Ketidakmandirian Komisi Informasi dan Dampaknya

Ketidakmandirian Komisi Informasi dan Dampaknya

Soal kemandirian Komisi Informasi menjadi kendala yang significan karena hal itu lembaga tersebut menjadi tidak leluasa menjalankan tugasnya. Upaya-upaya sudah dilakukan tapi belum mendapatkan hasil maksimal.

Apa dan bagaimana kemandirian Komisi Informasi, kebebesaninformasi.org mewawancarai salah seorang komisioner KI Pusat Yhanu Setyawan ketika ditemui selepas diskusi bertajuk “Ahli HTN: Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi” yang difasilitasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Harris, Jakarta, Rabu siang, (20/8). Berikut Petikannya.

Apa persoalan yang dihadapi Komisi Informasi, khususnya KI Pusat terkait dengan kemandirian organisasi?

Pada intinya komisi Informasi ini punya kewajiban untuk menyelesaikan sengketa. Nah, ketika dia bertugas menyelesaikan sengketa, maka dia membutuhkan suport, dukungan administrasi yang kemudian nanti akan berinteraksi dengan hal-hal yang berkaitan dengan pembiayaan dansebagainya. Termasuk sumber daya manusianya.

Nah, yang jadi persoalan adalah ketika kita tidak memiliki kemandirian yang memberikan daya dukung terhadap berjalannya proses penyelesaian sengketa. Nah, daya dukungnya pa SDM misalnya, kita tak bisa memilih orang-orang yang dalam orang-orang kapabilitasnya, kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan penyelesaian sengketa.

Kenapa?

Karena struktur organisasi di Komisi Informasi Pusat sudah diatur dari sana, masih diatur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Ada beberapa struktur organ yang kosong dan itu sampai sekarang beberapa waktu belum terisi. Begitu. Nah, tugas-tugas ini memang harus dilakukan oleh orang yang punya kapabilitas dan kompotensi yang cukup sehingga akan lebih profesional.

Hal-hal semacam ini kerap kali menjadi persoalan tersendiri buat KI Pusat. Kita bicara soal apa namanya, komitmen pegawai. Memang dia tidak dalam otoritas Komisi Informasi secara kelembagaan komisioner, maka dia tunduk kepada sekretaris, sekretaris tunduk pada Kominfo. Ini yang jadi persoalan.

Kita membutuhkan satu dukungan SDM yang memiliki loyalitas kepada kelembagaan Komisi Informasi. Belum lagi dari tampilan-tampilan bagaimana mereka performanya mereka menunjukkan performa pegawai Kominfo ketimbang KI Pusat.

Upaya yang dilakukan KI untuk itu?

Ya, dalam beberapa komunikasi yang sifatnya formal maupun dalam diskusi-diskusi informal disampaikan kepad Kominfo atau Sekjen Kominfo. Tapi kan semua terkait dengan ketersediaan pegawai. Kan begitu.

Belum lagi terkait misalnya dengan pengelolaan budget. Posting budget, tentu kan kita punya ukuran, bahwa untuk melahirkan satu institusi yang profesional, kita membutuhkan A, B, C, D yang ternyata tidak bisa sama ukurannya. Ukuran yang dimiliki oleh pegawai Kominfo itu terlaksananya tugas-tugas mereka, sedangkan kita selesainya sengketa. Jadi kan akhirnya berbeda.

Mau tanya soal keorganisasian, hubungan Komisi Informsai Pusat dengan Provinsi itu bagaimana?

Jadi begini, ada Komisi Informasi Pusat, ada Komisi Informasi Provnsi. Komisi Informasi itu, dia masih suka diperdebatkan apakah ada relasi keorganisasian, ralasi struktural antara Komisi Informasi  Pusat dan KI Provinsi. Secara tekstual memang tidak ada, relasi bahwa Komisi Informasi Pusat lebih tinggi daripada Komisi Provinsi, tidak ada. Tapi kita juga kan memahami bahwa kita ini negara kesatuan. Dalam negara kesatuan itu tentu ada berada center, pusat, dan ada yang pada wilayah-wilayah. Jelas dari sisi itu. Nah, Kemudian dari sisi pembiayaan, norma jelas di dalam undang-undang bahwa Komisi Informasi Pusat itu dibiayai APBN, sementara Komisi Informasi Provinsi dibiayai APBD. Begitu juga KI di kabupaten dan kota, kalau ada. Ini bukan lantas karena pembiayaan berasal dari pintu berbeda membuat dia tidak punya relasi keorganisasian karena toh semuanya sama kan, bahwa di APBN maupun di APBD itu semuanya uang rakyat. Karena pengabdian Komisi Informasi yang tiada lain ke rakyat Indonesia. Tidak hanaya karena KI Pusat yang berada di Jakarta mengabdi kepada orang Jakarta, tapi semua warga negara baik dia berada dimana pun sepanjang dia berada dalam wilayah negara kesatuan erepublik Indonesia, dia adalah warga negara Indonesia, maka dia punya hak konstitusi yang sama. Jadi Komisi Informasi Pusat itu bukan komisi informasi Jakarta plus. Begitu.

Yang kedua, bagaimana tidak ada relasi kalau hukum acaranya sama. Ketika misalnya Komisi Informasi Provinsi tidak mampu menyelesaikan sengketa, dia bisa melimpahkan ke KI Pusat. Nah, kalau tidak ada hubungan organisasi bagaimana bisa melimpahkan? Melimpahkan itu kan memberikan sesuatu kepada yang dianggap lebih mampu. Nah, ini kan tidak mungkin kalau tidak ada relasi keorganisasian, relasi hirarki, itu bisa main melimpahkan.

Format hubungan semacam itu apa namanya, desentralisasi atau terpusat?

Kita tidak kenal itu. Kita bukan based on teritory, tapi based on budget. Jadi karena dia dibiayai oleh APBD, maka dia mengelola badan publik yang sumber pembiayaannya dari APBD. Tapi kalau yang badan publik yang sumber pembiayaannya lembaga dan badan publiknya dari APBN, maka dia di area kewenangannya Informasi Pusat.

Menurut Anda struktur hubungan KI cocok seperti itu atau bagaimana?

Kalau KI di semua provinsi sudah ada, sudah seatle, maka harusnya KI Pusat, selain dia yang sifatnya lintas provinsi, dia menjadi lembaga banding. Tapi ini memang masih wacana. Jelas dia harus sentralistik, dalam arti terkoordinasi, hukum acara dan penyelesaian sengketanya terkoordinasi. Ada relasi keorganisasian sehingga ada komunikasi yang sifatnya administratif antar-kepaniteraan. Nah ini kaitannya dengan konteks penyelesaian sengketa. Nanti penting, termasuk pasca-sengketa. Karena bisa jadi pasca-sengketa itu ada keberatan yang diajukan oleh para pihak yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Komisi Informasi Pusat. Padahal itu perkara diselesaikan di komisi informasi Provinsi. Nah, hal-hal seperti ini juga seharusnya menjadi perhatian kita sehingga semuanya on the track ya. Bisa dalam jalurnya.

Kalau mencari teksnya memang tidak ketemu, tapi itu kan logika hukum. Bahwa hukum itu kan selain ada tafsir gramatikal, juga ada tafsir yang sifatnya kontektualitas. Konteksnya apa? Bahwa tidak mungkin ada organisasi berdiri sendiri-sendiri, tidak punya relasi keorganisasian apa pun, tapi menggunakan sistem yang sama.

Jadi, bisa terpusat dengan syarat KI-KI Provinsi suda seatle?

Iya, ya.

Kalau dari sisi kelembagaan, KI sudah berdiri di mana saja?

Belum, belum semuanya, yang terkahir, saya hafal yang terakhir, di Sumatera Barat ya. Tapi lebih kurang 26 ya.

Kenapa belum semuanya?

Itu tadi karena pemerintah daerah menganggap belum waktunya, belum mampu membiayai dan sebagainya. Padahal kan ini perintah Undang-Undang. Berarti kan secara sengaja banyak kepala daerah mengabaikan Undang-Undang

Penyebabnya apa?

Soal komitmen, soal tanggung jawab kepala daerah itu melaksanakan Undang-Undang. Yang kedua juga kepedulian masyarakat sipil. Masyarakat sipil di daerah itu mungkin kurang serius memperjuangakan kehadiran Komisi Informasi maupun pemenuhan atas hak akses informasi publik.

Ada semacam ketakutan tidak, misalnya kalau KI didirikan masyarakat akan meminta informasi yang selama ini ditutup-tutupi?

Saya kira mungkin. Tapi itu kan hanya ada dalam pikiran kepala daerah yang menggunakan cara berpikir yang lama, yang tidak mau terbuka, yang mau hanya dia sendiri yang mengelola pemerintahannya. Saya kira kepala daerah yang berpikirian seperti ini, tidak akan punya kualitas yang sama dengna kepala daerah yang berpikiran maju. Jadi ketika dia itu mau terbuka, sebetulnya dia lebih punya keberanian untuk mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan. Nah, justru kita patut curiga dengan kepala-kepala daerah yang tidak concern dengan agenda keterbukaan informasi. Sebetulnya apa yang terjadi di daerah itu? Kenapa dia tidak mau transparan?  Persoalannya apa? Kan begitu. Ini yang perlu ditelusur secara lebih dalam. Kalau cuma persoalan posting anggaran Komisi Informasi  itu belum cukup misalnya, tapi saya kira semua akan menyesuaikan dengan kondisi anggaran di daerah.

UU itu mengamantkan KI itu sampai kabupaten?

Bila diperlukan. Itu melihat dari kondisi geografis dan kebutuhan. Jadi, kondisi geografis itu memang sangat jauh, begitu kan dari pusat kota sehingga warga akan kesulitan kalau menyelesaikan sengketa karena Komisi Informasi Provinsi ini dimungkinkan. Tapi ada nggak orang yang bisa mengelola Komisi Informasi? Karena ingat Komisi Informasi adalah sekumpulan orang yang sekedar ingin menjadi komisioner, tapi orang-orang yang mempunyai kemampuan analisa, status dari informasi atau dokumen itu, informasi atau dokumen yang terbuka atau terutup. Dengan begitu dia harus punya kompetensi yang punya kemampuan analisa dokumen. Dan beberapa syarat kualitatif lainnya yang itu nanti akan membantu dia yang ketika dia berfungsi sebagai komisioner. Bukan sekadar menjadi orang yang berstatus komisioner

Ada semacam batas waktu ke provinsi itu harus dibentuk tahun sekian?

Ada, seharusnya semua sudah terbentuk tahun 2010. Dua tahun setelah diundang-undangkan. Nah, ini seharusnya jadi concern pemerintahan baru sekarang, bagaimana mendorong transparansi itu menjadi ujung tombak dari upaya merealisasi janji-janji kampanye. Jadi menurut saya pemerintahan baru sekarang, tentunya akan berharap ada pembeda dari pemerintahan terdahulu. Pembedanya dimana? Nah, pembedanya bahwa dia lebih memiliki akuntabilitas. Akuntabilitas itu akan semakin kuat ketika ruang partisipasi publik dan transparansi penyelenggara pemerintahan itu semua terbuka dan bisa diakses.

Tugas Komisi Informsai itu menyelesaikan sengketa. Tadi disebutkan salah satu lambatnya KI berdiri kurangnya dorongnya masyarakat sipil, berarti terkait dengan sosialisasi. Yang bertugas menyosialisasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik itu siapa?

Secara umum, Komisi Informasi juga punya tugas untuk melakukan sosialisasi, tetapi tentunya pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang, karena hakikatnya pemerintah itu pelaksana undang-undang, DPR pembuat Undang-Undang, mereka yang secara lebih memungkinkan di dalam budgeting, memiliki anggaran yang cukup untuk mendorong transparansi dalam pemerintahan. Tetapi juga saya kira masyarakat daerah juga harus diingatkan bahwa meraka juga harus terus memperkuat dan mendorong kepala daerahnya untuk menghadirkan transparansi dalam pemerintahannya. Nah, untuk menjamin akses itu maka dibutuhkan Komisi Informsi. Jadi, masyarakat di daerah apakah dia masyarakat sipil maupun masyarakat politik, masyarakat politik berarti dia dari partai-partai politik di level daerah maksudnya, di DPRD, ini yang seharusnya didorong kepada kepala daerahnya untuk segera mengimplementasikan Undang-Undang no 14 tahun 2008  di daerahnya masing-masing, karena ini perintah Undang-Undang.

Ini tersendat-sendat karena yang pertama soal komitmen, yang kedua, soal pengetahuan, yang ketiga soal kemampuan daerah. Tapi kemampuan daerah tidak terlalu siginifican tapi komitmen dan pengetahuan.

Semenjak UU disahkan, menurut Anda  bagaimana antusiasme masyarakat memanfaatkan UU itu?

Semakin lama, semakin banyak. Di awal-awal undang-undan itu hadir, memang jumlah pemohon individu itu tidak significan, tetapi sekarang, yang lebih banyak itu pemohon individu. Beberapa masyarakat sipil yang tergabung dalam organiasi atau NGO itu juga ada yang melakukan, tetapi dia melakukan permohonan informasi biasanya ke banyak tempat, jadi kita anggap ini sebagai satu pemohon. Tapi kalau pemohon individual, walauppun kasusnya cuma tiga, atau empat, menurut kita itu top, jelas lebih dari itu. Jumlah permohonan informasi itu sudah lebih dari seribu perkara, dengan begitu saya kira, upaya untuk memaksimalkan UU ini dan manfaat uu ini bagi publik baik secara individu maupun kelompok itu mulai terasa significan.

Data itu, akumulusi seluruh KI atau hanya KI Pusat.

Kalau sama provinsi bisa lebih lagi. KI Jakarta saja bisa lebih 500 perkara lebih setahun.

Dengan data seperti itu menggembirakan atau bagaimana?

Dua sisi. Satu sisi yang menggembirakan adalah masyarakat semakin sadar atas haknya untuk mendapatkan informasi publik, tetapi di sisi yang lain yang mengecewakan justru kita melihat bahwa pemerintah belum mampu mengimbangi pelayanan informasi publik dan mampu mengimbangi kebutuhan informasi publik karena masih pemerintahannya berkutat dengan penggunaan metode pelayanan yang konvensional yang berbasis dokumentatif. Coba kalau pemerintahannya lebih modern, menggunakan teknologi informasi, maka tidak akan terlalu banyak permohonan informasi langsung.

Bisa dikatakan, semakin banyak sengketa informasi, berarti lembaga-lembaga publik itu tidak menyediakan apa yang dibutuhkan masyarakat?

Itu yang pertama, mulai dari tidak menyediakan sampai dengan lamban memberikan respon karena banyak juga perkara-perkara sengketa informasi yang sebetulnya ini berangkat dari sistem dan tata kelola layanan. Jadi, ada kewajiban badan publik itu membentuk PPID. Dalam institusi ini ada petugas pelayanan infformasi publik. Nah, ketika petugas pelayan informasi publik tidak secara efektif menjalankan perannya, maka secara otomatis pelayanan kebutuhan informasi itu akan terhambat. Nah, seringkali ini, dokumennya bukan dokumen yang dirahasiakan, tetapi karena keterlambatan dalam pelayanan. Nah, ini yang kerap kali jadi persoalan.

Berapa persen lembaga publik membentuk PPID?

Saya tidak begitu hafal datanya. Itu teman-teman di kelembagaan, saya lebih ke sengketa informasi. Tapi pada intinya, sekarang sudah waktunya bagi pemerintah. Kalau level kementraian sudah, maupun lembaga-lembaga negara pusat, maupun nonstruktural, yang belum banyak itu adalah di pemerintahan daerah kabupaten kota terutama, kemudian juga badan usaha milik negara yang juga punya kewajiban untuk tunduk kepada UU ini, juga teman-teman partai politik. Nah, saya juga berharap teman-teman masyarakat sipil juga menunjukkan kepada publik, siapa PPID-nya, begitu. Misalanya IPC, harus menunjukkan kepada publik, siapa PPID-nya supaya ini menjadi teladan, contoh, buat badan publik di luar, bawa masyarakat sipil juga siap kok.

Termasuk KI ya Pak?

Termasuk KI, termasuk badan publik yang wajib membuat PPID

Sudah terbentuk?

Iya.

Pentingnya UU ini dijalankan apa di konteks Indonesia itu apa?

Itu yang pertama mengembalikan kepercayaan warga terhadap penyelenggara negara. Transparansi adalah alat yang paling mungkin untuk menunjukkan komitmen penyelenggara negara bahwa dia adalah orang yang siap melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar. Itu yang paling penting. Jadi, suatu suat mungkin, kita memang tidak membutuhkan lagi Komisi Informasi karena penyelenggaranya sudah transparan. Nah, kalau semuanya sudah transprasan, ngggak akan dibutuhkan Komisi Informasi dan mungkin di ujungnya tidak akan dibutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi terjadi kan karena ada ruang orang untuk melakukan abuse of power. Kemudian penyimpangan ada pengelolan keuangan negara dan sebagainya. Nah, kalau semuanya dilakukan secara transparan, semua masyarakat bisa mengakses, masyarakat turut serta, kan begitu, semuanya akan tereduksi potensi negatif kan begitu, dari bias penyelenggaraan keuangan negara.

Posisi media massa berkaitan dengan UU tersebut?

Sangat penting, baik cetak, elektronik, online. Ini menjadi ujung tombak di dalam pemberian informasi, tetapi bukan mereka bukan yang memproduksinya? Yang memproduksi informasi siapa? Yang memproduksi informasi adalah institusi-institusi kenegaraan atau badan-badan publik, maka dia menjadi informasi publik. Nah, kalau media, dia menjadi penyebarluasan. Nah, makanya, kemudian kita juga perlu mendorong Informasi Pusat, mendorong elektronik government sehingga informasi tentang penyelenggaraan pemerrintahan daerah, mulai dari sektor hulu, mulai dari sektor perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan pertanggungjawaban, itu semua terbuka, orang bisa akses, ini abad abadnya teknologi informasi, maka menggunakan insturmen menggunakan teknologi informasi ada website yang bisa digunakan untuk komunikasi. Jadi setiap saat keterbukaan informasi itu memberikan ruang interaksi antara warga dengan penyelenggara negara, baik pada level nasional maupun pada level lokal, dengan apa? Dengan cara dia melihat web. Dengan melihat web, menjadi pengunjung, dengan menjadi pengungjung, dia otomatis mengunjungi badan publik, terjadi interaksi antara warga dengan penyelenggara negara, terjadi interaksi, semakin dekat antara warga dengan penyelenggara. Tapi bukan dekat dalam konteks bertatap muka, tapi dekat dengan program. Jadi program yang dekat dengan rakyat itu program yang transparan, program yang transparan, pertanggungjawaban yang transparan.

Terkait dengan pemerintahan baru, bagaimana kecenderungan keterbukaan informasi ke depan?

Suka atau tidak suka, pemerintahan baru sekarang berhdapan dengan abad informasi, maka akan terjadi banyak persoalan yang terkait dengan informasi yang perlu diakses publik, maka kewajiban mutlak bagi penyelenggara pemerintahan sekarang, sebagai presiden, dia punya kewajiban untuk segera memberikan format pemerintahan yang terbuka yang melibatkan partisipasi publik sehingga menghadirkan akuntabilitas, sehingga akan terlihat perbedaan nanti cara berpemerintahan negara yang sekarang dengan pemerintahan yang terdahulu. Termasuk misalnya kalau berpotensi melakukan kejahatan atau penyimpangan akan mudah sekali kelihatan oleh publik. Sekarang kan orang akan dengan mudah misalnya mengupload foto ke media sosial, kan begitu. Tentang apa yang dilakukan oleh pejabat pubik atau siapa pun kan begitu. Nah, ini kan mudah sekali kalau mereka kalah cepat dengan publik maka mereka akan kehilangan kepercayaan publik. Nah, ini kan tentu kan tidak baik  bagi pemerintahan yang berasal dari rakyat.

IPC Minta Komisi Infomasi Jadi Lembaga Mandiri Sepenuhnya

IPC Minta Komisi Infomasi Jadi Lembaga Mandiri Sepenuhnya

Jakarta,– Indonesia Parliamentary Center meminta kepada pemerintah supaya Komisi Informasi dijadikan lembaga yang mandiri sepenuhnya. Selama ini kemandirian komisi tersebut dinilai paradoks. Di satu sisi menjalankan tugas dan fungsi harus mandiri, dari sisi administrasi dan anggaran menginduk ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo).

Menurut Peneliti IPC, Desiana Samosir, sebagai lembaga yang punya tanggung jawab besar untuk memastikan jaminan hak atas informasi, Komisi Informasi seharusnya menjadi lembaga mandiri sepenuhnya, baik dari sisi penggunaan anggaran, maupun dari keorganisasian dan kelembagaannya.

“Dalam teori kemandirian disebutkan tidak hanya soal dalam hal memutuskan sengketa, tetapi juga dalam sistem anggaran. Kalau dia sebuah lembaga mandiri idealnya menjadi pengguna anggaran tidak mendapat pelimpahan kewenangan anggaran dari pihak lain, tapi memang dia murni bisa mengelola anggaran sendiri. Dia punya otoritas pengelola anggaran,” katanya selepas Diskusi Ahli tentang Perencanaan Anggaran Negara yang diselenggarakan IPC di Hotel Harris, Jakarta, Jumat (29/8).

Menurut Desi, kemandirian komisi itu mengandung problem sejak penyusunan UU. Sebagai sebuah lembaga negara, dibekali kelemahan karena pasal satu dan yang lainnya bertentangan. “Problem ini sebenarnya sudah diidentifikasi oleh masyarakati sipil itu sejak lama, sejak awal dari penyusunan Undang-Undangnya karena kemudian seperti setengah kaki. Dalam UU itu Komisi Informasi didesain sebagai lembaga mandiri, tapi pelaksanaan kesekretariatannya disuport oleh kominfo. Tidak seperti KPK atau Komisi negara yang lain dia bebas merekrut, bebas punya kewenangan menggunakan anggaran,” jelasnya.

Ketika ditanya apakah desain ini untuk mengerdilkan peran Komisi Informasi, Desi menerangkan, dalam sejarah UU Keterbukaan Informasi Publik, gaya berpikir penyusun Undang-Undangnya setengah hati soal keterbukaan Informasi. “Sebagian malah berpikir sebagai ancaman. Maka tidak diberikan kemandirian sepenuhnya,” tegasnya.

Meski demikian, Desi melanjutkan, UU ini memang terobosan baru pada masanya. Soal ada kelemahan, memang harus terus didorong untuk diperbaiki. (AA)

Gubernur Sumut Bahas Keterbukaan Informasi dengan Puluhan NGO dari 12 Provinsi

Gubernur Sumut Bahas Keterbukaan Informasi dengan Puluhan NGO dari 12 Provinsi

Medan, Gubernur Sumatera Utara H Gatot Pujo Nugroho ST MSi menerima audiensi 29 (duapuluh sembilan) lembaga dari 12 (duabelas) provinsi di Indonesia, di kediamannya Jalan Sudirman Medan, Rabu (20/8/2014) malam kemarin. Pada pertemuan itu, lembaga yang tergabung dalam Open Government Indonesia (OGI) mengajak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) bermitra menerapkan keterbukaan informasi publik.
Gubernur Sumut dengan tekun menyimak dan berdiskusi dengan para anggota Non Government Organization (NGO) yang bergabung dalam OGI tersebut. Open Government Indonesia (OGI) adalah sebuah gerakan untuk membangun pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif. Open Government Indonesia (OGI) adalah bagian dari gerakan global Open Government Partnership (OGP) yang saat ini memiliki 60 Negara anggota), dimana saat ini Indonesia menjadi Lead Chair OGP.

Perbincangan lebih kurang 1,5 jam itu mengisyaratkan bahwa sikap Gubernur menyambut baik tawaran kemitraan dengan OGI. Kendati di sisi lain Gubsu mengaku, jika penekanannya itu antara terpaksa atau sukarela. Ia pun menyadari, dengan kemajuan teknologi dewasa ini memang sudah selaiknya asas keterbukaan diimplementasikan pemerintah guna penyelenggaraan roda organisasi yang lebih baik.

Pemprov sendiri lanjut Gatot, sudah mulai mengintegrasikan sistem keterbukaan informasi tersebut, di mana saat ini dibawah Dinas Komunikasi dan Informatika. Ditambah setiap SKPD kini diwajibkan memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Salah satu lembaga yakni Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut melalui Direktur Rurita Ningrum, menjadi mediator mempertemukan kelompok-kelompok dimaksud dengan gubernur.  Rurita memberikan apresiasi atas upaya Gubernur untuk menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi di jajaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), lanjut Rurita, sejatinya telah menjamin hak rakyat untuk bertanya. Oleh karenanya, pada konteks kemitraan nantinya, diharapkan Sumut menjadi provinsi yang transparan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan.

“OGP terdiri atas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Civil Society Organisation (CSO) dan Non-Government Organization (Organisasi nonpemerintah). Di mana kerja sama banyak pihak ini untuk memastikan komitmen konkrit dari pemerintah dalam implementasi transparansi, peran serta masyarakat dan melawan tindakan korupsi,” ujarnya membuka bahasan sekaligus mewakili rekan OGP lainnya.

Melalui semangat keterbukaan itu, lanjut dia, dapat mendorong sekaligus membantu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam percepatan pembangunan Sumut ke depan. “Kemitraan yang dibangun antara OGP dan pemerintah ini untuk semakin mendekatkan masyarakat melalui arus keterbukaan informasi publik,” jelasnya.

Sementara, Danardono, dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Semarang, mengungkapkan, komitmen keterbukaan dapat diukur dari langkah nyata yang dilakukan pemerintah. “Di mana pemerintah menyediakan regulasi yang menjamin transparansi dan peran warga negara untuk memperoleh informasi. Jadi komitmen ini juga turut diinisiasi oleh Barrack Obama,” ungkap Danar.

Lebih lanjut, Danar menyebutkan bahwa hadirnya OGP bukan semata-mata ingin merepotkan, melainkan menguatkan sekaligus membantu kerja aparatur pemerintahan dalam hal keterbukaan informasi. Kemudian di sisi lain, sambungnya, OGP merupakan kolaborasi antara pemerintah dengan organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan inovasi.

“Salah satu aspek kolaborasi itu adalah dengan melibatkan sektor swasta. Di mana pihak swasta juga diundang untuk penyelenggaran pemerintahan lebih baik,” tuturnya.

Dadan Suharmawijaya, dari The Jawa Post Institude of Pro Otonomi (JPIP) menambahkan, kolaborasi yang efektif dapat terwujud manakala pemerintah memberikan ruang publik yang memadai untuk menyuarakan aspirasinya. Organisasi masyarakat sipil menggunakan ruang publik tersebut untuk mengawasi dan memberikan masukan konstruktif bagi pemerintah untuk mengawal semangat keterbukaan.

Menurut Dadan, perspektif pemberitaan dan arus informasi dewasa ini harus mengarah pada kritis konstruktif dan lebih kepada pencarian solusi. “Jadi kalau sekarang ini paradigma pemberitaan media ialah good news is good news, bukan lagi bad news is good news,” ujarnya.

Artinya imbuh Dadan, jika selama ini media mengkritisi kekurangan dari SKPD tertentu, ke depan jika ada informasi yang positif harus pula disampaikan dengan positif. Mereka percaya, dengan keterbukaan tersebut akan mendorong masyarakat untuk berkreasi. Karena bagaimanapun, dalam era keterbukaan sekarang ini akan ada namanya proses seleksi. Yang mana mau tidak mau atau suka tidak suka, akan tersingkir dengan sendirinya.

Menanggapi aspirasi tersebut, Gatot Pujo Nugroho mengatakan, pada prinsipnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sedang belajar ke arah dimaksud. Ia menilai, secara sistemik mau tidak mau pemerintah harus transparan dan jujur. Baik soal tata kelola anggaran, kebijakan, akuntabilitas dan lain sebagainya. “Apakah harus terpaksa atau dengan kesadaran, namun saya yakin bahwa tujuan ini untuk masyarakat yang lebih baik,” ujarnya. (Matatelinga.com)

ICW Usul Penjarakan 100 Koruptor dalam Program 100 Hari Kerja Presiden

ICW Usul Penjarakan 100 Koruptor dalam Program 100 Hari Kerja Presiden

Jakarta,- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk mendorong langkah-langkah pemberian efek jera terhadap koruptor. Salah satunya dengan meminta kepada Kejaksaan Agung untuk segera memasukkan ke penjara terhadap 100 koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap atau yang melarikan diri.

“100 hari ada 100 koruptor yang ditangkap, ini suatu yang masuk akal,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho, dalam paparannya, di Warung Daun, Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2014).

Emerson menuturkan, dalam temuan yang diperoleh ICW, dalam satu semester, ada sekitar 200 kasus korupsi yang terjadi. Menurutnya, dengan adanya sekitar 300 kejaksaan negeri, 33 kejaksaan tinggi, dan satu kejaksaan agung, maka memenjarakan 100 koruptor dalam program 100 hari presiden terpilih dapat terlaksana.

“Kalau satu kejaksaan tinggi ada 3 kasus korupsi yang ditangani, saya pikir akan bisa dilaksanakan,” ujar Emerson.

Meskipun demikian, Emerson menegaskan bahwa ICW tidak fokus pada kuantitas, melainkan pada kualitas. 100 koruptor yang ditangkap harus koruptor yang memiliki kasus yang besar.
Emerson juga meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri agar bekerja secara maksimal dalam menangani kasus korupsi tersebut. Menurutnya, perlu adanya komitmen yang tegas dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian agar usulan ini dapat terlaksana.

“Sepanjang Jaksa Agung-nya betul. Sepanjang Kapolri-nya betul, mau bekerja dengan maksimal, itu bisa dilakukan,” harap Emerson.

Sebelumnya, ICW mengusulkan 20 agenda kerja memberantas korupsi kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk dimasukkan dalam program kerja 100 hari. Hal itu dilakukan guna mendukung pemerintahan baru untuk mencegah dan melawan korupsi.

“Untuk itu kami coba membantu pemerintahan akan datang dalam memberantas korupsi melalui usulan 20 agenda ini,” ujar Koordinator Badan Pekerja ICW, Ade Irawan, dalam paparannya, di Warung Daun, Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa. (Kompas.com)

Temuan Uji Akses Pemilu 2014

Temuan Uji Akses Pemilu 2014

Tangerang, Temuan umum  uji akses pada penyelenggaraan pemilu 2014 dikemukakan peneliti Indonesia Parliamentary Center, Erik Kurniawan. Ia menyampaikan kondisi keterbukaan informasi di Pemilu 2014 pada Workshop Menggali Pembelajaran Hasil Uji Akses di Serpong, 14-16 Agustus 2014 di Hotel Ara Gading, Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten.

Erik merinci beberapa persoalan kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan Daerah hasil penelitian di Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Menurut dia, persoalan itu adalah masih belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Pada poin ini menurut Erik, semua KPU, baik pusat maupun daerah belum membentuk PPID, kecuali di KPU Banda Aceh. “SK pengangkatannya sudah ada. Itu sebenarnya bisa jadi role model,” katanya.

Erik menjelaskan, KPUD Banda Aceh memiliki PPID disebebkan adanya peran-peran pemerintah yang mendorong semua unit untuk memiliki PPID dan. Kedua, dia selalu aktif memberikan informasi-informasi yang dishasilkan. “Nah, itu yang menyebabkan KPUD Banda Aceh memiliki PPID. Di samping itu paradigma komisionernya cukup baik terkait keterbukaan informasi,” tambahnya.

Poin persoalan kedua, belum ada Standar Operating Prosedure (SOP) Pelayanan Informasi. Menurut Erik, di empat wilayah penelitian itu tidak ada yang berjalan SOP-nya. Ini yang kemudian memunculkan beberapa dampak uji akses. “Ketika itu diajukan lewat individu, responnya beragam, ada yang ditolak, direspon, lho kok warga negara berhak menanyakan hal itu? Kamu sebenarnya dari mana?  Kalau mengajukan data itu, kamu bikin organisasi dulu,” ungkapnya menirukan respon KPUD.

Ketiga, daftar Informasi Publik belum ada. Keempat, dukungan kesekretariatan yang masih minim. Kelima, kendala koordinasi antara komisioner dan sekretariat.” Yang terakhir ini bukan persoalan keterbukaan informasi saja yang muncul, tapi dalam aspek penyelenggaraan pemilu,” katanya.

Meski demikian, Erik menyebutkan pada Komisi Pemilihan Umum Pusat ada kesadaran keterbukaan informasi dengan membuka dokumen c1, tapi sayangnya UU Keterbukaan Informasi Publik belum menjadi platform keterbukaan di KPU.

Sementara dari sisi aktor Erik membidik tiga peran, yaitu penyelenggara pemilu, kedua organisasi masyarakat sipil dan komisi Informasi. Dari sisi penyelenggara pemilu sangat disadari terasa ketika periode KPU 2012 2017, meski pemahaman keterbukaan informasi dinilai minim, tapi ada komitmen di pusat dan daerah untuk keterbukaan informasi. “Kesdaran itu yang muncul,” katanya.

Kedua, peran organisasi masyarakat sipil masih sangat rendah. Tapi setidaknya ada dua peran yang dijalankan dalam konteks mondorong keterbukaan informasi publik. “Mereka jadi aktor langsung dalam uji akses kepada KPU.” Dalam hal ini Erik menyebutkan misalnya yang dilakukan IPC melalui mitranya yaitu Mata Aceh, Yasmib Sulawesi Selatan, KIPP Jawa Timur.

Yang kedua, peran organisasi mayarakat sipil yang menjadi simpul penyebar informasi. Informasi itu dia kelola, disampaikan dan disebarkan ke masyarkat sesuai bidang-bidangnya yang diakses, ada yang anggaran, ada data kandidat, data pemilih. “Itu produk informasi KPU sebenarnya, tapi yang minta temana-teman.” (AA)

KI Pusat: Komisi Informasi Butuh Kemandirian Administrasi dan SDM

KI Pusat: Komisi Informasi Butuh Kemandirian Administrasi dan SDM

Jakarta,- Komisioner Komisi Informasi Pusat Yhannu Setiawan mengatakan salah satu tugas Komisi Informasi adalah menyelesaikan sengketa informasi. Tugas seperti itu membutuhkan kemandirian administrasi untuk pembiayaan serta sumber daya manusia.

“Kita tidak bisa memilih orang-orang kapabilitasnya, kapasitasnya sesuai dengan penyelesaian sengketa,” katanya kepada kebebesaninformasi.org ketika ditemui selepas diskusi bertajuk “Ahli HTN: Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi” yang difasilitasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Harris, Jakarta, Rabu siang, (20/8).

Menurut Yhanu, hal itu terjadi karena struktur organisasi di Komisi Informasi Pusat masih diatur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Ada beberapa struktur organ yang kosong dan itu sampai sekarang beberapa waktu belum terisi. Begitu. Nah, tugas-tugas ini memang harus dilakukan oleh orang yang punya kapabilitas dan potensi yang cukup sehingga akan lebih profesional,” jelasnya.

Hal-hal semacam ini, kata dia, kerap kali menjadi persoalan tersendiri buat KI Pusat. “Kita bicara soal apa namanya, komitmen pegawai. Memang dia tidak dalam otoritas Komisi Informasi secara kelembagaan komisioner, maka dia tunduk kepada sekretaris, sekretaris tunduk pada Kominfo. Ini yang jadi persoalan,” tambahnya.

Menurut dia, KI Pusat membutuhkan satu dukungan SDM yang memiliki loyalitas kepada kelembagaan Komisi Informasi karena selama ini performa mereka menunjukkan pegawai Kominfo ketimbang KI Pusat.

Persoalan  KI Pusat semacam itu, tambah Yhanu, dalam beberapa komunikasi yang sifatnya formal dan diskusi-diskusi informal disampaikan kepad Kominfo atau Sekjen Kominfo. Tapi sayangnya, semua berujung kepada ketersediaan pegawai.

“Belum lagi terkait misalnya dengan pengelolaan budeget. Posting budget, tentu kan kita punya ukuran, bahwa untuk melahirkan satu institusi yang profesional, kita membutuhkan ABCD yang ternyata tidak bisa sama ukurannya. Ukuran yang dimiliki oleh pegawai Kominfo itu terlaksananya tugas-tugas mereka, sedangkan kita selesainya sengketa. Jadi kan akhirnya berbeda,” ujarnya. (AA)