oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Opini
“Ada pertemuan
reses, yang pesertanya direkayasa seolaholah konstituen aktif,” kata
Sri Budi Eko Wardani, dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia,
pada diskusi yang diselenggarakan IPC, di Jakarta (06/06/2017). Secara
administratif, prosedur, dan keuangan, reses model di atas, sangat
mungkin terlihat akuntabel. Tapi secara sosial dan politik, jelas tidak.
Dengan praktik representasi semacam ini, bisa dipahami mengapa aspirasi
masyarakat adat tak pernah hadir di DPR. Tentu, bukanlah akuntabilitas
administratif macam ini yang dimaksud Hanna Pitkin sebagai komponen
ketiga representasi yang demokratis.
Akuntabilitas
dalam konteks representasi elektoral adalah pertanggungjawaban wakil
(baik sebagai representasi dapil maupun representasi sektoral) kepada
pihak yang diwakili (konstituen dan partai) terhadap pelaksanaan tugas,
fungsi dan kewenangannya di lembaga perwakilan. Dalam relasi wakil –
pemerintah, apa saja kebijakan, anggaran, dan pengawasan yang dilakukan.
Dalam relasi wakil – konstituen, apa saja pendidikan politik, agregasi
kepentingan, dan advokasi kepentingan konstituen yang telah dilakukan.
Dalam setiap pelaksanaan fungsi tersebut, baik dalam relasi wakil –
pemerintah maupun wakil konstituen, ada akuntabilitas prosedural
(administratif) dan akuntabilitas substantif (sosial dan politik).
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu prinsip keterwakilan adalah
penyuaraan aspirasi oleh wakil. Idealnya, hal ini didahului proses
penyerapan aspirasi, salah satunya melalui kegiatan reses.
Pengaturannya
bisa dilihat dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3) dan Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
(Tatib DPR). Dalam UU MD3, fungsi menyuarakan aspirasi ini dinyatakan
sebagai tugas anggota DPR, yaitu menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat.1 Di pasal lain, hal ini diulang
dengan istilah kewajiban yang diikuti dengan memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapil.
Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut, anggota DPR disumpah.
Dari tiga materi sumpah anggota DPR, salah satunya terkait kewajiban
penyerapan aspirasi. “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa
saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Sebagai
panduan teknis, UU MD3 mengamanatkan agar hal ini diatur lebih lanjut
dalam Tata Tertib.4 Dalam Tatib DPR, hal ini diatur secara khusus pada
Bab XIII Bagian Kesatu tentang Representasi Rakyat, pada pasal 210
sampai 214. Dalam bab ini disebutkan bagaimana cara melakukan fungsi
perwakilan, apa saja bentuk dukungan DPR, waktu pelaksanaan, dan
tindaklanjut atas penyerapan aspirasi tersebut
Fungsi
representasi ini dilakukan secara aktif maupun pasif. Secara aktif,
yaitu dengan kunjungan kerja baik di masa reses maupun di luar reses.
Secara pasif, yaitu dengan membuka ruang partisipasi publik, antara lain
melalui pembuatan rumah aspirasi. Reses sendiri dilakukan sebanyak
empat sampai lima kali per tahun dimana satu kali reses berlangsung
selama satu bulan (kunjungan ke dapil selama sebelas hari. Selebihnya
untuk agenda komisi dan fraksi). Sementara kunjungan kerja di luar masa
reses dan di luar sidang DPR dilakukan ke dapil paling sedikit satu kali
setiap dua bulan atau enam kali dalam satu tahun dengan waktu paling
lama tiga hari. Anggota DPR biasa menyebutnya dengan istilah kunjungan
dapil.
Untuk itu,
anggota mendapatkan dukungan administrasi keuangan, tenaga ahli, dan
pendampingan yang ditentukan oleh anggota. Sebagai gambaran, anggota DPR
mendapatkan anggaran Rp. 225.000.000,- setiap kali reses dan Rp.
60.000.000,- sd Rp. 100.000.000,- untuk kunjungan dapil di luar reses.
Sementara dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari, seorang
anggota DPR dibantu tiga orang asisten pribadi (aspri) untuk membantu
tugas administrasi dan lima orang tenaga ahli (TA). Sebagian aspri dan
TA dapat ditempatkan di dapil. Hasil kunjungan kerja ini dilaporkan
secara tertulis kepada fraksi masing-masing. Laporan dapat
ditindaklanjuti dengan penyampaian usulan program kegiatan pada pimpinan
DPR dalam rapat paripurna dan komisi terkait.
Usulan program tersebut dapat digabungkan dengan usulan anggota dari dapil yang sama. Selain itu, anggota DPR juga difasilitasi untuk melakukan kunjungan kerja komisi dan AKD lainnya. Sayangnya, belum semua anggota DPR melakukan fungsi penyerapan aspirasi ini dengan baik. Hanya beberapa orang yang mempublikasikan laporan reses. Itu pun berupa informasi kegiatan, bukan substansi persoalan yang terjadi di dapilnya. Bahkan untuk hal yang lebih dasar, jadwal reses per anggota, juga tidak ada. Salah satu contoh yang menarik adalah parlemen Singapura dimana situsnya mencantumkan nama, foto, alamat surat elektronik (email), nomor telepon genggam, peta distrik, serta hari dan jam seorang anggota parlemen untuk ditemui, oleh konstituen. (Arbain, IPC)
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Daerah, Kabar Simpul, Kliping
Pimpinan Komisi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Provinsi Jawa Timur, Ach Nur Aminuddin, meminta PC GP Ansor kabupaten Bondowoso untuk mengawal pelaksanaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, di Bumi Ki Ronggo.
“Saya minta sahabat-sahabat Ansor, PMII, Fatayat, dan sahabat-sahabat
IPNU dan IPPNU mengawal keterbukaan informasi publik,” katanya dalam
sebuah acara seminar, yang diselenggarakan Ansor Bondowoso.
Dijelaskannya, bahwa sesungguhnya Undang-Undang KIP, sudah ada sejak tahun 2010. Tapi saat ini masih belum maksimal dalam proses pembacaannya dan pelaksanaannya.
Pria yang akrab disapa Gus Amin itu mengatakan, di dalam
undang-undang tersebut, telah diatur pasal perpasal mengenai hak orang
atau warga Negara Indonesia, untuk mendapatkan informasi, apa yang
dilakukan oleh badan publik.
Badan publik itu, menurut Gus Amin, adalah pemerintah, baik dari
tingkat pusat, provinsi, kabupaten sampai ke tingkat paling bawah, desa.
“Misalnya di dalam Pemdes, yang jelas di situ dibiayai oleh
Pemerintah daerah dan pusat, baik yang bersumber dari APBD dan APBN.
Maka di sana tentu pasti ada standar pelayanan informasi dan data atau
dokumentasi, yang disebut dengan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) desa,” jelasnya.
Penting diketahui kata dia, sebenarnya Undang-undang keterbukaan
informasi publik ini, juga berlaku pada semua instansi pemerinahan.
“Keterbukan informasi publik itu akan mempersempit terjadinya tindak pidana korupsi. Sehingga akan tercipta yang namanya good government dan clean government,” ujarnya.
Sementara itu Ketua PC GP Ansor Bondowoso, Kapriyanto menyampaikan,
keterbukan informasi publik merupakan langkah awal untuk mencegah tindak
pidana korupsi
Menurutnya, memberantas korupsi menjadi tanggungjawab setiap elemen
masyarakat khususnya kaum muda yang merupakan generasi penerus.
“Notabene pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi tanggungjawab
aparat penegak hukum saja, namun menjadi tanggungjawab semunya,”
ujarnya.
Ditegaskan Kapriyanto, bahwa Ansor Bondowoso berkomitmen untuk mengawal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). (*)
Sumber: https://www.timesindonesia.co.id/read/237732/20191104/222409/kip-jatim-minta-gp-ansor-bondowoso-kawal-keterbukaan-informasi-publik/
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Kajian, Opini
Ada empat peran DPRD Provinsi yang dapat dilakukan terhadap KI Provinsi.
Pertama: Melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon anggota KI Provinsi
Dalam UU KIP
disebutkan bahwa peran DPRD dalam proses seleksi calon anggota KI
Provinsi. DPRD menerima 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) orang
calon anggota KI Provinsi, hasil dari pemilihan dari Tim Seleksi yang
dibentuk oleh Gubernur. Dari jumlah tersebut, DPRD akan memilih 5 (lima)
orang berdasarkan uji kepatutan dan kelayakan. Selanjutnya, 5 (lima)
orang terpilih ini, akan ditetapkan sebagai anggota KI Provinsi.
Pasal 32 ayat (1): Calon
anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota hasil rekrutmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota oleh gubernur dan/atau bupati/walikota paling
sedikit 10 (sepuluh) orang calon dan paling banyak 15 (lima belas) orang
calon.
Pasal 32
ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota
memilih anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota melalui uji
kepatutan dan kelayakan.
Pasal 32
ayat (3) Anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota yang telah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota selanjutnya ditetapkan oleh
gubernur dan/atau bupati/walikota.
Dalam proses
ini, DPRD diharapkan melakukan pengawasan pendahuluan dengan memastikan
Gubernur membentuk tim seleksi, setidaknya 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya masa periode KI Provinsi yang sedang berjalan. Selain itu,
DPRD juga perlu memastikan bahwa pemerintah provinsi sudah menganggarkan
di R-APBD Provinsi tentang pembentukan tim seleksi calon anggota KI
Provinsi, pembentukan KI Provinsi, dan anggaran untuk kelembagaan KI
Provinsi.
Kedua: Memberikan pendapat kepada Gubernur jika terjadi pergantian antar waktu anggota KI Provinsi
Pergantian
antar waktu anggota KI Provinsi dilakukan oleh Gubernur dengan meminta
pendapat pada DPRD. Hal ini mengacu pada ketentuan sesuai pasal 34 ayat
(4) UU KIP.
Pasal 34 ayat (4) : Pergantian
antar waktu anggota KI dilakukan oleh Presiden setelah berkonsultasi
dengan pimpinan DPR RI untuk KI Pusat, oleh gubernur setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi untuk KI provinsi, dan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
kabupaten/kota untuk KI kabupaten/kota.
Adapun fungsi
pengawasan DPRD adalah memastikan bahwa Gubernur segera menindaklanjuti
secara administrasi jika terjadi pergantian antar waktu, memastikan agar
Gubernur berkonsultasi dengan DPRD, dan mengingatkan Gubernur bahwa
penggantinya diambil dari urutan berikutnya berdasarkan hasil uji
kelayakan dan kepatutan yang telah dilakukan DPRD, sesuai pasal 34 ayat
(5) UU KIP. Pengawasan DPRD ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan
pendahuluan dan pengawasan pelaksanaan.
Ketiga: Menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI Provinsi.
Tugas DPRD
menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI
Provinsi yang mengacu pada pasal 28 UU KIP ini, tidak bermakna sebagai
tugas administratif dan pasif semata.
Pasal 28 : KI
provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan
tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan.
Dalam hal ini, DPRD dapat melakukan fungsi pengawasan umpan balik (feed back control) dengan memastikan memastikan kinerja dan kondisi kelembagaan, antara lain:
- Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelesaian penyelesaian
sengketa informasi (Jumlah sengketa yang teregister, jumlah sengketa
yang telah selesai diputuskan, jumlah sengketa yang belum diputuskan,
jumlah sengketa yang diselesaikan melalui mediasi, jumlah sengketa yang
diselesaikan melalui ajudikasi, dll);
- Pelaksanaan tugas sekunder, antara lain fungsi sosialisasi UU KIP dan pemeringkatan badan publik;
- Pelaksanaan pelayanan publik di KI;
- Pelaksanaan keterbukaan informasi publik di KI;
- Kondisi kelembagaan KI Provinsi (Kondisi kesekretariatan, kepaniteraan, dan tenaga ahli).
Sementara
terkait tugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian
sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi
yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik, DPRD tidak
dibenarkan melakukan intervensi pada KI Provinsi.
Keempat: Melakukan pembahasan anggaran KI Provinsi bersama pemerintah provinsi
Tugas ini mengacu pada ketentuan UU KIP Pasal 29 ayat (6) bahwa anggaran KI provinsi dibebankan pada APBD provinsi
Pasal 29
: Ayat (6) Anggaran KI Pusat dibebankan pada APBN, anggaran KI provinsi
dan/atau KI kabupaten/kota dibebankan pada APBD provinsi dan/atau APBD
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penentuan APBD
provinsi itu sendiri harus dengan persetujuan DPRD provinsi. Hal ini
sesuai dengan Pasal 317 ayat (1) huruf b UU No. 17 Tahun 2014 tentang
MPR,DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPRD Provinsi mempunyai wewenang dan tugas
membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai
anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh
gubernur. Ini yang disebut sebagai fungsi anggaran (fungsi penyusunan
anggaran).
Dalam fungsi
penyusunan anggaran, juga terdapat fungsi pengawasan pendahuluan.
Meminjam istilah Prof. Jimly, disebut sebagai pengawasan terhadap
penentuan kebijakan (control of policy making). Dalam hal ini,
DPRD berperan memastikan bahwa pemerintah provinsi telah memasukkan
anggaran untuk pembentukan KI Provinsi dan kelembagaan KI Provinsi.
Sebagai
lembaga negara yang mandiri tetapi dibawah “bayang-bayang” pemerintah
daerah, menjadikan KI Provinsi lembaga yang tidak diberikan kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah. Anggaran KI Provinsi disusun dan dikelola
oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi. Pada sejumlah kasus, KI
Provinsi mengalami kendala dalam anggaran penyelesaian sengketa, karena
keterbatasan dan ketidaktahuan OPD yang menyusun mata anggaran dari KI
Provinsi. Karena itu, diperlukan pengawasan pendahuluan untuk memastikan
dukungan anggaran pada KI Provinsi terpenuhi dengan baik.
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Editorial
Ini kisah
nyata, lagi-lagi tentang orang biasa yang melakukan hal-hal luar biasa.
Disebut luar biasa karena mereka melakukan sesuatu yang belum lazim kala
itu; meminta informasi publik. Mungkin Anda berpikir, “Ah, biasa, apa
sulitnya, apa hebatnya?” Namun, tidak semua orang mau dan berani
melakukan itu. Ada beragam alasannya, karena malas berurusan dengan
birokrasi, takut, dan berbagai kendala psikis yang melemahkan posisi
warga negara.
Di NTT, ada
seorang ibu miskin yang berjuang mendapatkan informasi publik untuk
memastikan bahwa dirinya berhak memperoleh jamkesmas. Perjuangannya
memang berhasil, namun malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih,
beliau meninggal dunia dalam keadaan sakit. Di Jakarta, ada ibu Widi
yang menuntut transparansi biaya sekolah. Beliau tidak mau membayar SPP,
sebelum haknya atas informasi dipenuhi. Namun anaknya mendapatkan
perlakuan tidak menyenangkan dari para guru dan siswa. Tak cuma lisan.
Namanya pun dipampang di papan pengumuman. “Selama masa itu, anak saya
selalu pulang menangis. Saya sedih, tapi saya selalu membesarkan
jiwanya, “Kalau bukan kita, siapa lagi?” ujar Ibu Widi.
Ada ibu Fera,
seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berjuang mendapatkan informasi
publik tentang prosedur Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Ini
berawal dari kekesalan karena kerap diperas oleh oknum tertentu, Ada pak
Rokhim, warga korban lumpur Lapindo yang setiap malam menggunakan radio
komunitas untuk menjelaskan apa itu hak atas informasi kepada warga.
Kisah lainnya
tentang pak Heru Narsono, yang meminta infor- masi daftar donatur dan
besaran uang yang diserahkan kepada PPKM FKUI (Perkumpulan Penyantun
Kesejahteraan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun
2010-2016 dan laporan serta bukti pengeluaran sepanjang tahun
2010-2015. Setelah dinyatakan menang oleh KI Provinsi DKI Jakarta, dia
justru dilaporkan ke polisi dari PPKM FKUI atas tuduhan keterangan palsu
saat sidang di Komisi Informasi. Malang nian nasibnya, hanya meminta
informasi justru dipolisikan.
Dalam tipologi
perwakilan, kondisi di atas disebut tipologi “masyarakat kuat – wakil
lemah”. Disebut kuat karena mereka te- lah memahami hak-haknya sebagai
warga negara, mereka me- mahami bagaimana mendapatkan hak tersebut, dan
mereka me- mahami bagaimana merebut kembali hak tersebut, jika diambil
pihak lain, termasuk pemerintah. Mereka berjuang keras, hanya untuk
sebuah informasi publik.
Namun, di sisi
lain, buruknya kondisi keterbukaan informasi di level badan publik ini,
ditambah pula dengan ketidaktahuan sebagian warga terhadap hak atas
infomasi. Mereka tak paham bah- wa hak tersebut berdampak pada pemenuhan
hak-hak lainnya. Seorang warga Bogor, pak Tedi, bercerita pada kami,
beliau ha- nya bisa pasrah melihat balitanya meninggal karena tak ada
uang untuk berobat di rumah sakit yang menjadi rujukan. Padahal, tak
sedikit anggaran negara untuk beragam program kesehatan dan berobat
gratis. Tapi banyak warga tidak tahu informasinya, karena tidak ada
publikasi yang memadai. Lalu, dimana wakil yang seharusnya
memperjuangkan keterbukaan ini? Entah. Andewang (2011) menyebut relasi
ini sebagai bad representation.
Dalam kasus-kasus di atas, informasi publik yang diperjuangkan mati-matian oleh warga tersebut, seharusnya diumumkan secara pro-aktif (tanpa permintaan publik). Akibat pengabaian ini, warga kehilangan hak atas informasi, kehilangan hak atas pengobatan gratis, dan hak lainnya, bahkan kehilangan hak untuk menikmati kehidupan. Kondisi demikian semakin menambah tugas Anda sebagai anggota DPRD untuk melakukan advokasi kepada konstituen. Padahal, dengan hadirnya informasi publik secara memadai, diharapkan warga dapat secara mandiri menyelesaikan persoalan mereka.
Kondisi
keterbukaan informasi yang buruk sebagai dampak dari lemahnya pengawasan
juga berpotensi mempengaruhi kualitas keterwakilan (representasi).
Tidak tersebarnya informasi publik di masyarakat, berpotensi
dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendapatkan simpati pemilih dengan
memanipulasi sebuah informasi. Modus yang digunakan, antara lain dengan
klientelisme pelaksanaan program pemerintah. Karena tidak adanya
keterbu- kaan, ada oknum-oknum politisi yang mengalokasikan program
pemerintah kepada kelompoknya saja dan mengabaikan masyarakat lainnya
Mereka juga
memberikan bantuan dari anggaran negara kepada masjid, sekolah, panti
asuhan, majelis taklim, organisasi mahasiswa atau organisasi
kemasyarakatan, atas nama pribadi dan mengklaim bahwa hadirnya anggaran,
program, atau pembangunan di satu daerah sebagai hasil kerjanya.
Padahal, ini merupakan program pemerintah pusat atau program pemerintah
provinsi yang telah disepakati bersama di DPRD secara kelembagaan. Hal
ini telah tercantum di APBD Provinsi, RKA-KL, DIPA, dan dokumen-dokumen
lain yang seharusnya disampaikan secara terbuka kepada masyakat.
Dalam kondisi
demikian, sebagai anggota DPRD yang telah bekerja keras, anda tentu
dirugikan karena insentif politik yang selayaknya Anda terima (berupa
dukungan suara dalam pemilu), diambil oleh pihak lain yang melakukan
manipulasi. Selain itu, kerugian juga dialami masyaraka, berupa
terabaikannya hak-hak yang seharusnya mereka nikmati melalui sejumlah
program. Selain itu, karena masyarakat memilih kandidat yang tidak
berintegritas, maka kepentingan mereka potensial diabaikan ketika
kandidat bersangkutan terpilih. Dengan integritas wakil seperti ini,
kecil kemungkinan yang bersangkutan berkomitmen mendorong pemerintahan
yang transparan dan akuntabel.
Jika yang
terpilih sebagai wakil rakyat adalah adalah orang-orang yang tidak
berintegritas, dampak lainnya akan menimpa pada pembentukan KI Provinsi.
Ada kemungkinan hasil uji kepatutan dan kelayakan DPRD hanya
menghasilkan orang-orang yang dekat dengan anggota DPRD bersangkutan
tanpa memperhatikan integritas, komitmen, dan kapasitas. Padahal
keberadaan KI Provinsi dibutuhkan oleh Anda dan konstituen Anda untuk
mencari keadilan. Kita bersyukur anggota KI Provinsi Sumatera Barat,
hasil uji kepatutan dan kelayakan DPRD adalah orang-orang yang memiliki
komitmen kuat, sehingga tetap menjalankan tupoksinya meski tanpa
anggaran pada tahun 2017 ini.
Lemahnya
pengawasan terhadap infrastruktur keterbukaan di pemerintah provinsi
juga berpotensi menyebabkan rendahnya pemahaman aparatur pemerintah
terhadap hak atas informasi. Sebagai contoh, pada tahun 2016, Dinas
Pendidikan Kota Padang sebagai termohon (informasi pengelolaan dana BOS)
hanya hadir sebanyak 2 kali dari 7 kali sidang sampai putusan. Bahkan
termohon menyatakan penyelesaian sengketa yang diajukan pemohon bukan
ranah KI. Padahal, Kota Padang telah membentuk PPID pada 7 Oktober 2013.
Dari sisi
pengelolaan APBD, ketertutupan juga berpotensi menyebabkan terjadinya
pemborosan, salah sasaran, terabaikannya pihak-pihak yang berhak
mendapatkan anggaran, ketimpangan anggaran hingga penyimpangan atau
korupsi. Sepanjang tahun 2016, setidaknya sepuluh kepala daerah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lemahnya
pengawasan DPRD juga berdampak pada infrastruktur keterbukaan informasi
di lingkungan pemerintah kabupaten/kota. Dampak ini berupa tertundanya
pembentukan regulasi, SOP, SDM, sarana, anggaran, dan sistem evaluasi
kinerja terkait pengelolaan dan pelayanan informasi publik serta
lemahnya implementasi regulasi. Dalam hal ini, peran pemerintah provinsi
adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah
kabupaten/kota.
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Anggaran, Berita, Daerah, Kliping
TEMPO.CO, Jakarta -Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD DKI) dan pegiat keterbukaan anggaran
kembali mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuka semua
rincian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2020.
Anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia di DPRD DKI, William Aditya
Sarana, mempertanyakan alasan pemerintah Jakarta menunda penayangan
dokumen Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 alias plafon anggaran di situs web apbd.dkijakarta.go.id.
Menurut dia, keputusan itu justru membuka peluang bagi masuknya usul program janggal dengan anggaran yang tak masuk akal.
William menerangkan, DPRD hanya punya kesempatan terbatas untuk menyisir usulan anggaran senilai Rp 85 triliun tersebut, yakni hingga 30 November mendatang. “Kami memerlukan bantuan masyarakat,” kata dia, Kamis, 31 Oktober 2019. “Kalau di-publishsetelah disepakati dengan DPRD, akan percuma karena sudah sah.”
Dengan pembahasan KUA-PPAS yang dilakukan secara maraton, menurut
William, program-program janggal berpotensi besar lolos karena
keterbatasan waktu dan kelelahan anggota Dewan. “Anggota DPRD jumlahnya
sedikit, waktunya mepet,” ujarnya.
Fraksi PSI, kata William, telah
berulang kali meminta salinan dokumen Rancangan APBD 2020 ke Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta.
Dokumen tersebut baru diberikan Bappeda pada 16 September lalu. Itu pun hanya berupa susunan anggaran hingga level kegiatan, tanpa rincian komponen anggarannya. Permohonan PSI meminta semua rincian komponen anggaran belum ditanggapi hingga saat ini.
Sumber: https://fokus.tempo.co/read/1267126/gaduh-anggaran-aneh-apbd-dki-dari-ketertutupan-dan-ketergesaan/full&view=ok
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Kajian, Nasional, Opini, Pasca UU KIP
Analisis Putusan Komisi Informasi Pusat.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengakses informasi yang dikelola pemerintah. UU KIP juga mewajibkan pemerintah untuk membuka berbagai informasi yang dimilikinya. Setelah hampir sepuluh tahun UU KIP diterapkan, sayangnya, belum seluruh instansi pemerintah memiliki pandangan yang sama mengenai keterbukaan informasi publik, termasuk di sektor pengadaan barang dan jasa. Masih banyak badan publik yang menganggap informasi itu, khususnya dokumen kontrak, dikecualikan atau tidak dapat diakses publik. Masyarakat pun kesulitan memantau proyek pemerintah karena akses terhadap informasi pengadaan barang dan jasa tidak diberikan. Jika sudah begitu, tak heran kalau sektor pengadaan barang dan jasa di Indonesia masih rawan korupsi. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2010 sampai tahun 2017, 40 persen kasus korupsi yang ditangani penegak hukum setiap tahunnya terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Meski banyak faktor penyebab korupsi, namun minimnya partisipasi masyarakat mengawasi proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah karena informasi tidak disediakan memperparah hal itu. UU KIP secara jelas menyebutkan, informasi mengenai perjanjian antara pemerintah dan pihak ketiga merupakan informasi publik. Jadi sudah sewajarnya pemerintah membuka informasi kontrak pengadaan barang dan jasa kepada publik. Keterbukaan dokumen kontrak memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi yang tersedia dan menggunaknnya untuk memberi masukan kepada pemerintah dan memantau pelaksanaan proyek-proyek di lapangan. Hal itu dapat menghasilkan pengadaan barang dan jasa berkualitas serta mendorong efisiensi anggaran. Gagasan keterbukaan kontrak pengadaan barang dan jasa juga sejalan dengan Rencana Aksi Open Government Indonesia (Renaksi OGI) tahun 2018-2020, khususnya dalam hal peningkatan transparansi proses pengadaan barang dan jasa yang menargetkan publikasi seluruh dokumen pengadaan barang dan jasa dalam bentuk data terbuka. Untuk mencapai hal itu, setidaknya ada empat indikator yang perlu dipenuhi: (1) tersedianya pembaruan Surat Keputusan (SK) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) terkait Daftar Informasi Publik (DIP) untuk dokumen pengadaan barang dan jasa di lingkungan LKPP, (2) tersedianya rekomendasi implementasi SK DIP barang dan jasa pemerintah oleh LKPP, (3) terlaksananya konsultasi publik terkait pengaturan DIP pengadaan barang dan jasa di pemerintah pusat oleh Komisi Informasi Pusat (KIP), dan (4) terbitnya Peraturan Komisi Informasi (Perki) terkait DIP dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah serta penguatan kapasitas masyarakat sipil dalam mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sumber: https://antikorupsi.org/id/research/keterbukaan-kontrak-pbj-di-indonesia