakan oleh semua orang.

Beberapa keraguan tersebut antara lain: (i) apakah hal ini merupakan ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional yang memproduksi aplikasi tersebut? (ii) dari sisi pengetahuan, apakah hal ini tidak akan menyebabkan dominasi sektor swasta di negara berkembang lebih unggul melalui pemanfaatan ahli?[2] (iii) di tengah kesenjangan kapasitas, seberapa jauh warga yang selama ini terpinggirkan mampu memanfaatkan infrastruktur tersebut agar dapat mempengaruhi pengambilan keputusan publik yang lebih adil untuk mereka? (iv) apakah open government data tidak akan melanggar privasi atau data pribadi yang perlindungannya masih lemah di beberapa negara berkembang?[3]

Sebagian besar keraguan tersebut lebih merupakan kecemasan alamiah atau respon berupa kehati-hatian terhadap sesuatu gagasan baru. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilihat kembali rentang misi OGP yang lebih luas dari sekedar open government data. Dalam pertemuan para pendiri OGP (G8) di awal tahun 2013, David Cameroon (Perdana Menteri Ingris) menyatakan agenda utama kepemimpinan Inggris dalam OGP adalah: “drive a transparency revolution in every corner of the world”. [4]

Inggris berharap ada capaian terukur di masing-masing negara anggota untuk beberapa area kebijakan kunci berikut: (i) Open Data: membuka data pemerintah secara radikal untuk akuntabilitas yang lebih baik, perbaikan pelayanan publik, dan pertumbuhan ekonomi; (ii) Integritas Pemerintah: memerangi korupsi dan memperkuat demokrasi melalui pemerintah yang transparan; (iii) Pemberdayaan Warga: mentransformasi hubungan antara warga negara dan pemerintah; (iv) Transparansi Fiskal: membantu warga untuk mengetahui kemana uang negara mengalir; (v) Transparansi sumber daya alam: memastikan penerimaan dari sumber daya alam dan sumber daya ekstraktif digunakan untuk kemaslahatan publik; [5]

Suatu perubahan niscaya memiliki ekses. Untuk mengatasi konsekuensi negatif atas agenda tersebut, maka diperlukan fungsi regulator informasi. UU KIP telah mengatur Komisi Informasi (KI) untuk menjalankan fungsi tersebut. KI memilki kewenangan untuk menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi.[6] Beberapa area fokus  berdasarkan kebijakan kunci di atas dapat dijadikan sebagai salah satu prioritas KI dalam menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi, baik dalam format statis maupun dalam format masinal (aplikasi).

Dalam perumusan regulasi ini tentunya dapat didalami mengenai beberapa ekses yang melahirkan berbagai keraguan di atas (how to safeguard the open government data). Sebagai lembaga negara penunjang, Komisi Informasi memiliki fungsi regulator informasi dan sekaligus fungsi dispute setlement. Fungsi rangkap ini menjadi relevan dalam perspektif Government 3.0. Namun, kenyataan ini relatif sulit untuk dipahami dan diterima oleh pemikiran tata negara klasik yang cenderung melakukan pemisahan antara dua fungsi tersebut.


[1] Pasal 3 UU KIP mengatur tentang tujuan sebagai berikut:  a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;  b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;  e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;  f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau  g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

[2] Lihat argumen-argumen Stephen Turner mengenai determinasi ahli di tengah rezim demokrasi liberal dalam Liberal Democracy 3.0: Civil Society in an Age of Experts. SAGE Publication, ltd. London, 2003.

[3] Keraguan ini berusaha dijelaskan oleh Jeff Jonas, namun belum secara khusus memperhatikan kesiapan negara berkembang.  Lihat Jonas, Jeff and Harper, Jim. Open Government: The Privacy Imperative, in Open Government Ch.. 29. Creative Commons, California, 2013. Hal. 316.

[4] lihat: http://www.opengovpartnership.org/get-involved/london-summit-2013

[5] ibid.

[6] Pasal 26 ayat (1) UU KIP, Komisi Informasi bertugas: a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

Government 3.0: Negara Sebagai Platform

Government 3.0: Negara Sebagai Platform

Selasa, 17 November 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB. Tempat: Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 021-75915498

Government 3.0: Negara Sebagai Platform

Pemenangan Obama banyak mendapatkan dukungan dari industri lembah silikon. Sulit menyatakan bahwa tak ada hubungan yang kuat antara dukungan tersebut dengan pilihan skema pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam doktrin ‘pemerintahan terbuka’ di bawah pemerintahan Presiden Obama. ICT telah dipilih sebagai media utama dalam membangun transparansi dan membuka ruang partisipasi.

Untuk mengawal inisiatif pemerintah terbuka berbasis ICT ini, Presiden Obama telah menempatkan Beth Simone Noveck sebagai Deputy Chief Technology Officer for Open Government di Gedung Putih. Sebelumnya Noveck adalah direktur pada the Institute for Information Law and Policy at New York Law School. Ia mendirikan the law school’s “Do Tank”, suatu laboratorium penelitian dan pengembangan hukum dan piranti lunak  dengan fokus pengembangan teknologi dan kebijakan untuk mempromosikan open government.  Ia juga masuk dalam daftar 100 pemikir global yang berpengaruh pada tahun 2012 versi majalah Foreign Policy. Dapat dikatakan bahwa Noveck adalah salah satu pembela utama gagasan inisiatif pemerintah terbuka di bawah pemerintahan Obama.

Seperti kebanyakan pemikir asal Amerika Serikat, Noveck mengkritik demokrasi deliberatif yang diusung oleh kaum Habermasian. Deliberasi, yang membuka ruang konsensus, hanya akan memecahkan kegagalan ‘demokrasi representatif’ pada keadilan di tingkat input. Membangun pemerintah terbuka dalam skema demokrasi kolaboratif akan mengantarkan hingga ke tingkat efektifitas pengambilan keputusan dan output. Itu sebabnya gagasan pemerintah terbuka di bawah pemerintahan Obama memasukkan kolaborasi sebagai salah satu nilai utama (core values). Noveck menyatakan:

Deliberation measures the quality of democracy on the basis of the procedural uni? formity and equality of inputs. Collaboration shifts the focus to the effectiveness of decision making and outputs. Deliberation requires an agenda for orderly discussion. Collaboration requires breaking down a problem into component parts that can be parceled out and assigned to members of the public and officials.[1]

Pendekatan kolaborasi berbasis ICT mensyaratkan apa yang dikenal sebagai ‘open government data’. Pendekatan ini diyakini mampu membawa OGI mencapai tujuan substantifnya, yakni memperkuat demokrasi dan menciptakan pemerintah yang lebih efisien dan efektif.[2]

Open government data telah menggeser orientasi transparansi yang semula berfokus pada akuntabilitas politik pada tingkat perumusan kebijakan menjadi meluas hingga ke tingkat efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pelayanan melalui berbagai skema kolaborasi. Untuk itu, informasi mesti diletakkan juga di wilayah publik (public domain). Kerangka ini mensyaratkan suatu sistem masinal yang sedemikian rupa dapat memfasilitasi siapapun untuk mengolah dan menggunakan data publik yang disediakan. Itu sebabnya format-format penyediaan data yang statis (dalam versi pdf misalnya) dianggap sebagai suatu yang tidak memenuhi syarat.

Motif ekspansi dari para pelaku sektor industri pendukung Obama kini telah meluas ke tataran global melalui Open Government Partnership (OGP). Indonesia menjadi salah satu dari delapan  negara penggagas OGP. Anggota OGP diharapkan memenuhi kriteria minimum (eligibility criteria) di empat area kunci yakni: transparansi fiskal, akses informasi, pembukaan harta kekayaan pejabat publik, dan adanya keterlibatan warna negara (citizen engagement). Pada bulan November 2013 Indonesia memegang kepemimpinan OGP menggantikan Inggris sebagai lead-chair, dan Meksiko sebagai co-chair.

Open Government bukan tak menuai kritik. Penerapan Open Data kedalam konsep Open Government diperkirakan hanya akan memperbaiki transparansi pada area pelayanan publik daripada akuntabilitas politik. Hal ini dilihat sebagai ketidakpastian dalam gagasan Open Government oleh Obama (Pexiato, 2012).[3] Open Government juga dinilai meningkat resiko karena publik akan cenderung memberikan persepsi negatif akibat terungkapnya beberapa kelemahan dan mengabaikan berbagai keberhasilan. Archon Fung (2013), mengusulkan pendekatan yang ia sebut sebagai Targeted Transparency, dan menyebut Open Governement  sebagai Naked Government:[4]

Naked government may thus systematically reinforce negative perceptions of government. Simply put, the politics of accountability often associated with open government can amount to an Amazon five-star rating system in which government can only receive one or two stars.

Negara berkembang diperkirakan masih akan menghadapi beberapa masalah dalam menerapkan gagasan open government data ini. Pertama, penyediaan infrastruktur pendukung yang tak merata. Kedua, kesenjangan kapasitas sosial dalam pemanfaatan teknologi. Ketiga, dalam kondisi perlindungan data pribadi yang buruk, penerapan skema ini berpotensi melanggar privasi warga negara.

Pertanyaan yang juga cukup penting untuk dipikirkan kemudian adalah: dalam situasi tersebut, siapakah yang akan menerima manfaat paling besar ketika kebijakan open government data berhasil menggeser posisi data pemerintah Indonesia ke ranah publik? Pandangan skeptik akan melihat bahwa penyediaan infrastruktur publik dalam beberapa hal juga berpotensi memperburuk kesenjangan sosial.

Pengalaman membuktikan bahwa telah puluhan tahun Indonesia membangun infrastruktur publik secara masif melalui pinjaman luar negeri. Hasilnya konsumsi kendaraan bermotor produksi negara pemberi pinjaman menguasai pangsa pasar nasional. Di sisi lain, tingkat kesenjangan tidak menunjukkan penurunan yang berarti. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendalami hal tersebut.

Negara Co-Managed

Kecenderungan global menunjukkan telah terjadi perubahan yang signifikan dalam perimbangan kekuasaan politik dalam suatu negara. Perubahan ini adalah apa yang disebut oleh Jimly Asshiddiqie sebagai munculnya ‘Trias Politica’ baru, yakni: Negara (State), Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Pasar (Market). [5]  Dalam format baru ini, terjadi kolaborasi-kolaborasi strategis dalam penyelenggaraan urusan publik yang semula dimaknai sebagai tanggung jawab pemerintah semata. Untuk menjelaskan hal tersebut penulis akan menyebutnya sebagai co-manage.

Salah satu pertanda dari kecenderungan global yang mengarah pada co-manage ini adalah kehadiran berbagai lembaga negara penunjang (state auxiliary body). Di satu sisi, kehadiran dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mempercepat penyelenggaraan urusan publik yang kian beragam dan spesifik dalam mencapai tujuan negara. Di sisi lain kehadiran mereka juga mencerminkan kohesivitas antar ketiga elemen tersebut, yakni masyarakat, pasar dan negara.

Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan kini memasuki wilayah-wilayah pengambilan keputusan strategis hinga tingkat pelaksanaan. Di Inggris, kecenderungan ini telah menyebabkan terbentuk lebih dari 350 lembaga negara penunjang.  Beberapa negara yang jumlah populasinya jauh di bawah Indonesia, seperti Selandia Baru, hal sejenis juga meningkat cukup signifikan.

Di Indonesia, selain merupakan wadah kolaborasi dalam penyelenggaraan negara, keberadaan berbagai lembaga negara penunjang ini juga berkontribusi pada percepatan rekonsiliasi pasca reformasi. Bagaimanapun, secara alamiah reformasi selalu menyisakan cukup banyak kelompok sosial yang mewakili status quo dan ketidakpercayaan (distrust) di masyarakat. Situasi ini sering kali menyebabkan terjadinya konflik yang bersifat laten dan kontra produktif dalam penyelenggaraan negara.

Belakangan, ada upaya untuk melakukan evaluasi terhadap keberadaan lembaga negara penunjang di Indonesia Namun evaluasi cenderung mengabaikan fungsi tersebut dan dalam beberapa hal mulai terperangkap pada semacam kampanye negatif dari kekuatan anti reformasi dari pada sebuah evaluasi yang proporsional.

Dalam beberapa dekade, kehadiran lembaga negara penunjang telah menjadi semacam tahap investasi sosial bagi lahirnya demokrasi kolaboratif. Ini adalah prakondisi bagi berkembangnya pemerintah yang lebih terbuka dalam versi substantif. Perkembangan teknologi ICT kemudian telah membawa analogi-analogi baru terhadap peran negara.

Government 3.0: Negara Sebagai Platform

Dunia digital semakin memberi pengaruh cukup kuat dalam cara pandang terhadap transformasi relasi sosial dan politik dalam konteks pemerintah yang terbuka. Terminologi internet dalam menandai generasi teknologi web adalah salah satunya. Web 1.0 adalah awal dimulai penggunaan situs yang ditandai dengan penggunaan halaman statis dengan tag HTML. Teknologi ini diperkenalkan tahun 1990 oleh Tim Berners-Lee. Web 1.0 hanya menampilkan informasi-informasi statis pada tiap halamannya (read only).

Generasi lebih lanjut adalah Web. 2.0 yang cukup populer saat ini. Pengguna atau pengunjung tidak hanya membaca informasi, tetapi mulai dapat berinteraksi pada situs tersebut (read-write). Generasi ini telah melahirkan apa yang dikenal dengan social media. Fenomena ini telah mengispirasi suatu platform yang disebut sebagai Governement 2.0. Di Amerika Serikat, Noveck memperkenalkan apa yang disebut sebagai Wiki Government.

Web 3.0 ditandai dengan apa yang disebut sebagai semantic web. Generasi ini memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Jika pada generasi 2.0 antara pengguna yang saling berkomunikasi, maka pada generasi 3.0 suatu web dapat membaca web lain sebagaimana dilakukan oleh pengguna. Ini ditunjang dengan keberadaan web service. Melalui versi 3.0 aplikasi yang tertanam di masing-masing website saling berkomunikasi antara satu sama lain. Kesenjangan antar platform tereliminasi. Sebagai salah satu contoh, bagi yang menggunakan Google Drive dapat dilihat bahawa aplikasi pengentikan dokumen dan spreadsheet telah ditanam di situs ini. Proses editing dengan demikian dapat dilakukan secara kolaboratif oleh lebih dari satu pengguna.

Revolusi digital telah membawa perubahan terhadap posisi negara. Perubahan-perubahan ini juga kerap menggunakan simbol tahapan tersebut di atas, kendati tidak selalu persis sama. Untuk kali ini saya akan menganalogikan perubahan-perubahan sistem penyelenggaraan negara ke arah pemerintah terbuka berdasarkan tahapan tersebut.

Pada tahapan pertama (Government 1.0), pemerintah berjalan berdasarkan suatu pengambilan keputusan secara terpisah. Pengelolaam informasi mengenai penyelenggaraan negara dilakukan sepihak dan publik hanya dapat menerima hasil akhir tanpa mampu mempengaruhi lebih dari sekedar feedback. Inilah bentuk akuntabilitas statik. Periode ini terjadi pada rezim tertutup. Sedikit lebih maju dari tahap ini adalah diperkenalkannya metode-metode pooling atau mekanisme penanganan pengaduan on line dalam penyelenggaraan negara.

Generasi kedua (Government 2.0) ditandai dengan bergesernya peran negara yang menjadi lebih fasilitatif dalam pengambilan keputusan. Interaksi antara elemen masyarakat (pasar dan masyarakat sipil) dalam forum-forum pengambilan keputusan menjadi lebih interaktif dan memasuki tahap perumusan kebijakan hingga tahap pelaksanaan. Pola-pola kolaborasi berkembang di suatu ruang yang bernama negara. Inilah yang menjadi pertanda dari tahap kedua, ‘negara sebagai media sosial’. Pasca reformasi, situasi ini mulai terjadi di berbagai sektor di Indonesia namun masih bersifat artifisial Tahap ini ditandai dengan sistem akuntabilitas sosial yang semakin dinamis.

Tahap ketiga (Government 3.0) akan ditandai dengan terintegrasinya masing-masing platform tiap sektor pengambilan keputusan menjadi satu platform besar, yakni negara. Generasi ini ditandai dengan kehadiran suatu aplikasi yang terkoneksi dengan aplikasi lain di cabang-cabang kelembagaan negara. Jika semula relasi dibagi menjadi tiga elemen: negara, pasar dan masyarakat sipil, maka pada generasi ini negara telah menjadi platform besar yang semakin co-managed oleh kedua elemen, yakni pasar dan masyarakat sipil. Ke depan negara bukan saja telah menggeser berbagai informasi dan data pemerintah ke ruang publik, tapi negara telah mulai menjadi ruang publik itu sendiri.

Keterbukaan Terus Meluas…

Perkembangan ke depan diperkirakan tidak hanya berhenti pada pemerintah. Isu transparansi mulai masuk ke tuntutan untuk keterbukaan di sektor swasta (open market). David Cameroon (Perdana Menteri Inggris), dalam plenary session OGP Summit 2013, mengatakan:[6]

But this transparency needs to extend beyond the public sector and into the private sector, too. We need to know who really owns and controls our companies, not just who owns them legally, but who really benefits financially from their existence.

Dalam suratnya kepada President of the European Council mengenai penghindaran pajak dan kerahasiaan korporasi, Cameroon menulis: ‘After listening carefully to businesses, NGOs, technical experts and other groups, I announced two weeks ago that the UK’s central register of beneficial ownership will be open to the public’. [7]

Archon Fung (Co-director of the Transparency Policy Project—the JFK School), dalam wawancaranya dengan Nextgov di tahun 2009, juga telah menjelaskan pentingnya menerapkan transparansi pada korporasi:[8]

We need to use the government as an agent to make the decisions and actions for all these large corporations in the economy–which are creating huge social risks that people don’t understand–more open. People need to understand what these corporations are doing and how to protect their interests and minimize their risks. Americans would be well-served by that broadening of transparency–not just governmental transparency, but transparency of society as well.


[1] Noveck, Beth Simone. The Single Point Of Failure, in Open Government Ch. 4, Creative Commons, California, 2013. Hal. 65.

[2] Lihat pernyataan Obama pada 21 Januari 2009: “My Administration is committed to creating an unprecedented level of openness in government. We will work together to ensure the public trust and establish a system of transparency, public participation, and collaboration. Openness will strengthen our democracy and promote efficiency and effectiveness in government.”

[3] Peixoto, Tiago. The Uncertain Relationship Between Open Data and Accountability: A Response to Yu and Robinson’s The New Ambiguity of “Open Government”. UCLA Law Review Discourse, 60 (2012)

[4] Fung, Archon. Infotopia: Unleashing the Democratic Power of Transparency. Politics & Society, 41, SAGE Publication, 2013, hal: 189

[5] Lihat Jimly dalam Membangun Pemerintahan yang Efektif, Bersih dan Efisien (http://www.jimly.com/), diakses pada tanggal 11 Desember 2012.

[6] https://www.gov.uk/government/speeches/pm-speech-at-open-government-partnership-2013. Sat, 23 Nov 2013, 09:50.

[7] UK Prime Minister’s Letter on Tax Evasion and Corporate Secrecy, 14 November 2013.

[8] Wawancara kedua Nextgov, 14 September 2009. Sumber: http://www.nextgov.com/technology-news/2009/09/the-risks-of-open-government/44780. Sat, 23 Nov 2013, 09:50.

Transparansi  Informasi dalam 3 Cara Pandang

Transparansi Informasi dalam 3 Cara Pandang

Selasa, 17 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Rezim Hak Atas Informasi

Hak atas informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam article 19 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1946.[1] Majelis Umum PBB telah mengadopsinya pada 10 Desember 1948.[2] Negara-pihak telah meratifikasinya sesuai dinamika internal masing-masing. Ada yang menggunakan terminologi Kebebasan Informasi, atau yang dikenal dengan Freedom Of Information (FOI), seperti Inggris dan Amerika. Beberapa negara lain menggunakan Right to Information (RTI), antara lain India dan Nicaragua. Belanda, Kanada, dan Jepang menggunakan terminologi berbeda dari keduanya; Access to Information (ATI).

Dalam DUHAM jelas terlihat bahwa hak untuk mencari dan mendapatkan informasi merupakan bagian yang termasuk dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Tidak mengherankan jika pada era awal hak atas informasi sangat beririsan dengan profesi jurnalis. Jurnalis memiliki kepentingan langsung terhadap akses informasi. Swedia, dipelopori oleh Anders Chydenius (1776), telah dinyatakan sebagai negara pertama yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi. Secara substantif, Undang-Undang tersebut bertitik berat pada kebebasan pers.[3]

Pengaturan terkait kebebasan untuk mengakses informasi secara umum ditujukan untuk menjamin hak memperoleh informasi yang dikuasai oleh otoritas publik. Untuk melindungi informasi pribadi yang merupakan bagian dari privacy beberapa negara telah pula menerbitkan undang-undang perlindungan data pribadi. Di sisi lain perlindungan data pribadi juga mengatur hak subyek data untuk mengakses data pribadi mereka yang dikuasai oleh para pemegang data.

Kanada sering mempublikasikan Undang-Undang mereka sebagai Freedom Of Information Act and Protection of Privacy Act. Penyebutan kedua Undang-Undang tersebut secara bersamaan dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan memperoleh informasi dan perlindungan terhadap privacy. Dalam kehidupan bernegara, keseimbangan antara perlindungan terhadap privacy dan pemenuhan hak atas informasi diyakini akan menentukan kualitas demokrasi. Sedemikian pentingnya informasi dalam kelangsungan demokrasi sehingga Andrew Puddephatt (1999) menyatakan bahwa informasi adalah oksigen demokrasi.[4]

Dalam isu lingkungan, akses terhadap informasi masuk dalam ’27 principle of the Rio Declaration’ pada 1992.[5] Jaminan akses terhadap informasi kemudian dikenal sebagai salah satu dari apa yang disebut sebagai tiga akses: akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi, dan akses terhadap keadilan. Beberapa negara telah mengatur secara khusus akses informasi dalam isu lingkungan hidup.

Rezim hak atas informasi meyakini bahwa negara wajib menjamin akses semua orang terhadap informasi. Hak atas informasi dinyatakan sebagai hak fundamental[6] dan bersifat negatif (Article 19, 2007).[7] Sebagai hak negatif maka upaya menghalangi seseorang dalam mendapatkan informasi merupakan suatu kejahatan dan berkonsekuensi pada penerapan sanksi pidana.

Sebagai bagian dari hak-hak sipil dan politik, realisasi hak atas informasi kerap dilihat dalam perspektif relasi sosial dan politik. Di India, Bangladesh, Meksiko, Afrika Selatan, dan beberapa negara lainnya, keberadaan Undang-Undang Kebebasan Informasi telah dilihat sebagai faktor yang menentukan keberhasilan warga dalam mendorong akuntabilitas sosial pada sektor publik (World Bank, 2012).[8]

Rezim Administrasi

Rezim administrasi publik telah melahirkan upaya-upaya pengaturan terhadap kepastian akses informasi baik yang bersumber pada penyelenggaraan suatu otoritas publik yang tak terkait dengan pelayanan langsung masyarakat hingga yang terkait dengan pelayanan publik tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, perijinan dan lainnya. Jaminan akses diberlakukan mulai dari informasi yang tercipta dari penyelenggaraan aktifitas suatu otoritas publik, hingga  prosedur dan jenis-jenis layanan yang dapat diakses oleh masyarakat (daftar menu).

Berbeda dengan rezim hak atas informasi, rezim administrasi menempatkan akses terhadap informasi dalam suatu wilayah akuntabilitas administratif. Upaya warga dalam mengkases data dan informasi akan dihadapkan pada suatu rangkaian pengambilan keputusan di internal badan publik. Ketika warga mengalami hambatan dalam mengakses informasi, hambatan diselesaikan melalui skema administrative complain yang berjenjang. Dalam rezim ini, menghambat akses akan berkonsekuensi pada sanksi administratif.

Dalam rezim administrasi, hambatan akses dengan faktor-faktor penyebab yang bertentangan dengan undang-undang merupakan suatu tindakan mal administrasi dalam penyelenggaraan negara. Beberapa negara memandatkan penyelesaian hambatan akses terhadap informasi pada badan publik melalui Ombudsman. Ombudsman adalah lembaga negara independen yang relevan untuk menangani mal administrasi.

Di tangan rezim administrasi, Indonesia telah menerapkan skema-skema pengelolaan layanan yang lazim diterapkan pada pelayanan publik umumnya ke dalam layanan informasi. Penerapan hal tersebut telah menyebabkan berbagai badan publik merasa mendapat tambahan beban fungsi administrasi layanan untuk hal yang tak memiliki frekuensi signifikan. Terutama  jika dibandingkan dengan fungsi layanan utama mereka yang berbeda satu sama lain.

Semenjak UU KIP diberlakukan seluruh badan publik memiliki satu kewajiban pelayanan yang sama, yakni pelayanan informasi kepada publik. Hal ini berlaku juga bagi otoritas publik yang dibentuk tidak untuk menjalankan suatu fungsi layanan khusus kepada masyarakat. Sebagai contoh, rumah sakit pemerintah yang memiliki fungsi melayani masyarakat dalam hal kesehatan memiliki kewajiban yang sama untuk melayani permintaan informasi dengan kementerian kordinator yang tak memiliki fungsi layanan langsung terhadap masyarakat.

Kebutuhan akan informasi memang memiliki lingkup yang luas. Itu sebabnya permintaan juga terjadi untuk berbagai informasi yang tidak terkait langsung dengan fungsi pelayanan utama intitusi. Untuk menjamin kepastian akses terhadap informasi, rezim administrasi biasanya menerapkan suatu prosedur baku di internal badan publik. Dalam praktik, hal ini telah menyebabkan pemenuhan hak atas informasi menyerupai skema hak-hak positif sebagaimana hak-hak sosial dan ekonomi.

Rezim Ekonomi

Berbeda dengan rezim administrasi, rezim ekonomi yang terus berusaha untuk menempatkan semaksimum mungkin data maupun informasi yang berstatus terbuka ke wilayah publik (public domain). Penempatan ini bertujuan agar akses terhadap data dan informasi tidak memerlukan suatu skema permintaan atau memerlukan persetujuan dari pemegang otoritas publik.

Pada tiga dekade terakhir abad dua puluh, pembahasan informasi sebagai barang publik mulai mewarnai literatur akademik. Sebagian masih berhati-hati dan menyebutnya sebagai quasi public goods (Hirshliefer, 1971).[9] Beberapa yang lain akhirnya secara tegas telah menyatakan bahwa sebagian informasi adalah barang publik, terutama informasi terkait dengan pelayanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti informasi tentang SARS, Flu Burung, dsb. (Getzen, 1997).[10]

Ilmu ekonomi menggunakan terminologi barang publik sebagai lawan dari barang ekonomis. Barang publik ditandai dengan ketiadaan aspek kelangkaan, seperti udara, air, dsb. Adapun barang ekonomis ditandai dengan sifat kelangkaan akan sumber daya (the scarcity of resource). Di antara keduanya terdapat barang semi publik atau dikenal dengan istilah quasi public goods. Sebagai contoh air bersih dari PDAM. Dalam beberapa kasus, barang semi publik telah menjadi barang ekonomis, antara lain karena kebijakan privatisasi.

Rezim ekonomi meyakini bahwa penyediaan akses terhadap informasi juga merupakan prasyarat untuk mencapai alokasi sumber daya publik yang lebih efisien dan mendekati kebutuhan oleh masyarakat. Sebagai contoh, membuka akses terhadap data sebaran paramedis dan angka sebaran ibu hamil dalam suatu wilayah geografis tertentu dapat membantu komunitas untuk mengusulkan suatu sebaran paramedis yang lebih berimbang kepada pemerintah.

Tanpa akses terhadap informasi tesebut, komunitas tidak mengetahui bahwa ada penumpukan sebaran paramedis di puskesmas tertentu dan pemerintah merasa hal tersebut bukan suatu masalah. Sebagai barang publik, ketersediaannya telah menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan warga negara. Tak berbeda dengan pembangunan jalan kolektor di wilayah perkebunan yang telah menyebabkan para petani lebih mampu meningkatkan produksi mereka ke skala yang lebih efisien.

Di beberapa negara penyediaan akses mulai memasuki tahapan yang lebih maju melalui metode yang dikenal dengan Open Data. Di sektor pemerintah, akses terhadap data disediakan dalam versi masinal yang dapat diolah oleh pengguna dan tanpa melalui suatu proses permintaan terlebih dahulu. Cara ini telah menyebabkan komunitas lokal dapat mengembangkan inisiatif mereka untuk meperbaiki kualitas pelayanan kesehatan melalui skema-skema kolaboratif.[11]

Dalam banyak hal, Open Data telah menggeser informasi yang semula merupakan sesuatu yang terkesan abstrak menjadi semakin nyata sebagai barang publik, seperti halnya jalan umum, gedung-gedung ibadah dan ruang terbuka hijau. Masyarakat dapat mengakses dan menggunakannya tanpa mengajukan permintaan dan persetujuan otoritas publik terlebih dahulu.

Di beberapa negara berkembang, upaya penyediaan akses terhadap data dan informasi dengan cara serupa masih menemukan kendala dalam hal ketersediaan data yang memadai dan akurat. Berbagai kendala ditemukan mulai dari tingkat pengambilan data, tingkat pendokumentasian, hingga ketersediaan infrastruktur pendukung.

***

Ketiga cara pandang di atas dalam beberapa hal memiliki kesamaan dan dalam beberapa hal lain memiliki penekanan yang berbeda. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana mereka memandang posisi negara terkait akses terhadap informasi. Rezim administrasi akan melihatnya sebagai salah satu skema layanan kepada publik yang dimandatkan oleh Undang-Undang. Penyediaan informasi tersebut tak lebih dari suatu bentuk pengaturan oleh negara untuk mencapai suatu tujuan pelayanan tertentu.

Rezim hak atas informasi melihat informasi sebagai hak-hak universal yang melekat pada setiap orang. Negara tak boleh menghalang-halangi setiap orang untuk mendapatkan informasi tersebut sepanjang tidak mengancam hak-hak orang lain. Oleh karenanya informasi harus diletakkan di wilayah publik (public domain).

Rezim ekonomi melihatnya sebagai produksi barang publik oleh negara yang memang bersifat non ekonomis sehingga dapat diakses oleh siapapun tanpa memerlukan persetujuan pemegang otoritas dan pengenaan tarif. Penyediaan dilihat sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan kolektif warga.

Beberapa Kritik

Penerapan transparansi dalam banyak hal telah dipandang sebagai sesuatu yang kontra produktif terhadap penyelenggaraan negara. Dalam batas tertentu, transparansi  dirasakan sebagai suatu ancaman bagi pengambil keputusan akibat meningkatnya resiko (Anechiarico and Jacobs, 1996).[12] Transparansi akan cenderung menyebabkan aspek negatif lebih menonjol daripada keberhasilan yang telah dicapai oleh penyelenggara negara. Hal ini kerap terjadi karena dalam menyoroti pemerintah media massa cenderung memilih pendekatan kritis.

Kritik terhadap gagasan Open Government oleh Archon Fung, Mary Graham, David Weil, adalah satu contoh.[13] Fung termasuk yang melihat bahwa transparansi dalam Open Government akan meningkatkan resiko bagi pemerintah. Untuk itu ia menawarkan suatu gagasan Targeted Transparency, yakni:[14]

[p]ublic policies that compel organizations—sometimes governmental but often private sector actors—to disclose information in order to advance some specific public purpose such as improving public health, increasing product safety, or reducing risk.

Kebanyakan Undang-undang yang mengatur hak atas informasi berfokus pada badan publik. Targeted Transparency memperluasnya hingga ke sektor privat. Namun demikian, gagasan ini mensyaratkan pengaturan oleh Negara secara selektif untuk mempublikasikan informasi-informasi yang memenuhi kriteria citizens’ vital interest, yakni informasi mengenai: product and service risk, domination risk, and social externality risk.[15]

Pendekatan ini menjadi berbeda dengan rezim hak atas informasi yang menutup informasi secara selektif (negative list). Rezim ini menerapkan pertimbangan konsekuensi negatif untuk menutup informasi. Targeted Transparency menerapkan kewajiban suatu organisasi untuk membuka informasi secara selektif (positive list). Seleksi dilakukan untuk menetapkan informasi-informasi yang jika tidak dibuka akan menyebabkan terjadinya konsekuensi negatif berupa resiko-resiko di atas.

Catatan Kaki


[1] Universal Declaration of Human Right 1946, Article 19: Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

[2] UN General Assembly Resolution 2200A (XXI), article 19: Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.

[3] Lihat The World’s First Freedom of Information Act, Anders Chydenius’ Legacy Today. Anders Chydenius Foundation’s Publications 2, 2006.

[4] Puddephatt, Andrew. International Guidelines Series Article 19. The Public’s Right to Know: Principles on Freedom of Information Legislation States. London, Article 19, 1999. Pada bagian pengantar Puddephatt menyatakan: ‘Information is the oxygen of democracy. If people do not know what is happening in their society, if the actions of those who rule them are hidden, then they cannot take a meaningful part in the affairs of that society. But information is not just a necessity for people it is an essential part of good government. Bad government needs secrecy to survive. It allows inefficiency, wastefulness and corruption to thrive’.

[5] Principle 10. Public participation: ‘Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.’

[6] UN General Assembly, (1946) Resolution 59 (1), 65th Plenary Meeting, December 14.

[7] Article XIX, and ADC. Access To Information: An Instrumental Right For Empowerment. London, July 2007, hal. 6

[8] Lihat Alaka, Dena Ringold, at all. Assessing the Use of Social Accountability Approaches in the Human Development Sectors. Washington, The World Bank, 2012.

[9] Hirshliefer, Jack. The Private and Social Value of Information and the Reward of Inventive Activity. American Economic Review v. 61, no. 4. September 1971, pp. 561-574

[10] Getzen, T,E. Health Economics: Fundamentals and Flow of Funds. John Wiley and Sons, Inc. New York. 1997.

[11] U.S. Department of Health and Human Services. The Community as a Learning System: Using Local Data To Improve Local Health. A Report of the National Committee on Vital and Health Statistics. 2012

[12] Anechiarico, F. and Jacobs, J. The Pursuit of Absolute Integrity: How Corruption Control Makes Government Ineffective. University of Chicago Press, Chicago, 1996. Hal: 174–176

[13] Archon Fung, Mary Graham and David Weil. Full Disclosure: The Perils and Promise of Tranparency. Cambridege  University Press, New York, 2007.

[14] Fung, Archon. Infotopia: Unleashing the Democratic Power of Transparency. Politics & Society, 41, SAGE Publication, 2013, hal: 189

[15] ibid. hal: 193.