Siaran Pers, 20 Maret 2025 Anggota DPR Mengabaikan Aturan Tata Tertib dalam Pembahasan RUU TNI, Akses FOINI Lapor ke MKD Ditutup

Siaran Pers, 20 Maret 2025 Anggota DPR Mengabaikan Aturan Tata Tertib dalam Pembahasan RUU TNI, Akses FOINI Lapor ke MKD Ditutup

Jakarta, 20 Maret 2025 – Proses revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama terkait minimnya transparansi dan dugaan pelanggaran terhadap prosedur legislasi yang diatur dalam Tata Tertib DPR RI. Revisi yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru ini tidak hanya mengancam prinsip akuntabilitas publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan DPR terhadap aturan internalnya sendiri.

Dalam proses legislasi, Tata Tertib DPR (Tatib) jelas mengatur bahwa setiap perubahan undang-undang harus melalui tahapan konsultasi publik yang memadai, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta dilakukan secara terbuka agar masyarakat dapat memberikan masukan. Namun, dalam kasus revisi UU TNI, proses ini berlangsung tanpa transparansi yang memadai. Publik dan kelompok masyarakat sipil nyaris tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi, sementara substansi perubahan yang diusulkan belum sepenuhnya terungkap ke publik.

“Kami melihat ada pola sistematis dalam revisi UU TNI ini, di mana DPR dan pemerintah justru menutup rapat diskusi dengan masyarakat. Ini adalah kemunduran serius dalam praktik demokrasi dan pengabaian terhadap prinsip keterbukaan yang seharusnya menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan publik,” ujar Arif dari Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI).

Selain itu, sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Tim Panja revisi UU TNI melakukan rapat diluar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan DPR tentang tata tertib pasal 254 ayat (1) bahwasanya rapat hanya bisa dilakukan di hari Senin sampai Jum’at namun yang terjadi Tim Panja DPR melakukan rapat diluar waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, DPR juga melanggar pasal 254 ayat (2) bahwa rapat DPR harus di dalam gedung DPR.

Kemudian agenda revisi UU TNI tidak masuk ke dalam prolegnas prioritas tahunan. Padahal, perubahan UU TNI memiliki dampak strategis terhadap tata kelola pertahanan dan relasi sipil-militer di Indonesia. Jika proses ini terus berlanjut tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka revisi ini berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil serta membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan.

Mengingat dampaknya yang besar, kami dari Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menuntut MKD DPR untuk segera:
•⁠ ⁠Menghentikan proses legislasi yang tidak transparan dan memastikan bahwa revisi ini dibahas secara terbuka, bukan dalam ruang tertutup yang hanya melibatkan segelintir elite politik.
•⁠ ⁠Memastikan DPR mematuhi Tata Tertib dan aturan perundang-undangan dalam setiap tahapan legislasi, sehingga tidak ada preseden buruk bagi proses demokrasi ke depan.
•⁠ ⁠Memecat anggota DPR yang tergabung dalam Panja revisi UU TNI, dikarenakan tidak taat terhadap peraturan DPR tentang tata tertib pembahasan revisi UU TNI.

Jika DPR tetap memaksakan revisi ini tanpa transparansi dan tanpa melibatkan publik, maka ini bukan hanya pelecehan terhadap prinsip demokrasi, tetapi juga pembangkangan terhadap aturan yang mereka buat sendiri. Revisi UU TNI harus berjalan dengan prinsip good governance; bukan menjadi contoh buruk dari praktik legislasi yang elitis dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Saat ini, koalisi FOINI sedang berupaya melaporkan seluruh anggota Panja Revisi UU TNI ke MKD. Akan tetapi akses masuk ke DPR pada tanggal 20 maret 2025 ditutup. Sehingga pelaporan ke MKD terhalangi.

Narahubung:
•⁠ ⁠Arif (0856-9372-0839) Indonesian Parliamentary Center
•⁠ ⁠M. Nur Ramadhan (085715458265) PSHK
•⁠ ⁠Gurnadi Ridwan (08567174713) seknas FITRA

Daftar Anggota FOINI
•⁠ ⁠Indonesian Parliamentary Center (IPC)
•⁠ ⁠Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)
•⁠ ⁠Forest Watch Indonesia (FWI)
•⁠ ⁠Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
•⁠ ⁠Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
•⁠ ⁠Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
•⁠ ⁠Gemawan
•⁠ ⁠YASMIB Sulawesi
•⁠ ⁠Indonesia Corruption Watch (ICW)
•⁠ ⁠Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi Nusa Tenggara Barat (SOMASI-NTB)
•⁠ ⁠Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
•⁠ ⁠Komite Pemantau Legislatif (Kopel)
•⁠ ⁠Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
•⁠ ⁠AJI
•⁠ ⁠Puspaham Sultra

White Policy Paper Penguatan Implementasi Keterbukaan Informasi Publik

White Policy Paper Penguatan Implementasi Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dibentuk sebagai bentuk pemenuhan hak atas informasi sesuai Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hingga tahun 2023, UU KIP telah diterapkan selama 13 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tujuan spesifik dan dampak-dampak dari penerapan keterbukaan informasi sebagaimana tertera dalam tujuan UU KIP belum tercapai dengan baik. Pasal 3 UU KIP menyebutkan bahwa UU ini bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik; mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Dari sejumlah tujuan di atas, tujuan spesifik yang dapat dicapai melalui UU KIP adalah meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Jika hal ini tercapai, maka diharapkan akan muncul sejumlah dampak sebagaimana tertera pada tujuan-tujuan dalam UU KIP, seperti partisipasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. Hasil monitoring dan evaluasi (Monev) Komisi Informasi yang memperlihatkan bahwa jumlah badan publik yang informatif masih sangat sedikit. Monev ini dilakukan dengan metode SAQ (self assessment questionnaire), pemantauan situs web, dan presentasi. Selebihnya bisa klik link berikut ini; Softfile White Policy Paper

 

 

Pers Rilis  Freedom Information of Network Indonesia Majelis Etik Permanen, Kebutuhan Mendesak bagi Integritas Komisi Informasi

Pers Rilis Freedom Information of Network Indonesia Majelis Etik Permanen, Kebutuhan Mendesak bagi Integritas Komisi Informasi

Selama dua belas tahun pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, keberadaan Komisi Informasi yang diamanahkan membangun iklim keterbukaan belum berjalan dengan maksimal. Ketiadaan peta jalan Komisi Informasi dalam konteks arah dan kebijakan pembangunan nasional menyebabkan lembaga ini seolah jalan di tempat.

Komisi Informasi Pusat periode pertama (2009-2013) telah membangun fondasi kelembagaan untuk mendukung fungsi dasar Komisi Informasi. Harapannya, Komisi Informasi Pusat periode berikutnya 2013-2017; periode 2017-2021; periode 2022-2026 melanjutkan penguatan fondasi kelembagaan disertai dengan penguatan peran strategis lembaga pada isu-isu publik. Namun, penguatan kelembagaan yang diharapkan belum berjalan dengan baik. Salah satu yang mendasar adalah pembentukan Majelis Etik.

Komisi Informasi Pusat pada periode pertama telah membentuk Keputusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia No. 01/KEP/KIP/VIII/2009. Beleid ini kemudian diperbaiki oleh Komisi Informasi Pusat pada periode kedua (2013-2016) melalui pembentukan Peraturan Komisi Informasi No. 3 Tahun 2016 tentang Kode Etik Komisi Informasi.

Pada praktiknya, karena sifatnya ad hoc dan berdasarkan pada keputusan pleno yang sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, keberadaan majelis etik, khususnya untuk Komisi Informasi Pusat, nyaris tak terdengar pembentukannya untuk merespon laporan publik. Padahal, ada berbagai isu berkaitan dengan pelanggaran prinsip pedoman perilaku yang dilakukan oleh oknum anggota Komisi Informasi, baik di pusat maupun daerah. Antara lain:

  • dugaan rangkap jabatan (KI Aceh[1], KI Pusat[2]);
  • dugaan perselingkuhan;
  • dugaan meninggalkan persidangan tanpa alasan yang dapat dibenarkan;
  • dugaan rekayasa kasus;
  • dugaan pengabaian konflik kepentingan dalam persidangan (KI Jabar[3]); dan
  • dugaan pengabaian tugas yang menjadi tanggung jawab divisi.

Kondisi di atas berpotensi menurunkan trust publik dan marwah lembaga. Kita juga dapat menyaksikan pendaftaran Komisi Informasi akhirnya diserbu oleh para pencari kerja yang rekam jejaknya tidak memiliki relevansi dengan isu keterbukaan. Sebagian mereka dengan mudah meninggalkan lembaga ini untuk mendaftar ke lembaga negara lain, padahal masa jabatannya belum selesai, atau bahkan baru dilantik.

Di sisi lain, Komisi Informasi mengakui bahwa pemerintah (pusat dan daerah) belum memberikan dukungan anggaran yang memadai bagi Komisi Informasi. Namun, dengan anggaran yang terbatas itu pun, Komisi Informasi terlihat tidak dapat menentukan program strategis yang dapat memicu percepatan keterbukaan. Belum tuntas dengan perbaikan desain Monev Keterbukaan Informasi Badan Publik, Komisi Informasi kembali mengembangkan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP)[4]. Sayangnya, hasil dari dua instrumen ini pun belum dimanfaatkan dengan baik oleh Komisi Informasi untuk mempercepat keterbukaan informasi.

Buktinya, ketaatan Badan Publik terhadap UU KIP masih rendah. Hasil Monitoring dan Evaluasi dari Komisi Informasi Pusat RI memperlihatkan bahwa jumlah Badan Publik yang informatif masih sangat sedikit. Pada tahun 2021 lalu, hanya 24,63% Badan Publik yang informatif.

Tahun Informatif Menuju Informatif Cukup Informatif Kurang Informatif Tidak Informatif
2018 3,26% 7,83% 11,52% 11,52% 65,87%
2019 9,58% 10,70% 14,93% 11,55% 53,24%
2020 17,24% 9,77% 17,53% 13,51% 41,95%
2021 24,63% 18,69% 16,02% 10,98% 29,67%

 

Komisi Informasi abai pada peran strategis yang harusnya dapat dimainkan. Dengan fungsi dan kewenangannya, Komisi Informasi seharusnya dapat menjadi lembaga sentral yang mendorong perbaikan tata kelola data yang bersifat strategis, baik di level daerah maupun nasional, sebagai basis pengambilan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik yang bersifat umum maupun tematik (targetted). Ketiadaan visi ini menyebabkan Komisi Informasi absent pada isu-isu strategis publik yang memiliki relevansi kuat dengan tata kelola data.

Padahal, sejumlah kasus menunjukkan bahwa rusaknya tata kelola data berdampak pada terhambatnya pencapaian tujuan dari kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap bahwa tiga jenis bantuan sosial tidak tepat sasaran, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako/Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST), sebagaimana tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021. Hal itu membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.[5] Contoh lainnya, sekitar 300 sertifikat redistribusi tanah yang telah diterima masyarakat sekitar Jasinga dan Pamijahan, Bogor, disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Lahan tersebut merupakan bagian dari 500 bidang sertifikat redistribusi seluas 42,72 hektar yang dibagikan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu.[6]

Sebenarnya dalam RPJMN 2020-2024, telah ditetapkan 4 (empat) pengarusutamaan (mainstreaming) sebagai bentuk pembangunan inovatif dan adaptif sehingga dapat menjadi katalis pembangunan untuk menuju masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Salah satunya adalah pengarusutamaan transformasi digital. Pengarusutamaan transformasi digital merupakan upaya untuk mengoptimalkan peranan teknologi digital dalam meningkatkan daya saing bangsa dan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Strategi pengarusutamaan transformasi digital terdiri dari aspek pemantapan ekosistem (supply), pemanfaatan (demand), dan pengelolaan big data. Jika Komisi Informasi dapat membaca peluang dengan baik, maka sebenarnya inilah ruang yang seharusnya dikelola oleh lembaga ini.

Komisi Informasi Pusat periode 2022-2026 ini perlu segera membenahi warisan persoalan tersebut, baik terkait penguatan kelembagaan maupun visi ke depan. Upaya perbaikan kelembagaan Komisi Informasi ini memerlukan soliditas internal, baik antar komisioner maupun antara komisioner dan sekretariat. Faktor yang menentukan, antara lain kejelasan susunan organisasi dan tata kelola (SOTK), keberadaan majelis etik yang bersifat permanen, serta kedewasaan komisioner dalam menyelesaikan persoalan internal. Tanpa kedewasaan, majelis etik menjadi tempat saling melaporkan dengan memanfaatkan orang lain. Meskipun mekanisme ini memberikan kepastian hukum, namun berpotensi merusak relasi antaranggota, jika tidak disikapi dengan dewasa.

Model kelembagaan seperti DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) atau Dewas (Dewan Pengawas) di Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertimbangkan. Komposisinya terdiri dari unsur akademisi dan praktisi yang memiliki integritas, kapasitas, dan komitmen. Majelis etik diharapkan dapat menjaga perilaku anggota dan kinerja anggota sehingga berdampak pada terjaganya marwah lembaga.

Jakarta, 10 November 2022

Narahubung Arif Adiputro (085693720839) 

Anggota FOINI

  1. Indonesian Parliamentary Center
  2. Perkumpulan Inisiatif
  3. KOPEL Indonesia
  4. YAPPIKA-ActionAid
  5. PATTIRO Semarang
  6. PUSPAHAM SULTRA
  7. IDFoS Indonesia

[1] https://lbhbandaaceh.org/lbh-banda-aceh-dan-mata-lapor-dugaan-pelanggaran-kode-etik-komisioner-komisi-informasi-aceh/ (diakses pada 9 Nov 2022)

[2] https://www.mediasiber.com/utama/desmen-hia-laporkan-pelanggaran-etik-ketua-ki-pusat-dorong-dibentuknya-majelis-etik (diakses pada 9 Nov 2022)

 

[3] https://penanews.net/pkn-mengadukan-ketua-komisi-informasi-karena-melanggar-kode-etik-anggota-komisi/ (diakses pada 9 Nov 2022)

[4] Nilai IKIP Nasional merupakan hasil analisis dari penilaian 312 Informan Ahli (IA) 34 Provinsi yang memberikan indeks 72,60 dan hasil penilaian 17 IA Nasional yang memberikan indeks 68,54, penilaian IKIP Nasional 2021 merupakan gambaran pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik selama tahun 2020 dari bulan Januari hingga Desember.

[5] Anisa Indraini, BPK Temukan Bansos Rp 69 T Salah Sasaran Orang Meninggal Masih Dapat, detik.com, diakses pada 11 Juli 2022,

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6093106/bpk-temukan-bansos-rp-69-t-salah-sasaran-orang-meninggal-masih-dapat.

[6] Yuliawati, Tumpah Tindih Aset BLBI dan Sertifikat dari Jokowi, Ini Respons BPN, katadata.id, diakses pada 12 Juli 2022,
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/62b9881ebbfa4/tumpah-tindih-aset-blbi-dan-sertifikat-dari-jokowi-ini-respons-bpn

Pengujian Terhadap Konsekuensi Bahaya

Pengujian Terhadap Konsekuensi Bahaya

Kewajiban melakukan pengujian atas konsekuensi dalam UU KIP dibebankan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Hal ini diatur pada Pasal 19 UU KIP:

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa: (i) konsekuensi yang diuji adalah konsekuensi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 UU KIP; (ii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan saksama; (iii) pengujian konsekuensi harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Dari ketentuan ini PPID di Badan Publik memang tidak dikenakan kewajiban melakukan pengujian atas kepentingan publik.

Kata saksama dan teliti memiliki makna yang sama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Keduanya mengandung makna dengan cermat. Khusus untuk teliti, jika dilihat dari kata kerja ‘meneliti’ maka KBBI menjelaskan sebagai berikut: memeriksa (menyelidiki dsb) dengan cermat. Suatu penelitian dimaknai sebagai berikut: kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yg dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum; Kata sistematis dimaknai sebagai: teratur menurut sistem; memakai sistem; dengan cara yg diatur baik-baik. Sedangkan objektif dimaknai: mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi[1]

Dengan demikian maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Adapun untuk menentukan apakah seorang PPID telah melakukan dengan penuh kecermatan maka pengujian atas konsekuensi harus dilakukan secara sistematis dan objektif. Kata sistematis mensyaratkan adanya kerangka logis tertentu yang mendasari suatu tahapan. Kata objektif mensyaratkan suatu fakta sebagai dasar argumen. Pertanyaannya kemudian adalah fakta apa yang perlu digali secara cermat dalam pengujian ini? Mengingat konsekuensi yang diuji dalam pengecualian informasi menyangkut suatu konsekuensi yuridis, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lain pada buku ini, maka fakta yang digali dalam pengujian ini adalah fakta yuridis. Pengujian atas konsekuensi yang dimaksud di sini tidak menggunakan fakta empirik sebagaimana riset uji coba atau eksperimental.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penulis akan menguraikan tahapan konsekuensi yang mencakup paling tidak lima tahapan: (i) tahap klarifikasi informasi; (ii) tahap identifikasi fakta yuridis; (iii) tahap identifikasi kepentingan yang akan dilindungi; (iv) tahap pemeriksaan relevansi; dan (v) tahap penetapan.

Tahap-1: Melakukan Klarifikasi Informasi

Pada tahap ini PPID (dapat melalui petugas informasi) melakukan penajaman atas informasi yang diminta oleh pemohon informasi. Alasan permohonan atau tujuan permohonan menjadi penting, meskipun bukan berarti alasan permohonan dapat dijadikan dasar untuk menolak memberikan informasi. Seringkali informasi yang dminta tidak cukup jelas (terutama jika disampaikan melalui surat) karena bisa mencakup volume yang begitu besar sehingga perlu dipertajam yang relevan dengan tujuan permohonan.

Sebagai contoh, seorang guru meminta informasi sebagai berikut: ‘data anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep’. Setelah diklarifikasi tujuan permohonan adalah untuk mengetahui berapa insentif yang disediakan oleh Pemerintah Daerah secara resmi. Tentunya petugas Informasi dapat mengidentifikasi bagian atau lembar mana dalam dokumen anggaran pendidikan yang memuat informasi tersebut. Klarifikasi akan mempermudah petugas informasi mengidentifikasi dokumen sumber informasi.

Contoh lain, seorang pemohon informasi mengajukan permintaan informasi secara tertulis: ‘salinan dokumen hasil audit BPKP sebagaimana yang diberitakan oleh harian Media Indonesia berikut semua dokumen pendukung termasuk hasil konsultasi’. Dalam tahap klarifikasi informasi ternyata yang dimaksud pemohon adalah ingin mengetahui informasi terkait berita tentang adanya penyimpangan berdasarkan hasil audit BPKP. Informasi yang tersedia adalah dokumen surat hasil review terhadap kelengkapan laporan keuangan oleh BPKP, yang merupakan pembinaan bukan audit. Maka PPID menjelaskan hal tersebut dalam surat bahwa berita penyimpangan salah dan Media telah menyatakan permohonan maaf. Dalam merespon PPID juga menyampaikan hasil pengujian atas konsekuensi terhadap surat BPKP tersebut yang merupakan surat antar Badan Publik.[2]

Tahap-2: Mengidentifikasi Fakta Yuridis

Pada tahap ini jika teridentifikasi bahwa informasi dikecualikan secara prosedural, maka disusun pemberitahuan tertulis bahwa informasi tersebut sebetulnya terbuka akan tetapi harus disampaikan sesuai dengan prosedur tertentu. Jika informasi dikecualikan secara substansial, namun masuk dalam kategori pengecualian absolut maka tahap pengujian langsung masuk pada pemeriksaan relevansi (tahap-4). Jika relevan, PPID menyusun penetapan dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada pemohon bahwa permohonan ditolak berdasarkan ketentuan yang mendasari pengecualian tersebut.

Pengujian konsekuensi tidak perlu dilanjutkan karena secara absolut informasi dikecualikan. Dalam UU KIP kemungkinan ini bisa terjadi ketika informasi yang diminta menyangkut kerahasiaan pribadi seseorang. Tahap lebih lanjut hanya dilakukan jika informasi yang diminta dikecualikan dengan kualifikasi.

Langkah selanjutnya adalah identifikasi dasar hukum pengecualian informasi dengan kualifikasi. Seringkali ditemukan bahwa satu informasi dikecualikan oleh lebih dari satu alasan pengecualian. Sebagai contoh, seorang pemohon informasi meminta secara tertulis: data kredit UKM yang disalurkan oleh Bank Mandiri mencakup besaran nilai, nama dan alamat penerima di tingkat kelurahan.[3] Setelah diidentifikasi, maka informasi tersebut dikecualikan dengan alasan sebagai berikut:

alasan-1:

Pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengungkap kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang.

alasan-2:

Pasal 17 huruf b UU KIP: jika informasi diberikan kepada pemohon dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Dalam kasus di atas, pengecualian didasarkan atas dua fakta yuridis yakni Pasal 17 huruf h UU KIP (pengecualian absolut) dan huruf b UU KIP (pengecualian dengan kualifikasi berbasis praduga). Dalam kasus tertentu boleh jadi dasar pengecualian juga bersumber dari Undang-Undang lain. Mengapa UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998) tidak masuk sebagai dasar pengecualian pada kasus di atas? UU Perbankan mengatur kerahasiaan nasabah, bukan debitur.

Tahap-3: Mengidentifikasi Kepentingan Yang Ingin Dilindungi

Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi mengenai kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh suatu Undang-Undang yang menjadi dasar pengecualian. Untuk pengecualian yang didasarkan atas ketentuan pengecualian pada Pasal 17 UU KIP, sebagian besar kepentingan yang akan dilindungi cukup jelas. Meskipun demikian perlu dideskripsikan secara lebih konkrit.

Sebagai contoh, pada kasus terdahulu memberikan informasi kredit usaha kecil dan menengah (UKM) di suatu kelurahan dinyatakan untuk menghindari gangguan atas perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Bagaimana menjelaskan ini? Bagi PPID Bank Mandiri, hal ini dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: jika informasi tersebut dibuka dan diketahui oleh pesaing Bank Mandiri, maka debitur dapat didekati dan ditawarkan skema yang lebih menguntungkan. Jika debitur terbujuk dan beralih bank, maka Bank Mandiri akan mengalami kerugian dalam penerimaan. Membuka informasi tersebut akan mengganggu persaingan usaha yang sehat. Bank Mandiri akan kehilangan sejumlah debitur dengan track record baik dan tingkat resiko rendah dalam pengembalian.[4]

Dalam kasus lain, kita bisa melihat bahwa kepentingan yang ingin dilindungi melalui pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata tak berbeda dengan pengecualian pada UU KIP. Sebagai contoh, ICW meminta informasi informasi terkait 17 nama pemilik rekening anggota Polri beserta besaran nilainya yang telah dikategorikan wajar oleh Mabes Polri setelah pemeriksaan tanggal 23 Juli.[5]

Salah satu alasan penolakan oleh PPID Polri adalah bahwa informasi tersebut dikecualikan berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).[6] Tak ada uraian kepentingan apa yang ingin dilindungi oleh UU TPPU. Dalam persidangan, Yenti Garnasih, ahli yang didatangkan oleh Mabes Polri, menerangkan salah satu kepentingan yang akan dilindungi melalui UU TPPU. Menurut Yenti Garnasih: ‘berdasarkan Pasal 10 A UU TPPU pejabat, penyidik, PPATK atau siapapun tidak boleh membuka dokumen yang mencurigakan tujuannya adalah jika nasabah yang bersangkutan mengetahui bahwa rekeningnya dicurigai bisa saja sebelum sempat diperiksa dan diblokir sudah terlebih dahulu memindahkan dana-dana tersebut’.[7]

Pada argumen di atas, kita melihat suatu bentuk pengecualian yang pada dasarnya adalah untuk melindungi kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini juga telah diatur pada Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP. Dengan kata lain tak ada kekhususan dalam hal tujuan pengecualian pada UU TPPU tersebut terhadap UU KIP.

Pengecualian pada UU TPPU juga terkait dengan kerahasian perbankan berdasarkan beberapa pasal pada UU Perbankan.[8] Pengecualian berdasarkan UU Perbankan juga perlu dicermati. Kepentingan apa sesungguhnya yang ingin dilindungi, seperti: kerahasiaan pribadi nasabah, ketahanan ekonomi nasional, persaingan usaha yang sehat, dsb. Besar kemungkinan kepentingan tersebut juga telah diatur pada Pasal 17 UU KIP.

Dalam mengidentifikasi kepentingan yang akan dilindungi seringkali ditemukan bahwa kerahasiaan yang diatur oleh Undang-Undang tertentu merupakan kerahasiaan turunan (derivasi) dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur oleh UU KIP. Persoalannya tidak semua Undang-Undang menjelaskan konsekuensi negatif yang ingin dilindungi oleh pengecualian yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Untuk itu cara terbaik adalah menelusuri risalah pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut (memorie van toelichting) atau naskah akademiknya.

Jika di dalam kedua dokumen tersebut tidak ditemukan maka mendatangkan ahli yang kompeten untuk menjelaskan adalah salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh.[9] Identifikasi kepentingan yang ingin dilindungi akan menghasilkan dasar hukum pengecualian yang kokoh dan menentukan kualitas penetapan hasil uji konsekuensi oleh PPID. Pelibatan satuan kerja internal yang membidangi hukum menjadi sangat penting.

Di perusahaan swasta yang telah memiliki regulatory management yang mapan, untuk memutuskan menolak memberikan suatu jenis informasi yang strategis, sensitif dan beresiko bagi perusahaan biasanya dibahas di disclosure committee. Semenjak UU KIP diberlakukan beberapa Badan Publik juga telah membentuk tim pertimbangan yang berfungsi sebagaimana disclosure committee pada perusahaan swasta.[10]

Terakhir, perlu diperhatikan apakah pengecualian masuk kategori pengecualian absolut. Jika informasi tersebut masuk kategori pengecualian absolut maka PPID segera menetapkan hasil pengujian atas konsekuensi tersebut untuk menolak memberikan informasi kecuali diatur lain oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, kendati informasi mengenai aset seseorang dikecualikan berdasarkan pasal 17 huruf h angka 3 UU KIP, Komisi Informasi Pusat memutus BPN untuk membuka informasi terkait permohonan informasi atas tanah hanya kepada pemohon karena pihak pemohon terbukti masuk dalam kategori yang memiliki hak untuk mengakses. Pengadilan telah menetapkan pemohon sebagai pewaris yang sah.[11] Pasal 18 ayat (2) UU KIP menyatakan bahwa tidak termasuk informasi dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 17 huruf g dan h (kerahasiaan pribadi) antara lain bila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetuju-an tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan­-jabatan publik.

Tahap-4: Memeriksa Relevansi Pengecualian

Memeriksa relevansi pengecualian informasi merupakan langkah terakhir untuk menerapkan prinsip ‘saksama dan penuh ketelitian’ dalam pengujian konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KIP. Kadangkala informasi yang dimohon boleh jadi secara yuridis termasuk informasi yang dikecualikan. Hasil identifikasi terhadap kepentingan yang akan dilindungi oleh suatu Undang-Undang menunjukkan kesimpulan sementara bahwa: ‘patut diduga kepentingan yang akan dilindungi secara oleh Undang-Undang akan terganggu jika informasi diberikan’. Akan tetapi ketika dilakukan pemeriksaan terhadap relevansi, informasi tersebut sudah tidak relevan untuk dikecualikan. Sebagai contoh (Alamsyah Saragih, 2012):[12]

Relevansi kerahasiaan pribadi. Seseorang meminta informasi mengenai 10 debitur UKM terbaik dari suatu Bank BUMN. Hasil identifikasi dalam daftar informasi yang dikecualikan, nama debitur masuk dalam kategori dikecualikan. Tujuan pengecualiannya adalah untuk melindungi data pribadi terkait posisi keuangan seseorang sesuai dengan Pasal 17 huruf h UU KIP, kecuali seizin yang pihak yang rahasianya diungkap sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (2). Namun demikian pada saat pemohon meminta, Bank BUMN yang bersangkutan baru saja selesai melakukan pengumuman 10 debitur UKM terbaik dan memberikan penghargaan kepada mereka dalam suatu acara terbuka diliput media. Dengan demikian, menolak permohonan berdasarkan tujuan pengecualian tersebut telah kehilangan relevansinya karena informasi telah terpublikasi.

Relevansi Kerahasiaan Sumber Daya Alam. Seorang jurnalis mengajukan permohonan informasi untuk peliputan potensi sumber daya alam lokal suatu Kabupaten. Dalam daftar informasi yang dikecualikan informasi tersebut termasuk informasi yang dikecualikan berdasarkan Pasal 17 huruf d UU KIP, yakni informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia. Tujuan pengecualian dinyatakan untuk melindungi posisi tawar Indonesia dalam persaingan bisnis pengelolaan sumber daya alam di pasar modal global. Alasan lain keterangan ahli menyatakan bahwa hal tersebut untuk mengurangi peluang intervensi asing yang melemahkan ketahanan ekonomi nasional, kendati masih dapat diperdebatkan. Setelah mencermati daftar sumber daya alam lokal yang diminta, tujuan pengecualian tersebut tidak relevan untuk ditetapkan sebagai dasar penolakan. Informasi yang diminta tidak memiliki nilai strategis sesuai kepentingan yang akan dilindungi berdasarkan Undang-Undang. Bahkan promosi sumber daya alam lokal justru berpeluang mendatangkan investasi untuk penciptaan lapangan kerja lokal. 

Tahap-5: Menetapkanan Hasil Uji Konsekuensi

Tahap ini adalah tahap menuangkan hasil pengujian atas konsekuensi menjadi suatu keputusan publik. Instrumen hukum yang digunakan adalah penetapan. Penetapan akan memuat mulai dari dasar pertimbangan hingga keputusan PPID mengenai status informasi tersebut. Dalam keputusan ini boleh jadi tidak semua dasar hukum pengecualian digunakan sebagai argumen untuk menolak memberikan informasi, melainkan hanya dasar hukum yang terbukti relevan sebagai alasan pengecualian.

Menguji Pengecualian Berdasarkan Undang-Undang lain

Pasal 17 huruf j UU KIP mengatur bahwa suatu informasi dapat dikecualikan jika ada Undang-Undang yang melarang pengungkapan. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang lain.

Pasal 17 huruf j:

informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang­-Undang.

Keinginan untuk mengakomodasi pengecualian substansial berdasarkan peraturan perundang-undangan lain pada dasarnya telah ditetapkan pada Pasal 6 ayat (1) UU KIP. Dengan masuknya ketentuan informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan Undang-Undang pada kelompok Pasal 17 UU KIP (secara khusus mengatur pengecualian berdasarkan konsekuensi), maka pengecualian tersebut harus tetap disertai penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila informasi dibuka dan diberikan kepada Pemohon.

Dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR, terjadi beberapa kali perdebatan atas keinginan DPR menjadikan UU KIP sebagai Undang-Undang payung (umbrella act). Hal tersebut diperkuat dengan keinginan DPR untuk menetapkan bahwa pengecualian hanya berdasarkan UU KIP. Namun demikian keinginan untuk menyusun suatu Undang-undang payung tak dimungkinkan di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) tak menge-nal jenis Undang-Undang tersebut.

Dalam pembahasan bersama DPR pihak Pemerintah berpendapat bahwa menetapkan klausul pengecualian hanya berdasarkan UU KIP akan berimplikasi luas terhadap harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain. Ketentuan tersebut akan menyampingkan keberadaan peraturan perundang-undangan lain yang mungkin telah mengatur secara khusus pengecualian atau kerahasiaan. Pemerintah mengusulkan agar tetap mengakomodasi pengecualian berdasarkan peraturan perundang-undangan lain dan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan kaidah umum yang berlaku (general principle of law). Usul ini diterima oleh DPR:

Prof. Ahmad Ramli (wakil Pemerintah): ‘… kemungkinan untuk inharmonize, satu tidak harmonis dengan yang lain, atau tidak sinkron satu sama lain itu sangat mungkin dalam perundang-undangan. Oleh karena itu, jika ada perbedaan semacam ini maka kita harus menggunakan asas-asas perundang-undangan… Oleh karena itu kita selalu mengatakan di sini yang berlaku tidak boleh hanya menyebut Undang-Undang ini, tapi peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena khawatir ada yang jauh lebih spesifik.’[13]

Dalam praktik, bukan hal yang mudah untuk menerapkan harmonisasi berdasarkan asas tersebut. Para ahli hukum biasanya akan memiliki cara pandang masing-masing untuk menentukan mana yang lebih khusus antara satu Undang-undang terhadap yang lainnya. Diperlukan kecermatan dalam menerapkan apa yang selama ini dikenal dengan kaidah ‘yang khusus mengesampingkan yang umum’ (lex specialis derogate legi generalis), sebelum menyatakan bahwa Undang-Undang lain bersifat lebih khusus terhadap UU KIP.

Bagaimana menerapkan asas ini dalam pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain? Pertama, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi kepentingan tertentu yang secara khusus ingin dilindungi oleh pengecualian dalam Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam tujuan). Kedua, asas pengecualian oleh Undang-Undang tersebut tetap mengacu pada UU KIP sepanjang Undang-Undang tersebut tidak mengatur asas pengecualian tersendiri (kekhususan dalam asas). Ketiga, prosedur untuk membuka dan mengakses informasi yang dikecualikan oleh Undang-Undang lain tetap mengikuti UU KIP, sepanjang tidak diatur secara lebih khusus oleh Undang-Undang tersebut (kekhususan dalam prosedur).

Jika beberapa hal di atas tidak terpenuhi, biasanya terjadi overlap antara UU KIP dan Undang-Undang yang bersangkutan namun tidak ada kekhususan. Dalam praktik, biasanya pengecualian oleh Undang-Undang lain tersebut memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan sebagaimana yang juga telah diatur di UU KIP. Tidak jarang bahkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain ternyata merupakan turunan dari satu atau lebih kerahasiaan mendasar yang telah diatur di UU KIP.

Pada masa lalu, langkah legal untuk harmonisasi dapat mengacu pada salah satu sumber hukum yang berlaku, yakni UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan:

Pasal 44 ayat (2) :

Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Lampiran C.1 angka 74, huruf c:

Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.

Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan untuk memasukkan pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain pada pasal-pasal berikutnya setelah pasal 2 yang mengatur tentang asas dalam UU KIP, akan berimplikasi pada berlakunya asas pengecualian yang ada pada Pasal 2 UU KIP (uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) terhadap pengecualian yang diatur oleh Undang-Undang yang lebih khusus, sepanjang Undang-Undang tersebut tidak menganut asas pengecualian dan prosedur akses tersendiri.

Ketentuan Penutup UU KIP memperkuat hal ini:

Pasal 63:

Pada saat berlakunya Undang-­Undang ini semua peraturan perundang­-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang­-Undang ini.

Dari berbagai ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak UU KIP berlaku, pengecualian atas dasar Undang-Undang lain tetap harus disertai dengan pembuktian atas konsekuensi yang timbul dan pertimbangan atas kepentingan publik yang lebih luas.

Namun demikian sejak diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku. Pengaturan tentang sistematika pada UU No. 12 Tahun 2011 tidak menganut ketentuan sebagaimana pada UU terdahulu.

Upaya harmonisasi antar peraturan perundang-undangan akan kembali bersandar kepada prinsipprinsip umum yang lebih bersifat teoritik atau doktrinal ketimbang ketentuan legal. Harmonisasi diperkirakan akan sangat tergantung pada keyakinan yang dilandaskan pada teori dan doktrin.

Catatan Penutup

Pengujian konsekuensi dalam praktik pengecualian informasi sejak UU KIP diberlakukan akan berdampak kepada beberapa hal berikut: pertama, UU KIP telah mengakomodir pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain. Oleh karena itu, secara sistematik, pengecualian berdasarkan Undang-Undang lain terikat pada asas pengecualian yang diatur pada Pasal 2 ayat (4) UU KIP sepanjang Undang-Undang yang bersangkutan tidak memiliki asas pengecualian tersendiri. Pada ketentuan ini konsekuensi dan kepentingan publik merupakan pertimbangan dasar untuk pengecualian suatu informasi berdasarkan Undang-Undang, baik UU KIP maupun Undang-Undang lain.

Kedua, tidak ada pengecualian tanpa identifikasi kepentingan yang akan dilindungi (konsekuensi negatif) kendati pengecualian tersebut diatur oleh Undang-Undang selain UU KIP. Hal ini akan menjadikan posisi risalah pembahasan (memorie van toelichting) dan naskah akademik sebagai dokumen pendukung kebijakan menjadi vital dalam menyusun pertimbangan hukum pengecualian. Penelusuran diperlukan terutama ketika suatu Undang-Undang tidak secara eksplisit menjelaskan tujuan kerahasiaan suatu informasi.

Ketiga, penerapan kedua hal di atas akan mencegah kontradiksi ketika terjadi upaya-upaya pengaturan kerahasiaan melalui regulasi di luar UU KIP. Kerangka pengujian atas konsekuensi secara yuridis akan mengarahkan setiap pengecualian substansial kepada tiga kerahasiaan mendasar sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat (3) dan pasal 17 UU KIP.

Hal ini akan mempermudah mainstreaming keterbukaan informasi publik di berbagai sektor. Diperkirakan tidak cukup mudah untuk menerapkan model konsekuensi negatif di tengah cara pandang pengambil keputusan publik yang cenderung kaku dan tekstual dalam memaknai suatu regulasi dan telah terbiasa dengan pola kerahasiaan sebelum UU KIP diberlakukan.

———-

[1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (http://kbbi.web.id/), diakses pada 10 Desember 2012.

[2] Penetapan No. 01/V/2012. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Komisi Informasi Pusat, tanggal 21 Mei 2012.

[3] Lihat perkara No: 243/VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat RI.

[4] Lihat Penjelasan Termohon pada sidang Ajudikasi sengketa No. 243/ VI/KIP/PS-A/2011 antara Muhammad Hidayat S v Bank Mandiri pada tanggal 3 Oktober 2011.

[5] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010 antara ICW v Mabes Polri, Jakarta 8 Februari 2011.

[6] Pasal 10 A UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang menyatakan bahwa Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

[7] Lihat keterangan Yenti Garnasih dalam persidangan pada tanggal 18 Januari 2011. Sumber: Salinan Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 002/X/KIP-PS-A/2010. ICW v Mabes Polri. Jakarta 8 Februari 2011.

[8] Dalam UU Perbankan (pasal 40, 41, 41A, 42, 43, dan 44A) diatur ketentuan yang mewajibkan Bank untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Namun demikian untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Ketentuan kerahasiaan tersebut berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.

[9] Saragih, Alamsyah. Pengecualian Informasi Pada Badan Publik Negara. Jakarta: Komisi Informasi Pusat RI. 2012, hal. 35.

[10] Antara lain dapat dilihat pada SOP PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Persero) yang mengatur pengelolaan informasi yang dapat diakses dengan izin PT Telkom.

[11] Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 175/V/KIP-PS-A/2012. Widarti v Kanwil BPN DIY. 12 September 2012.

[12] Saragih Alamsyah. Op. cit., hal. 66.

[13] DPR-RI, Komisi I. Risalah Rapat Kerja Pembahasan RUU KMIP. 26 Juni 2007.

Menangani Informasi Publik Yang Sensitif

Menangani Informasi Publik Yang Sensitif

Ahmad Alamsyah Saragih

Dalam konteks tertentu, kendati informasi yang diminta adalah informasi yang terbuka, kehati-hatian dalam memenuhi hak atas informasi diperlukan. Hal ini merupakan bagian dari akuntabilitas sosial dalam pelayanan informasi. Teknis penyampaian suatu informasi terbuka di daerah yang tengah mengalami ketegangan sosial yang tinggi akan berbeda dengan daerah yang tidak berada daam kondisi tersebut. Dengan mempertimbangkan kondisi sosiologis tertentu, suatu informasi yang secara yuridis bersifat terbuka memerlukan pilihan teknis penyampaian yang khusus tanpa meniadakan hak untuk mengetahui.

Bagian ini akan memuat tahapan analisis dalam pemberian informasi yang terbuka namun diduga memiliki risiko berdasarkan aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan sebagaimana diatur pada Pasal 7 ayat (5) UU KIP. Namun demikian tidak semua informasi terbuka harus mendapatkan perlakuan ini. Paling tidak ada tiga tahapan yang perlu dilakukan untuk menentukan teknis penyampaian kepada publik atau kepada pemohon.

Tahap-1: Mengidentifikasi Informasi Sensitif

Pelayanan informasi merupakan suatu aktifitas yang tidak luput dari risiko terkait aspek sosial, politik, ekonomi, budaya maupun aspek pertahanan dan keamanan negara. Derajat risiko terhadap berbagai aspek tersebut secara yuridis sebagian telah diantisipasi melalui skema informasi yang dikecualikan. Namun demikian, dalam kondisi tertentu suatu informasi yang secara yuridis terbuka tetap memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kemungkinan penyimpangan (abuse) yang berdampak merugikan terkait berbagai aspek tersebut.

Badan Publik perlu mengidentifikasi berbagai informasi terbuka yang memiliki risiko tinggi. Melalui identifikasi akan dihasilkan daftar informasi terbuka yang bersifat sensitif. Informasi inilah yang menjadi objek utama untuk dianalisis dan dilengkapi dengan pertimbangan secara tertulis untuk diterapkan kebijakan khusus dalam pemberian informasi.

Tahap-2: Menganalisis Risiko

Tahap berikutnya, setelah identifikasi informasi terbuka yang bersifat sensitif, adalah analisis risiko yang mungkin terjadi dari pemberian informasi publik tersebut. Dalam tahap ini dilakukan penelusuran terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan jika informasi diberikan. Kemungkinan tersebut dapat berupa pengalaman maupun prediksi. Risiko tidak bersifat statis, namun berkembang sesuai dengan situasi sosial dan kesiapan personal di Badan Publik.

Dalam banyak hal informasi yang bersifat terbuka sebagaimana diatur oleh Undang-undang tidak memiliki risiko berarti, namun dalam kondisi sosial-politik tertentu risiko tersebut cukup berarti. Sebagai contoh:

Kasus-1:

BPK mengumumkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) keuangan yang telah diserahkan ke DPR secara lengkap melalui situs mereka. Setiap orang dapat mengakses informasi tersebut dengan cara mngunduhnya tanpa perlu memberikan identitas terlebih dahulu. Namun demikian, dalam perkembangan informasi tersebut sering disalahgunakan dengan cara mengutip temuan yang telah dimanipulasi.

Penyimpangan ini kerap terjadi di wilayah-wilayah yang sedang menyelenggarakan Pilkada dimana kandidat incumbent merupakan salah satu peserta pemilihan. Ini adalah salah satu bentuk risiko secara politik yang perlu dianalisis untuk menentukan teknis penyampaian LHP ke publik, namun bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk mengubah status LHP menjadi dokumen yang tertutup.

Kasus-2:

Beberapa Badan Publik sering menghadapi permintaan salinan dokumen kontrak dengan pihak ketiga yang menjadi pemenang lelang, tidak termasuk lampiran pendukungnya. Secara yuridis, setelah dilakukan pengaburan terhadap identitas dan alamat personal yang mewakili perusahaan pemenang lelang, dokumen tersebut bersifat terbuka.

Namun demikian, salah satu Badan Publik pernah mengalami persoalan serius terkait penyalahgunaan dokumen tersebut sebelum UU KIP diberlakukan. Dokumen tersebut digandakan dengan memanipulasi identitas perusahaan pemenang lelang dan alamat lengkapnya, kemudian digunakan oleh pihak tertentu untuk mengikuti proses prakualifikasi suatu lelang di instansi pemerintah.

Penyimpangan ini secara ekonomis berisiko merugikan negara dan para peserta lelang yang mengikuti proses prakualifikasi secara jujur. Akan tetapi risiko tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengubah status informasi yang terbuka menjadi informasi yang tertutup atau dikecualikan.

Diperlukan prioritas dalam mendalami risiko. Agar prediksi dapat lebih akurat tidak jarang dilakukan pendalaman terhadap pihak-pihak pemanfaat informasi melalui untuk mendalami polapola penyimpangan yang mungkin terjadi. Tentunya tidak mungkin melakukan hal ini terhadap semua jenis informasi terbuka yang dikuasai oleh Badan Publik. Pendalaman dilakukan terhadap jenis informasi terbuka yang diduga memiliki risiko (informasi publik yang sensitif) untuk konteks tertentu.

Selain mengidentifikasi pola penyimpangan, juga perlu dianalisis faktor penyebab maupun faktor yang mendukung atau faktor-faktor yang mempermudah terjadinya penyimpangan terkait dengan aspek materi maupun prosedur pelayanan. Hasil identifikasi ini akan menjadi bahan untuk menyusun suatu rekomendasi teknis penyediaan informasi kepada pemohon.

Tahap-3: Menyusun Rekomendasi

Tahap terakhir adalah menyusun rekomendasi berdasarkan hasil analisis risiko. Rekomendasi dapat mencakup hal-hal teknis yang berkaitan dengan materi (terkait format informasi yang diberikan) maupun prosedur (terkait tata cara pemberian informasi). Hasil dari rekomendasi boleh jadi merupakan masukan untuk perbaikan SOP layanan informasi. Namun demikian, rekomendasi tidak boleh berupa keputusan untuk menutup informasi. Sebagai contoh:

Kasus-1 (lanjutan):

Setelah mencermati gejala penyalahgunaan informasi lengkap LHP BPK yang diumumkan melalui situs lembaga ini, akhirnya BPK mengubah kebijakan: (i) dari sisi materi, publikasi proaktif melalui situs diubah formatnya menjadi format ringkasan LHP; (ii) secara prosedural, informasi lengkap LHP BPK diubah pola penyediaannya dari semula bersifat proaktif menjadi pasif, sehingga termasuk dalam kategori informasi tersedia setiap saat. Pemohon dapat mengajukan permohonan informasi melalui email atau datang langsung.

Dengan demikian identitas pemohon dapat tercatat oleh BPK. Selain itu, dalam formulir pemberian informasi ditulis peringatan bahwa penyalahgunaan informasi ini dapat dituntut secara hukum. Perubahan kebijakan ini tidak mengubah status informasi lengkap LHP BPK menjadi informasi tertutup, namun hanya berubah dalam hal prosedur layanan, karena secara yuridis informasi tersebut adalah informasi terbuka.

Kasus-2 (lanjutan):

Untuk mengantisipasi risiko penyalahgunaan salinan dokumen kontrak dengan pihak ketiga, setelah melakukan analisis risiko, PPID dapat merekomendasikan perbaikan kebijakan yang menyangkut dua kemungkinan berikut: pertama, dari sisi materi, penanganan secara konvensional dapat dilakukan dengan mengubah format salinan kontrak menjadi ringkasan kontrak yang berisikan informasi-informasi penting agar tujuan pemohon tetap dapat terpenuhi.

Format baru tersebut dilegalisir oleh Badan Publik. Jika teknologi memungkinkan, dapat dilakukan watermarking pada salinan dokumen sedemikian rupa sehingga manipulasi sangat sulit dilakukan. Alternatif yang lebih canggih, dengan penyediaan file elektronik yang tidak mungkin dicetak dan diedit;

Kedua, dari sisi prosedur, untuk meyakinkan pemohon bahwa format ringkasan telah sesuai dengan tujuannya, maka disediakan fasilitas untuk menyaksikan salinan asli yang telah dilakukan pengaburan terhadap informasi yang dikecualikan yang ada di dalamnya. Cara ini untuk memberikan kesempatan bagi Pemohon mengusulkan tambahan informasi penting lain untuk dimuat dalam ringkasan agar tujuan permohonan tetap tercapai.

Analisis terhadap informasi sensitif tidak menghasilkan rekomendasi untuk menutup informasi yang secara yuridis bersifat terbuka. Namun analisis ini akan menghasilkan suatu teknis penyampaian informasi sebagai pemenuhan hak warga negara untuk mengetahui. Secara umum pemenuhan hak untuk mengetahui ini memiliki gradasi sesuai tingkat risiko (Diagram-2.1):

  • Mendapatkan salinan sesuai aslinya.
  • Mendapatkan salinan dengan format berbeda.
  • Menyaksikan dengan mencatat.
  • Menyaksikan tanpa mencatat.

Secara empirik, untuk kasus penyaksian telah pernah diputus oleh Komisi Informasi Jawa Timur. Dalam putusannya Komisi Informasi Jawa Timur telah memutuskan bahwa ‘Dokumen Kontrak’ beserta dokumen pendukunganya pada seluruh kegiatan dan pekerjaan di Tahun Anggaran (TA) 2010 sampai dengan (s.d) TA 2012, dan SPJ beserta dokumen/bukti pendukungnya pada perjalanan dinas TA. 2010 s.d TA 2011 adalah dokumen terbuka setelah pemohon mengaburkan informasi yang dikecualikan yang ada di dalamnya. Namun untuk amar putusan, Majelis Komisioner hanya memerintahkan Termohon untuk ‘menunjukkan dan memperlihatkan’ seluruh data dan informasi tersebut kepada Pemohon selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan tersebut diterima,[1] bukan memberikan salinan.

Diagram-2.1. Memperlakukan Informasi Publik Yang Sensitif

Alamsyah_Informasi Sensitif

Dalam jangka panjang, kewajiban menyusun pertimbangan tertulis untuk setiap kebijakan yang diambil dalam memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik akan berdampak positif. Inilah cara untuk mendorong perbaikan teknis dalam pelayanan informasi di Badan Publik di satu sisi, dan akuntabilitas sosial pelayanan informasi di sisi lain. Rekomendasi teknis berikut hasil analisis di atas dapat menjadi masukan untuk perubahan SOP penyediaan informasi yang bersifat terbuka tersebut. Akan tetapi tidak untuk mengubah status informasi informasi tersebut menjadi tertutup.

Keterbukaan Informasi dan Paradoks Akuntabilitas

Tata pemerintahan yang demokratis niscaya mensyaratkan akuntabilitas untuk kelangsungan sistem pemerintahan yang efektif dan kepercayaan publik sekaligus. Membangun sistem akuntabiltas dalam banyak hal dipandang sebagai suatu keharusan agar sistem pemerintahan dapat terhindar dari korupsi, nepotisme dan diskresi yang merugikan publik terkait tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Tarik menarik antara akuntabilitas yang bertujuan agar penyimpangan dapat dibatasi di satu sisi dengan kebutuhan untuk berperilaku inovatif dalam pengambilan keputusan di sisi lain, telah melahirkan suatu trade-off yang disebut sebagai ‘paradoks akuntabilitas’ (Jos and Tompkins, 2004).[2]

Sistem akuntabilitas pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi berbagai penyimpangan tersebut, namun secara alamiah juga dapat mengurangi indepedensi dan diskresi dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam mengatasi situasi yang khusus. Tanpa transparansi, kecenderungan tersebut berpeluang untuk tak terlihat dan memperburuk keadaan.

Kendati demikian transparansi di sisi lain dirasakan sebagai suatu ancaman bagi pola-pola pengambilan keputusan yang konvensional akibat meningkatnya risiko (Anechiarico and Jacobs, 1996).[3] Pengawasan yang berlebihan selain menambah biaya juga merusak sifat responsif suatu kerja-kerja administratif terhadap publik yang dilayani (Fesler and Kettl, 1991).[4] Pengawasan yang begitu ketat akan melahirkan barisan pelayan publik yang lebih piawai dalam mengelola akuntabilitas administratif daripada memutuskan suatu pilihan skema layanan yang tepat sesuai situasi dan kebutuhan publik.

Untuk menjalankan suatu layanan yang responsif pada wilayah-wilayah situasi sosial yang beragam dan lebih kompleks diperlukan inovasi, sementara inovasi mengandung risiko. Otoritas publik dengan tingkat akuntabilitas yang begitu tinggi akhirnya ditandai dengan karakter inovasi dan fleksibilitas yang rendah (Radin, 2006).[5] Pada organisasi-organisasi tersebut perhatian lebih tertuju pada upaya untuk mencermati upaya menghindari kesalahan administratif daripada keberhasilan dalam memecahkan masalah layanan secara langsung.

Pelayanan informasi publik kini telah menjadi kewajiban yang berlaku bagi semua Badan Publik. Selama ini fungsi pelayanan selalu terkait dengan tugas spesifik dari Badan Publik tersebut. Agar tidak terjadi konflik prioritas berkepanjangan, UU KIP telah mewajibkan Badan Publik menunjuk pejabat khusus yang bertanggung jawab mengelola informasi dan dokumentasi di Badan Publik. UU KIP sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Dalam praktik, PPID akan berhadapan dengan tiga kondisi memaksa yang kerap menyulitkan di luar persoalan-persoalan cara pandang. Pertama adalah akses informasi internal yang terkendala oleh manajemen dokumen yang buruk di internal Badan Publik. Kedua, Pemohon informasi yang telah dijamin haknya untuk dilayanai sesuai skema dan batasan waktu yang telah ditetapkan oleh UU KIP (10 hari kerja) untuk informasi berdasarkan permintaan dan 6 bulan sekali untuk memutakhirkan informasi yang wajib diumumkan secara berkala (proactive disclosure). Ketiga, tekanan pertanggungjawaban administratif dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan utama (core business) atau tugas-tugas rutin dari Badan Publik tersebut.

Ketebukaan informasi dalam kondisi di atas kerap menyebabkan perasaan terancam akibat terbukanya berbagai dokumen yang selama ini dianggap tertutup sehingga dirasakan mengganggu zona nyaman para pelaku di internal Badan Publik tersebut, baik negara maupun non negara. Hal ini lazim terjadi untuk suatu perubahan. Apa lagi dalam UU KIP, pelayanan informasi oleh Badan Publik wajib dilaksanakan dengan prinsip mudah, cepat, dan berbiaya ringan. Untuk itu UU KIP telah mengatur mekanisme keberatan internal kepada atasan PPID dan jika juga tidak direspon atau ditolak, masyarakat pemohon informasi dapat mendaftarkan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi.

Dalam perkembangan ketiga hal di atas, akhirnya terjadi konflik prioritas yang cenderung berakhir dengan pilihan untuk mengabaikan permohonan informasi. Kebanyakan Pejabat Publik terpaka lebih peduli dengan pengamanan tanggung jawab administratif daripada mengoptimalkan pelayanan yang diwajibkan ketika dinilai berisiko. Situasi seperti inilah yang dimaksud sebagai ‘paradoks akuntabilitas’ administratif. Dalam intensitas tertentu akuntabilitas administratif telah menyebabkan inovasi atau hal-hal baru yang dianggap berisiko menemukan disinsentifnya.

Dalam layanan informasi, jalan keluar dari perangkap paradoks akuntabilitas tersebut,diantaranya adalah dengan mengenalkan teknik-teknik penyampaian informasi yang relatif aman dan mampu menjawab kecemasan tersebut. Salah satunya adalah menerapkan penanganan informasi sensitif sebagaimana telah diuraikan di atas.

———-

[1] Lihat Putusan Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur No. 119/ VII/KI-Prov.Jatim-PS-M-A/2012, par. [6.2], [6.3] dan [6.4], antara: Moh. Sidiq vs Dinas Perhubungan Kabupaten Sumenep.

[2] Jos, P.H. and Tompkins, M.E. ‘The Accountability Paradox in an Age of Reinvention’, dalam Administration & Society, 36(3), 2004, hal. 255-281.

[3] Anechiarico, F. and Jacobs, J. The Pursuit of Absolute Integrity: How Corruption Control Makes Government Ineffective. Chicago: University of Chicago Press, 1996, hal. 174–176.

[4] Fesler, J.W & Kettl, D.F. The Politics of the Administrative Process. New Jersey: Chatham House Publishers, 1991, hal. 321.

[5] Radin, B.A. Challenging the Performance Movement: Accountability, Complexity and Democratic Values. Washington: Georgetown University Press, 2006, hal. 44–45.

Mencermati Badan Publik Dalam UU KIP

Mencermati Badan Publik Dalam UU KIP

Ahmad Alamsyah Saragih

Subjek penguasa informasi dalam Undang-Undang yang mengatur tentang akses atau hak atas informasi di berbagai negara disebut dengan beragam istilah sesuai dengan lingkup masing-masing. Ada yang menyebutnya sebagai Public Authority,[1] Government Institution,[2] dsb. Di Indonesia UU KIP menyebutnya sebagai Badan Publik.

Pasal 1 angka 3:

Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Lingkup Badan Publik yang diatur oleh Undang-undang ini cukup luas. Ini yang menyebabkan dalam banyak hal, sering terjadi kesalahan persepsi yang mempersempitnya menjadi Badan Hukum Publik. Badan Publik mencakup badan-badan atau organisasi yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum (badan hukum publik dan badan hukum perdata) yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur pada ketentuan di atas.

Jika dicermati secara gramatikal definisi Badan Publik berdasarkan UU KIP dapat dipecah menjadi beberapa frasa yang menghasilkan tiga kriteria untuk Badan Publik yang tidak bersifat kumulatif. Ketiga kriteria tersebut menentukan apa yang sering disebut sebagai Badan Publik Negara dan Badan Publik selain Badan Publik Negara. Beberapa kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

Kriteria-1:

lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan

Kriteria-2:

badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negarayang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau

Kriteria-3:

organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Pada kriteria pertama yang digunakan sebagai batasan adalah cabang-cabang penyelenggara kekuasaan negara, baik tingkat pusat maupun daerah. Kriteria pertama ini umumnya dianggap cukup jelas, dan hampir tidak pernah terjadi perdebatan yang berarti, bahkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Kontroversi mulai terjadi pada kriteria kedua, yang memasukkan badan lain berdasarkan kriteria fungsi dan sumber pendanaan sebagai satu kesatuan. Dapat dimengerti bahwa yang dimaksud dengan badan lain adalah badan hukum. Frasa ‘fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara’ relatif mudah dipahami. Namun membatasinya dengan ‘sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/ABD’ sebagai syarat kumulatif telah menyebabkan beberapa badan hukum yang memenuhi syarat dari fungsi tapi beranggapan tidak memenuhi syarat dari sisi pendanaan, seperti BUMN/BUMD, Bank Indonesia (BI), dan beberapa Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Kontroversi berikutnya menyangkut Organisasi Non Pemerintah berdasarkan kriteria ketiga. Apakah Organisasi Non Pemerintah mencakup juga perusahaan swasta? Bagaimana dengan perusahaan yang sedang melakukan hubungan kontraktual dalam pengadaan barang dan jasa yang dananya bersumber dari APBN/APBD? Apa yang dimaksud dengan sumbangan masyarakat? Berbagai pertanyaan tersebut telah melahirkan silang pendapat terkait status Badan Publik yang termasuk dalam kategori Organisasi Non Pemerintah.

Masuknya persyaratan sumber pembiayaan ke dalam kriteria menjadikan perumusan Badan Publik di Indonesia relatif berbeda dengan banyak negara yang memiliki Undang-Undang serupa. Dalam pembahasan RUU KMIP, paling tidak ada dua alasan: pertama, adalah akomodasi terhadap spirit anti korupsi dan akuntabilitas; dan kedua adalah keinginan politis untuk mengawasi intervensi asing melalui LSM di Indonesia.

Sofyan A. Djalil, S.H., MA., MALD (Menteri Kominfo): Pemerintah sangat sepakat dalam rangka kita menciptakan good government… semua masyarakat kita penting sekali ada akuntabilitas, karena akuntabilitas itulah yang menciptakan kita menjadi bertanggung jawab… Tujuannya adalah supaya tadi kita mengetahui dana itu digunakan untuk apa, dari mana digunakan untuk apa, apa motivasi di balik pembiayaan, misalnya terhadap lembaga-lembaga terutama LSM… LSM mendapatkan sumbangan dari luar negeri bisa jadi itu adalah masalah, dalam rangka kita sulit bersaing, … ada LSM misalnya mempromosikan luar biasa untuk kepentingan publik, tapi sebenarnya di balik itu ada sadar atau tidak sadar membawa kepentingan yang sebenarnya not interest for our country. Oleh sebab itu, ini perlu kita masukkan Bapak Ibu sekalian. (hal. 32-33); Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006.

Alasan yang pertama dapat dipahami karena korupsi dan akuntabilitas merupakan isu sentral sejak Indonesia melakukan reformasi. Namun alasan kedua, relatif sulit dicerna akal sehat. Apakah ada LSM yang menerima dana asing mau berterus terang mencantumkan tujuannya untuk merusak kepentingan negara ketika dimintai informasi? Mungkin untuk mengatasi isu ini, jika memang secara faktual terjadi, diperlukan skema yang lebih efektif dibandingkan Undang-Undang ini. Terlepas dari itu semua, alasan ini berharga sebagai catatan sejarah atas pertanyaan mengapa rumusan ini dibuat dan sebagai salah satu bentuk kebebasan berpendapat.

Kontroversi Status BUMN/D

Dalam rancangan inisiatif DPR, BUMN dan BUMD termasuk sebagai Badan Publik. Sebaliknya, Pemerintah mengusulkan ketentuan tentang Badan Publik tidak memasukkan BUMN dan BUMD ke dalam rumusan. [3]

Pada awal pembahasan, Pemerintah menyatakan alasan tidak memasukkan BUMN ke dalam badan Publik karena sudah diatur secara khusus, dan lagi keterbukaan informasi di BUMN dapat merugikan daya saing BUMN.

Sofyan A. Djalil (Menteri Kominfo): ‘… kami mengusulkan supaya ini tidak dimasukan karena BUMN dan BUMD badan usaha swasta, bahwa sistem akuntansinya dia mempunyai mekanisme korporasi. Ada lembaga yang mengaudit, BPK, BPKP, kalau BUMN publik, Akuntan Publik. … kalau Bapak melihat akibat dari Undang-Undang Keuangan Negara yang salah kaprah terlalu mendefinisikan, lebih mundur dari ICW (maksudnya Indische Comptabiliteit Wet, UU Keuangan Negara—editor), IBW (Indische Bedrijvenwet, peraturan keuangan perusahaan negara—editor) hari ini BUMN sangat-sangat sulit. Bahwa Bank-bank BUMN, karena laporan auditnya dimasukkan ke website sekarang, kreditur-kreditur besar keluar dari BUMN…. Oleh sebab itu Bapak yang terhormat, Pemerintah mengusulkan untuk Badan BUMN kita atur dengan Undang-Undang yang lain. Biarlah mereka tertutup dari security informasi publik, kecuali dengan mekanisme yang wajar dalam sistim akuntansi kita.’ [4]

Seluruh anggota DPR yang hadir dalam Raker mengemukakan pendapat yang intinya belum bisa menerima alasan Pemerintah untuk tidak memasukkan BUMN dan BUMD sebagai Badan Publik. Bagaimanapun BUMN berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan negara. Kekhawatiran Pemerintah terhadap resiko terganggunya daya saing BUMN dapat diproteksi dengan memasukkan informasi-informasi di BUMN yang beresiko tersebut ke dalam informasi yang dikecualikan dalam Undang-Undang ini.

Pembahasan mengenai hal ini paling menyita energi. Rapat pembahasan berkali-kali gagal mencapai kesepakatan di tahap Raker dan Panja. Pembahasan mencapai situasi ‘apologetik’ karena bersandar pada ‘keyakinan’. Saat itu, masing-masing pihak cenderung terlihat mencari justifikasi atas argumen dan kesulitan mencari titik temu normatif.

Pemerintah meyakini bahwa ‘BUMN adalah Badan Hukum yang murni melakukan fungsi-fungsi privat dan tunduk pada rezim korporasi (hukum privat)’, sedangkan anggota DPR yang hadir meyakini ‘BUMN adalah badan hukum yang melakukan fungsi ganda, fungsi penyelenggaraan negara (publik) dan fungsi privat. Untuk itu dalam hal tertentu, terkait fungsi publiknya, ia harus tunduk pada rezim hukum publik’.

Drs. Djoko Susilo, MA (F-PAN): ‘… tidak mendukung pak untuk didrop BUMN dan BUMD. Kalau kemudian yang dikhawatirkan soal strategi-strategi perusahaan, saya kira itu informasi yang bisa ditolak… Jadi memang informasi-informasi itu sendiri ada yang legitimate untuk diberikan atau tidak diberikan. Jadi kekuatiran bahwa nanti rahasia perusahaan akan terbuka, saya kira tidak masuk akal. Justru kalau adanya BUMN dan BUMD ini kita masukan, maka transparansi dan dalam pengelolaan perusahaan negara itu akan lebih bagus. Demikian juga keputusan-keputusan yang diambil akan bisa lebih rasional…’ [5]

Akhirnya disepakati untuk dilakukan pembahasan tertutup. Hanya diketahui bahwa rumusan yang ada sekarang adalah rumusan berdasarkan hasil pertemuan tertutup dan dirancang oleh Tim Perumus (Anotasi UU KIP, 2009).[6] Rapat tertutup tersebut juga menghasilkan kesepakatan bahwa untuk BUMN, Organisasi Non Pemerintah dan Partai Politik dimasukkan ketentuan khusus dalam UU KIP. Kesepakatan ini melahirkan Pasal 14, 15 dan 16 yang dimasukkan pada Bagian yang mengatur ‘Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat’ dalam UU KIP.

Kembali kepada ketentuan mengenai Badan Publik, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, adalah posisi atau kedudukan lembaga tersebut. Kedua, kombinasi antara keterkaitan fungsi lembaga tersebut dengan penyelenggaraan negara (urusan publik) dan sumber pendanaan. Pertimbangan kedua harus dikaitkan dengan salah satu tujuan keterbukaan informasi adalah untuk mendorong akuntabilitas.

Pasal Misterius di Balik Kontroversi BUMN

Pada saat tulisan ini dibuat, belum diperoleh hasil tertulis dari rapat tertutup. Risalah rapat tertutup biasanya hanya memuat sesuatu yang patut diketahui publik, dan tidak memasukkan hal yang tidak untuk diketahui. Satu hal yang masih menjadi misteri adalah bahwa meskipun dalam pembahasan tercatat bahwa akan dilakukan rapat terbatas terkait masalah BUMN dan BUMD, tidak diketahui mengapa pada rumusan terakhir ada pasal tambahan yang semula tidak ada dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) rancangan DPR dan usulan Pemerintah. Pasal tersebut adalah pasal 18 ayat (3) sampai dengan (7). [7]

Tidak diketahui persis apakah pasal ini ada kaitannya dengan memasukkan BUMN dan BUMD ke dalam UU KIP atau tidak. Agak sulit memahami maksud pasal tersebut. Dinyatakan bahwa untuk kepentingan persidangan perkara pidana dan perdata di pengadilan, pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 UU KIP, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau Pimpinan lembaga negara penegak hukum lainnya yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang dapat dilakukan dengan mengajukan izin kepada Presiden.

Pasal ini berpotensi menimbulkan kerancuan dengan Undang-Undang lain yang mengatur lembaga peradilan, terutama menyangkut relevansi Kepala Kepolisian dan Ketua MA untuk membuka informasi. Kepolisian bukan pihak yang aktif di persidangan, tapi jaksa selaku penuntut umum, hakim atau terdakwa yang membutuhkannya.

Dalam perkara pidana, kemungkinan hakim akan meminta jaksa memberikan bukti-bukti pendukung guna memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutus perkara. Dengan demikian, permohonan izin lebih masuk akal oleh jaksa melalui Jaksa Agung, tidak oleh pengadilan melalui Ketua MA.

Lebih mendasar, rumusan ini memposisikan Presiden menjadi pemutus terakhir boleh tidaknya informasi yang dikecualikan tersebut dibuka dalam persidangan. Hal ini menimbulkan potensi campur tangan Presiden terhadap lembaga yudikatif.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas pasal-pasal tersebut secara mendalam, namun diperlukan penafsiran yang membatasinya. Apalagi pada bagian Penjelasan hanya dinyatakan ‘cukup jelas’ dan dalam Risalah Pembahasan RUU KMIP di DPR tidak ditemukan pembahasan tentang pasal ini.

Pertama, harus ditafsirkan bahwa ketentuan ini berlaku jika persidangan untuk pemeriksaan informasi dikecualikan yang harus bersifat tertutup sebagaimana diatur oleh UU KIP ingin dilaksanakan secara terbuka. Kedua, Keputusan Presiden, baik mengabulkan maupun menolak, tidak bersifat mutlak dan dapat di-challenge oleh pihak yang berkepentingan di pengadilan (Anotasi UU KIP, 2009).[8]

Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada persidangan di pengadilan yang terkendala oleh pasal ini. Bagaimanapun pasal ini masih menyisakan misteri sampai suatu saat ada pihak berkepentingan yang membawanya ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian.

Penyakit Menular: Anggaran Negara dan Sumbangan Masyarakat

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kriteria kedua lingkup Badan Publik sesuai UU KIP juga mensyaratkan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran negara. Hal ini telah menyebabkan beberapa polemik di awal pelaksanaan UU KIP.

#Polemik pertamaApakah suatu badan hukum yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara namun pendanaannya tidak berasal dari Anggaran Negara tidak termasuk Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP?

Polemik pertama muncul ketika terjadi sengketa informasi yang melibatkan Bank Indonesia sebagai Termohon Informasi. Kriteria kedua dinyatakan tidak dapat dipenuhi secara utuh, karena meskipun Bank Indonesia melakukan fungsi penyelenggaraan negara, sumber pendanaan Bank Indonesia tidak berasal dari APBN. Pertanyaan yang sama diajukan oleh beberapa BUMN. Berbeda dengan BUMN atau BUMD yang secara eksplisit telah masuk dalam Pasal 16 UU KIP, Bank Indonesia tidak masuk dalam pasal khusus.

Setelah amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, Bank Indonesia secara tegas bukan merupakan bagian dari Pemerintah. Hal ini berbeda dengan sebelum terjadi amandemen, dimana BI dilihat sebagai bagian dari Pemerintah. Setelah amandemen BI masuk dalam kategori lembaga negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance (Jimly, 2006).[9] Kini BI bukan merupakan lembaga negara independen yang bukan merupakan bagian dari eksekutif, legislatif atau yudikatif.

Sumber pendanaan awal Bank Indonesia berasal dari nasionalisasi aset De Javasche Bank NV, yang diatur melalui UU No. 24 Tahun 1951. Undang-Undang ini mengatur penggantian kerugian pemilik saham, baik yang berwarga negara Belanda maupun warga negara Indonesia oleh Pemerintah.[10]

Setelah amademen UUD 1945, diupayakan penguatan terhadap independensi BI. Untuk itu dibuat UU No. Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Melalui Undang-Undang ini, modal Bank Indonesia menjadi kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN.

Penjelasan Pasal 4 ayat (3):

Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-undang ini dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1):

Modal Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ini berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral sebelum Undang-undang ini diberlakukan.

Melihat sangat strategisnya fungsi Bank Indonesia sebagai salah satu penyelenggara negara, maka sangatlah tidak logis jika Bank Indonesia bukan Badan Publik. Namun karena tidak ada sumber pendanaan yang berasal dari APBN, sebagian pihak mempertanyakan apakah BI adalah Badan Publik yang terkena kewajiban sebagaimana diatur oleh UU KIP.

Meski demikian, tak tertutup kemungkinan BI menerima dana yang berasal dari Anggaran Negara. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2004, menyatakan bahwa BI dapat menerima dana dari pemerintah untuk dua kondisi, yakni: apabila terjadi kekurangan modal menjadi di bawah Rp. 2 triliun,[11] atau pembebanan atas fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan berdampak sistemik.[12]

Dengan demikian sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat menerima APBN. Menjadi semakin tidak rasional jika BI hanya dikenai kewajiban menjalankan UU KIP ketika menerima APBN dan kemudian terlepas dari kewajiban manakala bantuan yang bersumber dari APBN tersebut telah dikembalikan. Hal ini bertentangan dengan tujuan mendorong akuntabilitas di lembaga penyelenggara negara yang telah berkali-kali ditegaskan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang ini.[13]

Tafsir gramatikal atas sumber pendanaan yang berasal dari APBN sebagai kriteria yang menentukan apakah Bank Indonesia termasuk sebagai Badan Publik menjadi sangat lemah. Hal ini akan merusak kepastian kriteria Badan Publik.

Kesimpulan: Berdasarkan pertimbangan dan interpretasi sistematik di atas Bank Indonesia termasuk dalam Badan Publik yang berkewajiban menjalankan UU KIP.

Polemik yang sama berlanjut ke Badan Hukum Milik Negara yang bernama BP-Migas. Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) selaku Pemohon Informasi meminta Informasi salinan dokumen Kontrak Bagi Hasil Migas antara Indonesia dengan PT Chevron Pacific yang dokumennya dikuasai oleh BP Migas.

BP Migas menolak memberikan dengan alasan: BP-Migas adalah Badan Hukum Milik Negara yang tidak pernah mendapatkan APBN sehingga bukan merupakan Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP. Oleh karenanya BP Migas tidak berkewajiban memberikan informasi sesuai prosedur yang diatur oleh UU KIP.

Akibat penolakan tersebut, YP2IP mendaftarkan permohonan penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi Pusat. Dalam putusan, Majelis Komisioner berpendapat lain. BP Migas dinyatakan sebagai Badan Publik karena merupakan kuasa dari Pemerintah dalam mengadakan kontrak bagi hasil dengan para perusahaan pelaksana.

BP Migas merupakan Badan Publik karena menjadi bagian dari eksekutif (kriteria pertama),[14] sehingga tidak perlu dibuktikan apakah BP-Migas menerima Anggaran Negara atau tidak (kriteria kedua). Atas putusan Majelis, BP Migas menyatakan keberatan dan kemudian melanjutkan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hingga tulisan ini dibuat, putusan atas perkara BP Migas belum berkekuatan hukum tetap.

Di tengah perjalanan kasus ini, 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi ‘membubarkan’ BP Migas setelah menyatakan dasar hukum keberadaan BP Migas bertentangan dengan Konstitusi. Pemerintah langsung bergerak cepat mengubah nama lembaga ini menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang dapat dipastikan merupakan Badan Publik.

Kesimpulan: BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memiliki fungsi regulator (penyelenggaraan negara), dan dalam berkontrak, BP Migas bertindak mewakili negara, sehingga masuk dalam kategori Badan Publik.

#Polemik keduaApakah jika suatu Badan Usaha Milik Negara dengan penyertaan modal Pemerintah sebagai harta kekayaan negara yang dipisahkan termasuk Badan Publik? Sejauh mana kewajibannya dalam menjalankan apa yang diatur oleh UU KIP?

Memperhatikan perkembangan di berbagai negara, ada dua hal yang menjadi kriteria suatu State Owned Enterprises (SOE) yang dikenal di Indonesia sebagai BUMN untuk dinyatakan masuk sebagai Badan Publik. Pertama, adalah kewenangan administrasi publik. Kewenangan administrasi publik di beberapa negara dimaknai sebagai kewenangan untuk mengatur (regulatory function), termasuk di dalamnya ‘pengaturan’ mengenai penerapan standar tertentu. Jika suatu korporsi diberi mandat untuk melakukan fungsi pengaturan oleh negara, dapat dipastikan dalam hal tersebut ia berfungsi sebagai badan publik.

Pemberlakukan akses publik terhadap Badan Usaha Milik Negara maupun Swasta yang menjalankan ‘kewenangan administratif’ atau ‘fungsi publik’ terdapat di hampir semua negara eropa, kecuali Inggris. Di Afrika ditemukan di Angola dan Afrika Selatan. Di benua Amerika ditemukan di Kanada, Antiqua and Barbuda, Belize, Republik Dominika, Equador, Peru, Trinidad dan Tobago. Di Asia Pasifik, dapat ditemukan di Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan.

Kedua, adalah mengelola dana publik. UU KIP juga menggunakan kriteria sumber pedanaan dari APBN dan sumbangan masyarakat maupun luar negeri sehingga suatu organisasi non pemerintah layak dikategorikan sebagai Badan Publik. Namun demikian tidak ada ketentuan yang yang menyatakan ‘dalam jumlah berarti’.

Kriteria tersebut seringkali mengundang perdebatan pada awal pemberlakuan Undang-Undang. Beberapa negara akhirnya menindaklanjutinya dengan pengaturan yang lebih khusus. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk memperjelas batasan kapan korporasi menjalankan status sebagai Badan Publik, dengan maksud: (a) memberikan akses terhadap publik untuk mengetahui akuntabilitas dana publik yang dialokasikan dalam jumlah yang sangat berarti; (b) memastikan bahwa Badan Usaha tersebut menerima dan mengelola dana sesuai dengan fungsi publik yang diamanatkan;

Beberapa negara menerapkan kriteria fungsi publik dan menerima dana publik secara bersamaan, dan sebagian yang lain hanya membatasinya dengan fungsi publik. Belakangan ada kecenderungan untuk memasukkan Badan Usaha Swasta yang menerima dana publik sepanjang dana tersebut dimaksudkan untuk menjalankan fungsi pengelolaan urusan publik tertentu berdasarkan penugasan oleh negara.

Ada pula negara yang memperluas batasan, yakni ketika suatu badan usaha mengelola sesuatu yang berkaitan dengan ‘kepentingan publik’. Armenia adalah contoh untuk ini. Adapun yang dimaksud dengan kepentingan publik di sini mencakup pengelolaan sarana transportasi, komunikasi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, dan pelayanan-pelayanan publik lainnya yang dinyatkan sebagai tanggung jawab negara.

Perluasan batasan ini dinilai banyak pihak masuk akal, karena bermanfaat untuk mengurangi ketidakpastan yang disebabkan oleh kelemahan dalam perjanjian yang mengatur fungsi-fungsi publik yang harus dijalankan oleh Badan Usaha tersebut.

Berbagai kriteria tersebut tentunya harus diatur dengan mempertimbankan pemenuhan keadilan dalam dua hal: publik sebagai pemanfaat layanan dan Badan Usaha dalam menjalankan fungsi-fungsi bisnisnya. Dalam berbagai kasus, peran lembaga pemutus (a.l: komisi informasi) diperlukan untuk memastikan dan mempertajam batasan dua hal tersebut ketika terjadi perbedaan persepsi.

Di Indonesia, meski Negara melalui Pemerintah melakukan penyertaan modal terhadap BUMN PT, namun penyertaan modal negara tersebut memiliki tujuan bisnis (privat), bukan tujuan penyelenggaraan negara (publik). Dalam konteks ini kriteria kedua dari ketentuan Badan Publik tak terpenuhi.

Namun dalam konteks tertentu, BUMN PT akan berstatus sebagai Badan Publik jika informasi yang diminta terkait fungsi mereka dalam penyelenggaraan negara. Untuk memudahkan, BUMN PT dapat berstatus sebagai Badan Publik ketika sedang menerima mandat untuk menjalankan Public Service Obligation (PSO) tertentu.

Hal lain yang perlu diperhatikan apakah BUMN PT tersebut sedang menjalankan praktik monopoli yang didukung oleh aturan, sehingga tak ada pelaku bisnis lain yang bisa masuk ke sektor tersebut (mandatory monopoly). Jika hal ini terjadi maka BUMN PT tersebut tetap berstatus sebagai Badan Publik.

Sengketa informasi ke BUMN mulai terjadi dengan diberlakukan UU KIP. Seorang Pemohon meminta informasi mengenai daftar penerima kredit UKM Bank Mandiri, baik yang berstatus lancar maupun yang tidak lancar.

Bank Mandiri sebagai Bank BUMN pada prinsipnya merupakan perseroan terbatas milik negara yang menjalankan fungsi bisnis sama dengan bank swasta lain. Pemberian kredit UKM tersebut merupakan program pemerintah yang bersumber dari APBN dan disalurkan melalu Bank Mandiri, sehingga Bank Mandiri sedang berstatus menyelenggarakan urusan publik. Oleh karenanya, Bank Mandiri memiliki kewajiban untuk mengelola informasi terkait berdasarkan UU KIP.

Meski demikian, apakah informasi dapat diberikan atau tidak kepada Pemohon akan sangat bergantung dari hasil uji konsekuensi bahaya yang dilakukan sebagaimana diatur oleh UU KIP.

Kesimpulan: BUMN PT hanya akan berstatus sebagai Badan Publik apa bila informasi yang diminta menyangkut fungsi penyelenggaraan negara (public service obligation) yang sedang dijalankan, atau BUMN PT tersebut dalam kondisi mandatory monopoly. Dalam menyelenggarakan fungsi bisnisnya BUMN PT berstatus sama dengan korporasi swasta umumnya yang tidak dikenai kewajiban menjalankan UU KIP.

#Polemik ketigaApakah jika suatu badan hukum privat pernah menerima anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat maka ia secara otomatis berstatus sebagai Badan Publik sesuai UU KIP? Jika termasuk Badan Publik, sejauh mana kewajibannya dalam menjalankan apa yang diatur oleh UU KIP?

Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI) suatu asosiasi profesi menjadi Termohon informasi dalam sengketa yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat.[15] Berbeda dengan beberapa Badan Hukum yang telah disebutkan di atas, AISI tidak memiliki keterkaitan fungsi dengan penyelenggaraan negara.

Dalam pertimbangan putusan dua anggota Majelis Komisioner berpendapat bahwa AISI adalah Badan Publik karena pernah menerima dana yang bersumber dari APBN senilai Rp. 8 juta. Sementara satu anggota Majelis Komisioner (Ramly Amin Simbolon) memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Alasannya adalah bahwa penerimaan dana tersebut hanya berjumlah Rp. 8 juta dan tidak diterima secara periodik (hanya sekali), sehingga tidak relevan untuk dinyatakan sama dengan apa yang dimaksud dengan frasa: ‘yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD’ pada pasal 1 angka 3 UU KIP’.

Kontroversi lain terkait dengan parameter sumbangan kepada organisasi non pemerintah. Sesuai kriteria ketiga, setiap organisasi non pemerintah yang menerima sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri dinyatakan oleh UU KIP sebagai Badan Publik. Sumbangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai berikut:

KBBI:

sum·bang·an n 1 pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan dsb); penyolok; 2 bantuan; sokongan;

– manasuka: sumbangan sukarela; – wajib: sumbangan berupa uang dsb yg harus dibayar.

Dalam pembahasan RUU KMIP, kriteria sumbangan masyarakat dimasukkan dengan tujuan mendorong keterbukaan informasi pada organisasi-organisasi yang menerima dan mengelola sumbangan masyarakat yang tidak mengikat. Tujuannya adalah mingkatkan akuntabilitas publik institusi. Setidaknya ada dua pendapat yang dilontarkan pada saat rapat pembahasan:

Sofyan A. Djalil (Menteri Kominfo): ‘Sekarang ada yayasan yang laporan keuangannya diaudit dan ditaruh di website,… Mahasiswa saya S3, S2 melakukan studi tentang Badan Pengelola Zakat. Ada sebelas Badan Amil Zakat… yang bagus hanya empat, yang dapat dipertahankan dari segi akuntabilitas… ternyata lembaga yang ambil zakat yang bagus, empat ini, dari tahun ke tahun pertumbuhannya 200-300%. Itu penting sekali ada akuntabilitas… [16]

Bachrum R. Siregar, SE (F-PBR): ‘Ini contoh nyata sewaktu Metro TV mengumpulkan dana untuk masyarakat Aceh itu. Cukup besar dana yang dikumpulkan, mencapai 160 sekian milyar. Pada waktu itu saya di Satkorlak, kita pun tidak bisa mengakses dana itu digunakan untuk apa. Itu tidak bisa, sehingga bisa saja kalau dana 160 lebih digunakan untuk membangun sekolah, membangun apa yang jumlahnya tidak tahu, apakah digunakan semua atau tidak. Saya rasa merupakan hak publik juga untuk mengetahui itu, sehingga saya cenderung mendukung apa yang disampaikan Pak Usamah khusus mengenai sumbangan yang dihimpun dari masyarakat juga harus dapat diakses yang dihimpun oleh lembaga-lembaga lain’. [17]

Dari risalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumbangan masyarakat yang dimaksud adalah sumbangan sukarela, bukan sumbangan wajib atau iuran. Sumbangan yang dimaksud adalah pemberian dana yang tidak terkait dengan hak dan kewajiban anggota. Hal ini berbeda dengan iuran anggota atau sumbangan wajib sebagaimana yang dimaksud pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berimplikasi pada hak dan kewajiban anggota dalam organisasi.

UU KIP menyatakan lingkup organisasi non pemerintah yang berstatus Badan Publik dan dikenai kewajiban menjalankan UU KIP sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 16

Yang dimaksud dengan “organisasi nonpemerintah” adalah organisasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang meliputi perkumpulanlembaga swadaya masyarakatbadan usaha nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/ APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Penjelasan Pasal 16 tersebut secara tekstual telah menyebabkan luasnya cakupan Badan Publik nonpemerintah. Pasal ini mengatur seluruh organisasi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, termasuk di dalamnya badan usaha nonpemerintah, sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari: anggaran negara, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang badan hukum. Pengaturan tentang badan hukum mengacu pada Undang-Undang yang secara khusus mengatur badan hukum tertentu, misalnya: UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik. Perdebatan teoritis tentang badan hukum bukan merupakan topik yang akan di bahas pada bagian ini.

Dalam persidangan ajudikasi dengan termohon AISI, sebagaimana telah dijelaskan di atas, sumbangan menjadi salah satu parameter yang digunakan oleh Majelis Komisioner untuk menentukan apakah AISI adalah Badan Publik atau tidak. Sumbangan yang dimaksud merupakan bantuan atau sokongan dari masyarakat.

Dalam AD/ART asosiasi ini, dinyatakan bahwa AISI boleh menerima sumbangan yang tidak mengikat. Dalam laporan keuangan sampai saat permintaan informasi dilakukan oleh Pemohon, AISI baru satu kali menerima sumbangan dari Pemerintah. Hal ini lebih merupakan kesalahan penyebutan. Adapun yang dimaksud sebenarnya adalah sumber pendanaan dari APBN senilai Rp. 8 juta untuk pembiayaan suatu kegiatan pada tahun 2008.

Tidak terlalu jelas dalam pertimbangan putusan apakah ketentuan dalam Anggaran Dasar tersebut juga telah menyebabkan dua anggota Majelis berpendapat bahwa setiap saat AISI dapat menerima bantuan yang tidak mengikat sehingga AISI adalah Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP (kriteria ketiga). Walaupun secara riil AISI belum menerima sumbangan dari masyarakat.

Kesimpulan: Meski belum direalisasikan, Asosiasi maupun badan hukum privat lainnya dengan AD/ART yang memperbolehkan menerima anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat dan luar negeri masuk dalam kategori Badan Publik. Sebagai Badan Publik ia memiliki kewajiban menjalankan UU KIP terkait dengan pengeloalaan anggaran negara dan/atau sumbangan masyarakat dan luar negeri tersebut.

#Polemik keempatApakah badan hukum privat yang melakukan hubungan kontraktual dengan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa publik secara otomatis juga berstatus sebagai Badan Publik sebagaimana dimaksud oleh UU KIP?

Dalam berbagai pertemuan yang membahas tentang kriteria Badan Publik nonpemerintah, kerap kali muncul polemik: apakah para penyedia barang dan jasa yang memenangkan lelang untuk suatu pekerjaan adalah juga Badan Publik? Dapat dipahami jika terjadi perbedaan pendapat.

Dalam kenyataan ada dua skema badan usaha nonpemerintah menerima dana yang berasal dari anggaran negara: pertama, terkait dengan penyediaan barang dan jasa yang diadakan oleh pemerintah (sebagai penyedia jasa). Kedua, menerima bantuan dana (sebagai pemanfaat) yang digunakan untuk mengembangkan usaha mereka (biasanya diberikan kepada UKM, usaha mikro, koperasi, usaha kelompok atau unit simpan pinjam yang ada di masyarakat). Bantuan dana yang sering dikenal dengan istilah bantuan sosial atau dana hibah biasanya diberikan kepada organisasi sosial yang badan hukumnya juga beragam.

Melihat dari sejarah pembahasan UU KIP, maka untuk skema pertama tentunya bukanlah yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Skema penyediaan barang dan jasa sudah diatur tersendiri. Badan usaha nonpemerintah yang masuk dalam kategori Badan Publik sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU KIP adalah badan usaha yang menerima dana dari pemerintah dengan skema bantuan, bukan skema penyediaan barang dan jasa.

Kesimpulan: Badan usaha yang menerima dana dari anggaran negara dalam rangka ‘penyediaan barang dan jasa’ bukanlah badan usaha nonpemerintah yang masuk dalam kategori Badan Publik sebagaimana diatur oleh UU KIP. Badan usaha ini murni melakukan hubungan bisnis (perdata), sehingga tidak dikenai kewajiban sebagaimana diatur oleh UU KIP. Pelayanan informasi terkait penggunaan dana dalam pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN tersebut menjadi kewajiban badan publik negara yang melakukan hubungan kontraktual dengan badan usaha tersebut.

———

[1] Lihat Freedom of Information Act, 2000, UK.

[2] Lihat Access to Information Act, R.S.C., 1985, c. A-1, Canada.

[3] Lihat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM-16) RUU KMIP Komisi I DPR RI: Rumusan DPR: ‘Badan publik   adalah penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan organisasi non-pemerintah yang mendapatkan dana dari anggaran negara atau anggaran daerah dan usaha swasta yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik lain dalam menjalankan sebagian fungsi pelayanan publik.’; Rumusan Pemerintah: Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan lembaga lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, termasuk ke dalam badan publik adalah organisasi non-pemerintah yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, Partai Politik dan/atau institusi sosial dan/atau kemasyarakatan lain yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri.’

[4] DPR RI, Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006, hal. 32-33.

[5] DPR RI. Raker RUU KMIP Komisi I DPR RI, 15 Mei 2006, hal. 34-35

[6] Komisi Informasi Pusat dan ICEL. Anotasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, edisi pertama, Jakrta, 2009, hal. 31

[7] Pasal 18 UU KIP: … (3) Dalam hal kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/atau Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya yang diberi kewenangan oleh Undang-­Undang dapat membuka informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j; (4) Pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara mengajukan permintaan izin kepada Presiden; (5) Permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kepentingan pemeriksaan perkara perdata yang berkaitan dengan keuangan atau kekayaan negara di pengadilan, permintaan izin diajukan oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara kepada Presiden; (6) Izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya, atau Ketua Mahkamah Agung; (7) Dengan mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dan kepentingan umum, Presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

[8] Ibid, hal. 220.

[9] Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretaris Jenderal MK RI, 2006, hal. 25.

[10] Lihat Pasal 2, 3 dan 5, UU No. 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV.

[11] Pasal 62 ayat (3), UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia: ‘Apabila modal menjadi kurang dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1, Pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’.

[12] Pasal 11 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia: ‘Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah’.

[13] Lihat Konsideran Menimbang huruf c UU KIP: ‘bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik’.

[14] Lihat Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 356/IX/KIP/PS-M-A/2011, YP2IP melawan BP Migas, Jakarta, 10 Juli 2011. Hal 16: ‘Par. (4.11) Menimbang bahwa berdasarkan fakta di persidangan: 1…. dst, 6. Bahwa BP Migas ini mewakili pemerintah. Kegiatan Migas ini padat karya dan padat modal. Karena itu, Kementerian ESDM melakukan tender dan setelah diperoleh pemenangnya dibuat kontrak kerjasama dan yang menandatangani adalah BP Migas. Sebelumnya fungsi menandatangani ada di Pertamina’; Par. (4.14) Menimbang bahwa dalam pelaksanaan tugasnya termohon merupakan wakil dari Pemerintah dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sehingga hal tersebut sudah merupakan tindakan lembaga eksekutif (wakil/representasi dari pemerintah) terkait dengan penyelenggaraan negara, dengan demikian unsur badan publik sudah terpenuhi.

[15] Lihat Putusan Komisi Informasi Pusat RI No. 089/III/KIP-PS-M-A/2012. PT Triyasa Pirsa Utama melawan Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI). Jakarta, 19 Desember 2012.

[16] DPR-RI, Komisi I, Risalah Raker RUU KMIP, 15 Mei 2006, hal. 41.

[17] DPR-RI, Komisi I, Rapat Panja RUU KMIP, Komisi I DPR RI, 29 Mei 2007, hal. 7-8.