Ketua KNTI: Sejak Awal Proses Reklamasi Teluk Jakarta Sangat Tertutup

Ketua KNTI: Sejak Awal Proses Reklamasi Teluk Jakarta Sangat Tertutup

aksi_nelayan_tolak_reklamasi_teluk_jakarta

KebebasanInformasi.org – Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwidnata mengatakan, reklamasi Teluk Jakarta merupakan sebuah proyek yang sangat koruptif dan menimbulkan banyak masalah. Selain dampak buruk terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi, sejak awal proyek ini sangat tertutup. “Kalau kita lihat reklamasi Teluk Jakarta ini, prosesnya sangat tertutup. Tiba-tiba ijinnya sudah keluar,” ujar Martin, di Jakarta, Kamis (13/10).

Untuk menegaskan begitu tertutupnya proyek ini, Martin menilik ke belakang pada masa Orde Baru, ketika terbit Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995? tentang Reklamasi Pantai Utara yang menjadi pedoman bagi pembangunan reklamasi 17 pulau tersebut. Menurutnya, Kepres tersebut muncul dengan tiba-tiba.

Selanjutnya, meski pada tahun 2003 proyek tersebut telah dinyatakan tidak layak oleh Menteri Lingkungan Hidup melalui Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta, namun dalam perjalanannya Kepres 52 tahun 1995 itu berkembang menjadi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030. Perda RTRW inilah yang kemudian memberi angin segar bagi para pengembang dan pihak proreklamasi untuk menjalankan proyeknya.

“Saya melihat secara luas ya, bukan hanya pemerintahan Gubernur DKI Jakarta sekarang, yakni Ahok. Tapi gubernur maupun rejim sebelumnya juga seperti itu (tertutup). Tiba-tiba munculah yang namanya Kepres 52 tahun 1995 dan itu akhinya dinyatakan tidak layak oleh Menteri Lingkungan pada tahun 2003. Namun kemudian Kepres 52 itu berkembang menjadi Perda RTRW tahun 2012. Perda ini muncul tanpa ada konsultasi publik sebelumnya, khususnya kepada masyarakat nelayan yang akan terdampak reklamasi,” papar Martin.

Selain itu, lanjutnya, jika diperhatikan secara detail, pembagian konvensi reklamasi pun tidak terbuka kepada publik. “Maskudnya apakah itu ada proses tender dan seterusnya dalam penguasaan konvensi pulau-pulau reklamasi? Ini proyek yang sangat tertutup dan hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha jahat dan tidak menguntungkan kepada masyarakat sama sakali,” tandasnya.

Imbasnya, yang dirugikan adalah masyarakat, yakni terampasnya laut dari kepemilikan bersama oleh masyarkaat menjadi kepemilikan properti. Masyarakat pesisir harus melaut lebih jauh dengan biaya operasi yang meningkat. Sementara kerusakan laut, yang seharusnya diperbaiki, terus menerus dibiarkan dan malah menjadi alasan untuk reklamasi.

“Dan ternyata ada unur KKN dalam prose perijinan. Kami pun menduga ada KKN dalam terbitya Keppres 52 tahun 1995,” ujar Martin.

“Apabila dari awal reklamasi Teluk Jakarta ini terbuka, tentu publik bisa menilai bagaimana reklamasi ini kira-kira dapat dilakukan atau tidak,” imbuhnya. (bow)

Foto: Okezone.com

ForBALI Minta KPK dan PPATK Usut Uang Rp.1 Triliun dari Pengembang Reklamasi Teluk Benoa

ForBALI Minta KPK dan PPATK Usut Uang Rp.1 Triliun dari Pengembang Reklamasi Teluk Benoa

forBali Minta KPK PPATK usut Uang 1 Milyar TWBI untuk Reklamasi Teluk BenoaKebebasanInformasi.org – Humas forBALI Jakarta, Johnting, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengusut biaya yang telah dikeluarkan pengembang, dalam hal ini PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), dalam proyek reklamasi Teluk Benoa. Hal ini menyusul pernyataan pemilik kelompok usaha Artha Graha Tomy Winata sekaligus investor PT TWBI yang menyatakan telah mengeluarkan biaya sebesar Rp.1 Triliun untuk ongkos konsultan, uji lapangan dan uji kelayakan.

“Jadi pada tahun lalu (2015) itu Tomi Winata mengatakan, ‘oke kalau rakyat Bali menolak reklamasi, tapi bagaimana dengan uang yang saya keluarkan padahal reklamasi belum berjalan?” kata Johnting, Kamis (13/10/2016)

Johnting menilai, biaya tersebut terlalu besar jika hanya dikeluarkan untuk konsultan uji lapangan dan uji kelayakan. Oleh karena itu, ia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan penelusuran dan membeberkan data tersebut ke publik. “Untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh Tomy Winata itu benar bahwa dia sudah keluar biaya 1 triliyun,” kata Johnting.
“Itu kan publik harus tahu. Kalau memang sudah keluar uang 1 triliyun KPK usut saja. Jangan-jangan ada proses-proses yang tidak wajar,” imbuhnya.
Kecurigaan Johnting tersebut dilandasi karena sejak awal proses rencana reklamasi Teluk Benoa sangat tertutup dari akses publik.
Berkaca dari proyek reklamasi di Teluk Jakarta, Johnting curiga ada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proyek reklamasi Teluk Benoa. “Contohnya reklamasi Jakarta. Setelah KPK menangkap Sanusi, ternyata terbukti di situ ada proses korupsi untuk meloloskan izin reklamasi. Takutnya dalam proses reklamasi di luar Jakarta, seperti di Bali, Makasar dan lain-lainnya, ada praktik korupsi juga,” kata Johnting.
“Dalam kasus Teluk Benoa, ketika pengembang mengatakan sudah mengeluarkan uang padahal proses reklamasi belum berjalan, takutnya ada praktik korupsi disitu,” tegasnya.
Dari sisi kebebasan informasi, Johnting menilai masyarakat perlu tahu terkait hal itu agar tidak memicu polemik dan kecurigaan. “Selain dampak lingkungan dan sebagainya, tidak terbukanya proses reklamasi ini membuat kami curiga ada yang bermain di situ. Masyarakat kan tidak tahu berapa uang sudah dikeluarkan,” ungkapnya.
“Itulah pentingnya dari sisi kebebasan informasi. Kita akan sangat senang kalau itu dibuka. Biar masyarakat tahu. Jangan-jangan ada yang bermain di sini,” kata Johnting. (BOW)

Ketidakterbukaan Informasi Picu Polemik Masyarakat dalam Reklamasi Teluk Benoa

Ketidakterbukaan Informasi Picu Polemik Masyarakat dalam Reklamasi Teluk Benoa

Kebebasan Informasi untuk Reklamasi Teluk Benoa

KebebasanInformasi.org – Aksi penolakan reklamasi Teluk Benoa tak pernah surut. Selama empat tahun terakhir, Aliansi Masyarakat Sipil lintas sektoral yang tergabung dalam forBALI terus menetang keberadaan megaproyek di pulau dewata tersebut. Dukungan kepada mereka pun meluas, dari tingkat nasional hingga internasional.

Selain mengemukakan 13 alasan menolak reklamasi Teluk Benoa, sebagaimana tercantum dalam website forbali.org, sejak awal proses proyek ini sangat tertutup, diam-diam, dan terkesan manipulatif, baik dari aspek administrasi, perijinan, dan seterusnya.

Hal itu diutarakan Luh De, dari Sloka Institut. Menurutnya, kasus reklamasi Teluk Benoa ini bermula dari ketidakjelasan informasi, utamanya mengenai surat keputusan dari Gubernur Bali yang memberikan ijin rekomendasi bagi insvestor.

“Intinya memang bersumber dari ketidakterbukaan informasi, terutama soal surat keputusan dari Gubernur. Kemudian masalah selanjutnya, keterbukaan mekanisme konsultasi publik,” ujar Luh De, ketika dihubungi melalui sambungan seluler, Kamis (13/10/2016).

Ia menceritakan, pada mulanya tidak ada informasi yang dapat diakses publik mengenai rencana reklamasi ini. Pemerintah Daerah (Pemda) Bali baru membenarkan adanya reklamasi Teluk Benoa setelah dokumen (SK Gubernur) tersebut jatuh ke tangan masyarakat.

Imbas dari ketidakterbukaan informasi rencana proyek reklamasi ini, masyarakat terombang ambing dalam ketidakjelasan dan suasana konflik. “Karena ada yang bilang sudah ada ijin reklamasi, ada yang nggak tahu. Maka upaya pertama yang dilakukan ialah mencari SK itu. Akhirnya sudah terang benderang dikonfirmasi ke pemerintah Provinsi Bali, baru mereka (Pemda) bilang (ada proyek reklamasi),” jelas Luh De.

Sementara itu, Humas forBALI untuk Jakarta, Johnting, mengatakan, ketidakterbukaan informasi dalam kasus Teluk Benoa ini menimbulkan polemik di masyarakat. “Dalam kasus Teluk Benoa ini, masyarakat jadi tidak tahu siapa yang bermain. Ini gambarannya ada proses reklamasi yang menggunakan atau membutuhkan dana yang begitu besar. Ini menjadi polemik di masyarakat,” kata Johnting, di Jakarta.

Ketidak terbukaan informasi itu membuat Johnting dan rekan-rekannya curiga bahwa ada unsur korupsi, kolusi dan nepotisme dalam rencana reklamasi Teluk Benoa. Terlebih pihak pengembang, dalam hal ini PT TWBI, menyatakan telah mengeluarkan dana sebesar 1 Triliyun Rupiah untuk proyek tersebut.

“Jadi, selain dampak lingkungan dan sebagainya, tidak terbukanya proses reklamasi ini membuat kami curiga ada yang bermain di situ. Masyarakat kan tidak tahu berapa uang sudah dikeluarkan,” kata John.

Ia mengungkapkan, dalam suatu proyek pembangunan sering ditemukan adanya praktik-praktik ‘kotor’. Di mana ijin pelaksanaan proyek keluar melalui proses-proses yang masuk dalam kategori tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. “Misalnya kasus reklamasi di Jakarta. Setelah KPK menangkap Sanusi, ternyata terbukti ada proses korupsi di situ untuk meloloskan izin reklamasi,” terangnya.

“Takutnya dalam proses reklamasi di luar Jakarta, seperti di Bali, Makasar dan lain-lainnya, ada praktek korupsi juga di situ. Dalam kasus Teluk Benoa, pengembang mengatakan sudah mengeluarkan uang 1 Triliyun Rupiah, padahal proses reklamasi belum berjalan, bisa jadi ada pratik korupsi di situ,” papar John.

Karena itu, ia ingin agar segala hal maupun proses dalam reklamasi Teluk Benoa ini dibuka. Ia juga berharap, PPATK dan KPK melakukan pengusutan terhadap biaya yang dikatakan pengembang telah dikeluarkan. “Itulah pentingnya dari sisi kebebasan informasi. Kita senang-senang saja kalau itu dibuka. Biar masyarakat tahu. Jangan-jangan ada yang bermain di sini,” kata Johnting. (BOW)

Koalisi Sipil Minta Timsel Umumkan Seleksi Komisi Informasi di Media Massa

Koalisi Sipil Minta Timsel Umumkan Seleksi Komisi Informasi di Media Massa

KIP

Palu – Sejumlah lembaga profesi dan swadaya masyarakat di Palu memprotes tidak transparannya pembetukan tim seleksi dan tahapan seleksi Komisi Informasi Sulawesi Tengah. Mereka meminta Komisi Informasi (KI) Pusat mengawasi jalannya tahapan seleksi.

Dalam hitungan hari, masa kerja  KI Provinsi Sulawesi Tengah pada 16 Oktober 2016 mendatang bakal berakhir. Beberapa hari yang lalu, pendaftaran calon  Komisi Informasi pun telah dimulakan. Namun, tak satupun informasi mengenai pembentukkan tim seleksi tersebut tersebar ke publik.

“Memang dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi tidak terdapat kewajiban untuk mempublikasikan proses pembentukkan tim seleksi oleh pemerintah yang ditetapkan oleh gubernur,” sebut Muhammad Subarkah, Koordinator Koalisi Sipil Kawal Seleksi KI.

Namun, menurut dia, jika dilihat dari semangat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Nomor 14 Tahun 2008, juga tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan, seyogyanya dan alangkah eloknya Pemprov Sulteng mempublikasikan proses pembentukkan tim seleksi dan siapa saja mereka ke publik.

Mengapa demikian, sambung Iwan Lapasere, jurnalis televisi yang menjadi anggota Koalisi ini, dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi pasal 8 poin 1 persyaratan umum untuk menjadi calon tim seleksi merupakan warga Negara Indonesia, memiliki integritas dan tidak tercela dan bukan anggota partai politik dalam jangka 5 tahun terakhir.

Lalu, pada poin 2 persyaratan khusus untuk menjadi calon tim seleksi unsur akademisi yakni berpendidikan paling rendah strata dua (S2) dan memiliki pengetahuan dibidang keterbukaan informasi publik. Poin 3 persyaratan untuk unsur pemerintah adalah pejabat struktural eselon dua atau lebih tinggi termasuk memiliki pengalaman dibidang keterbukaan informasi public. Poin 4  untuk unsur masyarakat yakni tokoh masyarakat dan memiliki pengetahuan tentang informasi publik.

“Pertanyaannya adalah karena hal ini tertuang dalam peraturan komisi informasi maka sudahkah semua unsur tersebut terwakili dan benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk 2 orang unsur akademisi, 1 orang unsur pemerintah, 1 orang unsur masyarakat dan 1 unsur komisi informasi pusat,” tukas Iwan lagi.

Menurutnya, jika poin itu tidak terpenuhi patut diduga prosedur tidak dijalankan sesuai mandat yang tertuang dalam peraturan komisi informasi. Itu juga jauh dari pencerminan keterbukaan informasi dan tidak ada ruang bagi publik untuk memberikan masukan. Bahkan saran kepada pemerintah terkait tim seleksi yang terbentuk.

Mestinya, tandas Koalisi Sipil yang beranggotakan Jatam, PBHR, LPSHAM, Sulawesi Community Foundation, AJI Palu dan YTM, pemerintah lebih terbuka. Tim seleksi sekiranya juga berpedoman pada peraturan komisi informasi dimana salah satu tahapannya mengumumkan pendaftaran melalui dua  surat kabar lokal dan media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut. Itu dilakukan selambat-lambatnya dua hari kerja sebelum pendaftaran dibuka.

Karenanya, Koalisi Sipil menyatakan akan mengawal semua tahapan proses seleksi sebagai bagian peran aktif masyarakat dalam mendorong pemilihan calon komisi informasi yang benar-benar memiliki semangat dan integritas dalam menjalankan mandat UU KIP Nomor 14 tahun 2008.

Koalisi Sipil meminta Gubernur Sulawesi Tengah mengumumkan kepada publik, nama anggota panitia seleksi Komisi Informasi Sulteng disertai unsur keterwakilan. Mereka juga meminta Timsel melakukan seleksi anggota Komisi Informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP, dan sesuai Peraturan KI Pusat Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Seleksi. Koalisi juga meminta Komisi Informasi Pusat  melakukan pengawasan dan terlibat aktif dalam proses seleksi anggota Komisi Informasi Sulteng.

Sumber: sultengekspres.com

LSM Gugat UU Keterbukaan Informasi Publik ke MK

LSM Gugat UU Keterbukaan Informasi Publik ke MK

Mahkamah Konstitusi Kebebasan Informasi

JAKARTA – Sebanyak tiga lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan masa jabatan anggota Komisi Informasi.

“Pasal 33 UU a quo telah berakibat pada terjadinya pelanggaran prinsip persamaan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” ujar kuasa hukum pemohon, Fadli Rahmadani di Gedung Mahkamah MK, Jakarta Pusat, Rabu (5/10/2016).

Tiga LSM yang mengajukan permohonan uji materi tersebut adalah Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM).

Selain itu terdapat dua perorangan warga Indonesia bernama Muhammad Djufryhard dan Desiana Samosir, yang juga menjadi pemohon dalam uji materi ini.

Pemohon menilai bahwa Pasal rumusan Pasal 33 UU KIP telah berdampak pada tidak adanya akses yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan kedudukan yang sama dalam pemerintahan, termasuk berpartisipasi dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

“Akibatnya, pengisian pimpinan atau anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo dilakukan dengan pengangkatan langsung, tanpa melalui suatu proses seleksi kembali,” jelas Fadli.

Perbedaan mekanisme dalam proses pengisian pimpinan dan anggota Komisi Informasi tersebut dikatakan oleh Pemohon disebabkan adanya rumusan frasa ‘dapat diangkat kembali’ dalam Pasal 33 UU KIP.

Para pemohon juga berpendapat bila posisi ketua dan anggota Komisi Informasi daerah diangkat hanya berdasarkan pertimbangan dari keputusan pemerintah daerah, maka dalam menjalankan tugasnya akan timbul potensi bias kepentingan pemerintah dan tidak menjamin perlindungan hak publik atas informasi.

Sumber: Okezone.com

Pemprov Sulawesi Tenggara Segera Bentuk KI Provinsi

Pemprov Sulawesi Tenggara Segera Bentuk KI Provinsi

Hingga April 2016, Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Tenggara belum terbentuk. Koalisi FOINI melihat perlunya mendesak pemerintah provinsi untuk membentuk Komisi Informasi di 6 wilayah tersebut. Upaya tersebut dilakukan diantaranya:

  1. Mendesak agar Seknas OGI memasukkan target 100% pembentukan Komisi Informasi provinsi di tahun 2016.
  2. Mendesak Komisi Informasi untuk terus bergerak mendorong pembentukan Komisi Informasi provinsi di tahun 2016.
  3. Mengawal pembentukan Komisi Informasi di 6 wilayah bekerjasama dengan jaringan FOINI di daerah.

Selasa 12 April 2016, dalam diskusi yang diselenggarakan di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, disepakati bahwa pembentukan Komisi Informasi Sulawesi Tenggara harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, pertemuan segera menunjuk Anggota Tim Seleksi Komisi Informasi yang mewakili unsur pemerintah, unsur masyarakat dan unsur KI Pusat.

FOINI melalui anggota jaringannya PUSPAHAM di Sulawesi Tenggara, menyatakan siap membantu pembentukan Komisi Informasi Sulawesi Tenggara. (Desiana Samosir)