oleh Parliamentary Center | Agu 15, 2014 | Anggaran, Berita, Nasional
Jakarta,- Komisioner Komisi Informasi DKI Jakarta Farhan Basyarahil mengatakan, supaya meminimalisir korupsi di DPR, salah satu kuncinya adalah keterbukaan. Dia mengusulkan, setiap anggota DPR, baik DPRD maupun RI harus melaporkan kekayaannya setahun sekali.
Ia berpendapat seperti itu ketika menanggapi berita pada harian Kompas Rabu (13/8) yang menyebutkan sejak tahun 2005 sebanyak 3.169 anggota DPR terjerat kasus korupsi.
Keterbukaan itu, kata Farhan, pada informasi rencana, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban yang dilakukan anggota DPR sehingga mereka bisa dipantau masyarakat. “Sebab asal-usul korupsi memang dimulai dengan ketertutupan informasi,” katanya kepada kebebasaninformasi.org, Rabu (13/8).
Ia menambahkan, fungsi DPR itu adalah pengawasan, pembuat peraturan, dan penganggaran. Menurut Farhan, fungsinya sebagai penganggaran ini yang memungkinkan mereka korupsi. Tapi kalau penganggaran ini dilakukan secara terbuka akan bisa dicegah.
Sayangnya, sambung dia, peraturan kita memang membolehkan anggaran itu diputusakan dalam sidang tertutup. “Seandainya anggaran terbuka semua, korupsi bisa dicegah,” pungkasnya. (AA)
oleh Parliamentary Center | Agu 13, 2014 | Berita, Kabar FOINI, Nasional
Jakarta,-Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) akan menyelenggarakan diskusi publik tentang evaluasi dan apresiasi atas implementasi keterbukaan penyelenggaraan pemilu Presiden 2014 pada Kamis, 14 Agustus 2014 di Hotel Sofyan Cikini, Jalan Cikini Raya No.79
Kegiatan yang merupakan forum diskusi reguler yang diberi nama Open Indonesia Forum (OIF) ini akan dimulai pukul 12.00 wib s/d Selesai dengan tema “Evaluasi Transparansi Penyelenggaraan Pemilu 2014”
Menurut salah seorang anggota FOINI, Ari Setiawan, melalui undangan surat elektronik, Rabu (13/8), diskusi yang akan akan difasilitatori Hendrik Rosdinar (YAPPIKA) tersebut akan menghadirkan narasumber pemantik diskusi yaitu Elisa Sutanudjaja (kawalpemilu.org), Husni Kamil Manik (Ketua KPU RI), Abdulhamid Dipopramono (Ketua KI Pusat) dan Ahmad Alamsyah Saragih (Aktivis Transparansi).
Ari menambahkan, sasaran peserta diskusi publik ini berasal dari beragam latar belakang, seperti media massa, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi kemahasiswaan, kelompok masyarakat sipil, perguruan tinggi, instansi pemerintah, serta perorangan yang tertarik dengan isu-isu keterbukaan informasi dan pemilu.
Untuk Partisipan aktif adalah, lanjut Ari adalah FOINI sendiri yaitu Indonesia Parliamentary Center (IPC), Perkumpulan Untuk Pemiludan Demokrasi (Perludem). Serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan Pemilu dianataranya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), Perwakilan dari Bawaslu, Perwakilan dari DKPP, Perwakilan dari MK. (AA)
oleh muhammad mukhlisin | Agu 13, 2014 | Kliping, Nasional
JAKARTA - Seleksi CPNS dengan sistem computer assisted test (CAT) dipastikan akan meminimalisir KKN. Sangat jauh beda dengan sistim lembar jawab komputer (LJK) yang bisa dimanipulasi hasl tesnya.
“Salah satu titik rawan dalam rangkaian seleksi CPNS adalah pada tahap pasca-tes. Tahap ini merupakan tahap penentuan kelulusan seorang pelamar usai mengikuti tes,” kata Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno, Selasa (12/8).
Dalam tahapan itu, lanjutnya, akan muncul isu hasil tes tidak transparan, tidak akuntabel dan adanya pengaturan kelulusan. Itu sebabnya, pemerintah berupaya mengeliminir isu tersebut dengan CAT-BKN.
“Isu permainan dalam penentuan kelulusan menjadi prioritas utama kita untuk diminimalisir. Kita berharap dengan CAT-BKN isu tersebut dapat dihilangkan,” tandasnya.
Yang menggembirakan, lanjut Eko, sistem CAT mendapat dukungan dari kalangan DPR RI. Ini dibuktikan dengan mewajibkan seluruh Instansi pusat dan provinsi menggunakan CAT-BKN dalam proses rekrutmen CPNS. Eko menambahkan pihaknya telah menerbitkan Perka BKN Nomor 9 Tahun 2010 terkait seleksi dengan metode CAT-BKN. (esy/jpnn)
Sumber: JPNN
oleh Parliamentary Center | Jul 21, 2014 | Berita, Nasional
Jakarta,-Kapolri Jenderal Pol Sutarman membuat pernyataan yang dimuat sejumlah media, bahwa lembaga survey tak perlu dipidanakan. Ia menyatakan hal itu setelah lembaga survey Puskaptis, JSI, IRC dan LSN dipolisikan sejumlah aktivis yang tergabung dalam Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
“Ya laporan pasti kita terima tapi semua lembaga survei itu pasti menggunakan metode ilmiah dan menggunakan metodenya masing-masing. Saya kira masalah-masalah seperti ini tidak perlu dipidanakan,” ujarnya usai Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis sebagaimana dikutip merdeka.com (17/7).
Menanggapi hal itu, Komisioner Komisi Informasi Pusat, Rumadi menyayangkan pernyataan pernyataan Kapolri tersebut. “Saya menyayangkan pernyataan ini, karena berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 ttg Keterbukaan Informasi Publik memungkinkan lembaga survey bisa dipidanakan jika menyebabkan informasi yang menyesatkan,” bebernya.
Menurut Rumadi, Pasal 55 UU KIP disebutkan “Setiap Orang yang dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan|atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000 (Lima juta rupiah).
“Pemidanaan ini merupakan delik aduan. Jadi tidak benar lembaga survey tidak bisa dipidanakan,” tegasnya. (AA)
oleh Parliamentary Center | Jul 21, 2014 | Anggaran, Berita, Kabar FOINI, Laporan, Nasional
Jakarta – Dalam rangka menyusun kajian kelembagaan Komisi Informasi, Indonesian Parliamentary Center bersama dengan Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) menyelenggarakan diskusi serial bertajuk “Melihat Komisi Informasi dari Sudut Pandang Ahli Hukum Administrasi Negara”.
Acara yang berlangsung pada Rabu, 16 Juli 2014 bertempat di Hotel Akmani Jakarta Pusat lalu dihadiri oleh Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid Dipopramono, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, FITRA, PATTIRO, ICEL, PERLUDEM, dan tim IPC.
Diskusi serial tersebut mengulas tafsir mengenai kelembagaan Komisi Informasi dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara. Dr. Dian Puji Simatupang selaku narasumber memaparkan terjadinya contario in terminis dalam ketentuan pasal 23 dan pasal 29 UU KIP. Kemandirian sebuah lembaga tidak ditentukan dengan keberadaan secretariat jenderal melainkan adanya pos anggaran sendiri. Upaya membangun kemandirian anggaran Komisi Informasi dapat dilakukan melalui perubahan terlebih dahulu atas pasal 29 UU KIP.
Komisi Informasi dan masyarakat dapat pula mengajukan Judicial Review atas pasal 29 UU KIP bila pasal tersebut merugikan hak konstitusional. Namun bila ingin membentuk kelembagaan yang mandiri, maka KI Pusat bersama dengan FOINI perlu mendorong perubahan regulasi melalui revisi UU KIP.
oleh Parliamentary Center | Jul 18, 2014 | Berita, Nasional, Pemilu
Jakarta,-Kerja keras Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan keterbukaan informasi dengan mengunggah formulir C1 patut diapresiasi. Mempublikasi formulir C1 merupakan langkah transparansi hasil pemilu yang layak didukung, karena kecurangan hasil pemilu, termasuk pilpres, selalu berawal dari formulir C1 yang selama ini sulit diakses publik.
Namun demikian, menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, bukan berarti persoalan selesai. Potensi kecurangan tetap saja ada. Bahkan sejumlah kalangan mensinyalir adanya penggandaan formulir C1 sejak di TPS. Banyak kalangan memantau banyak formulir C1 yang tidak akurat.
Hal ini, kata Rumadi, bisa diketahui publik tentu karena KPU mempublikasikan formulir C1. Masyarakat perlu membantu KPU untuk menemukan kesalahan-kesalahan penulisan form C1 baik yang dilakukan dengan sengaja karena ingin curang maupun karena ketidaksengajaan. “KPU juga harus bertindak cepat untuk menangani persoalan-persoalan ini dengan cepat agar tidak menjadi persoalan besar di kemudian hari,” katanya kepada kebebasaninformasi.org Kamis (17/7).
Karena itu, sambung Rumadi, sebelum memasuki tahap akhir tanggal 22 Juli mendatang, berbagai kemungkinan kecurangan, termasuk penggandaan formulir C1 harus bisa dideteksi sejak awal.
“Segala bentuk perbedaan data harus bisa segera terklarifikasi agar tidak menjadi bom waktu tanggal 22 Juli mendatang. Masalah besar akan muncul karena masalah2 kecil tidak ditangani dengan baik dan tuntas,” tutupnya. (AA)