Titi Anggraini: Seharusnya KPU DKI Tentukan Batasan Dana Kampanye Sejak Awal Tahun

Titi Anggraini: Seharusnya KPU DKI Tentukan Batasan Dana Kampanye Sejak Awal Tahun

Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno

Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno

KebebasanInformasi.org – Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 berlangsung dari 28 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017. Sehari sebelum masa kampanye dimulai, yakni 27 Oktober 2016, seluruh pasangan calon (paslon) wajib menyerahkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah masing-masing. Setelah itu, KPU segera mengumumkan LADK tersebut kepada publik.

Namun ada yang unik dalam pelaksanaan Pilkada di DKI Jakarta. Salah satu paslon, yakni pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno, telah mengumumkan besaran dana kampanyenya ke publik sebelum menyerahkan LADK ke KPU.

Kepada awak media di Jakarta, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Gerindra DKI Jakarta M. Taufik mengatakan dana kampanye calon yang diusung partainya dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tidak kurang dari Rp200 miliar. “Sedang dihitung, yang jelas tak sedikit dan saya kira tak akan kurang dari itu (Rp200 miliar),” kata Taufik, Rabu (27/10/2016) lalu.

Langkah tersebut sempat menyedot perhatian publik, ada yang yang mendukung dan ada pula yang menilainya kurang etis.

Ketua KPU DKI Sumarno menanggapinya dengan mengatakan tidak masalah. Sebab, kata dia, pada akhirnya, masing-masing paslon tetap menyerahkan LADK dengan semua rincian, termasuk penerimaan dan pengeluaran sebelum mereka ditetapkan sebagai calon.

“Ya nggak apa-apa. Kan di laporan awal dana kampanye mereka juga disebutkan, bahwa saldo yang tersisa saat memasuki masa kampanye berapa, termasuk juga laporan penerimaan dan pengeluaran para calon ketika mereka belum ditetapkan sebagai calon, sebelum masa kampanye dimulai,” jelas Sumarno, Minggu (6/11/2017).

Sebagai penyelenggara Pilkada, pihaknya akan menginformasikan semua data, termasuk laporan dana kampanye, kepada publik. Meski Sumarno tidak menafikan bisa jadi laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang disampaikan ke KPU itu tidak lengkap.

“Pokoknya semua data yang masuk ke KPU itu diinformasikan ke publik. Mungkin saja, belum tentu bahwa semua penerimaan dan pengeluaran itu diinformasikan ke KPU. Tapi bagi KPU, apa yang masuk ke KPU itu yang akan kami informasikan,” kata Sumarno.

Berbeda dengan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Ia berpandangan, seharusnya KPU mengambil sejak awal menentukan batasan belanja kampanye. Sebab variabel batasan belanja kampanye itu sudah diatur jelas dengan rumusan yang ada dalam Peraturan KPU Nomor 13 tahun 2016.

“Ini jadi koreksi bagi KPU DKI. Mestinya tidak usah menunggu semua proses pendaftaran selesai baru mengumumkan batasan belanja kampanye. Harusnya batasan belanja kampanye diumumkan segera setelah KPU RI menetapkan PKPU tentang pelaporan dana kampanye. Sebab rumusannya sudah jelas semua, berapa kali pertemuan yang boleh, alat peraga berapa, dan hitung-hitungan harga satuan standar daerah, HSU harga satuan unit itu kan sebenarnya standar harga daerah itu ada sejak awal tahun,” paparnya.

“Karena laporan dana awal kampanye yang diserahkan pada tanggal 27 Oktober 2016 kemarin itu juga harus menyertakan penerimaan dan pengeluaran sebelum dibuka rekening khusus dana kamapnye kalau memang calon itu ada menerima dan mengeluarkan dana kampanye,” tambahnya.

Menurut Titi, hal ini menjadi kritik bagi kedua belah pihak, baik KPU maupun pasangan calon.

Komitmen KPU DKI untuk Pilgub Terbuka dan Akuntabel

Komitmen KPU DKI untuk Pilgub Terbuka dan Akuntabel

bang-monas

KebebasanInformasi.org – Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta berkomitmen melaksanakan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 secara transparan dan akuntabel. Sebagai wujud dari transparansi ini, Ketua KPU DKI, Sumarno, mengungkapkan, seluruh tahapan pelaksanaan Pilgub DKI terbuka untuk umum. Hal itu bisa dilihat dari berbagai dokumen terkait dengan tahapan Pilkada di KPU DKI dapat diakses oleh publik.

“Kecuali memang informasi yang dikecualikan. Misalnya informasi riwayat kesehatan calon, itu memang dikecualikan oleh undang-undang (UU). Selain yang dikecualikan oleh UU, kami silakan masyarakat yang datang untuk meminta informasi itu kita layani,” jelas Sumarno, Minggu (6/11).

Tak hanya terbuka, KPU DKI juga berupaya menyampaikan informasi secara cepat dan akurat. Misalnya, laporan awal dana kampanye, publik sudah dapat mengaksesnya sehari sebelum masa kampanye dimulai. “Juga daftar pemilih sementara (DPS). Begitu kita tetapkan DPS, langsung kita share ke masing-masing pasangan calon, steakholder terkait, ke Bawaslu. Masyarakat juga bisa melihat di dalam Sistem Informasi Daftar Pemilih. Masyarakat juga bisa membuka,” terang Sumarno.

Keterbukaan KPU DKI ini mendapat pengakuan dari masyarakat. Salah satunya Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini. Menurutnya, dibandingkan daerah lain yang menyelenggarakan Pilkada 2017, keterbukaan data dan informasi dari KPU DKI jauh lebih baik.

Selain ditunjang infrastruktur yang memadai, tingginya keingintahuan publik serta perhatian dari media massa yang cukup besar turut mendukung hal itu.

“Kalau dari konteks pilkada satu per satu daerah, keterbukaan data dan informasi di Pilkada DKI relatif baik ya, kalau dibandingkan 100 daerah lainnya. Termasuk dengan daerah yang sama-sama menyelengarakan Pilkada provinsi di 2017,” kata Titi.

“Ini memang ditunjang, salah satunya faktor permintaan yang kuat dari publik, dalam hal ini media, dan juga masyarakat. Karena media ini ingin melayani publik, sehingga kebutuhan publik difasilitasi oleh media, yang intens meminta data-data kepada KPU DKI,” lanjut Titi.

Ia juga mengapresiasi kerja Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KPU DKI, yang menurutnya cukup serius dalam memberikan layananan informasi kepada masyarakat.

“Walau sekali lagi keterbukaan itu bukan hanya soal komitmen untuk terbuka, tapi juga memastikan datanya ada. Nah ini yang harus diuji terus, misalnya dalam perjanan ke depan 22 November 2016 laporan penerimaan dana kampanye, kemudian akan diikuti dengan pengumuman DPT. Fase-fase di mana data-data yang lebih signifikan itu akan jadi basis penilaian apakah betul KPU DKI lebih maju komitmennya dibandingkan daerah-daerah lain,” tandasnya.

Titi berharap, KPU DKI bisa memanfaatkan momentum Pilgub DKI ini sebagai ajang untuk membuktikan kinerjanya, terutama dalam keterbukaan data dan informasi. Karena dengan segala dukungan dan infrastruktur yang ada, KPU DKI bisa menjadi rule model atau pelopor dalam penerapan data terbuka di dalam penyelenggaraan Pilkada.

Tapi sayangnya, sampai saat ini, keterbukaan yang dijalankan KPU DKI belum sepenuhnya diiringi dengan platform open data.

“Kami berharap keterbukaan data itu lebih ditingkatkan lagi dengan menyediakan data-data berbasis open data atau data terbuka. Kalau saat ini kan bentuknya masih pdf, belum sepenuhnya mengadobsi konsep open data. Itu catatatan sederhananya,” pesan Titi.

Ia juga menyampaikan kritikan kepada KPU-KPU di daerah dalam penyediaan data dan informasi Pilkada. Titi mengatakan, kendati KPU RI telah menyediakan kompilasi portal data dari seluruh daerah, yaitu portal infopilkada.kpu.go.id, namun mestinya hal itu tidak mengesampingkan kewajiban KPU-KPU di daerah untuk memutakhirakan data di website-nya masing-masing. (BOW)

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

icel

KebebasanInformasi.org – Astrid Debora dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memiliki mekanisme pengecualian terkait keterbukaan informasi publik. Hal ini berimbas pada tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam mendapatkan informasi dan kesan KLHK sebagai badan publik yang tertutup.

Untuk itu, Astrid menyarankan adanya penyamaan persepsi antara KLHK dengan masyarakat tentang informasi yang dikecualikan, sesuai dengan peraturan dan UU yang berlaku. “Mana yang terbuka dan tidak. Misalnya dokumen izin dan pendukung, ini adalah informasi yang terbuka. Persepsinya sekarang harus disamakan dokumen pendukung itu apa, terus sejauh mana kedalaman dokumen pendukung itu, apakah ada hal-hal yang dikecualikan atau tidak? Mekanisme pengecualian di KLHK sendiri juga belum ada,” papar Astrid, Minggu (23/10).

Selain itu, ia juga mengkritisi buruknya sistem dokumentasi di KLHK. Sebagai badan publik, KLHK wajib mendokumentasikan setiap dokumen yang mereka miliki.

Ia meminta KLHK bersikap tegas dan aktif terhadap pemerintah daerah yang tidak menyampaikan hal itu ke pusat. Sebaliknya, pemerintah daerah juga mesti diberi kewenangan untuk men-submit dokumen tersebut ke pusat.

“Terlepas dari kewajaiban badan publik untuk medokumentasikan setiap dokumen yang mereka miliki, harusya selaku pembuat kebijakan, misalnya kabupaten/provinsi punya kewenangan untuk mensubmite dokumen ke pusat,” ujar Astrid.

“Pusat harusnya bisa memberikan penegasan, entah sanksi atau apa ketika tidak menerima dokumen, tidak diam saja. Ketika kementerian tidak menerima itu, harusnya ada tindak lanjut. Itu kan yang selama ini menjadi alasan kenapa mereka tidak memiliki informasinya (yang dibutuhkan/diminta publik),” imbuhnya.

Di samping itu, ICEL terus mendorong perbaikan dari sisi regulasi. Astrid mengungkapkan, saat ini koordinasi antara PPID di KLHK dengan unit-unit kerja masih jauh dari ideal.

Pada 7 Oktober 2016 lalu, ia bersama teman-teman di Koalisi Kehutanan telah menyerahkan draf Peraturan Menteri tentang Revisi Peraturan P6 milik Lingkungan Hidup dan P7 milik Kehutanan tahun 2011 tentang Standar Layanan Informasi.

Meski penerimaan dari PPID KLHK positif, namun Astrid mengatakan, hal itu masih perlu diskusi lebih lanjut. “Harapannya itu jadi bahan diskusi untuk pembuatan peraturan menteri baru terkait dengan standar layanan informasi termasuk PPID dan semuanya,” kata Astrid.

“Praktiknya harus diuji dulu, butuh test case lagi. Tapi so far urusan regulasi mudah-mudahan PPID bisa berjalan,” tuturnya.

“Kita akan terus memantau perkembangan terkait Peraturan Menteri terkait Standar Layanan Informasi dan lain-lain. Cuma karena kemarin draf awalnya sudah diserahkan, kita menunggu inisiatif KLHK untuk mengundang,” tutupnya. (BOW)

KLHK Belum Miliki Mekanisme Pengecualian Informasi

Pemerintah Belum Siap Terbuka soal Akses Informasi di Sektor Kehutanan

icel

KebebasanInformasi.org – Tidak terbukanya akses informasi, menambah pelik berbagai persoalan yang melanda di sektor kehutanan. Padahal tata kelola hutan yang baik ditandai dengan partisipasi masyarakat yang substansial dan signifikan dari proses perencanaan sampai pengawasan. Sedangkan partisipasi masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik.

Astrid Debora dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum siap untuk terbuka. “Saya melihat dari pihak pemerintahnya belum siap,” ujar Astrid, di Jakarta, Minggu (23/10).

“Bukan hanya masalah apakah informasi ini bisa dibuka atau tidak. Beberapa kasus, misalnya, sengketa di Komisi Informasi (KI), teman-teman meminta dokumen izin, itu kan dokumen terbuka. Terus pas dikonfirmasi ke KLHK, alasan mereka tidak menguasainya karena sekarang pasca UU Pemda, kewenangannya tidak dari pusat tapi di pemberi izin, yakni di Provinsi/Kabupaten,” paparnya.

Setelah penelusuran lebih lanjut, ternyata bukan hanya dokumen yang berada di penguasaan Provinsi/Kabupaten, tapi juga infomrasi yang seharusnya KLHK miliki tidak ada lantaran Provinsi/Kabupaten tidak menyampaikan laporan. “Jadi lebih banyak ke persoalan pedokumentasian sih kalau saya lihat di kasus belakangan ini,” tegas Astrid.

Ia menegaskan, semestinya pemerintah pusat tegas terhadap pemerintah daerah untuk menjalankan apa yang sudah menjadi kewajibannya. “Pusat harusnya bisa memberikan penegasan, entah sanksi atau apa ketika tidak menerima dokumen, tidak diam saja,” tutur Astrid.

Ia berharap pemerintah pusat tidak pasif hanya menerima saja, tanpa ada tindak lanjut jika daerah tidak memberikan laporannya. “Misalnya pemerintah harus menerima laporan pemantuan dari perusahaan. Itu harusnya diterima PPID Lingkungan enam bulan sekali. Ketika Kementerian tidak menerima itu, harusnya ada tindak lanjut. Hal itu kan yang selama ini menjadi alasan kenapa mereka tidak memiliki informasinya,” tambahnya.

Pada akhirnya, masyarakatlah yang dirugikan akibat ketidaksiapan untuk terbuka atas akses informasi publik dan buruknya pendokumentasian di KLHK ini. Masyarakat tidak bisa memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, yang telah dijamin oleh UU.

“UU jelas mengatakan kalau informasi tentang izin, regulasi, kebijakan-kebijakan terkait dengan misalnya sengketa lahan, siapa pemilik, bagaimana komunikasi dengan masyarakat, seharusnya itu ada regulasinya. Kalau itu tidak siap terdokumentasikan dengan baik, masyarakat tidak bisa memperoleh haknya, yang harusnya sudah dijamin oleh UU,” kata Astrid.

“Padahal seharusnya masyarakat punya hak untuk terlibat dalam membuat kebijakan yang berdampak kepada masyarakat itu sendiri kan. Pada akhirnya kita tidak punya kesempatan untuk itu,” tegasnya. (BOW)

Di balik Temuan TPF Munir yang Tak Diungkap ke Publik

Di balik Temuan TPF Munir yang Tak Diungkap ke Publik

Sumber: Merdeka.com

Sumber: Merdeka.com

Jakarta – Marsudhi Hanafi masih ingat betul peristiwa penyerahan dokumen laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir, kepada Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Merdeka, 23 Juni 2005. Marsudhi yang mengenakan jas hitam didampingi (Alm) Asmara Nababan mengenakan jasa berwarna cerah. Ada pula Usman Hamid, Hendardi, Rachland Nashidik, dan Kamala Tjandrakirana. Marsudhi duduk bersebelahan dengan (Alm) Asmara Nababan.

SBY yang saat itu belum setahun menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Kapolri Dai Bachtiar dan Andi Mallarangeng yang saat itu menjadi jubir istana.

Marsudhi tidak hanya membawa anggota TPF, tapi juga sebundel dokumen laporan akhir pencarian fakta atas meninggalnya aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Ada enam salinan yang dibawa Marsudhi. Secara simbolik, satu dokumen diserahkan Marsudhi kepada Presiden SBY.

“Yang jelas dokumen yang kita serahkan, enam-enamnya asli. Yang diserahkan enam dokumen itu disiapkan untuk Jaksa Agung, kepolisian, Menkum HAM, Mensesneg,” ujar Marsudhi kepada media di Jakarta, Jumat (28/10).

Usman Hamid menyerahkan dokumen itu pada staf istana lalu diberikan kepada pejabat terkait. SBY yang mengenakan jas berwarna abu-abu mempersilakan Marsudhi menyampaikan laporan akhirnya. Marsudhi hanya membacakan resume atau kesimpulan akhir dan rekomendasi TPF

Di antaranya, kematian Munir diduga berkaitan dengan aktivitasnya melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dan kritik kerasnya terhadap lembaga telik sandi. TPF menyimpulkan kematian Munir disebabkan oleh pemufakatan jahat yang melibatkan pihak tertentu di Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN). Namun pemufakatan jahat itu belum bisa terbuka secara jelas karena TPF kesulitan mengakses informasi dan dokumen BIN. Sehingga TPF belum bisa memastikan keterlibatan mantan petinggi BIN dalam pembunuhan Munir.

TPF merekomendasikan agar presiden membentuk tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat. Tujuannya agar bisa menembus dinding kokoh BIN dalam upaya pencarian informasi. Rekomendasi lain, Presiden diminta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap Indra Setiawan (mantan Dirut Garuda Indonesia), Ramelgia Anwar, AM Hendropriyono (Kepala BIN), Muchdi PR (Deputi V BIN), dan Bambang Irawan (agen BIN) terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat pembunuhan Munir.

Usai mendengar laporan Marsudhi, SBY menyampaikan ucapan terima kasih kepada TPF karena sudah bekerja dengan baik. Marsudhi melanjutkan dengan memperkenalkan anggota TPF yang hadir di hadapan SBY. Begitu sebaliknya, SBY bergantian memperkenalkan kabinetnya yang ikut dalam pertemuan itu. “Pertemuan enggak lama, antara 15-30 menit,” kata Marsudhi.

Setelah itu SBY mempersilakan Marsudhi didampingi Sudi Silalahi untuk memberikan keterangan pers. Di hadapan wartawan, Marsudhi menceritakan poin-poin pertemuan dengan SBY. Namun dia tidak membeberkan temuan TPF dan isi laporan akhir. TPF tidak berwenang membuka temuan itu ke publik. Pemerintah berkewajiban menyampaikan laporan itu ke publik.

“Memang ada kewajiban menyampaikan ke publik, memang harus terbuka. Harus diketahui publik. Yang menyampaikan pemerintah. Tidak harus presiden, orang sering salah. Pemerintah itu bisa presiden dan kabinetnya,” ujar Marsudhi.

Mantan Seskab dan Mensesneg Sudi Silalahi berdalih, pemerintah SBY tidak mengumumkan hasil temuan TPF kepada masyarakat karena masuk kategori pro-justitia. Temuan TPF tetap ditindaklanjuti secara hukum.

“Jika dulu pemerintahan Presiden SBY belum membuka ke publik karena masih diberlakukan sebagai pro-justitia guna kepentingan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kepentingan tersebut kini sudah tidak adalagi,” kata Sudi Silalahi di Cikeas.

Marsudhi sejalan dengan Sudi. Langkah hukum terhadap pihak BIN dan Garuda Indonesia yang terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, seharusnya bisa dipandang sebagai sebuah pengumuman kepada publik bahwa temuan TPF ditindaklanjuti. Tapi dia memahami jika masyarakat menunggu pemerintah mengumumkan temuan TPF lantaran ada tertera bahwa laporan TPF harus diungkap ke publik secara terbuka.

“Sebenarnya ada yang ditangkap, lalu divonis, itu sebenarnya sudah pengumuman. Apalagi yang mesti diumumkan? langsung penindakan,” kata Marsudhi.

Mantan anggota TPF, Hendardi tidak begitu puas dengan penindakan yang sudah dilakukan di era pemerintahan SBY. Apalagi aktor intelektual di balik pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum tersentuh hukum. Pollycarpus hanya aktor lapangan alias eksekutor. Setidaknya ada empat level yang mesti dijangkau penyidik. Tapi semua seolah tak bisa menyentuh level tertinggi. Tidak heran jika banyak yang menilai pemerintah hanya setengah hati menuntaskan kasus ini.

“Memeriksa Muchdi, tapi kemudian lepas dari pengadilan. Jadi karena apa? Ini karena politik. Ada posisi tawar kuat bagi mereka untuk tidak diselidiki,” kata Hendardi di kantornya.

Hingga rezim SBY berakhir dan berganti pemerintahan baru, aktor intelektual pemufakatan jahat pembunuhan Munir belum terungkap. Wajar saja jika pemerintahan Jokowi didesak kembali membuka temuan TPF dan menindaklanjutinya. Tapi pemerintah berdalih dokumen laporan akhir temuan TPF tidak tersimpan di istana negara, sehingga belum bisa ditindaklanjuti. Bola panas kembali dilempar ke pemerintahan SBY.

Sudi Silalahi mengakui, naskah laporan akhir TPF Munir hingga saat ini sedang ditelusuri keberadaannya. Sebelum pemerintah SBY berakhir, dokumen-dokumen negara yang penting sudah diseleksi, dikumpulkan lalu diserahkan kepada lembaga kepresidenan dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Tapi Sudi tidak ingat betul apakah laporan akhir TPF Munir ada di salah satu dokumen itu.

Saat mantan pejabat pemerintahan SBY sibuk mencari keberadaan dokumen itu, ada yang mengirimkan fotokopi naskah yang dimaksud. SBY dan anak buahnya langsung melakukan kesesuaian dan otentifikasi dokumen tersebut. SBY memanggil Marsudhi ke kediamannya di Cikeas, Bogor, Senin (24/10).

“Untuk memastikan dokumen, saya secara moral harus bertanggungjawab juga. Ada anggota kabinet. Sebelumnya mungkin mereka rapat dulu, lalu mungkin mereka merasa perlu panggil saya. Jadi saya hadir,” kata Marsudhi.

Dia mulai menjelaskan pada SBY seluk beluk laporan tersebut. Laporan itu dipastikan tidak mengalami perubahan atau penyuntingan dalam bentuk apapun. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Marsudhi yakin isi dokumen itu sesuai yang diserahkan pada SBY lebih dari 10 tahun lalu. Dia yakin tidak ada unsur kesengajaan dari peristiwa hilangnya dokumen laporan akhir TPF.

“Untuk kepentingan apa dia (SBY) hilangkan itu? tidak ada. Kalau perlu dan tidak melanggar aturan, dia bagi-bagikan itu. Enggak masuk akal dibilang menghilangkan,” ucap Marsudhi.

Sudi juga bereaksi keras atas tudingan penghilangan dokumen yang mengarah pada pemerintahan SBY. Dia berdalih tidak ada urgensi atau kepentingan apapun untuk menghilangkan laporan itu. Apalagi sejumlah penindakan dan proses hukum sudah dilakukan terhadap mereka yang disebut-sebut terkait kasus pembunuhan Munir. Menurutnya, jika keputusan pengadilan tidak memuaskan, maka tidak harus mengatakan pemerintahan SBY setengah hati menindaklanjuti temuan TPF.

“Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan barangkali dianggap memiliki kewenangan yang luas, tetapi Presiden Republik Indonesia tidak memiliki hak dan kewenangan konstitusional misalnya untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, dan harus diadili, dan kemudian harus dinyatakan bersalah,” katanya.

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf justru punya analisa dan pandangan berbeda. Dokumen laporan akhir TPF kasus kematian Munir bisa jadi sengaja dihilangkan. Sebab, pembunuhan Munir merupakan pembunuhan politik yang melibatkan operasi bersifat rahasia, terencana, dan bersekongkol.

“Artinya ini suatu operasi khusus yang bekerja untuk menghilangkan dokumen ini dengan harapan ini akan jadi hambatan untuk proses hukum. Bisa juga ini bagian dari komoditas politik untuk tidak memeriksa. Itu semua kemungkinan,” jelas Al Araf di kantornya.

Upaya membuka tabir gelap pembunuhan Munir tak boleh berhenti. Dia mengkritik Sudi Silalahi yang membeberkan tindak lanjut proses hukum yang dilakukan di era pemerintahan SBY. “Keterangan dari mantan Seskab era SBY, Sudi Silalahi menyebutkan bahwa rekomendasi TPF telah dijalankan oleh SBY, adalah pernyataan yang tidak benar,” tutupnya.

Sumber: merdeka.com

Koalisi Selamatkan BPK Desak Harry Azhar Azis Mundur

Koalisi Selamatkan BPK Desak Harry Azhar Azis Mundur

koalisi-selamatkan-bpk-mendesak-ketua-badan-pemeriksaan-keuangan-bpk-harry-azhar-azis-mundur

Jakarta – Koalisi Selamatkan BPK mendesak Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis mundur dari jabatannya. Harry dinilai telah melanggar kode etik BPK.

“Jadi kami koalisi meminta kepada ketua BPK Bapak Harry Azhar untuk secara legowo mengundurkan diri karena sudah cacat secara etik,” jelas salah satu anggota koalisi dari Direktur Indonesia Budget Center Roy Salam.

Ini disampaikannya pada konferensi pers Koalisi Selamatkan BPK di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVd No. 6B, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2016). Koalisi ini terdiri dari Perkumpulan Media Link, Indonesia Parlementary Center, Indonesia Budget Center, Indonesia Corruption Watch, dan Perkumpulan Inisiatif Bandung.

Pada 26 April 2016 lalu mereka telah melaporkan Ketua BPK Harry Azhar Azis ke Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK. Harry dinilai telah melakukan 3 pelanggaran kode etik. Pertama, adanya dugaan rangkap jabatan Ketua BPK RI sekaligus sebagai Direktur di Perusahaan Sheng Yue. Kedua, tidak jujur dalam menyampaikan informasi kepemilikan, serta jabatan direktur di Perusahaan Sheng Yue. Ketiga, tidak patuh terhadap perintah undang-undan karena sejak dilantik sampai dilaporkan belum melaporkan LHKPN kepada KPK.

“Ketua BPK Bapak Harry Azhar itu terbukti melakukan pelanggaran etik, atas dasar melanggar ketentuan undang-undang pasal 7 huruf B di dalam peraturan BPK nomor 2 Tahun 2011 tentang kode etik, dan terbukti melakukan profesi lain yang itu mengganggu profesional kemandirian dan integritas BPK dipasal 8,” Jelas Roy lagi.

Dorongan mundur ini juga untuk mempertegas pernyataan Harry Azhar Azis saat dilantik menjadi Ketua BPK. “Beliau sendiri, diawal beliau ditetapkan sebagai Ketua BPK menyatakan, bahwa dia siap mengundurkan diri atau berhenti ketika melanggar etik,” katanya lagi.

Setelah 6 bulan sejak dilaporkan, MKKE BPK menjatuhkan sanksi kepada Harry Azhar Azis berupa peringatan tertulis. Dia terbukti melakukan pelanggaran kode etik BPK yang tertera dalam peraturan BPK No. 2 Tahun 2011.

Namun koalisi menilai hukuman yang dijatuhkan MKKE sangat minimalis dan terkesan melindungi Jabatan Harry Azhar Azis.

“Apa itu peringatan tertulis, apakah sebatas teguran, atau seperti apa. Dimana efek jerahnya. Kami koalisi mendorong agar anggota BPK itu mengembalikan sangsi itu di pasal undang-undang BPK. Apa itu, pemberhentian secara tidak hormat,” tegas Roy.

Harry tak mau berkomentar banyak mengenai putusan majelis etik ini. Dia menyerahkan pertanyaan lebih lanjut ke majelis etik saja.

“Saya tidak punya tanggapan. Tanya saja ke majelis etik,” ujar dia saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (25/10/2016) lalu.?? ()

Sumber: detik.com