Ahmad Alamsyah Saragih
Subjek penguasa informasi dalam Undang-Undang yang mengatur tentang akses atau hak atas informasi di berbagai negara disebut dengan beragam istilah sesuai dengan lingkup masing-masing. Ada yang menyebutnya sebagai Public Authority,[1] Government Institution,[2] dsb. Di Indonesia UU KIP menyebutnya sebagai Badan Publik.
Pasal 1 angka 3:
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Lingkup Badan Publik yang diatur oleh Undang-undang ini cukup luas. Ini yang menyebabkan dalam banyak hal, sering terjadi kesalahan persepsi yang mempersempitnya menjadi Badan Hukum Publik. Badan Publik mencakup badan-badan atau organisasi yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum (badan hukum publik dan badan hukum perdata) yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur pada ketentuan di atas.
Jika dicermati secara gramatikal definisi Badan Publik berdasarkan UU KIP dapat dipecah menjadi beberapa frasa yang menghasilkan tiga kriteria untuk Badan Publik yang tidak bersifat kumulatif. Ketiga kriteria tersebut menentukan apa yang sering disebut sebagai Badan Publik Negara dan Badan Publik selain Badan Publik Negara. Beberapa kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Kriteria-1:
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
Kriteria-2:
badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau
Kriteria-3:
organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Pada kriteria pertama yang digunakan sebagai batasan adalah cabang-cabang penyelenggara kekuasaan negara, baik tingkat pusat maupun daerah. Kriteria pertama ini umumnya dianggap cukup jelas, dan hampir tidak pernah terjadi perdebatan yang berarti, bahkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Kontroversi mulai terjadi pada kriteria kedua, yang memasukkan badan lain berdasarkan kriteria fungsi dan sumber pendanaan sebagai satu kesatuan. Dapat dimengerti bahwa yang dimaksud dengan badan lain adalah badan hukum. Frasa ‘fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara’ relatif mudah dipahami. Namun membatasinya dengan ‘sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/ABD’ sebagai syarat kumulatif telah menyebabkan beberapa badan hukum yang memenuhi syarat dari fungsi tapi beranggapan tidak memenuhi syarat dari sisi pendanaan, seperti BUMN/BUMD, Bank Indonesia (BI), dan beberapa Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Kontroversi berikutnya menyangkut Organisasi Non Pemerintah berdasarkan kriteria ketiga. Apakah Organisasi Non Pemerintah mencakup juga perusahaan swasta? Bagaimana dengan perusahaan yang sedang melakukan hubungan kontraktual dalam pengadaan barang dan jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD? Apa yang dimaksud dengan sumbangan masyarakat? Berbagai pertanyaan tersebut telah melahirkan silang pendapat terkait status Badan Publik yang termasuk dalam kategori Organisasi Non Pemerintah.
Masuknya persyaratan sumber pembiayaan ke dalam kriteria menjadikan perumusan Badan Publik di Indonesia relatif berbeda dengan banyak negara yang memiliki Undang-Undang serupa. Dalam pembahasan RUU KMIP, paling tidak ada dua alasan: pertama, adalah akomodasi terhadap spirit anti korupsi dan akuntabilitas; dan kedua adalah keinginan politis untuk mengawasi intervensi asing melalui LSM di Indonesia.
Sofyan A. Djalil, S.H., MA., MALD (Menteri Kominfo): Pemerintah sangat sepakat dalam rangka kita menciptakan good government… semua masyarakat kita penting sekali ada akuntabilitas, karena akuntabilitas itulah yang menciptakan kita menjadi bertanggung jawab… Tujuannya adalah supaya tadi kita mengetahui dana itu digunakan untuk apa, dari mana digunakan untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembaga-lembaga terutama LSM… LSM mendapatkan sumbangan dari luar negeri bisa jadi itu adalah masalah, dalam rangka kita sulit bersaing, … ada LSM misalnya mempromosikan luar biasa untuk kepentingan publik, tapi sebenarnya di balik itu ada sadar atau tidak sadar membawa kepentingan yang sebenarnya not interest for our country. Oleh sebab itu, ini perlu kita masukkan Bapak Ibu sekalian. (hal. 32-33); Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006.
Alasan yang pertama dapat dipahami karena korupsi dan akuntabilitas merupakan isu sentral sejak Indonesia melakukan reformasi. Namun alasan kedua, relatif sulit dicerna akal sehat. Apakah ada LSM yang menerima dana asing mau berterus terang mencantumkan tujuannya untuk merusak kepentingan negara ketika dimintai informasi? Mungkin untuk mengatasi isu ini, jika memang secara faktual terjadi, diperlukan skema yang lebih efektif dibandingkan Undang-Undang ini. Terlepas dari itu semua, alasan ini berharga sebagai catatan sejarah atas pertanyaan mengapa rumusan ini dibuat dan sebagai salah satu bentuk kebebasan berpendapat.
Kontroversi Status BUMN/D
Dalam rancangan inisiatif DPR, BUMN dan BUMD termasuk sebagai Badan Publik. Sebaliknya, Pemerintah mengusulkan ketentuan tentang Badan Publik tidak memasukkan BUMN dan BUMD ke dalam rumusan. [3]
Pada awal pembahasan, Pemerintah menyatakan alasan tidak memasukkan BUMN ke dalam badan Publik karena sudah diatur secara khusus, dan lagi keterbukaan informasi di BUMN dapat merugikan daya saing BUMN.
Sofyan A. Djalil (Menteri Kominfo): ‘… kami mengusulkan supaya ini tidak dimasukan karena BUMN dan BUMD badan usaha swasta, bahwa sistem akuntansinya dia mempunyai mekanisme korporasi. Ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, kalau BUMN publik, Akuntan Publik. … kalau Bapak melihat akibat dari Undang-Undang Keuangan Negara yang salah kaprah terlalu mendefinisikan, lebih mundur dari ICW (maksudnya Indische Comptabiliteit Wet, UU Keuangan Negara—editor), IBW (Indische Bedrijvenwet, peraturan keuangan perusahaan negara—editor) hari ini BUMN sangat-sangat sulit. Bahwa Bank-bank BUMN, karena laporan auditnya dimasukkan ke website sekarang, kreditur-kreditur besar keluar dari BUMN…. Oleh sebab itu Bapak yang terhormat, Pemerintah mengusulkan untuk Badan BUMN kita atur dengan Undang-Undang yang lain. Biarlah mereka tertutup dari security informasi publik, kecuali dengan mekanisme yang wajar dalam sistim akuntansi kita.’ [4]
Seluruh anggota DPR yang hadir dalam Raker mengemukakan pendapat yang intinya belum bisa menerima alasan Pemerintah untuk tidak memasukkan BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik. Bagaimanapun BUMN berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan negara. Kekhawatiran Pemerintah terhadap resiko terganggunya daya saing BUMN dapat diproteksi dengan memasukkan informasi-informasi di BUMN yang beresiko tersebut ke dalam informasi yang dikecualikan dalam Undang-Undang ini.
Pembahasan mengenai hal ini paling menyita energi. Rapat pembahasan berkali-kali gagal mencapai kesepakatan di tahap Raker dan Panja. Pembahasan mencapai situasi ‘apologetik’ karena bersandar pada ‘keyakinan’. Saat itu, masing-masing pihak cenderung terlihat mencari justifikasi atas argumen dan kesulitan mencari titik temu normatif.
Pemerintah meyakini bahwa ‘BUMN adalah Badan Hukum yang murni melakukan fungsi-fungsi privat dan tunduk pada rezim korporasi (hukum privat)’, sedangkan anggota DPR yang hadir meyakini ‘BUMN adalah badan hukum yang melakukan fungsi ganda, fungsi penyelenggaraan negara (publik) dan fungsi privat. Untuk itu dalam hal tertentu, terkait fungsi publiknya, ia harus tunduk pada rezim hukum publik’.
Drs. Djoko Susilo, MA (F-PAN): ‘… tidak mendukung pak untuk didrop BUMN dan BUMD. Kalau kemudian yang dikhawatirkan soal strategi-strategi perusahaan, saya kira itu informasi yang bisa ditolak… Jadi memang informasi-informasi itu sendiri ada yang legitimate untuk diberikan atau tidak diberikan. Jadi kekuatiran bahwa nanti rahasia perusahaan akan terbuka, saya kira tidak masuk akal. Justru kalau adanya BUMN dan BUMD ini kita masukan, maka transparansi dan dalam pengelolaan perusahaan negara itu akan lebih bagus. Demikian juga keputusan-keputusan yang diambil akan bisa lebih rasional…’ [5]
Akhirnya disepakati untuk dilakukan pembahasan tertutup. Hanya diketahui bahwa rumusan yang ada sekarang adalah rumusan berdasarkan hasil pertemuan tertutup dan dirancang oleh Tim Perumus (Anotasi UU KIP, 2009).[6] Rapat tertutup tersebut juga menghasilkan kesepakatan bahwa untuk BUMN, Organisasi Non Pemerintah dan Partai Politik dimasukkan ketentuan khusus dalam UU KIP. Kesepakatan ini melahirkan Pasal 14, 15 dan 16 yang dimasukkan pada Bagian yang mengatur ‘Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat’ dalam UU KIP.
Kembali kepada ketentuan mengenai Badan Publik, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, adalah posisi atau kedudukan lembaga tersebut. Kedua, kombinasi antara keterkaitan fungsi lembaga tersebut dengan penyelenggaraan negara (urusan publik) dan sumber pendanaan. Pertimbangan kedua harus dikaitkan dengan salah satu tujuan keterbukaan informasi adalah untuk mendorong akuntabilitas.
Pasal Misterius di Balik Kontroversi BUMN
Pada saat tulisan ini dibuat, belum diperoleh hasil tertulis dari rapat tertutup. Risalah rapat tertutup biasanya hanya memuat sesuatu yang patut diketahui publik, dan tidak memasukkan hal yang tidak untuk diketahui. Satu hal yang masih menjadi misteri adalah bahwa meskipun dalam pembahasan tercatat bahwa akan dilakukan rapat terbatas terkait masalah BUMN dan BUMD, tidak diketahui mengapa pada rumusan terakhir ada pasal tambahan yang semula tidak ada dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) rancangan DPR dan usulan Pemerintah. Pasal tersebut adalah pasal 18 ayat (3) sampai dengan (7). [7]
Tidak diketahui persis apakah pasal ini ada kaitannya dengan memasukkan BUMN dan BUMD ke dalam UU KIP atau tidak. Agak sulit memahami maksud pasal tersebut. Dinyatakan bahwa untuk kepentingan persidangan perkara pidana dan perdata di pengadilan, pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 UU KIP, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau Pimpinan lembaga negara penegak hukum lainnya yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang dapat dilakukan dengan mengajukan izin kepada Presiden.
Pasal ini berpotensi menimbulkan kerancuan dengan Undang-Undang lain yang mengatur lembaga peradilan, terutama menyangkut relevansi Kepala Kepolisian dan Ketua MA untuk membuka informasi. Kepolisian bukan pihak yang aktif di persidangan, tapi jaksa selaku penuntut umum, hakim atau terdakwa yang membutuhkannya.
Dalam perkara pidana, kemungkinan hakim akan meminta jaksa memberikan bukti-bukti pendukung guna memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutus perkara. Dengan demikian, permohonan izin lebih masuk akal oleh jaksa melalui Jaksa Agung, tidak oleh pengadilan melalui Ketua MA.
Lebih mendasar, rumusan ini memposisikan Presiden menjadi pemutus terakhir boleh tidaknya informasi yang dikecualikan tersebut dibuka dalam persidangan. Hal ini menimbulkan potensi campur tangan Presiden terhadap lembaga yudikatif.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas pasal-pasal tersebut secara mendalam, namun diperlukan penafsiran yang membatasinya. Apalagi pada bagian Penjelasan hanya dinyatakan ‘cukup jelas’ dan dalam Risalah Pembahasan RUU KMIP di DPR tidak ditemukan pembahasan tentang pasal ini.
Pertama, harus ditafsirkan bahwa ketentuan ini berlaku jika persidangan untuk pemeriksaan informasi dikecualikan yang harus bersifat tertutup sebagaimana diatur oleh UU KIP ingin dilaksanakan secara terbuka. Kedua, Keputusan Presiden, baik mengabulkan maupun menolak, tidak bersifat mutlak dan dapat di-challenge oleh pihak yang berkepentingan di pengadilan (Anotasi UU KIP, 2009).[8]
Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada persidangan di pengadilan yang terkendala oleh pasal ini. Bagaimanapun pasal ini masih menyisakan misteri sampai suatu saat ada pihak berkepentingan yang membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian.
Penyakit Menular: Anggaran Negara dan Sumbangan Masyarakat
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kriteria kedua lingkup Badan Publik sesuai UU KIP juga mensyaratkan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran negara. Hal ini telah menyebabkan beberapa polemik di awal pelaksanaan UU KIP.
#Polemik pertama: Apakah suatu badan hukum yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara namun pendanaannya tidak berasal dari Anggaran Negara tidak termasuk Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP?
Polemik pertama muncul ketika terjadi sengketa informasi yang melibatkan Bank Indonesia sebagai Termohon Informasi. Kriteria kedua dinyatakan tidak dapat dipenuhi secara utuh, karena meskipun Bank Indonesia melakukan fungsi penyelenggaraan negara, sumber pendanaan Bank Indonesia tidak berasal dari APBN. Pertanyaan yang sama diajukan oleh beberapa BUMN. Berbeda dengan BUMN atau BUMD yang secara eksplisit telah masuk dalam Pasal 16 UU KIP, Bank Indonesia tidak masuk dalam pasal khusus.
Setelah amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, Bank Indonesia secara tegas bukan merupakan bagian dari Pemerintah. Hal ini berbeda dengan sebelum terjadi amandemen, dimana BI dilihat sebagai bagian dari Pemerintah. Setelah amandemen BI masuk dalam kategori lembaga negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance (Jimly, 2006).[9] Kini BI bukan merupakan lembaga negara independen yang bukan merupakan bagian dari eksekutif, legislatif atau yudikatif.
Sumber pendanaan awal Bank Indonesia berasal dari nasionalisasi aset De Javasche Bank NV, yang diatur melalui UU No. 24 Tahun 1951. Undang-Undang ini mengatur penggantian kerugian pemilik saham, baik yang berwarga negara Belanda maupun warga negara Indonesia oleh Pemerintah.[10]
Setelah amademen UUD 1945, diupayakan penguatan terhadap independensi BI. Untuk itu dibuat UU No. Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Melalui Undang-Undang ini, modal Bank Indonesia menjadi kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN.
Penjelasan Pasal 4 ayat (3):
Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-undang ini dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1):
Modal Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ini berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral sebelum Undang-undang ini diberlakukan.
Melihat sangat strategisnya fungsi Bank Indonesia sebagai salah satu penyelenggara negara, maka sangatlah tidak logis jika Bank Indonesia bukan Badan Publik. Namun karena tidak ada sumber pendanaan yang berasal dari APBN, sebagian pihak mempertanyakan apakah BI adalah Badan Publik yang terkena kewajiban sebagaimana diatur oleh UU KIP.
Meski demikian, tak tertutup kemungkinan BI menerima dana yang berasal dari Anggaran Negara. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan bahwa BI dapat menerima dana dari pemerintah untuk dua kondisi, yakni: apabila terjadi kekurangan modal menjadi di bawah Rp. 2 triliun,[11] atau pembebanan atas fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan berdampak sistemik.[12]
Dengan demikian sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat menerima APBN. Menjadi semakin tidak rasional jika BI hanya dikenai kewajiban menjalankan UU KIP ketika menerima APBN dan kemudian terlepas dari kewajiban manakala bantuan yang bersumber dari APBN tersebut telah dikembalikan. Hal ini bertentangan dengan tujuan mendorong akuntabilitas di lembaga penyelenggara negara yang telah berkali-kali ditegaskan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang ini.[13]
Tafsir gramatikal atas sumber pendanaan yang berasal dari APBN sebagai kriteria yang menentukan apakah Bank Indonesia termasuk sebagai Badan Publik menjadi sangat lemah. Hal ini akan merusak kepastian kriteria Badan Publik.
Kesimpulan: Berdasarkan pertimbangan dan interpretasi sistematik di atas Bank Indonesia termasuk dalam Badan Publik yang berkewajiban menjalankan UU KIP.
Polemik yang sama berlanjut ke Badan Hukum Milik Negara yang bernama BP-Migas. Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) selaku Pemohon Informasi meminta Informasi salinan dokumen Kontrak Bagi Hasil Migas antara Indonesia dengan PT Chevron Pacific yang dokumennya dikuasai oleh BP Migas.
BP Migas menolak memberikan dengan alasan: BP-Migas adalah Badan Hukum Milik Negara yang tidak pernah mendapatkan APBN sehingga bukan merupakan Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP. Oleh karenanya BP Migas tidak berkewajiban memberikan informasi sesuai prosedur yang diatur oleh UU KIP.
Akibat penolakan tersebut, YP2IP mendaftarkan permohonan penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi Pusat. Dalam putusan, Majelis Komisioner berpendapat lain. BP Migas dinyatakan sebagai Badan Publik karena merupakan kuasa dari Pemerintah dalam mengadakan kontrak bagi hasil dengan para perusahaan pelaksana.
BP Migas merupakan Badan Publik karena menjadi bagian dari eksekutif (kriteria pertama),[14] sehingga tidak perlu dibuktikan apakah BP-Migas menerima Anggaran Negara atau tidak (kriteria kedua). Atas putusan Majelis, BP Migas menyatakan keberatan dan kemudian melanjutkan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hingga tulisan ini dibuat, putusan atas perkara BP Migas belum berkekuatan hukum tetap.
Di tengah perjalanan kasus ini, 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi ‘membubarkan’ BP Migas setelah menyatakan dasar hukum keberadaan BP Migas bertentangan dengan Konstitusi. Pemerintah langsung bergerak cepat mengubah nama lembaga ini menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dapat dipastikan merupakan Badan Publik.
Kesimpulan: BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memiliki fungsi regulator (penyelenggaraan negara), dan dalam berkontrak, BP Migas bertindak mewakili negara, sehingga masuk dalam kategori Badan Publik.
#Polemik kedua: Apakah jika suatu Badan Usaha Milik Negara dengan penyertaan modal Pemerintah sebagai harta kekayaan negara yang dipisahkan termasuk Badan Publik? Sejauh mana kewajibannya dalam menjalankan apa yang diatur oleh UU KIP?
Memperhatikan perkembangan di berbagai negara, ada dua hal yang menjadi kriteria suatu State Owned Enterprises (SOE) yang dikenal di Indonesia sebagai BUMN untuk dinyatakan masuk sebagai Badan Publik. Pertama, adalah kewenangan administrasi publik. Kewenangan administrasi publik di beberapa negara dimaknai sebagai kewenangan untuk mengatur (regulatory function), termasuk di dalamnya ‘pengaturan’ mengenai penerapan standar tertentu. Jika suatu korporsi diberi mandat untuk melakukan fungsi pengaturan oleh negara, dapat dipastikan dalam hal tersebut ia berfungsi sebagai badan publik.
Pemberlakukan akses publik terhadap Badan Usaha Milik Negara maupun Swasta yang menjalankan ‘kewenangan administratif’ atau ‘fungsi publik’ terdapat di hampir semua negara eropa, kecuali Inggris. Di Afrika ditemukan di Angola dan Afrika Selatan. Di benua Amerika ditemukan di Kanada, Antiqua and Barbuda, Belize, Republik Dominika, Equador, Peru, Trinidad dan Tobago. Di Asia Pasifik, dapat ditemukan di Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan.
Kedua, adalah mengelola dana publik. UU KIP juga menggunakan kriteria sumber pedanaan dari APBN dan sumbangan masyarakat maupun luar negeri sehingga suatu organisasi non pemerintah layak dikategorikan sebagai Badan Publik. Namun demikian tidak ada ketentuan yang yang menyatakan ‘dalam jumlah berarti’.
Kriteria tersebut seringkali mengundang perdebatan pada awal pemberlakuan Undang-Undang. Beberapa negara akhirnya menindaklanjutinya dengan pengaturan yang lebih khusus. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas batasan kapan korporasi menjalankan status sebagai Badan Publik, dengan maksud: (a) memberikan akses terhadap publik untuk mengetahui akuntabilitas dana publik yang dialokasikan dalam jumlah yang sangat berarti; (b) memastikan bahwa Badan Usaha tersebut menerima dan mengelola dana sesuai dengan fungsi publik yang diamanatkan;
Beberapa negara menerapkan kriteria fungsi publik dan menerima dana publik secara bersamaan, dan sebagian yang lain hanya membatasinya dengan fungsi publik. Belakangan ada kecenderungan untuk memasukkan Badan Usaha Swasta yang menerima dana publik sepanjang dana tersebut dimaksudkan untuk menjalankan fungsi pengelolaan urusan publik tertentu berdasarkan penugasan oleh negara.
Ada pula negara yang memperluas batasan, yakni ketika suatu badan usaha mengelola sesuatu yang berkaitan dengan ‘kepentingan publik’. Armenia adalah contoh untuk ini. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan publik di sini mencakup pengelolaan sarana transportasi, komunikasi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, dan pelayanan-pelayanan publik lainnya yang dinyatkan sebagai tanggung jawab negara.
Perluasan batasan ini dinilai banyak pihak masuk akal, karena bermanfaat untuk mengurangi ketidakpastan yang disebabkan oleh kelemahan dalam perjanjian yang mengatur fungsi-fungsi publik yang harus dijalankan oleh Badan Usaha tersebut.
Berbagai kriteria tersebut tentunya harus diatur dengan mempertimbankan pemenuhan keadilan dalam dua hal: publik sebagai pemanfaat layanan dan Badan Usaha dalam menjalankan fungsi-fungsi bisnisnya. Dalam berbagai kasus, peran lembaga pemutus (a.l: komisi informasi) diperlukan untuk memastikan dan mempertajam batasan dua hal tersebut ketika terjadi perbedaan persepsi.
Di Indonesia, meski Negara melalui Pemerintah melakukan penyertaan modal terhadap BUMN PT, namun penyertaan modal negara tersebut memiliki tujuan bisnis (privat), bukan tujuan penyelenggaraan negara (publik). Dalam konteks ini kriteria kedua dari ketentuan Badan Publik tak terpenuhi.
Namun dalam konteks tertentu, BUMN PT akan berstatus sebagai Badan Publik jika informasi yang diminta terkait fungsi mereka dalam penyelenggaraan negara. Untuk memudahkan, BUMN PT dapat berstatus sebagai Badan Publik ketika sedang menerima mandat untuk menjalankan Public Service Obligation (PSO) tertentu.
Hal lain yang perlu diperhatikan apakah BUMN PT tersebut sedang menjalankan praktik monopoli yang didukung oleh aturan, sehingga tak ada pelaku bisnis lain yang bisa masuk ke sektor tersebut (mandatory monopoly). Jika hal ini terjadi maka BUMN PT tersebut tetap berstatus sebagai Badan Publik.
Sengketa informasi ke BUMN mulai terjadi dengan diberlakukan UU KIP. Seorang Pemohon meminta informasi mengenai daftar penerima kredit UKM Bank Mandiri, baik yang berstatus lancar maupun yang tidak lancar.
Bank Mandiri sebagai Bank BUMN pada prinsipnya merupakan perseroan terbatas milik negara yang menjalankan fungsi bisnis sama dengan bank swasta lain. Pemberian kredit UKM tersebut merupakan program pemerintah yang bersumber dari APBN dan disalurkan melalu Bank Mandiri, sehingga Bank Mandiri sedang berstatus menyelenggarakan urusan publik. Oleh karenanya, Bank Mandiri memiliki kewajiban untuk mengelola informasi terkait berdasarkan UU KIP.
Meski demikian, apakah informasi dapat diberikan atau tidak kepada Pemohon akan sangat bergantung dari hasil uji konsekuensi bahaya yang dilakukan sebagaimana diatur oleh UU KIP.
Kesimpulan: BUMN PT hanya akan berstatus sebagai Badan Publik apa bila informasi yang diminta menyangkut fungsi penyelenggaraan negara (public service obligation) yang sedang dijalankan, atau BUMN PT tersebut dalam kondisi mandatory monopoly. Dalam menyelenggarakan fungsi bisnisnya BUMN PT berstatus sama dengan korporasi swasta umumnya yang tidak dikenai kewajiban menjalankan UU KIP.
#Polemik ketiga: Apakah jika suatu badan hukum privat pernah menerima anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat maka ia secara otomatis berstatus sebagai Badan Publik sesuai UU KIP? Jika termasuk Badan Publik, sejauh mana kewajibannya dalam menjalankan apa yang diatur oleh UU KIP?
Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI) suatu asosiasi profesi menjadi Termohon informasi dalam sengketa yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat.[15] Berbeda dengan beberapa Badan Hukum yang telah disebutkan di atas, AISI tidak memiliki keterkaitan fungsi dengan penyelenggaraan negara.
Dalam pertimbangan putusan dua anggota Majelis Komisioner berpendapat bahwa AISI adalah Badan Publik karena pernah menerima dana yang bersumber dari APBN senilai Rp. 8 juta. Sementara satu anggota Majelis Komisioner (Ramly Amin Simbolon) memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Alasannya adalah bahwa penerimaan dana tersebut hanya berjumlah Rp. 8 juta dan tidak diterima secara periodik (hanya sekali), sehingga tidak relevan untuk dinyatakan sama dengan apa yang dimaksud dengan frasa: ‘yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD’ pada pasal 1 angka 3 UU KIP’.
Kontroversi lain terkait dengan parameter sumbangan kepada organisasi non pemerintah. Sesuai kriteria ketiga, setiap organisasi non pemerintah yang menerima sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri dinyatakan oleh UU KIP sebagai Badan Publik. Sumbangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai berikut:
KBBI:
sum·bang·an n 1 pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan dsb); penyolok; 2 bantuan; sokongan;
– manasuka: sumbangan sukarela; – wajib: sumbangan berupa uang dsb yg harus dibayar.
Dalam pembahasan RUU KMIP, kriteria sumbangan masyarakat dimasukkan dengan tujuan mendorong keterbukaan informasi pada organisasi-organisasi yang menerima dan mengelola sumbangan masyarakat yang tidak mengikat. Tujuannya adalah mingkatkan akuntabilitas publik institusi. Setidaknya ada dua pendapat yang dilontarkan pada saat rapat pembahasan:
Sofyan A. Djalil (Menteri Kominfo): ‘Sekarang ada yayasan yang laporan keuangannya diaudit dan ditaruh di website,… Mahasiswa saya S3, S2 melakukan studi tentang Badan Pengelola Zakat. Ada sebelas Badan Amil Zakat… yang bagus hanya empat, yang dapat dipertahankan dari segi akuntabilitas… ternyata lembaga yang ambil zakat yang bagus, empat ini, dari tahun ke tahun pertumbuhannya 200-300%. Itu penting sekali ada akuntabilitas… [16]
Bachrum R. Siregar, SE (F-PBR): ‘Ini contoh nyata sewaktu Metro TV mengumpulkan dana untuk masyarakat Aceh itu. Cukup besar dana yang dikumpulkan, mencapai 160 sekian milyar. Pada waktu itu saya di Satkorlak, kita pun tidak bisa mengakses dana itu digunakan untuk apa. Itu tidak bisa, sehingga bisa saja kalau dana 160 lebih digunakan untuk membangun sekolah, membangun apa yang jumlahnya tidak tahu, apakah digunakan semua atau tidak. Saya rasa merupakan hak publik juga untuk mengetahui itu, sehingga saya cenderung mendukung apa yang disampaikan Pak Usamah khusus mengenai sumbangan yang dihimpun dari masyarakat juga harus dapat diakses yang dihimpun oleh lembaga-lembaga lain’. [17]
Dari risalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumbangan masyarakat yang dimaksud adalah sumbangan sukarela, bukan sumbangan wajib atau iuran. Sumbangan yang dimaksud adalah pemberian dana yang tidak terkait dengan hak dan kewajiban anggota. Hal ini berbeda dengan iuran anggota atau sumbangan wajib sebagaimana yang dimaksud pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berimplikasi pada hak dan kewajiban anggota dalam organisasi.
UU KIP menyatakan lingkup organisasi non pemerintah yang berstatus Badan Publik dan dikenai kewajiban menjalankan UU KIP sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 16
Yang dimaksud dengan “organisasi nonpemerintah” adalah organisasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang meliputi perkumpulan, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/ APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Penjelasan Pasal 16 tersebut secara tekstual telah menyebabkan luasnya cakupan Badan Publik nonpemerintah. Pasal ini mengatur seluruh organisasi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, termasuk di dalamnya badan usaha nonpemerintah, sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari: anggaran negara, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang badan hukum. Pengaturan tentang badan hukum mengacu pada Undang-Undang yang secara khusus mengatur badan hukum tertentu, misalnya: UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik. Perdebatan teoritis tentang badan hukum bukan merupakan topik yang akan di bahas pada bagian ini.
Dalam persidangan ajudikasi dengan termohon AISI, sebagaimana telah dijelaskan di atas, sumbangan menjadi salah satu parameter yang digunakan oleh Majelis Komisioner untuk menentukan apakah AISI adalah Badan Publik atau tidak. Sumbangan yang dimaksud merupakan bantuan atau sokongan dari masyarakat.
Dalam AD/ART asosiasi ini, dinyatakan bahwa AISI boleh menerima sumbangan yang tidak mengikat. Dalam laporan keuangan sampai saat permintaan informasi dilakukan oleh Pemohon, AISI baru satu kali menerima sumbangan dari Pemerintah. Hal ini lebih merupakan kesalahan penyebutan. Adapun yang dimaksud sebenarnya adalah sumber pendanaan dari APBN senilai Rp. 8 juta untuk pembiayaan suatu kegiatan pada tahun 2008.
Tidak terlalu jelas dalam pertimbangan putusan apakah ketentuan dalam Anggaran Dasar tersebut juga telah menyebabkan dua anggota Majelis berpendapat bahwa setiap saat AISI dapat menerima bantuan yang tidak mengikat sehingga AISI adalah Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP (kriteria ketiga). Walaupun secara riil AISI belum menerima sumbangan dari masyarakat.
Kesimpulan: Meski belum direalisasikan, Asosiasi maupun badan hukum privat lainnya dengan AD/ART yang memperbolehkan menerima anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat dan luar negeri masuk dalam kategori Badan Publik. Sebagai Badan Publik ia memiliki kewajiban menjalankan UU KIP terkait dengan pengeloalaan anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat dan luar negeri tersebut.
#Polemik keempat: Apakah badan hukum privat yang melakukan hubungan kontraktual dengan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa publik secara otomatis juga berstatus sebagai Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP?
Dalam berbagai pertemuan yang membahas tentang kriteria Badan Publik nonpemerintah, kerap kali muncul polemik: apakah para penyedia barang dan jasa yang memenangkan lelang untuk suatu pekerjaan adalah juga Badan Publik? Dapat dipahami jika terjadi perbedaan pendapat.
Dalam kenyataan ada dua skema badan usaha nonpemerintah menerima dana yang berasal dari anggaran negara: pertama, terkait dengan penyediaan barang dan jasa yang diadakan oleh pemerintah (sebagai penyedia jasa). Kedua, menerima bantuan dana (sebagai pemanfaat) yang digunakan untuk mengembangkan usaha mereka (biasanya diberikan kepada UKM, usaha mikro, koperasi, usaha kelompok atau unit simpan pinjam yang ada di masyarakat). Bantuan dana yang sering dikenal dengan istilah bantuan sosial atau dana hibah biasanya diberikan kepada organisasi sosial yang badan hukumnya juga beragam.
Melihat dari sejarah pembahasan UU KIP, maka untuk skema pertama tentunya bukanlah yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Skema penyediaan barang dan jasa sudah diatur tersendiri. Badan usaha nonpemerintah yang masuk dalam kategori Badan Publik sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU KIP adalah badan usaha yang menerima dana dari pemerintah dengan skema bantuan, bukan skema penyediaan barang dan jasa.
Kesimpulan: Badan usaha yang menerima dana dari anggaran negara dalam rangka ‘penyediaan barang dan jasa’ bukanlah badan usaha nonpemerintah yang masuk dalam kategori Badan Publik sebagaimana diatur oleh UU KIP. Badan usaha ini murni melakukan hubungan bisnis (perdata), sehingga tidak dikenai kewajiban sebagaimana diatur oleh UU KIP. Pelayanan informasi terkait penggunaan dana dalam pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN tersebut menjadi kewajiban badan publik negara yang melakukan hubungan kontraktual dengan badan usaha tersebut.
———
[1] Lihat Freedom of Information Act, 2000, UK.
[2] Lihat Access to Information Act, R.S.C., 1985, c. A-1, Canada.
[3] Lihat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM-16) RUU KMIP Komisi I DPR RI: Rumusan DPR: ‘Badan publik adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan organisasi non-pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara atau anggaran daerah dan usaha swasta yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik lain dalam menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik.’; Rumusan Pemerintah: Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk ke dalam badan publik adalah organisasi non-pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan/atau institusi sosial dan/atau kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri.’
[4] DPR RI, Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006, hal. 32-33.
[5] DPR RI. Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006, hal. 34-35
[6] Komisi Informasi Pusat dan ICEL. Anotasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, edisi pertama, Jakrta, 2009, hal. 31
[7] Pasal 18 UU KIP: … (3) Dalam hal kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang dapat membuka informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j; (4) Pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara mengajukan permintaan izin kepada Presiden; (5) Permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kepentingan pemeriksaan perkara perdata yang berkaitan dengan keuangan atau kekayaan negara di pengadilan, permintaan izin diajukan oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara kepada Presiden; (6) Izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya, atau Ketua Mahkamah Agung; (7) Dengan mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dan kepentingan umum, Presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
[8] Ibid, hal. 220.
[9] Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretaris Jenderal MK RI, 2006, hal. 25.
[10] Lihat Pasal 2, 3 dan 5, UU No. 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV.
[11] Pasal 62 ayat (3), UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia: ‘Apabila modal menjadi kurang dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1, Pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’.
[12] Pasal 11 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia: ‘Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah’.
[13] Lihat Konsideran Menimbang huruf c UU KIP: ‘bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik’.
[14] Lihat Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 356/IX/KIP/PS-M-A/2011, YP2IP melawan BP Migas, Jakarta, 10 Juli 2011. Hal 16: ‘Par. (4.11) Menimbang bahwa berdasarkan fakta di persidangan: 1…. dst, 6. Bahwa BP Migas ini mewakili pemerintah. Kegiatan Migas ini padat karya dan padat modal. Karena itu, Kementerian ESDM melakukan tender dan setelah diperoleh pemenangnya dibuat kontrak kerjasama dan yang menandatangani adalah BP Migas. Sebelumnya fungsi menandatangani ada di Pertamina’; Par. (4.14) Menimbang bahwa dalam pelaksanaan tugasnya termohon merupakan wakil dari Pemerintah dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sehingga hal tersebut sudah merupakan tindakan lembaga eksekutif (wakil/representasi dari pemerintah) terkait dengan penyelenggaraan negara, dengan demikian unsur badan publik sudah terpenuhi.
[15] Lihat Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 089/III/KIP-PS-M-A/2012. PT Triyasa Pirsa Utama melawan Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI). Jakarta, 19 Desember 2012.
[16] DPR-RI, Komisi I, Risalah Raker RUU KMIP, 15 Mei 2006, hal. 41.
[17] DPR-RI, Komisi I, Rapat Panja RUU KMIP, Komisi I DPR RI, 29 Mei 2007, hal. 7-8.