ICEL Perform The Information Publication of Natural Resources Management Survey

ICEL Perform The Information Publication of Natural Resources Management Survey

Jakarta,- Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) push the government to publish the information that relevant to natural resources and environmental protection and management.

According to ICEL Activist, Margaretha Quina, it becomes a part of manifestation of 10 Principles Rio Declaration (information access, participation, and justice on environmental) in Indonesia.

This Proactive Publication was started from information that most important on supporting rights fulfillment on good and health environment for people.

Therefore, ICEL asked participation from the readers to fill the Natural Resources and Environmental Information Needs Survey in this address.

Through the survey results, it can be a reference for ICEL to encourage policies that can answer the needs of the beneficiaries.
“ICEL guaranteed the confidentiality of personal information that has been given. Your participation in this survey is very significant”, said Margaretha (AA)

Menang di KI, Walhi Belum Dapat Data Dishut Bali

Menang di KI, Walhi Belum Dapat Data Dishut Bali

Menang dalam gugatan sengketa informasi, tak serta merta membuat Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mendapatkan ”hak” informasi dari pihak Gubernur Bali dalam hal ini Dinas Kehutanan. Hingga saat ini, Dinas Kehutanan (Dishut) belum memberikan semua salinan informasi terkait SK Gubernur Bali tentang izin pengusahaan di kawasan Tahura. Padahal, putusan Sidang Ajudikasi Non-Litigasi Komisi Informasi (KI) No. 19/01.05/AP-MK/KI BALI/IV/2013 mewajibkan Dinas Kehutanan untuk memberikan semua salinan informasi terkait dengan keluarnya SK Gubernur Bali tersebut, kecuali informasi referensi bank, rencana anggaran biaya, dan peta desain.

”Setelah adanya sengketa informasi, Dinas Kehutanan sama sekali tidak berubah. Malah cenderung tertutup untuk memberikan informasi,” sesal Adi Sumiarta, aktivis Walhi Bali, saat menggelar konferensi pers bersama Sloka Institute, Frontier Bali, dan Kekal Bali, di Kantor Walhi Bali, Rabu (5/6).

Adi menambahkan, salinan informasi yang belum diberikan sampai saat ini adalah Peta Tata Batas Areal Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam atas nama PT Tirta Rahmat Bahari serta Buku III tentang Rencana Desain Fisik Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam PT Tirta Rahmat Bahari.

Walhi Bali pun telah berupaya dengan kembali mengirim surat permohonan salinan informasi publik kepada Kadis Kehutanan, 6 Mei lalu. Namun setelah ditunggu 10 hari kerja bahkan lebih, sama sekali tidak ada tanggapan dari Kadis. ”Ini tidak bisa dibiarkan. Pemprov Bali tidak punya iktikad baik karena ternyata banyak informasi yang harusnya diberikan, ternyata tidak diberikan,” tegas Pande Nyoman Taman Bali, aktivis Frontier Bali.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Bali bersama sejumlah stafnya sejak Rabu sedang tidak berada di kantor lantaran mengikuti Konsultasi pembangunan kehutanan di Jakarta, sehingga belum bisa dimintai konfirmasi. (kmb32)

 Sumber : Bali Post
Warga Bisa Pidanakan Pemkot, Tidak Umumkan Informasi Banjir dan Upaya Penanggulangannya

Warga Bisa Pidanakan Pemkot, Tidak Umumkan Informasi Banjir dan Upaya Penanggulangannya

SAMARINDA –  Seringnya Kota Tepian dilanda banjir, memungkinkan Pemkot Samarinda terseret hukum. Bukan lantaran kerusakan lingkungan atau buruknya penataan dan pengendalian banjir, tapi menyangkut urusan informasi. Ya, informasi lengkap mengenai upaya penanggulangan banjir yang “rutin” menerjang ibu kota Provinsi Kaltim ini.

Atas ketidakseriusan tersebut, Komisi Informasi (KI) Provinsi Kaltim menyayangkan sikap Pemkot Samarinda yang terkesan kurang gereget serius mengatasi persoalan banjir. Ditambah tidak adanya informasi lengkap mengenai upaya penanggulangan fenomena tersebut.
 Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik, informasi banjir masuk kategori informasi serta-merta yang harus diumumkan. Bahkan, masyarakat bisa memidanakan Pemkot karena tidak mengumumkan informasi dimaksud.
“Ada dua informasi yang wajib diumumkan Pemkot Samarinda. Pertama, menjelaskan secara rinci apa sumber persoalan yang membuat Samarinda semakin sering banjir serta program penanggulangannya seperti apa? Kedua, informasi yang bertujuan agar warga menyiapkan diri menghadapi banjir,” kata Wakil Ketua Komisi Informasi Provinsi Kaltim Eko Satiya Hushada, kepada harian ini, kemarin.
Dalam UU 14/2008 disebutkan, setiap badan publik yang memiliki kewenangan atas suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum dan/atau badan publik yang berwenang memberikan izin dan/atau melakukan perjanjian kerja dengan pihak lain yang kegiatannya berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum wajib memiliki standar pengumuman informasi serta-merta.
Informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum di antaranya adalah banjir. Sedangkan standar pengumuman informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum sekurang-kurangnya meliputi potensi bahaya atau besaran dampak yang dapat ditimbulkan, pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak, prosedur dan tempat evakuasi apabila keadaan darurat terjadi, cara menghindari bahaya atau dampak yang ditimbulkan, serta cara mendapatkan bantuan dari pihak berwenang.
“Upaya-upaya yang dilakukan oleh badan publik atau pihak yang berwenang dalam menanggulangi bahaya atau dampak yang ditimbulkan juga bagian dari standar informasi yang wajib diumumkan serta-merta,” tegas Eko.
Informasi dimaksud, minimal diumumkan di website resmi Pemkot atau meja informasi di SKPD yang mengurusi persoalan banjir. Sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
Terlepas dari ketentuan yang digariskan oleh UU keterbukaan Informasi Publik, menurut mantan wartawan ini, Pemkot seharusnya mengumumkan secara detail hal yang disebutkannya tadi. Ini untuk memberi kepastian kepada masyarakat tentang persoalan yang tengah dihadapi sekarang, yakni banjir. Masyarakat perlu jaminan kepastian dari Pemkot upaya penanggulangan banjir, yang memuat rencana kerja dan waktu penyelesaian program.
Yang terjadi sekarang, tambah Eko, penduduk Samarinda menjadi masyarakat yang apatis karena tidak adanya penjelasan Pemkot mengenai kapan dan bagaimana persoalan banjir ini diatasi. “Masyarakat tidak pernah mendapat gambaran, banjir ini karena apa? Upaya apa yang dilakukan Pemkot untuk mengatasinya? Berapa biayanya? Kapan bisa diatasi?” ujar Eko.
Malah yang terjadi sekarang, Pemkot seakan-akan tidak mau dipersalahkan mengenai penyebab banjir, yang salah satu tudingannya adalah maraknya tambang dalam kota.  “Kalau Pemkot mengaku banjir ini bukan karena tambang, lantas apa? Kajian ilmiahnya mana? Sampai detik ini kita tidak pernah diberi gambaran tuntas dan jelas, ini persoalannya seperti apa? Step by step penanggulangannya seperti apa?,” terang Eko lagi.
Secara kasat mata, tambah Eko, wilayah yang terkena banjir semakin meluas. Daerah yang dulunya tidak terkena banjir, sekarang sudah terendam. Bahkan arus banjir semakin deras, seperti di Jalan A Wahab Sjahranie dekat SPBU, yang sempat menyeret pengendara sepeda motor beberapa hari lalu.
“Itu sepeda motor, kebetulan yang mengendarai perempuan, sempat terbawa arus. Itu terjadi di jalan raya, mengerikan. Coba kalau ada informasi dari Pemkot, jangan lewat daerah ini, arus banjir deras, masyarakat pasti tidak lewat di AW Sjahranie. Kalau terjadi apa-apa dengan pengendara sepeda motor tadi, siapa yang bertanggung jawab?” tanya dia.
Dia lantas mengetuk hati Wali Kota Syaharie Jaang untuk lebih peduli dengan persoalan Samarinda, terutama banjir yang semakin menyiksa warga. Masyarakat perlu jaminan dan kepastian, kapan persoalan banjir ini bisa diatasi.
Kembali ke soal ketiadaan informasi mengenai banjir, menurut Eko, masyarakat bisa mengadukan Pemkot Samarinda ke aparat penegak hukum, karena tidak menyediakan informasi yang masuk dalam kategori informasi yang diumumkan serta-merta.
Eko menyebut, jika gugatan mengenai hal tersebut dilayangkan warga Samarinda,  maka wali kotanya yang bakal berperkara. Ini lantaran Pemkot belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) hingga sekarang. “Informasi yang kami terima, katanya sedang dibentuk,” ucapnya.
Di Pasal 52 UU 14/2008 disebutkan, badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dikenakan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.
 Kemudian di Pasal 57 juga disebutkan, tuntutan pidana berdasarkan UU ini merupakan delik aduan dan diajukan melalui peradilan umum. “Masyarakat harus mengkritisi persoalan ini. Mengeluh saja tidak cukup. Karena keluhan masyarakat selama ini tidak cukup didengar oleh Pemkot,” kritik Eko.
Selain Samarinda, hal serupa juga belum dipenuhi kabupaten/kota lainnya di Kaltim. Saat ini pihaknya tengah memonitor hal tersebut di 14 Pemkot/Pemkab di Kaltim. Hasil monitoring tersebut bakal diserahkan kepada pemerintah daerah untuk jadi evaluasi. Selain masalah itu, KI juga menyorot website pemerintah daerah yang dinilai belum memenuhi syarat. (*/bby/ibr2/k1)
www.kaltimpost.co.id
Walhi Menangkan Ajudikasi Atas Gubernur Bali

Walhi Menangkan Ajudikasi Atas Gubernur Bali

Komisi Informasi Publik (KIP) Bali memenangkan Walhi Bali dalam sengketa informasi melawan Gubernur Made Mangku Pastika. Sengketa informasi itu terkait izin Tahura (Taman Hutan Rakyat) di kawasan Ngurah Rai seluas 102,22 hektar kepada PT Tirta Rahmat Bahari (TRB).

Berdasarkan putusan KIP Bali nomor 19/01.05/AP-MK/KI Bali/IV/2013, KIP menyatakan tiga dokumen yang menurut gubernur dikecualikan harus diberikan kepada pemohon (Walhi). Ketiga informasi itu pertama, surat permohonan rencana pengelolaan hutan mangrove dari PT TRB Nomor 28.09.10.M.001 tertanggal 28 September 2010. Kedua, rencana usaha pengusahaan pariwisata alam. Ketiga, Upaya Pengelolaan Lingkungan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/PKL) pengusahaan pariwisata alam pada blok pemanfaatan kawasan Tahura seluas 102,22 hektar.

“Komisi Informasi memerintahkan termohon memberikan kepada pemohon informasi itu dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan diterima,” kata Ketua Majelis Komisioner yang juga Ketua KIP Bali, Gede Santanu, didampingi anggota Agus Astapa dan IGA Widiana Kepakisan, saat membacakan putusan, Rabu 24 April 2013.

Kendati begitu, dalam putusannya  Komisi Informasi tetap memutuskan sejumlah item dalam ketiga informasi itu yang dikecualikan yakni informasi menyangkut referensi bank, rencana anggaran biaya, dan peta desain. Untuk itu Komisi Informasi memerintahkan termohon untuk menghitamkan informasi-infomasi yang dikecualikan itu.

Sementara itu, Kuasa Hukum Gubernur Bali, Agung Herwanto,ketika ditanya apakah pihaknya akan memenuhi putusan KI, mengaku masih berpikir. Ia juga belum bisa memastikan kapan informasi itu akan diberikan. “Kami masih pikir-pikir dan akan kami koordinasikan dengan teman-teman lain,” katanya.

Sebelumnya, Walhi meminta 11 item informasi seputar keluarnya izin Tahura kepada Gubernur Bali, namun hanya delapan informasi yang diberikan dan tiga lainnya dikatakan sebagai informasi yang dikecualikan.

Revisi UU Sumber Daya Air, Perlu Perspektif KIP

Revisi UU Sumber Daya Air, Perlu Perspektif KIP

Rencana melakukan revisi Undang-Undang No.7 Tahun 2007 tentang Sumber Daya Air amat diperlukan. Sebab UU No7 tahun 2004 belum berpihak kepada masyarakat, hanya lebih menguntungkan kalangan penguaha.

Hal itu disampaikan Poppy Susanti Dharsono, Anggota DPD RI dari daerah Pemilihan Jawa Timur, pada Rapat Tim Kerja Rencana Undang-Undang (RUU) Perubahan UU No 7 /2004 tentang Sumber Daya Air, Rabu (13/4) di Gedung DPD RI/MPR RI Senayan Jakarta.

Poppy menambahkan, ada tiga hal yang membuat perlunya revisi UUSumber Daya Air. Pertama, UU No 7/2004 tidak memihak kepada rakyat sebab tidak sesuai dengan roh UUD 1945, dimana pada pasal 33 menjelaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besana untuk kepentingan rakyat.

Kenyataannya beberapa pasal, diimplementasikan dengan tafsiran lain. Misalnya, ketentuan Pasal 26 ayat 7 UU SDA yang berbunyi, “Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat”.  Dengan demikian, seharusnya pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pengusahaan sumber daya air benarbenar diusahakan oleh Pemerintah Daerah dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 26 (7) UU SDA. Peran serta masyarakat yang merupakan pelaksanaan asas demokratisasi dalam pengelolaan air harus diutamakan dalam pengelolaan PDAM, karena baik buruknya kinerja PDAM dalam pelayanan penyediaan air kepada masyarakat mencerminkan secara langsung baik buruknya negara dalam melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak asasi atas air.

PDAM harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU SDA, dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis. Besarnya biaya pengelolaan sumber daya air untuk PDAM harus transparan dan melibatkan unsure masyarakat dalam penghitungannya. Dalam peraturan pelaksanaan UU SDA perlu dicantumkan dengan tegas kewajiban Pemerintah Daerah untuk menganggarkan dalam APBD-nya sumber pembiayaan pengelolaan sumber daya air.

Kedua, dalam revisi, harus semua pihak dan terintegarasi dengan instansi lainnya seperti Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, Pertanian, Bappenas, dan Kantor Lingkungan Hidup. Ketiga, perlu sosialisasi secara luas kepada masyarakat dan pemerintah harus menyediakan dana yang cukup dan berkelanjutan.

Satu hal penting yang tak boleh diabaikan, yaitu adanya perspektif keterbukaan informasi publik, dalam pengelolaan sumber daya air. Berbagai kasus buruknya pelayanan PDAM di berbagai daerah di Indonesia,  merupakan dampak dari ketertutupan. Publik tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya operasional PDAM, sehingga harga yang dijual bukanlah untuk kepentingan komersil dengan angka yang tidak rasional. Publik tidak mengetahui karena memang tertutup.

Karena itulah diperlukan inisiatif warga untuk meminta informasi terkait hal ini, sebagaimana yang dilakukan Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air di Jakarta. Apa yang terjadi? Data itu pun tak diberi. Karena tak diberi, maka pemohon informasi mengajukan sengketa berlangsung di Komisi Informasi Pusat, yang saat ini telah memasuki tahap ajudikasi. Hal yang sama perlu dilakukan warga di berbagai daerah lainnya.

Hal ini, patut menjadi pertimbangan serius Tim Kerja RUU Sumber Daya Air, yang terdiri dari terdiri dari 17 orang anggota DPD RI masing-masing Ir H Bambang Susilo, MM (Ketua Komite II), Matheus S. Pasimanjeku, SH (Maluku Utara), Mursyid (Nanggroeh Aceh Darussalam, Iswandi A.Md (Lampung), I Kade Arimbawa (Bali), Ishak Mancan, SH (Papua Barat), Ir Abraham Liyanto (Nusa Tenggara Timur), Hj. Noorhari Astuti, S.Sos (Bangka Belitung), Poppy Susanti Dharsono (Jawa Tengah), Hj. Hairiah, SH, MH (Kalimantan Barat), Djasaren Purba, SH (Kepulauan Riau), Drs H Bahar Ngitung (Sulawesi Selatan), Prof Dr H Mohammad Surya (Jawa Barat), Baiq Diyah Ratu Ganefi, SH (Nusa Tenggara Barat), Vivi Effendy (DKI Jakarta) dan Pdt. Elion Numbery, STh (Papua). (HM)

2013, Tahun Kerjasama Air Internasional

2013, Tahun Kerjasama Air Internasional

Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Manusia memerlukan air baik sebagai pangan, keperluan sehari-hari, maupun sebagai kebutuhan industri. Kebutuhan manusia akan air merupakan kebutuhan vital, manusia tidak bisa hidup tanpa air, bahkan 60% tubuh manusia terdiri dari air.

Ketersediaan air di bumi saat ini diperkirakan sebesar 70% dari luas permukaan bumi, sedangkan ketersediaan air tawar hanyalah sebesar 3% dari total keseluruhan air di bumi, bahkan diperkirakan ketersediaan air bersih hanyalah sekitar 1%. Dari jumlah tersebut dikatakan bahwa 69% air di dunia digunakan untuk irigasi, untuk keperluan rumah tangga sebesar 15%, dan untuk keperluan industri sebesar 15%, sedangkan 1% sisanya untuk keperluan lain-lain.

Pada tahun 2012 dikatakan bahwa jumlah penduduk bumi sebesar 7 milyar jiwa, diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat menjadi 9 milyar pada tahun 2050. Apabila tidak ada tindakan khusus terhadap laju pertumbuhan penduduk hal ini dapat menimbulkan adanya krisis air, yaitu suatu kondisi dimana kita kekurangan air. Volume air bumi yang tidak bertambah dapat mengakibatkan kita kekurangan air apabila pertambahan jumlah manusia tidak diimbangi dengan ketersediaan air bersih. Hingga saat ini negara maju sudah menahan laju pertumbuhan penduduk bahkan sebagian sudah mengurangi pertumbuhan penduduknya. Namun pada negara berkembang tren pertumbuhan penduduk cenderung meningkat, hal ini mungkin didasari oleh kurangnya kesadaran dan kepedulian negara terhadap ketersediaan air, khususnya dalam menghadapi pertumbuhan penduduk dan pemenuhan pangan.

Memang teknologi pengolahan air (desalinasi) sampai saat ini sudah dapat menciptakan air bersih. Melalui sistem penyulingan, air asin dapat diubah menjadi air bersih dan air layak minum. Namun hingga saat ini teknologi tersebut belum dapat diterapkan secara luas di Indonesia sebab memerlukan sumber daya manusia yang tinggi dalam pelaksanaannya dan membutuhkan peralatan yang canggih yang hingga saat ini belum dapat diproduksi didalam negeri. Sehingga dibutuhkan impor peralatan yang terbilang cukup mahal, dan upaya transfer teknologi untuk pelaksanaan pengolahan air dalam negeri, bahkan diluar negeri pun penyelenggaraan pengelolaan air masih terbilang sangat mahal.

Tahun 2013 ditetapkan oleh PBB melalui Resolusi A/RES/65/154 sebagai Tahun Kerjasama Air Internasional (United Nation International Year of Water Cooperation). Disampaikan dalam resolusi tersebut bahwa tujuan dari Tahun Internasional Kerjasama Air dan Hari Air Sedunia 2013 adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi untuk meningkatkan kerjasama di sekitar air, melainkan juga untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air baik sebagai pangan, kebutuhan rumah tangga, industri, maupun untuk kebutuhan hidup lainnya.

Sumber: promedia.co.id