Transparansi  Informasi dalam 3 Cara Pandang

Transparansi Informasi dalam 3 Cara Pandang

Selasa, 17 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Rezim Hak Atas Informasi

Hak atas informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam article 19 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1946.[1] Majelis Umum PBB telah mengadopsinya pada 10 Desember 1948.[2] Negara-pihak telah meratifikasinya sesuai dinamika internal masing-masing. Ada yang menggunakan terminologi Kebebasan Informasi, atau yang dikenal dengan Freedom Of Information (FOI), seperti Inggris dan Amerika. Beberapa negara lain menggunakan Right to Information (RTI), antara lain India dan Nicaragua. Belanda, Kanada, dan Jepang menggunakan terminologi berbeda dari keduanya; Access to Information (ATI).

Dalam DUHAM jelas terlihat bahwa hak untuk mencari dan mendapatkan informasi merupakan bagian yang termasuk dalam kerangka kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Tidak mengherankan jika pada era awal hak atas informasi sangat beririsan dengan profesi jurnalis. Jurnalis memiliki kepentingan langsung terhadap akses informasi. Swedia, dipelopori oleh Anders Chydenius (1776), telah dinyatakan sebagai negara pertama yang memiliki Undang-Undang Kebebasan Informasi. Secara substantif, Undang-Undang tersebut bertitik berat pada kebebasan pers.[3]

Pengaturan terkait kebebasan untuk mengakses informasi secara umum ditujukan untuk menjamin hak memperoleh informasi yang dikuasai oleh otoritas publik. Untuk melindungi informasi pribadi yang merupakan bagian dari privacy beberapa negara telah pula menerbitkan undang-undang perlindungan data pribadi. Di sisi lain perlindungan data pribadi juga mengatur hak subyek data untuk mengakses data pribadi mereka yang dikuasai oleh para pemegang data.

Kanada sering mempublikasikan Undang-Undang mereka sebagai Freedom Of Information Act and Protection of Privacy Act. Penyebutan kedua Undang-Undang tersebut secara bersamaan dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan memperoleh informasi dan perlindungan terhadap privacy. Dalam kehidupan bernegara, keseimbangan antara perlindungan terhadap privacy dan pemenuhan hak atas informasi diyakini akan menentukan kualitas demokrasi. Sedemikian pentingnya informasi dalam kelangsungan demokrasi sehingga Andrew Puddephatt (1999) menyatakan bahwa informasi adalah oksigen demokrasi.[4]

Dalam isu lingkungan, akses terhadap informasi masuk dalam ’27 principle of the Rio Declaration’ pada 1992.[5] Jaminan akses terhadap informasi kemudian dikenal sebagai salah satu dari apa yang disebut sebagai tiga akses: akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi, dan akses terhadap keadilan. Beberapa negara telah mengatur secara khusus akses informasi dalam isu lingkungan hidup.

Rezim hak atas informasi meyakini bahwa negara wajib menjamin akses semua orang terhadap informasi. Hak atas informasi dinyatakan sebagai hak fundamental[6] dan bersifat negatif (Article 19, 2007).[7] Sebagai hak negatif maka upaya menghalangi seseorang dalam mendapatkan informasi merupakan suatu kejahatan dan berkonsekuensi pada penerapan sanksi pidana.

Sebagai bagian dari hak-hak sipil dan politik, realisasi hak atas informasi kerap dilihat dalam perspektif relasi sosial dan politik. Di India, Bangladesh, Meksiko, Afrika Selatan, dan beberapa negara lainnya, keberadaan Undang-Undang Kebebasan Informasi telah dilihat sebagai faktor yang menentukan keberhasilan warga dalam mendorong akuntabilitas sosial pada sektor publik (World Bank, 2012).[8]

Rezim Administrasi

Rezim administrasi publik telah melahirkan upaya-upaya pengaturan terhadap kepastian akses informasi baik yang bersumber pada penyelenggaraan suatu otoritas publik yang tak terkait dengan pelayanan langsung masyarakat hingga yang terkait dengan pelayanan publik tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, perijinan dan lainnya. Jaminan akses diberlakukan mulai dari informasi yang tercipta dari penyelenggaraan aktifitas suatu otoritas publik, hingga  prosedur dan jenis-jenis layanan yang dapat diakses oleh masyarakat (daftar menu).

Berbeda dengan rezim hak atas informasi, rezim administrasi menempatkan akses terhadap informasi dalam suatu wilayah akuntabilitas administratif. Upaya warga dalam mengkases data dan informasi akan dihadapkan pada suatu rangkaian pengambilan keputusan di internal badan publik. Ketika warga mengalami hambatan dalam mengakses informasi, hambatan diselesaikan melalui skema administrative complain yang berjenjang. Dalam rezim ini, menghambat akses akan berkonsekuensi pada sanksi administratif.

Dalam rezim administrasi, hambatan akses dengan faktor-faktor penyebab yang bertentangan dengan undang-undang merupakan suatu tindakan mal administrasi dalam penyelenggaraan negara. Beberapa negara memandatkan penyelesaian hambatan akses terhadap informasi pada badan publik melalui Ombudsman. Ombudsman adalah lembaga negara independen yang relevan untuk menangani mal administrasi.

Di tangan rezim administrasi, Indonesia telah menerapkan skema-skema pengelolaan layanan yang lazim diterapkan pada pelayanan publik umumnya ke dalam layanan informasi. Penerapan hal tersebut telah menyebabkan berbagai badan publik merasa mendapat tambahan beban fungsi administrasi layanan untuk hal yang tak memiliki frekuensi signifikan. Terutama  jika dibandingkan dengan fungsi layanan utama mereka yang berbeda satu sama lain.

Semenjak UU KIP diberlakukan seluruh badan publik memiliki satu kewajiban pelayanan yang sama, yakni pelayanan informasi kepada publik. Hal ini berlaku juga bagi otoritas publik yang dibentuk tidak untuk menjalankan suatu fungsi layanan khusus kepada masyarakat. Sebagai contoh, rumah sakit pemerintah yang memiliki fungsi melayani masyarakat dalam hal kesehatan memiliki kewajiban yang sama untuk melayani permintaan informasi dengan kementerian kordinator yang tak memiliki fungsi layanan langsung terhadap masyarakat.

Kebutuhan akan informasi memang memiliki lingkup yang luas. Itu sebabnya permintaan juga terjadi untuk berbagai informasi yang tidak terkait langsung dengan fungsi pelayanan utama intitusi. Untuk menjamin kepastian akses terhadap informasi, rezim administrasi biasanya menerapkan suatu prosedur baku di internal badan publik. Dalam praktik, hal ini telah menyebabkan pemenuhan hak atas informasi menyerupai skema hak-hak positif sebagaimana hak-hak sosial dan ekonomi.

Rezim Ekonomi

Berbeda dengan rezim administrasi, rezim ekonomi yang terus berusaha untuk menempatkan semaksimum mungkin data maupun informasi yang berstatus terbuka ke wilayah publik (public domain). Penempatan ini bertujuan agar akses terhadap data dan informasi tidak memerlukan suatu skema permintaan atau memerlukan persetujuan dari pemegang otoritas publik.

Pada tiga dekade terakhir abad dua puluh, pembahasan informasi sebagai barang publik mulai mewarnai literatur akademik. Sebagian masih berhati-hati dan menyebutnya sebagai quasi public goods (Hirshliefer, 1971).[9] Beberapa yang lain akhirnya secara tegas telah menyatakan bahwa sebagian informasi adalah barang publik, terutama informasi terkait dengan pelayanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti informasi tentang SARS, Flu Burung, dsb. (Getzen, 1997).[10]

Ilmu ekonomi menggunakan terminologi barang publik sebagai lawan dari barang ekonomis. Barang publik ditandai dengan ketiadaan aspek kelangkaan, seperti udara, air, dsb. Adapun barang ekonomis ditandai dengan sifat kelangkaan akan sumber daya (the scarcity of resource). Di antara keduanya terdapat barang semi publik atau dikenal dengan istilah quasi public goods. Sebagai contoh air bersih dari PDAM. Dalam beberapa kasus, barang semi publik telah menjadi barang ekonomis, antara lain karena kebijakan privatisasi.

Rezim ekonomi meyakini bahwa penyediaan akses terhadap informasi juga merupakan prasyarat untuk mencapai alokasi sumber daya publik yang lebih efisien dan mendekati kebutuhan oleh masyarakat. Sebagai contoh, membuka akses terhadap data sebaran paramedis dan angka sebaran ibu hamil dalam suatu wilayah geografis tertentu dapat membantu komunitas untuk mengusulkan suatu sebaran paramedis yang lebih berimbang kepada pemerintah.

Tanpa akses terhadap informasi tesebut, komunitas tidak mengetahui bahwa ada penumpukan sebaran paramedis di puskesmas tertentu dan pemerintah merasa hal tersebut bukan suatu masalah. Sebagai barang publik, ketersediaannya telah menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan warga negara. Tak berbeda dengan pembangunan jalan kolektor di wilayah perkebunan yang telah menyebabkan para petani lebih mampu meningkatkan produksi mereka ke skala yang lebih efisien.

Di beberapa negara penyediaan akses mulai memasuki tahapan yang lebih maju melalui metode yang dikenal dengan Open Data. Di sektor pemerintah, akses terhadap data disediakan dalam versi masinal yang dapat diolah oleh pengguna dan tanpa melalui suatu proses permintaan terlebih dahulu. Cara ini telah menyebabkan komunitas lokal dapat mengembangkan inisiatif mereka untuk meperbaiki kualitas pelayanan kesehatan melalui skema-skema kolaboratif.[11]

Dalam banyak hal, Open Data telah menggeser informasi yang semula merupakan sesuatu yang terkesan abstrak menjadi semakin nyata sebagai barang publik, seperti halnya jalan umum, gedung-gedung ibadah dan ruang terbuka hijau. Masyarakat dapat mengakses dan menggunakannya tanpa mengajukan permintaan dan persetujuan otoritas publik terlebih dahulu.

Di beberapa negara berkembang, upaya penyediaan akses terhadap data dan informasi dengan cara serupa masih menemukan kendala dalam hal ketersediaan data yang memadai dan akurat. Berbagai kendala ditemukan mulai dari tingkat pengambilan data, tingkat pendokumentasian, hingga ketersediaan infrastruktur pendukung.

***

Ketiga cara pandang di atas dalam beberapa hal memiliki kesamaan dan dalam beberapa hal lain memiliki penekanan yang berbeda. Sebagai contoh, dapat dilihat bagaimana mereka memandang posisi negara terkait akses terhadap informasi. Rezim administrasi akan melihatnya sebagai salah satu skema layanan kepada publik yang dimandatkan oleh Undang-Undang. Penyediaan informasi tersebut tak lebih dari suatu bentuk pengaturan oleh negara untuk mencapai suatu tujuan pelayanan tertentu.

Rezim hak atas informasi melihat informasi sebagai hak-hak universal yang melekat pada setiap orang. Negara tak boleh menghalang-halangi setiap orang untuk mendapatkan informasi tersebut sepanjang tidak mengancam hak-hak orang lain. Oleh karenanya informasi harus diletakkan di wilayah publik (public domain).

Rezim ekonomi melihatnya sebagai produksi barang publik oleh negara yang memang bersifat non ekonomis sehingga dapat diakses oleh siapapun tanpa memerlukan persetujuan pemegang otoritas dan pengenaan tarif. Penyediaan dilihat sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan kolektif warga.

Beberapa Kritik

Penerapan transparansi dalam banyak hal telah dipandang sebagai sesuatu yang kontra produktif terhadap penyelenggaraan negara. Dalam batas tertentu, transparansi  dirasakan sebagai suatu ancaman bagi pengambil keputusan akibat meningkatnya resiko (Anechiarico and Jacobs, 1996).[12] Transparansi akan cenderung menyebabkan aspek negatif lebih menonjol daripada keberhasilan yang telah dicapai oleh penyelenggara negara. Hal ini kerap terjadi karena dalam menyoroti pemerintah media massa cenderung memilih pendekatan kritis.

Kritik terhadap gagasan Open Government oleh Archon Fung, Mary Graham, David Weil, adalah satu contoh.[13] Fung termasuk yang melihat bahwa transparansi dalam Open Government akan meningkatkan resiko bagi pemerintah. Untuk itu ia menawarkan suatu gagasan Targeted Transparency, yakni:[14]

[p]ublic policies that compel organizations—sometimes governmental but often private sector actors—to disclose information in order to advance some specific public purpose such as improving public health, increasing product safety, or reducing risk.

Kebanyakan Undang-undang yang mengatur hak atas informasi berfokus pada badan publik. Targeted Transparency memperluasnya hingga ke sektor privat. Namun demikian, gagasan ini mensyaratkan pengaturan oleh Negara secara selektif untuk mempublikasikan informasi-informasi yang memenuhi kriteria citizens’ vital interest, yakni informasi mengenai: product and service risk, domination risk, and social externality risk.[15]

Pendekatan ini menjadi berbeda dengan rezim hak atas informasi yang menutup informasi secara selektif (negative list). Rezim ini menerapkan pertimbangan konsekuensi negatif untuk menutup informasi. Targeted Transparency menerapkan kewajiban suatu organisasi untuk membuka informasi secara selektif (positive list). Seleksi dilakukan untuk menetapkan informasi-informasi yang jika tidak dibuka akan menyebabkan terjadinya konsekuensi negatif berupa resiko-resiko di atas.

Catatan Kaki


[1] Universal Declaration of Human Right 1946, Article 19: Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

[2] UN General Assembly Resolution 2200A (XXI), article 19: Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.

[3] Lihat The World’s First Freedom of Information Act, Anders Chydenius’ Legacy Today. Anders Chydenius Foundation’s Publications 2, 2006.

[4] Puddephatt, Andrew. International Guidelines Series Article 19. The Public’s Right to Know: Principles on Freedom of Information Legislation States. London, Article 19, 1999. Pada bagian pengantar Puddephatt menyatakan: ‘Information is the oxygen of democracy. If people do not know what is happening in their society, if the actions of those who rule them are hidden, then they cannot take a meaningful part in the affairs of that society. But information is not just a necessity for people it is an essential part of good government. Bad government needs secrecy to survive. It allows inefficiency, wastefulness and corruption to thrive’.

[5] Principle 10. Public participation: ‘Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.’

[6] UN General Assembly, (1946) Resolution 59 (1), 65th Plenary Meeting, December 14.

[7] Article XIX, and ADC. Access To Information: An Instrumental Right For Empowerment. London, July 2007, hal. 6

[8] Lihat Alaka, Dena Ringold, at all. Assessing the Use of Social Accountability Approaches in the Human Development Sectors. Washington, The World Bank, 2012.

[9] Hirshliefer, Jack. The Private and Social Value of Information and the Reward of Inventive Activity. American Economic Review v. 61, no. 4. September 1971, pp. 561-574

[10] Getzen, T,E. Health Economics: Fundamentals and Flow of Funds. John Wiley and Sons, Inc. New York. 1997.

[11] U.S. Department of Health and Human Services. The Community as a Learning System: Using Local Data To Improve Local Health. A Report of the National Committee on Vital and Health Statistics. 2012

[12] Anechiarico, F. and Jacobs, J. The Pursuit of Absolute Integrity: How Corruption Control Makes Government Ineffective. University of Chicago Press, Chicago, 1996. Hal: 174–176

[13] Archon Fung, Mary Graham and David Weil. Full Disclosure: The Perils and Promise of Tranparency. Cambridege  University Press, New York, 2007.

[14] Fung, Archon. Infotopia: Unleashing the Democratic Power of Transparency. Politics & Society, 41, SAGE Publication, 2013, hal: 189

[15] ibid. hal: 193.

Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Selasa, 10 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Istilah akuntabilitas, dari sisi semantik, sangat berkaitan dengan akuntansi atau yang lebih dikenal dengan istilah pembukuan (Boven, 2008).[1] Penelusuran akar sejarah konsep akuntabilitas merujuk pada masa William I, suatu dekade setelah penguasaan Norman di tanah Inggris pada tahun 1066. Pada tahun 1085 William mensyaratkan semua pemilik properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat perhitungan atas apa yang mereka miliki. Kepemilikan tersebut ditaksir dan didaftar oleh para agen kerajaan dalam sesuatu yang disebut sebagai ‘Buku Perhitungan’ (Doomesday Books). Buku ini mencatat apa saja yang dikuasai oleh raja, bahkan juga termasuk tentang sumpah setia pemilik lahan terhadap raja yang berkuasa (Dubnick, 2007).[2]

Berdasarkan sejarah tersebut, beberapa ahli akhirnya berupaya memaknai akuntabilitas sebagai suatu hubungan antara pemegang kedaulatan (sovereign) dan pelaksana (subject) atau apa yang sering dikenal sebagai hubungan antara principle dan agent atau forum dan aktor (Bovens, 2008).[3] Penelusuran atas penggunaan istilah Accountability di Kongres Amerika Serikat menunjukkan sesuatu yang ironis (Dubnick, 2002):[4]

A quick count of titles placed in the House and Senate hoppers for the past several sessions of Congress indicate that the word is applied to 50-70 distinct proposals each two-year term. As reflected in the list from the current (107th) Congress, the focus of “Accountability” bills can range from specific individuals (Yasir Arafat) and nations (Syria) to industries (electricity providers), agencies (the IRS and the INS), professionals (accountants and pharmacists), and the members of Congress themselves. When examined in detail, the content of the proposed legislation rarely mentions the term again, except in provisions designed to change the titles of current laws so that they too can be adorned with the “Accountability” élan.

Kesulitan lain yang dialami dalam penggunaan istilah akuntablitas adalah apa yang disebut oleh Dubnick (2002),[5] sebagai “incommensurability”— istilah geometry yang diperkenalkan oleh Thomas Kuhn—sebagai metafora untuk kesenjangan inheren dari suatu kata dimana tak mudah untuk menerjemahkannya ke dalam kata-kata lintas konteks dan kultur. Dengan demikian akan lebih mudah memahami akuntabilitas sebagai suatu konsep daripada sebuah upaya untuk mencari kata terjemahan yang pas.

Di Indonesia, beberapa pihak telah mencoba menerjemahkannya sebagai ‘tanggung gugat’. Namun demikian terjemahan tersebut tetap memerlukan penjelasan yang cukup mendalam secara konseptual untuk memahaminya. Kata akuntabilitas semakin sering digunakan dan telah menjadi konsumsi publik luas sejak isu tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi begitu dominan di era rezim reformasi, sebagaimana halnya kata partisipasi dan transparansi.

Mulgan (2000) [6]  menyatakan bahwa debat akademik tentang akuntabilitas di wilayah ilmu administrasi publik paling tidak dapat diikuti sejak sebelum perang dunia kedua. Perdebatan terjadi antara Carl Friedrich (1940)[7]  dan Herman Finner (1941)[8]  dalam melihat relasi antara publik dan birokrat dengan terminologi pertanggungjawaban (responsibility). Perdebatan antara Friedrich dan Finner berkisar pada tarik menarik antara keharusan seorang pelayan publik untuk bertumpu pada profesionalisme dan moralitas personal di satu sisi dengan keharusan untuk mengikuti perintah dari pihak yang disebut sebagai ‘political masters’ di sisi lain.

Friedrich lebih menekankan tanggung jawab internal birokrat terhadap standar profesional dan nilai-nilai, sedangkan Finner menegaskan keutamaan tanggung jawab terhadap perintah politik eksternal. Perbedaan dua cara pandang tersebut telah menyebabkan akuntabilitas mengalami apa yang disebut: an ever-expanding concept (Mulgan, 2000),[9] yang mengarah pada tema umum untuk menjelaskan berbagai mekanisme agar suatu institusi responsif kepada publik tertentu (Mulgan, 2003).[10]

Principle–Agent Relationship

Dalam perkembangan, pembahasan tentang akuntabilitas mengarah pada upayaupaya penggalian skema internal organisasi yang bersandar pada aspek profesionalisme di satu sisi dan relasi eksternal yang mengarah pada pertanggungjawaban sosial dan politik di sisi lain. Upaya untuk membedakan kedua hal tersebut telah pula dilakukan oleh Boven (2008)[11] dengan membedakan akuntabilitas sebagai kebajikan (as a virtue) dan akuntabilitas sebagai suatu hubungan sosial (as a social relation).

However, there is a pattern to the expansion. Particularly, but not exclusively, in American academic and political discourse, accountability is used mainly as a normative concept, as a set of standards for the evaluation of the behaviour of public actors… [t]he focus of accountability studies is not whether the agents have acted in an accountable way, but whether they are or can be held accountable ex post facto by accountability forums.

Di tataran praktik, penerapan mekanisme akuntabilitas kepada siapa suatu pertanggungjawaban diberikan (principle–agent relationship) telah melahirkan berbagai zona akuntabilitas. Dalam beberapa pembahasan, sering juga dinyatakan sebagai hubungan antara forum dan aktor. Fokus bukan pada apakah aktor tersebut telah melakukan prosedur secara akuntabel, tapi apakah mereka dinilai akuntabel oleh forum.

Ketika mekanisme akuntabilitas memasuki wilayah parlemen, dikenal istilah akuntabilitas politik. Untuk wilayah peradilan dikenal istilah akuntabilitas legal. Pada saat mekanisme memasuki wilayah-wilayah administratif dikenal istilah akuntabilitas administratif. Sebagai contoh, akuntabilitas administratif dapat ditemukan ketika lembaga publik harus mempertanggungjawabkan konsistensi mereka atas prosedur administratif pelayanan di hadapan Ombudsman, atau terkait pengelolaan keuangan di hadapan auditor. Pada saat memasuki mekanisme yang mengarah kepada relasi antara lembaga publik terhadap warga negara atau masyarakat sipil, dikenal istilah akuntabilitas sosial (Bovens, 2008).[12]

Akuntabilitas Sosial dan Open Government

Dalam Memorandum Januari 2009, Obama menyatakan: “A democracy requires accountability, and accountability requires transparency. Pada bagian lain dinyatakan: Freedom Of Information Act (FOIA) should be administered with a clear presumption: In the face of doubt, openness prevails.[13] Pernyataan ini menunjukkan keyakinan bahwa akuntabilitas adalah tujuan dari penerapan transparansi dalam kebijakan Open Government di Amerika Serikat.

FOIA yang disahkan pada tahun 1966 memang dimaksudkan agar warga negara dapat menguasai informasi sebagai suatu masyarakat demokratis, memerangi korupsi dan memastikan pemerintah akuntabel terhadap rakyatnya (Jennifer Shkabatur, 2012). [14] Dengan FOIA diharapkan warga dapat melakukan hal tersebut tanpa harus melalui suatu proses politik.[15]

Dalam kenyataan transparansi memang penting tapi tidak cukup untuk mendorong terjadinya akuntabilitas sosial. Hal ini karena transparansi yang diterapkan melalui FOIA dalam pemerintahan Obama belum berhasil mendorong akuntabilitas akibat beberapa kendala dalam penerapnnya: (i) Undang-Undang ini sangat bergantung pada dorongan pemohon nformasi; (ii) kalangan pers menilai administrasi layanan informasi memakan waktu, biaya dan membutuhkan keahlian ketika harus menempuh proses hukum (litigasi). [16]

Dua fakta di atas bukan hanya dialami Amerika Serikat, tapi juga di beberapa negara, termasuk Indonesia yang telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik. Gagasan pemanfaatan ICT melalui kebijakan Open Government diharapkan dapat memecahkan persoalan tersebut. Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai Open Data. Melalui Open Data, berbagai data pemerintah dan informasi diletakkan ruang publik dalam format masinal agar publik dapat menggunakannya tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pemegang otoritas terlebih dahulu. Melalui kebijakan ini diharapkan kendala administratif tersebut dapat diatasi.

Dalam beberapa hal, menerapkan Open Government tanpa Open Data dilihat tak lebih hanya sebagai suatu wacana dalam kebijakan. Penerapan Open Data dalam Open Governent dinilai lebih memiliki kekuatan untuk menciptakan akuntabilitas publik (Yu dan Robinson, 2012 ):[17]

[t]he term “open government” has become too vague to be a useful label in most policy conversations. Open data can be a powerful force for public accountability—it can make existing information easier to analyze, process, and combine than ever before, allowing a new level of public scrutiny.

Tidak semua pihak berpendapat sama. Telah dibahas sebelumnya bahwa akuntabilitas merupakan suatu relasi sosial (principal-agent relationship). Peixoto (2012) [18] menjelaskan, jika mekanisme akuntabilitas dilihat dalam perspektif keterbukaan informasi paling tidak ada rantai yang terkait: (1) adanya keterbukaan dalam informasi pemerintah; (2) informasi yang dibuka sampai kepada publik yang dituju; (3) masyarakat dapat memproses informasi yang dibuka dan bereaksi terhadapnya; (4) pejabat publik merepon reaksi publik atau dikenakan sanksi oleh publik melalui cara-cara yang institusional.

Menurutnya, transparansi memang hanya merupakan langkah awal menuju akuntabilitas. Selebihnya, akuntabilitas ditentukan oleh dua hal: kondisi publisitas (a.l: tingkat kebebasan pers) dan kondisi kelembagaan politik (a.l: kebebasan dalam hak sipil dan politik). Peixoto mengamati relasi antara penerapan Open Government Data dengan akuntabilitas di beberapa negara. Pada negara-negara dimana kedua kondisi tersebut tidak terpenuhi, penerapan Open Government Data memberikan pengaruh yang kurang berarti terhadap akuntabilitas.[19] Jadi penerapan Open Government Data bukanlah faktor yang paling kuat dalam mendorong akuntabilitas sosial, melainkan kondisi publisitas dan kondisi hak-hak sipil-politik di negara tersebut.

Catatan Kaki


[1] Bovens, Mark. Two Concepts of Accountability. Utrecht: Utrecht School of Governance, Utrecht University, 2008, hal. 8.

[2] Dubnick, M.J. Sabanes-Oxley and The Search for Accountable Corporate Governance, at ERSC/GOVNET Workshop The Dynamics of Capital Market Governance: Evaluating The Conflicting and Con-flating Roles of Complience, Regulation, Ethics and Accountability, Australian National University, Canbera, Autralia, 14-15 March 2007, hal. 11-13.

[3] Op.cit. hal. 18-19.

[4] Dubnick, M. J, Seeking Salvation for Accountability. Paper presented at Annual Meeting of the American Political Science Association, Boston. August 29-September 1, 2002, hal. 2.

[5] Ibid. hal. 4.

[6] Lihat Mulgan, R. Accountability: An ever expanding Concept? Public Administration, Blackwell Publishing Ltd, Oxford, UK, 2000, 78: hal. 555.

[7] Friedrich, C. J. Public Policy and the Nature of Administrative Responsibility. Public Policy, Cambridge: Havard University Press, 1940, hal. 3-24.

[8] Finner, H. ‘Administrative Responsibility and Democratic Government’. Public Administration Review 1, 1941,  hal. 335-350.

[9] Op. cit.

[10] Lihat Penjelasan Richard Mulgan dalam Holding Power to Account: Accountability in Modern Democracies. Basingstoke: Palgrave. 2003.

[11] Bovens, Mark. ‘Two Concepts of Accountability: Accountability as a Virtue and as a Mechanism, dalam West European Politics, 2010, 33: 5, hal. 946- 967.

[12] Ibid.

[13] Presidential Memorandum, subject: Fredom of Information Act. January 21, 2009

[14] Shkabatur, Jennifer, Transparency With(out) Accountability: Open Government in the United States (March 25, 2012). Yale Law & Policy Review, Vol. 31, No. 1, 2013. hal. 13

[15] Jennifer mengutip kasus NLRB v. Robbins Tire & Rubber Co., 437 U.S. 214, 242 (1978); dan  Dowdle, supra note 3, at 6: explaining that FOIA’s goal was “to allow a much wider range of civil society to hold public officials to account even without directly participating in political decisionmaking

[16] Opcit. Hal. 12

[17] Yu, Harlan dan Robinson, David G. dalam The New Ambiguity of Open Government. UCLA Law Review Discourse, 59 (2012), hal. 185

[18] Peixoto, Tiago. The Uncertain Relationship Between Open Data and Accountability: A Response to Yu and Robinson’s The New Ambiguity of “Open Government”. UCLA Law Review Discourse, 60 (2012), hal. 203.

[19] Ibid. hal 208-213

Open Goverment Transparansi, Partisipasi & Kolaborasi

Open Goverment Transparansi, Partisipasi & Kolaborasi

Selasa, 3 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Open Government  (Transparansi, Partisipasi dan Kolaborasi)

Gagasan ‘pemerintah terbuka’ (open government) di Amerika Serikat menjadi isu sentral sejak Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat di tahun 2008. Dalam catatan sejarah Amerika Serikat, terminologi ini mulai mengemuka di tahun 1953. Harrod Cross, yang mewakili perkumpulan para editor koran atau yang dikenal dengan American Society of Newspaper Editors (ASNE), menggunakannya dalam suatu laporan berjudul The People’s Right to Know: Legal Access to Public Records and Proceedings (Pope, 1953).[i]

Gagasan tentang pemerintah yang terbuka dan hak untuk tahu ini akhirnya melahirkan Undang-Undang Kebebasan Informasi (FOIA) di tahun 1966. Gagasan ini mengemuka kembali di tahun 1974 ketika Kongres mengamandemen FOIA dan menerbitkan Undang-Undang Privacy (Yu and Robinson, 2012).[ii] Terminologi pemerintah terbuka, yang semula hanya ditemukan di pernyataan-pernyataan para politisi atau dalam perbincangan di berbagai pertemuan publik, akhirnya mulai digunakan pula dalam putusan-putusan pengadilan (Yu and Robinson, 2012).[iii]

Demokrasi, Akuntabilitas dan Open Government

Pada hari pertama di Gedung Putih,  Presiden Obama menandatangani dua memorandum yang ditujukan ke seluruh pimpinan eksekutif dan lembaga. Satu di antaranya mengenai Freedom of Information Act, dan yang lain mengenai Transparency and Open Government.

Pemerintahan Obama berinisiatif mendorong gagasan pemerintah terbuka ini melalui apa yang dikenal dengan prakarsa pemerintah terbuka (Open Government Initiative—OGI).

OGI dibangun atas keyakinan bahwa demokrasi membutuhkan akuntabilitas.[iv] Untuk membangun akuntabilitas, diperlukan pemerintah yang terbuka dengan tiga nilai utama, yakni: transparansi, partisipasi dan kolaborasi.[v] Dalam Open Government Directive, Obama menyatakan:

The three principles of transparency, participation, and collaboration form the cornerstone of an open government.  Transparency promotes accountability by providing the public with information about what the Government is doing.  Participation allows members of the public to contribute ideas and expertise so that their government can make policies with the benefit of information that is widely dispersed in society.  Collaboration improves the effectiveness of Government by encouraging partnerships and cooperation within the Federal Government, across levels of government, and between the Government and private institutions. [vi]

Satu yang menjadi ciri khas dari gagasan ini adalah pemanfaatan teknologi komunikasi dan infrmasi (ICT) sebagai media utama. Pemanfaatan ICT ini menyebabkan OGI tidak terlepas dari apa yang dikenal sebagai Open Government Data. Secara sederhana, Open Government Data menggagas penerapan sistem penyediaan data di sektor pemerintah agar dapat diakses dalam bentuk yang dapat digunakan tanpa harus mengajukan permintaan.[vii]

Catatan Kaki


[i]    Pope, James S. Foreword To Harold L. Cross, The People’s Right To Know: Legal Access To Public Records And Proceedings. American Society of Newspaper Editors, 1953.

[ii]   Lihat Harlan Yu dan David G. Robinson dalam The New Ambiguity of Open Government. UCLA Law Review Discourse, 59 (2012), hal. 185. Dalam amandemen FOIA, Kongres menyatakan: open government has been recognized as the best insurance that government is being conducted in the public interest.” S. Rep. No. 93-854, at 1 (1974); Dalam hal UU Privacy Kongres menyatakan bahwa: the Privacy Act of 1974 aimed to achieve the ideals of  accountability, responsibility, legislative oversight, and open government together, while respecting citizen privacy in government-held information.” S. Rep. No. 93-1183, at 1 (1974).

[iii]   Ibid, hal. 187

[iv]   Dalam memorandum ini Obama menyatakan: A democracy requires accountability, and accountability requires transparency. Pada bagian lain dinyatakan: Freedom Of Information Act should be administered with a clear presumption: In the face of doubt, openness prevails. Presidential Memorandum, subject: Fredom of Information Act. January 21, 2009.

[v]    Dalam memorandum ini Obama menyatakan: My Administration is committed to creating an unprecedented level of openness in Government. We will work together to ensure the public trust and establish a system of transparency, public participation, and collaboration. Presidential Memorandum, subject: Transparency And Open Government. January 21, 2009.

[vi]   Memorandum For The Heads Of Executive Departments And Agencies. M-10-06. Subject: Open Government Directive. White House, Dec. 8, 2009.

[vii] lihat http://opendatahandbook.org/. Secara lebih spesifik Open Data didefinisakan sebagai berikut: Open data is data that can be freely used, reused and redistributed by anyone – subject only, at most, to the requirement to attribute and sharealike.