Tertutup, KLHS Reklamasi Teluk Jakarta Tak Jelas Keberadaannya

Tertutup, KLHS Reklamasi Teluk Jakarta Tak Jelas Keberadaannya

koalisi-teluk-jakarta-tantang-luhut-selesaikan-kasus-reklamasi-v3SgPrADFQ

KebebasanInformasi.org – Reklamasi Teluk Jakarta dinilai telah mengabaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Padahal, sebagaimana tertuang dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KLHS ini wajib dilakukan dalam setiap penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau risiko terhadap lingkungan hidup.

Akibat tertutupnya proses pembangunan reklamasi tersebut, Ketua Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwinata, menduga, KLHS tidak pernah dilakukan. “Kajian lingkungan strategis itu tidak jelas keberadaannya, bahkan kami menduga tidak ada kajian lingkungan strategis terkait dengan reklamasi di Jakarta,” kata Martin, di Jakarta, Kamis (13/10).

Dugaan ini diperkuat dengan adanya kajian-kajian lingkungan, yang menyatakan, reklamasi Teluk Jakarta berdampak buruk terhadap ekosistem pesisir.

Martin menyatakan, Pemerintah abai terhadap dampak buruk lingkungan yang diakibatkan proyek reklamasi ini. “Dampak lingkungan itu terkait dengan masalah banjir yang akan bertambah hebat di Jakarta. Aliran air dari sungai yang dinormalisasi mengalir deras ke laut. Tapi diujungnya (laut) disumbat dengan adanya reklamasi, air akan tertahan dan berbalik ke daratan,” jabarnya.

“Kemudian juga dampak buruk seperti sendimentasi, penumpukan logam berat dan sebagainya,” imbuh Martin.

Ia menegaskan, semestinya Pemerintah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengolahan lingkungan, seperti pencegahan dan kehati-hatian. “Dalam prinsip pencegahan, ketika sudah ditemukan ada dapak buruk yang terjadi maka pengambil kebijakan menghentikan kebijakan yang akan merusak lingkungan tersebut,” ujarnya.

Kemudian, kata Martin, dalam prinsip kehati-hatian, apabila terjadi perdebatan terhadap perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem seperti ini, pemerintah semestinya mengambil keputusan yang berpihak kepada lingkungan hidup.

“Sudah sangat jelas pemerintahan hari ini dengan poros maritim dan membangun negara dari pinggir, bukan mereklamasi tapi menghentikan reklamasi, memulihkan ekosistem pesisir dan melindungi serta menyejahterakan nelayan,” tandasnya. (BOW)

Foto : okezon.com

Ketua KNTI: Sejak Awal Proses Reklamasi Teluk Jakarta Sangat Tertutup

Ketua KNTI: Sejak Awal Proses Reklamasi Teluk Jakarta Sangat Tertutup

aksi_nelayan_tolak_reklamasi_teluk_jakarta

KebebasanInformasi.org – Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwidnata mengatakan, reklamasi Teluk Jakarta merupakan sebuah proyek yang sangat koruptif dan menimbulkan banyak masalah. Selain dampak buruk terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi, sejak awal proyek ini sangat tertutup. “Kalau kita lihat reklamasi Teluk Jakarta ini, prosesnya sangat tertutup. Tiba-tiba ijinnya sudah keluar,” ujar Martin, di Jakarta, Kamis (13/10).

Untuk menegaskan begitu tertutupnya proyek ini, Martin menilik ke belakang pada masa Orde Baru, ketika terbit Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995? tentang Reklamasi Pantai Utara yang menjadi pedoman bagi pembangunan reklamasi 17 pulau tersebut. Menurutnya, Kepres tersebut muncul dengan tiba-tiba.

Selanjutnya, meski pada tahun 2003 proyek tersebut telah dinyatakan tidak layak oleh Menteri Lingkungan Hidup melalui Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta, namun dalam perjalanannya Kepres 52 tahun 1995 itu berkembang menjadi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030. Perda RTRW inilah yang kemudian memberi angin segar bagi para pengembang dan pihak proreklamasi untuk menjalankan proyeknya.

“Saya melihat secara luas ya, bukan hanya pemerintahan Gubernur DKI Jakarta sekarang, yakni Ahok. Tapi gubernur maupun rejim sebelumnya juga seperti itu (tertutup). Tiba-tiba munculah yang namanya Kepres 52 tahun 1995 dan itu akhinya dinyatakan tidak layak oleh Menteri Lingkungan pada tahun 2003. Namun kemudian Kepres 52 itu berkembang menjadi Perda RTRW tahun 2012. Perda ini muncul tanpa ada konsultasi publik sebelumnya, khususnya kepada masyarakat nelayan yang akan terdampak reklamasi,” papar Martin.

Selain itu, lanjutnya, jika diperhatikan secara detail, pembagian konvensi reklamasi pun tidak terbuka kepada publik. “Maskudnya apakah itu ada proses tender dan seterusnya dalam penguasaan konvensi pulau-pulau reklamasi? Ini proyek yang sangat tertutup dan hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha jahat dan tidak menguntungkan kepada masyarakat sama sakali,” tandasnya.

Imbasnya, yang dirugikan adalah masyarakat, yakni terampasnya laut dari kepemilikan bersama oleh masyarkaat menjadi kepemilikan properti. Masyarakat pesisir harus melaut lebih jauh dengan biaya operasi yang meningkat. Sementara kerusakan laut, yang seharusnya diperbaiki, terus menerus dibiarkan dan malah menjadi alasan untuk reklamasi.

“Dan ternyata ada unur KKN dalam prose perijinan. Kami pun menduga ada KKN dalam terbitya Keppres 52 tahun 1995,” ujar Martin.

“Apabila dari awal reklamasi Teluk Jakarta ini terbuka, tentu publik bisa menilai bagaimana reklamasi ini kira-kira dapat dilakukan atau tidak,” imbuhnya. (bow)

Foto: Okezone.com

Putuskan Shapefile Citra SatelitTertutup, KI Pusat Dikritik

Putuskan Shapefile Citra SatelitTertutup, KI Pusat Dikritik

Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) memutuskan sengketa informasi register Nomor 339/VII/KIP-PS/2014 antara Pemohon Citra Hartati dari ICEL terhadap Termohon Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Ruang Sidang KIP Jakarta, Jumat (13/2). Dalam putusan tersebut, KI Pusat menyatakan informasi peta analisis satelit tutupan hutan di Aceh 2010-2013 dalam format JPEG adalah terbuka. Begitu juga seluruh dokumen SK Menhut Penetapan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT beserta lampiran peta format JPEG. Namun informasi Citra Satelit Tutupan Hutan dalam bentuk Shapefile dinyatakan tertutup. Akses peta dalam format shapefile, dinilai pemohon sangat penting guna memonitoring moratorium deforestasi, illegal logging dan perubahan tutupan hutan.

KI Pusat menilai, data shapefile bisa berubah-ubah dan belum mempunyai kekuatan hukum merujuk Pasal 45 junto  Pasal 62 UU Informasi Geospasial. Sementara itu, seluruh informasi yang dimohon oleh Pemohon harus diberikan dalam bentuk format pdf, jpg, maupun GIS-services. Untuk format shapefile (shp) karena tidak bisa disahkan dan diberi watermark, yang artinya tidak memiliki kekuatan hukum/legal dan bisa diubah-ubah oleh pihak lain, maka format tersebut tidak bisa diberikan sampai dengan ditemukannya teknologi untuk pengesahan dan penguncian (pemberian watermark) file tersebut.

Menanggapi putusan tersebut, pihak termohon, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan siap memberikan informasi yang telah ditetapkan terbuka oleh KI Pusat. Sementara itu, timbul kekecewaan dari pihak pemohon, Citra Hartati, beserta Koalisi Penyelamatan Hutan dan Iklim Global terdiri dari,Forest Watch Indonesia (FWI), Walhi, AMAN, Greenpeace Indonesia, HuMa, Debt Watch Indonesia, Bank Information Center, dan Civil Society  Forum for Climate Justice (CSF-CI).

“Ada kekecewaan terhadap majelis komisioner. Kita sudah mencoba menyampaikan dari segi teknis dan substansi kenapa shapefile penting. Mereka hanya mempertimbangkan pasal 45,” kata Citra dalam mongabay.com.

Hal yang sama dinyatakan aktivis koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), Dessy Eko Prayitno. Menurutnya KIP belum memahami esensi dasar dan tujuan keterbukaan informasi, kemudahahan akses dan keutuhan informasi.

“Disayangkan putusan ini hanya mempertimbangkan satu aspek, yaitu potensi pemidanaan KLHK jika membuka peta format shapefile. Substansial kenapa shapefile harus dibuka sama sekali tidak dipertimbangkan.” Kata Dessy, seperti dilansir mongabay.com.

Keterbukaan Informasi Pertambangan, Cegah Konflik di Aceh

Keterbukaan Informasi Pertambangan, Cegah Konflik di Aceh

Aceh, Kebebasaninformasi.org – Implementasi keterbukaan informasi publik di Aceh dinilai sangat penting, terutama di sektor pertambangan. Keterbukaan informasi tersebut adalah salah satu solusi untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan tambang, dan menghindari konflik antara keduanya.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Bupati Aceh Barat, Rachmat Fitri Nanda, saat bertemu dengan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan GeRAK Aceh Barat, Jumat (I3/2/2015). Pihaknya juga menyatakan bahwa Aceh Barat sudah melaksanakan implementasi UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya juga sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat.

“Mungkin informasi terkait pertambangan yang sudah disampaikan oleh Pemerintah Aceh Barat belum berjalan dengan baik sehingga tidak tersapaikan kepada masyarakat, kalau memang GeRAK Aceh ingin membuat komitmen bersama antara Pemerintah dan Perusahaan, Pemerintah Aceh Barat sangat menyambut baik hal ini,” ujarnya, seperti dilansir Acehpost.co.

Sementara itu, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Baharuddin Bahari berharap pemerintah Aceh Barat untuk membuat tim koordinasi untuk mengimplementasikan UU KIP tersebut. Menurutnya, dalam pelaksanaan keterbukaan informasi di sektor pertambangan butuh kerja sama antar lembaga untuk mewujudkan tata kelola di sektor pertambangan supaya lebih baik.

Baharuddin bersama GeRAK akan mensupport langkah pemerintah tersebut dengan melaksanakan pertemuan dari seluruh elemen untuk menyusun kesepakatan. Jadi, antara perusahaan, pemerintah, DPRK dan masyarakat sekitar tambang terjadi komunikasi yang baik dan menghilangkan konflik dan kecurigaan.

ICEL Survey Publikasi Informasi Pengelolaan Sumber Daya Alam

ICEL Survey Publikasi Informasi Pengelolaan Sumber Daya Alam

Jakarta,- Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mendorong Pemerintah untuk melakukan publikasi informasi terkait perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup secara proaktif.

Menurut aktivis ICEL, Margaretha Quina, hal itu merupakan bagian dari perwujudan Prinsip 10 Deklarasi Rio (akses informasi, partisipasi, dan keadilan dalam hal lingkungan hidup) di Indonesia.

Publikasi proaktif ini dimulai dari informasi yang dirasakan paling penting dalam mendukung pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat.

Oleh karena itu, ICEL memohon partisipasi pembaca untuk mengisi Survey Kebutuhan Informasi SDA & Lingkungan di alamat ini.

Melalui hasil survey tersebut dapat menjadi acuan ICEL untuk mendorong kebijakan yang dapat menjawab kebutuhan penerima manfaat.

“ICEL menjamin kerahasiaan informasi pribadi yang diberikan. Partisipasi Anda dalam survey ini sangat berarti,” pungkas Margaretha. (AA)

Menang di KI, Walhi Belum Dapat Data Dishut Bali

Menang di KI, Walhi Belum Dapat Data Dishut Bali

Menang dalam gugatan sengketa informasi, tak serta merta membuat Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mendapatkan ”hak” informasi dari pihak Gubernur Bali dalam hal ini Dinas Kehutanan. Hingga saat ini, Dinas Kehutanan (Dishut) belum memberikan semua salinan informasi terkait SK Gubernur Bali tentang izin pengusahaan di kawasan Tahura. Padahal, putusan Sidang Ajudikasi Non-Litigasi Komisi Informasi (KI) No. 19/01.05/AP-MK/KI BALI/IV/2013 mewajibkan Dinas Kehutanan untuk memberikan semua salinan informasi terkait dengan keluarnya SK Gubernur Bali tersebut, kecuali informasi referensi bank, rencana anggaran biaya, dan peta desain.

”Setelah adanya sengketa informasi, Dinas Kehutanan sama sekali tidak berubah. Malah cenderung tertutup untuk memberikan informasi,” sesal Adi Sumiarta, aktivis Walhi Bali, saat menggelar konferensi pers bersama Sloka Institute, Frontier Bali, dan Kekal Bali, di Kantor Walhi Bali, Rabu (5/6).

Adi menambahkan, salinan informasi yang belum diberikan sampai saat ini adalah Peta Tata Batas Areal Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam atas nama PT Tirta Rahmat Bahari serta Buku III tentang Rencana Desain Fisik Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam PT Tirta Rahmat Bahari.

Walhi Bali pun telah berupaya dengan kembali mengirim surat permohonan salinan informasi publik kepada Kadis Kehutanan, 6 Mei lalu. Namun setelah ditunggu 10 hari kerja bahkan lebih, sama sekali tidak ada tanggapan dari Kadis. ”Ini tidak bisa dibiarkan. Pemprov Bali tidak punya iktikad baik karena ternyata banyak informasi yang harusnya diberikan, ternyata tidak diberikan,” tegas Pande Nyoman Taman Bali, aktivis Frontier Bali.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Bali bersama sejumlah stafnya sejak Rabu sedang tidak berada di kantor lantaran mengikuti Konsultasi pembangunan kehutanan di Jakarta, sehingga belum bisa dimintai konfirmasi. (kmb32)

 Sumber : Bali Post