Keuangan Tertutup, Sengketa Informasi Pun Tak Dihadiri

Keuangan Tertutup, Sengketa Informasi Pun Tak Dihadiri

Sengketa informasi antara LSM Kelompok Kerja (Pokja) 30 melawan sembilan partai politik (parpol), dilanjutkan melalui sidang yang digelar Komisi Informasi (KI) Kaltim (4/11), hanya dihadiri lima pengurus dari sembilan parpol yang diadukan.

Kelima pengurus parpol yang hadir yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nusantara (PAN), dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Sementara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, dan Gerindra, tak seorang pengurus pun yang tampak.

“Saya menduga mereka (empat partai yang tidak hadir)  menyepelekan sidang mediasi. Padahal pada pasal 52 (Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) badan publik dengan sengaja tidak memberikan informasi dapat berujung pidana,” ucap Sekretaris Pokja 30, Ramlianur.

Pasal 52 yang dimaksud berbunyi ; Badan Publik dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 juta.

Untuk diketahui, hasil uji akses Pokja 30 yang diadakan sejak 19 Agustus 2013 lalu, sembilan partai pemilik kursi di DPRD Kaltim ogah menyerahkan laporan keuangan dan memberi banyak alasan. Hal itu yang mendasari Pokja 30 melakukan permohonan sengketa publik kepada KI.

Selain itu, kata Ramlianur, ketidakhadiran empat partai pada sidang itu justru memperlihatkan kepada publik bahwa mereka tidak terbuka. Sudah barang tentu, akan merugikan citra dalam menarik simpatik masyarakat. “Kan sama aja ketidakhadiran mereka melawan amanat UU. Jika mereka serius menjalankan amanah konstitusi mereka seharusnya datang,” timpal Ramlianur.

Sementara itu, Ketua KI Kaltim, Jaidun mengatakan, sidang ditunda hingga minggu depan yaitu 10 Desember. Sebab kata dia, pada sidang perdana hanya lima partai yang menghadiri. “Minggu depan kami jadwalkan mediasi lanjutan kepada parpol yang hadir. Sementara untuk yang tidak hadir kami akan melakukan panggilan secara patut untuk menghadiri sidang,” ujar dia.

Dia menjelaskan pada pasal 15, parpol wajib menyediakan informasi tentang asas dan tujuan, program umum dan kegiatan partai politik. Selain itu, nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya;
wajib diberikan.

Begitu pun pengelolaan dan penggunaan dana bersumber dari APBN atau APBD. “Kalau mereka tidak menghadiri hingga dua kali panggilan sidang, maka KI akan mengambil keputusan tanpa kehadiran pengurus parpol,” tegas Jaidun.

Diolah dari Kaltimpost

12 Parpol Di Samarinda Terima 988 Juta, Wajib Akuntabel

12 Parpol Di Samarinda Terima 988 Juta, Wajib Akuntabel

Sebanyak 12 partai politik di Kota Samarinda mendapatkan bantuan anggaran dengan total Rp988 juta dari pemerintah kota Samarinda, pada 2013. Demikian dilansir LKBN Antara (3/12), berdasarkan keterangan Asisten III Bidang Sosial Kemasyarakatan Sekretariat Kota Samarinda, Ridwan Tassa.

Tassa menjelaskan bantuan tertinggi untuk parpol berjumlah Rp178 juta dan terendah Rp 30 Juta. Menurutnya, setiap tahun terdapat perubahan dari sisi regulasi yang perlu mendapat perhatian pemerintah maupun parpol. khususnya yang berkaitan dengan langkah-langkah yang harus dipersiapkan sebelum bantuan disalurkan.

Staf Ahli Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Murwoto, mengatakan. sudah menjadi keharusan dokumen laporan penggunaan bantuan keuangan bagi partai politik dari dana APBD wajib tersusun rapi, kendati seiring pergantian pengurus dalam sebuah partai. Pengelolaan dana yang bersumber dari APBD menurut Murwoto harus dapat dipertanggungjawabakan dengan jelas, khususnya bagi bendahara di sebuah partai politik.

“Bendahara harus mampu menatausahakan sebuah buku kas, jika tersusun rapi maka nantinya pada akhir tahun akan kelihatan jelas keluar masuknya dana,” kata Murwoto. Ia menambahkan, dana bantuan tersebut setidaknya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan politik.

Persoalan klasik masih menghantui dalam pengelolaan keuangan parpol ini. Apalagi kalau bukan soal akuntabilitas. Logika beberapa parpol di Samarinda yang menyatakan, tak selayaknya dana parpol dipersoalkan karena jumlahnya tidak sebanding dengan dana yang dikelola pemerintah, tentu bukan logika yang tepat. Ini bukan soal besar – kecil, tapi tentang bagaimana parpol bersikap transparan, membuka akses, dan mempertanggungjawabkannya ke publik. Itulah kewajiban logis dari penggunaan uang rakyat. Apalagi secara regulasi diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Partai Politik.

9 Parpol Kaltim Jalani Sidang Ajudikasi

Sementara itu, sembilan parpol kemarin (4/12) menjalani sidang mediasi oleh Komisi Informasi (KI) Kaltim. Seperti diketahui, hasil uji akses Pokja 30 yang diadakan sejak 19 Agustus 2013 lalu, menyebutkan sembilan partai pemilik kursi di DPRD Kaltim tak menyerahkan laporan keuangan dan memberi banyak alasan. Hal itu yang mendasari pegiat antikorupsi Kaltim tersebut melakukan permohonan sengketa publik kepada KI.

Aktivis Pokja 30 Carolus Tuah mengatakan, uji akses bertujuan mengukur kepatuhan parpol terhadap undang-undang.  Untuk uji akses, Pokja 30 mengirim surat permohonan data partai yang terdiri dari struktur pengurus dan laporan keuangan. Dalam laporan keuangan, sumber dana dari luar APBD atau APBN dapat diketahui.

Informasi sementara dari Tuah mengatakan, sidang ajudikasi kemarin dihadiri oleh 4 partai (PPP, Golkar, PKS, dan PDS). PPP, Golkar, PKS menyatakan akan menyerahkan informasi yang diminta, sementara PDS akan menjalani sidang ajudikasi kembali.

Uji Akses YSKK Di 222 Sekolah: Dana BOS Sulit Diakses Warga

Uji Akses YSKK Di 222 Sekolah: Dana BOS Sulit Diakses Warga

Sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sangat tertutup pada masyarakat yang ingin mendapatkan informasi pengelolaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Informasi yang disediakan sekolah maupun Dinas hanya bersifat umum atau rekapitulasi, sehingga sulit dinilai akuntabilitasnya. Demikian temuan Yayasan Satu Karsa Karya Solo dan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS).

Temuan tersebut berdasarkan uji akses informasi publik di 21 Kabupaten/Kota pada 8 Provinsi (Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, D.I.Aceh, Banten).Uji akses yang berlangsung pada Oktober hingga November 2013 ini ditujukan pada 222 sekolah (110 SD dan 112 SLTP) dengan melibatkan 21 organisasi masyarakat sipil sebagai pendamping warga dalam memohon informasi.

Tujuan uji akses ini untuk mengetahui sejauhmana tingkat respon sekolah terhadap permintaan informasi (dokumen) pengelolaan dana BOS, yaitu: (1) Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) tahun 2012 dan rincian rencana penggunaannya. Formulir BOS-K1 dan K2. (2) Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Dana BOS dan bukti pendukungnya (kwitansi) tahun 2012. Formulir BOS K3, K4, K5, K6 dan K7.

Kegiatan tersebut bagian dari agenda Pengawasan Program BOS Berbasis Masyarakat yang diinisiasi oleh YSKK bersama OMS, sebagai inisiatif awal untuk mendorong pengawasan pada program dan anggaran pendidikan lainnya oleh masyarakat. Sebagai informasi,  YSKK merupakan lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk pada 12 Mei 2001 di Surakarta – Jawa Tengah, oleh sekelompok pegiat pemberdayaan masyarakat.

 

Susahnya Mencari Informasi Buruh Migran di Cirebon

Susahnya Mencari Informasi Buruh Migran di Cirebon

Sosialisasi UU Keterbukan Informasi Publik (KIP) dibeberapa daerah terkesan mewah dan glamor. Namun apakah sosialisasi yang menghabiskan anggaran pemerintah yang tidak sedikit tersebut dibarengi dengan implementasinya? Ternyata tidak.

Hal tersebut dibuktikan oleh Ahmad Rovahan, Aktifis Jingga Media Cirebon. Menggunakan UU KIP Rovahan mencari buruh migran yang berada di wilayah III Cirebon (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan).

Pada proses pencarian informasi awal, ternyata pemerintah daerah masih belum siap melaksanakan keterbukaan informasi publik. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya website lembaga daerah. Dari 4 daerah (Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka) ternyata baru dua daerah yang memilik website. Dan yang mengecewakan, beberapa daerah yang memilik website ternyata hanya menggunakan website gratisan atau blog.

Tidak hanya itu, ternyata Disnakertrans Wilayah III Cirebon tidak memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Rovahan yang sempat meminta informasi di  Disnakertrans Kabupaten Cirebon, petugas dinas bahkan tidak mengerti tentang PPID. Begitu juga dengan tanggapan atas permintaan informasi, jawaban yang diberikan tidak memuaskan dengan proses yang berbelit-belit.

“Hambatan lain ketika saya akan meminta informasi pada lembaga yang berada di luar daerah adalah ketidakjelasan alamat kantor lembaga tersebut” pungkas Rovahan.

Guru-Guru Pun Belajar UU Keterbukaan Informasi Publik

Guru-Guru Pun Belajar UU Keterbukaan Informasi Publik

Ada Kepala Sekolah Dasar yang mendadak sakit, karena gugup saat dimintai informasi soal dana Bos. Ini bukan kisah fiktif. Apalagi setelah dia tahu, bahwa di UU No. 14 Tahun 2008, menyertakan ancaman pidana. Cerita ini terjadi di Serang, Banten, dua bulan lalu. Masih di tempat yang sama, 50 lebih Kepala SD yang resah, karena akan disengketakan di Komisi Informasi. Lagi-lagi soal dana Bos.  Mereka pun tak berani hadir dalam mediasi sengketa informasi.

Nah, ini tidak ada hubungannya dengan cerita di atas. Tapi, tentu mereka selangkah lebih maju. Ya, sebanyak 150 Kepala Sekolah (Kepsek) di lingkungan Sudin Dikdas dan Sudin Dikmen Jakarta Timur, mengikuti penyuluhan hukum, di Kantor Walikota Jakarta Timur, Rabu (13/11). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Sekretariat Dewan Pengurus Korpri Jakarta Timur ini, dibuka Walikota Jakarta Timur H.R. Krisdianto. Kegitan ini diikuti para Kepala SD, SMP, SMA dan SMK di Jakarta Timur. Selain itu juga hadir para Kepala Seksi Dikdas dan Dikmen tingkat Kecamatan.

Salah satu materi yang disampaikan pada penyuluhan hukum ini terkait Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dirinya mengatakan, para pendidik juga mempunyai kewajiban menyampaikan kepada masyarakat informasi-informasi publik yang harus mereka ketahui.  Untuk itu, seluruh institusi pemerintah dalam hal ini kalangan pendidikan (sekolah) harus dapat memilah, mana informasi yang bersifat publik dan mana yang bukan.

Walikota mengingatkan kurangnya pemahaman terhadap permintaan informasi publik, seringkali berujung menjadi sengketa yang justru menyita waktu, tenaga dan pikiran. Untuk itu perlu dicari cara penanganannya yang tersistem dan tidak menghambat layanan pendidikan.

Sebelumnya, Komisi Informasi Provinsi Banten, pernah menggelar sengketa informasi dimana pihak tergugatnya adalah Kepala SD. Sayangnya, mereka justru tidak hadir pada upaya peyelesaian sengketa ini. Komisi Informasi Provinsi Banten sendiri memutuskan bahwa dokumen Bos adalah informasi publik, sehingga harus dibuka.

Pidana Sengketa Informasi, Garda Banten-Disdik Kab.Serang Damai

Puluhan Kepsek Di Serang, Resah

Berjuang Untuk Nilai; Nilai Ujian & Nilai Transparansi

Berjuang Untuk Nilai; Nilai Ujian & Nilai Transparansi

Nampat Silangit, Mahasiswa UPB.

IMG_2612

Awal permasalahan yaitu tahun 2011, di awal perkuliahan di semester 5, UTS, kami mengalami perubahan sistem ujian dari tadinya secara manual essay test menjadi online. Sewaktu manual itu, ujian kami adalah essay test. tapi setelah online itu menjadi multiple choice. Saya tidak setuju dengan metode ujian secara multiple choice, karena saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum (FH). Seharusnya tes di FH itu, bagaimana meneliti sebuah kasus dan penyelesaiannya, bukan diperlukan multiple choice, itu kurang cocok.

Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mempunyai wewenang untuk menguji setelah pemberi materi. Di dalam pasal 51 huruf (e) dan (f), disebutkan bahwa dosen diberi kuasa oleh UU untuk menilai serta memberi kelulusan. Setelah tahu itu saya pun komplain dan menghadap ke dosen. Dosen melanjutkan ke Kapolri dan kemudian Kapolri melanjutkan ke Wakil Rektor 1. Kasus ini ditanggapi. Saya disuruh memilih 2 model ujian, yaitu essay test dan multiple choice online.

Alasan Otonomi Kampus

Akhirnya, mahasiswa FH diberikan ujian secara essay test. Pada saat ujian, pengawas mengatakan kepada saya saat mengabsen, “Nampat Silangit, apapun hasil ujian kamu tidak akan ada artinya. “Wah jangan begitu Bu, tapi kalau mau begitu, silakanlah. Itu salah!” kata saya. Kami melanjutkan ujian. Pukul 14.00 WIB, hasil ujian keluar secara online. “Nilai saya jelek!” Saya print out, saya konfirmasi kepada dosen-dosen mata kuliah tersebut, apakah ini nilai mata kuliah saya?

Dosen bilang, “Kami belum pernah memberikan nilai kepada Anda dan sampai saat ini kami tidak pernah melihat lembar ujian dan lembar jawaban Anda.” Karena ini melanggar UU, Saya sarankan dosen tersebut ke Kapolri dan ke Rektor. Tapi Rektor mengatakan itu otonomi kampus.

Karena itu otonomi kampus, saya minta mimbar FH. Sebelum ke mimbar, saya pastikan lagi UU no. 14 tahun 2005 ini. Saya pun ke Kejari dan di arahkan ke 5 Jaksa. Jaksa di situ mengatakan, “Kami ini pembohong besar! Tidak ada satupun universitas dari Sabang sampai Merauke seperti itu. Bila yang kamu katakan benar, lapor ke kepolisian!”

Mimbar FH

Esok harinya, saya kembali ke kampus menghadiri mimbar FH, yang dihadiri Wakil Rektor I dari Universitas Putra Batam (UPB), dari STMI Pak Toni Wangra. Karena saya adalah wakil universitas, pada saat giliran Saya, Saya bertanya ke Pak Toni Wangra, “Maaf Pak, selama saya ketahui Rektor saya adalah Pak Adijoyo, jadi Bapak ini sebagai apa di kampus ini?” Beliau bilang “Saya ini Wakil Rektor 3 bidang IT.” Sementara di UPB itu tidak ada Wakil Rektor 3 dan saya sudah memfotokopi struktur organisasi UPB. Pak Toni mengatakan itu otonomi kampus. Bila tidak terima, saya dipersilakan melapor ke Kejaksaan, ke Polisi, dan akan ditunjukkan alamat-alamatnya.

Saya tahu bahwa universitas swasta itu di bawah oleh Kopertis, saya pun menghadap ke Kopertis wilayah 10 di Padang. Saya menghadap ke Direktur Bidang Kemahasiswaan. Saya diminta membuat pelaporan ini tertulis. Saya diminta berpikir lagi terhadap tindakan saya karena ini akan berbahaya untuk kampus.

Lalu saya kembali ke Batam dan saya persiapkan laporan tertulisnya. Tapi setelah saya buat laporan tertulisnya, tidak satupun surat laporan saya ditanggapi oleh Kopertis wilayah 10 Padang. Surat-surat tersebut memiliki nomor surat dan surat bukti tanda terima surat ada di saya.

Kemudian saya juga melapor ke Polda Kepri sebagaimana sudah dijelaskan proses hukumnya oleh Jaksa. Setelah melapor dan di-BAP, penyidik diarahkan ke Kompolres, unit 6 bagian Tipiter. Ketika saya datang, di-BAP, dan saya diminta untuk melengkapi alat bukti. Setelah saya lengkapi apa yang mereka minta, saya kemudian justru mulai dipersalahkan dan saya malah disuruh untuk mempersiapkan seluruh alat bukti.

Saya katakan bahwa UU memberikan wewenang kepada penyidik untuk bisa mengambil seluruh bukti ke kampus. Tapi saya katakan kalau memang demikian, saya siap, saya tahu jalur yang akan saya tempuh.

Menggunakan UU KIP

Oleh karena itu saya pakai UU 14 / 2008 dan saya ajukan permohonan ke UPB, 10 hari kemudian juga tidak ditanggapi, setelah itu saya ajukan keberatan dan 30 hari kemudian juga tdak ada tanggapan. lalu saya ajukan ke KI Kepri untuk proses penyelesaian sengketa informasi.

Hari pertama ajudikasi, pihak UPB tidak hadir, itu tanggal 18. Tanggal 19, saya disidang di UPB oleh beberapa Dekan dan Kapolri, saya di tanya dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Tanggal 23 saya terima surat bahwa saya sudah di DO, jadi 3 mahasiswa di DO, dan 7 orang di skorsing selama 2 semester. Alasannya karena kami melanggar statuta UPB dan merongrong nama baik UPB.

Setelah itu berlanjut persidangan di KI, UPB tidak mengakui bahwa mereka badan publik. Mereka menyatakan tidak punya sengketa dengan saya. Setelah itu pembuktian berkas-berkas, KI Kepri membuat putusan yang memenangkan kami. Setelah 14 hari saya tunggu, tidak ada respon dari UPB, rupanya UPB banding ke PN.

Banding Ke PN

Hari pertama pemeriksaan berkas, hari kedua diarahkan ke mediasi 1, 2, 3. Saya bingung kenapa ada mediasi karena mediasi adanya di KI. Karena diulur-ulur, saya lalu menghadap ke Ketua Majelis.

Ketika itu KI Prov mengadakan seminar, pembicaranya dari Hakim Agung yaitu Bpk Supandi yang mempresentasikan tentang Peraturan MA dan saya mendapat pemahaman dari situ. Setelah itu saya menghadap ke Ketua Majelis, saya bilang bahwa saya sudah bertemu dengan Hakim Agung, Pak Supandi dan ini sudah tidak sesuai dengan Peraturan MA (PerMA), saya juga berikan fotokopiannya. Pada tanggal 7 sidang pembuktian, PerMA lagi-lagi tidak dipakai. Pembuktian dari UPB semua diterima, tetapi pembuktian dari saya tidak diterima padahal saya berikan putusan KI dan foto lembar ujian yang saya dapatkan dari Polisi.

Hakim mengatakan kepada saya, bukan ini, mana aslinya? Saya sudah bilang bahwa asli dan sudah dileges oleh PP KI, artinya ini sudah sama dengan aslinya. Tapi hakim tidak menerima itu dan bersikeras untuk saya memberikan aslinya. Saya katakan bila memang begitu, akan saya siapkan.

Saya kemudian telepon Pak Arifuddin Jalal, Komisioner KI Kepri. Beliau bilang, menurut PerMA, saya tidak ada wewenang untuk mengambil Surat Putusan KI yang asli di KI.

Tanggal 8 November, saya menghadap ke ketua PN. Saya bawa media 3 orang, dan ketua PN mengatakan kepada saya, apa masalah saya. Saya sampaikan ke dia dan rupanya ketua PN sudah mengetahui permasalahan saya. Setelah itu hakim mengatakan kepada saya, kita akan suruh PN untuk memintanya (surat putusan KI yang asli). Tapi saya bilang bahwa saya akan menindaklanjuti ini ke Komisi Yudisial (KY) atas PerMA yang sudah dilanggar.

Kini, saya butuh dukungan teman-teman FoI-NI. Dukungan inilah yang membuat saya bangkit lagi. Padahal, semula saya sempat ingin menyerah. Memperjuangkan nilai ujian sama beratnya dengan memperjuangkan nilai transparansi.

Dituturkan oleh Nampat Silangit, 12 November 2013