Konferensi Nasional Masyrakat Sipil dan Penguatan Demokrasi Pasca Pemilu 2014

Konferensi Nasional Masyrakat Sipil dan Penguatan Demokrasi Pasca Pemilu 2014

Sejumlah perwakilan masyarakat sipil membacakan rekomendasi dan pernyataan sikap terkait penguatan demokrasi di Indonesia. Rabu (26/11/14).

Sejumlah perwakilan masyarakat sipil membacakan rekomendasi dan pernyataan sikap terkait penguatan demokrasi di Indonesia. Rabu (26/11/14).

Pemilu 2014 telah selesai. Transisi kekuasaan dan pemerintahan di Indonesia telah berjalan dengan baik dan damai. Namun demikian, tentu pekerjaan rumah berikut adalah, bagaimana terus mengawal jalannya pemerintahan terpilih dan mendorong penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Atas dasar itu, sepuluh organisasi Masyarakat yang terdiri dari ICW, Perludem, JPPR, Migrant Care, Puskapol UI, IPC, Yappika, PPMN, PVI, dan Solidaritas Perempuan, menggagas konferensi masyarakat sipil bertajuk “Masyarakat Sipil Penguatan Demokrasi Pascapemilu 2014”. Di dalam konferensi ini, merumuskan tujuh tantangan untuk proses demokratisasi Indonesia kedepan dari 7 isu yang dikelompokkan.

Pertama, untuk isu korupsi pemilu, tantangan terbesar adalah Penerimaan dana illegal partai politik dan dana kampanye pemilu. Kedua, dari isu penegakan hukum pemilu, yang menjadi tantangan adalah Pengaturan dan regulasi pemilu yang tidak sinkron dan tidak terbarukan. Ketiga, dari isu integritas penyelenggara pemilu, tantangan kedepan adalah Keterbukaan penyelenggara Pemilu terhadap data dan proses pelaksanaan tahapan serta dukungan partisipasi masyarakat menjadi kunci atas keberhasilan pelaksanaan Pemilu 2014. Keempat, tantangan untuk isu konflik dan kekerasan adalah Bentuk, aktor, korban, dan cara kekerasan dalam pemilu semakin meluas. Kekerasan tidak lagi berbentuk kekerasan fisik tetapi juga non-fisik.

Kelima, untuk isu media, yang menjadi tantangan kedepan adalah Proses Pemilu 2014 menghasilkan media yang terbelah antara yang pro pemerintah, oposisi dan yang independen serta partisipasi warga yang meningkat secara signifikan dalam isu demokrasi melalui teknologi internet. Keenam, untuk isu partisipasi politik wagra, yang menjadi tantangan adalah Partisipasi politik masih dipahami sebagai kehadiran dalan forum politik formal (missal memilih dalam pemilu).  Orde Baru mewariskan sejumlah masalah partisipasi politik warga yang akut: krisis demokrasi perwakilan, depolitisasi warga (massa mengambang), cara-cara miliiteristik dalam membungkam suara warga, masih kuatnya nilai dan sikap yang antipluralime, dan menjadikan warga sebagai obyek untuk kepentingan elit (oligarki). Dan ketujuh, untuk isu keterbukaan informasi, yang menjadi tantangan adalah menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Atas dasar itu, hasil konferensi masyarakat sipil menyampaikan rekomendasi terhadap tujuh tantangan diatas sebagai berikut:

  1. Mendukung pembatasan transaksi secara tunai dan menjadikan pengurus politik sebagai subjek yang bisa dipidana melalui korupsi atas dana illegal/tidak sehat tersebut
  2. Membuat kodifikasi UU pemilu yang pastinya diikuti dengan sinkronisasi dan harmonisasi seluruh regulasi penyelenggaraan pemilu
  3. dibutuhkan sistem rekruitmen yang menghasilkan petugas pemilu yang mempunyai pemahaman kepemiluan yang baik, mempunyai jiwa pelayanan, menjaga netralitas terutama ke peserta Pemilu dan pemerintah, mempunyai kemampuan adiministrasi yang baik, memahami secara cepat dan tepat teknis pelaksanaan pemilu serta terbuka  terhadap masukan dari elemen masyarakat
  4. Bentuk, aktor, korban, dan cara kekerasan dalam pemilu semakin meluas. Kekerasan tidak lagi berbentuk kekerasan fisik tetapi juga non-fisik. Intimidasi ataupun stigma banyak menimpa calon anggota legislatif perempuan maupun yang berasal dari kelompok minoritas. Aktor pelaku kekerasan pun meluas tidak hanya aparat pemerintah, tetapi dilakukan juga oleh partai politik, calon anggota legislatif, dan struktur sosial atau budaya. Kekerasan serupa juga terjadi diluar penyelenggaraan pemilu, misalnya pada pengisian jabatan publik. Antisipasi terhadap potensi terjadinya kekerasan perlu dipikirkan dengan akan dilaksanakannya pilkada tahun depan.
  5. Untuk memperkuat demokrasi, media harus bersikap profesional, sedangkan warga terus bersikap kritis dan partisipatif sehingga keduanya efektif sebagai penyeimbang dan penekan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
  6. Partisipasi politik warga membutuhkan pemaknaan baru, bukan sekedar kehadiran (prosedural), tetapi keterlibatan (substantif).  Pendalaman partisipasi politik warga membutuhkan “kekuatan alternatif” dalam wujud serikat-serikat, komunitas-komunitas, dan forum-forum warga yang menghadirkan kepentingan publik dan menuntut keadilan distribusi sumberdaya
  7. KPU mestinya harus segera menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Empat tahun, UU tersebut diterapkan, tapi KPU belum merespon dengan membentuk aturan-aturan internal dalam mempersiapkan pelayanan informasi. Bahkan, hasil uji akses yang dilaksanakan oleh CSO sebagian besar ditolak. Karenanya, kondisi tersebut mengharuskan KPU untuk segera mengesahkan PKPU mengenai pelayanan keterbukaan informasi publik dan membuat SOP Pelayanan Informasi Publik

Demikianlah siaran pers ini Kami sampaikan, atas perhatian rekan-rekan Kami ucapkan terima kasih.

Contact Person:

Donal Fariz (ICW) 085263728616

Titi Anggraini (Perludem) 0811822279

Maskurudin Hafidz (JPPR) 0811100195

Hendrik Rosdinar (Yappika) 08111463983

Yolanda (Puskapol UI) 081290399004

Eni Mulia (PPMN) 0816942178

Erik Kurniawan (IPC) 081932930908