oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Opini
“Ada pertemuan
reses, yang pesertanya direkayasa seolaholah konstituen aktif,” kata
Sri Budi Eko Wardani, dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia,
pada diskusi yang diselenggarakan IPC, di Jakarta (06/06/2017). Secara
administratif, prosedur, dan keuangan, reses model di atas, sangat
mungkin terlihat akuntabel. Tapi secara sosial dan politik, jelas tidak.
Dengan praktik representasi semacam ini, bisa dipahami mengapa aspirasi
masyarakat adat tak pernah hadir di DPR. Tentu, bukanlah akuntabilitas
administratif macam ini yang dimaksud Hanna Pitkin sebagai komponen
ketiga representasi yang demokratis.
Akuntabilitas
dalam konteks representasi elektoral adalah pertanggungjawaban wakil
(baik sebagai representasi dapil maupun representasi sektoral) kepada
pihak yang diwakili (konstituen dan partai) terhadap pelaksanaan tugas,
fungsi dan kewenangannya di lembaga perwakilan. Dalam relasi wakil –
pemerintah, apa saja kebijakan, anggaran, dan pengawasan yang dilakukan.
Dalam relasi wakil – konstituen, apa saja pendidikan politik, agregasi
kepentingan, dan advokasi kepentingan konstituen yang telah dilakukan.
Dalam setiap pelaksanaan fungsi tersebut, baik dalam relasi wakil –
pemerintah maupun wakil konstituen, ada akuntabilitas prosedural
(administratif) dan akuntabilitas substantif (sosial dan politik).
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu prinsip keterwakilan adalah
penyuaraan aspirasi oleh wakil. Idealnya, hal ini didahului proses
penyerapan aspirasi, salah satunya melalui kegiatan reses.
Pengaturannya
bisa dilihat dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3) dan Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
(Tatib DPR). Dalam UU MD3, fungsi menyuarakan aspirasi ini dinyatakan
sebagai tugas anggota DPR, yaitu menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat.1 Di pasal lain, hal ini diulang
dengan istilah kewajiban yang diikuti dengan memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapil.
Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut, anggota DPR disumpah.
Dari tiga materi sumpah anggota DPR, salah satunya terkait kewajiban
penyerapan aspirasi. “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa
saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Sebagai
panduan teknis, UU MD3 mengamanatkan agar hal ini diatur lebih lanjut
dalam Tata Tertib.4 Dalam Tatib DPR, hal ini diatur secara khusus pada
Bab XIII Bagian Kesatu tentang Representasi Rakyat, pada pasal 210
sampai 214. Dalam bab ini disebutkan bagaimana cara melakukan fungsi
perwakilan, apa saja bentuk dukungan DPR, waktu pelaksanaan, dan
tindaklanjut atas penyerapan aspirasi tersebut
Fungsi
representasi ini dilakukan secara aktif maupun pasif. Secara aktif,
yaitu dengan kunjungan kerja baik di masa reses maupun di luar reses.
Secara pasif, yaitu dengan membuka ruang partisipasi publik, antara lain
melalui pembuatan rumah aspirasi. Reses sendiri dilakukan sebanyak
empat sampai lima kali per tahun dimana satu kali reses berlangsung
selama satu bulan (kunjungan ke dapil selama sebelas hari. Selebihnya
untuk agenda komisi dan fraksi). Sementara kunjungan kerja di luar masa
reses dan di luar sidang DPR dilakukan ke dapil paling sedikit satu kali
setiap dua bulan atau enam kali dalam satu tahun dengan waktu paling
lama tiga hari. Anggota DPR biasa menyebutnya dengan istilah kunjungan
dapil.
Untuk itu,
anggota mendapatkan dukungan administrasi keuangan, tenaga ahli, dan
pendampingan yang ditentukan oleh anggota. Sebagai gambaran, anggota DPR
mendapatkan anggaran Rp. 225.000.000,- setiap kali reses dan Rp.
60.000.000,- sd Rp. 100.000.000,- untuk kunjungan dapil di luar reses.
Sementara dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari, seorang
anggota DPR dibantu tiga orang asisten pribadi (aspri) untuk membantu
tugas administrasi dan lima orang tenaga ahli (TA). Sebagian aspri dan
TA dapat ditempatkan di dapil. Hasil kunjungan kerja ini dilaporkan
secara tertulis kepada fraksi masing-masing. Laporan dapat
ditindaklanjuti dengan penyampaian usulan program kegiatan pada pimpinan
DPR dalam rapat paripurna dan komisi terkait.
Usulan program tersebut dapat digabungkan dengan usulan anggota dari dapil yang sama. Selain itu, anggota DPR juga difasilitasi untuk melakukan kunjungan kerja komisi dan AKD lainnya. Sayangnya, belum semua anggota DPR melakukan fungsi penyerapan aspirasi ini dengan baik. Hanya beberapa orang yang mempublikasikan laporan reses. Itu pun berupa informasi kegiatan, bukan substansi persoalan yang terjadi di dapilnya. Bahkan untuk hal yang lebih dasar, jadwal reses per anggota, juga tidak ada. Salah satu contoh yang menarik adalah parlemen Singapura dimana situsnya mencantumkan nama, foto, alamat surat elektronik (email), nomor telepon genggam, peta distrik, serta hari dan jam seorang anggota parlemen untuk ditemui, oleh konstituen. (Arbain, IPC)
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Kajian, Opini
Ada empat peran DPRD Provinsi yang dapat dilakukan terhadap KI Provinsi.
Pertama: Melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon anggota KI Provinsi
Dalam UU KIP
disebutkan bahwa peran DPRD dalam proses seleksi calon anggota KI
Provinsi. DPRD menerima 10 (sepuluh) sampai dengan 15 (lima belas) orang
calon anggota KI Provinsi, hasil dari pemilihan dari Tim Seleksi yang
dibentuk oleh Gubernur. Dari jumlah tersebut, DPRD akan memilih 5 (lima)
orang berdasarkan uji kepatutan dan kelayakan. Selanjutnya, 5 (lima)
orang terpilih ini, akan ditetapkan sebagai anggota KI Provinsi.
Pasal 32 ayat (1): Calon
anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota hasil rekrutmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota oleh gubernur dan/atau bupati/walikota paling
sedikit 10 (sepuluh) orang calon dan paling banyak 15 (lima belas) orang
calon.
Pasal 32
ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota
memilih anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota melalui uji
kepatutan dan kelayakan.
Pasal 32
ayat (3) Anggota KI provinsi dan/atau KI kabupaten/kota yang telah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota selanjutnya ditetapkan oleh
gubernur dan/atau bupati/walikota.
Dalam proses
ini, DPRD diharapkan melakukan pengawasan pendahuluan dengan memastikan
Gubernur membentuk tim seleksi, setidaknya 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya masa periode KI Provinsi yang sedang berjalan. Selain itu,
DPRD juga perlu memastikan bahwa pemerintah provinsi sudah menganggarkan
di R-APBD Provinsi tentang pembentukan tim seleksi calon anggota KI
Provinsi, pembentukan KI Provinsi, dan anggaran untuk kelembagaan KI
Provinsi.
Kedua: Memberikan pendapat kepada Gubernur jika terjadi pergantian antar waktu anggota KI Provinsi
Pergantian
antar waktu anggota KI Provinsi dilakukan oleh Gubernur dengan meminta
pendapat pada DPRD. Hal ini mengacu pada ketentuan sesuai pasal 34 ayat
(4) UU KIP.
Pasal 34 ayat (4) : Pergantian
antar waktu anggota KI dilakukan oleh Presiden setelah berkonsultasi
dengan pimpinan DPR RI untuk KI Pusat, oleh gubernur setelah
berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi untuk KI provinsi, dan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD
kabupaten/kota untuk KI kabupaten/kota.
Adapun fungsi
pengawasan DPRD adalah memastikan bahwa Gubernur segera menindaklanjuti
secara administrasi jika terjadi pergantian antar waktu, memastikan agar
Gubernur berkonsultasi dengan DPRD, dan mengingatkan Gubernur bahwa
penggantinya diambil dari urutan berikutnya berdasarkan hasil uji
kelayakan dan kepatutan yang telah dilakukan DPRD, sesuai pasal 34 ayat
(5) UU KIP. Pengawasan DPRD ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan
pendahuluan dan pengawasan pelaksanaan.
Ketiga: Menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI Provinsi.
Tugas DPRD
menerima laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya KI
Provinsi yang mengacu pada pasal 28 UU KIP ini, tidak bermakna sebagai
tugas administratif dan pasif semata.
Pasal 28 : KI
provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan
tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan.
Dalam hal ini, DPRD dapat melakukan fungsi pengawasan umpan balik (feed back control) dengan memastikan memastikan kinerja dan kondisi kelembagaan, antara lain:
- Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelesaian penyelesaian
sengketa informasi (Jumlah sengketa yang teregister, jumlah sengketa
yang telah selesai diputuskan, jumlah sengketa yang belum diputuskan,
jumlah sengketa yang diselesaikan melalui mediasi, jumlah sengketa yang
diselesaikan melalui ajudikasi, dll);
- Pelaksanaan tugas sekunder, antara lain fungsi sosialisasi UU KIP dan pemeringkatan badan publik;
- Pelaksanaan pelayanan publik di KI;
- Pelaksanaan keterbukaan informasi publik di KI;
- Kondisi kelembagaan KI Provinsi (Kondisi kesekretariatan, kepaniteraan, dan tenaga ahli).
Sementara
terkait tugas menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian
sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi
yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik, DPRD tidak
dibenarkan melakukan intervensi pada KI Provinsi.
Keempat: Melakukan pembahasan anggaran KI Provinsi bersama pemerintah provinsi
Tugas ini mengacu pada ketentuan UU KIP Pasal 29 ayat (6) bahwa anggaran KI provinsi dibebankan pada APBD provinsi
Pasal 29
: Ayat (6) Anggaran KI Pusat dibebankan pada APBN, anggaran KI provinsi
dan/atau KI kabupaten/kota dibebankan pada APBD provinsi dan/atau APBD
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penentuan APBD
provinsi itu sendiri harus dengan persetujuan DPRD provinsi. Hal ini
sesuai dengan Pasal 317 ayat (1) huruf b UU No. 17 Tahun 2014 tentang
MPR,DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPRD Provinsi mempunyai wewenang dan tugas
membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai
anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh
gubernur. Ini yang disebut sebagai fungsi anggaran (fungsi penyusunan
anggaran).
Dalam fungsi
penyusunan anggaran, juga terdapat fungsi pengawasan pendahuluan.
Meminjam istilah Prof. Jimly, disebut sebagai pengawasan terhadap
penentuan kebijakan (control of policy making). Dalam hal ini,
DPRD berperan memastikan bahwa pemerintah provinsi telah memasukkan
anggaran untuk pembentukan KI Provinsi dan kelembagaan KI Provinsi.
Sebagai
lembaga negara yang mandiri tetapi dibawah “bayang-bayang” pemerintah
daerah, menjadikan KI Provinsi lembaga yang tidak diberikan kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah. Anggaran KI Provinsi disusun dan dikelola
oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi. Pada sejumlah kasus, KI
Provinsi mengalami kendala dalam anggaran penyelesaian sengketa, karena
keterbatasan dan ketidaktahuan OPD yang menyusun mata anggaran dari KI
Provinsi. Karena itu, diperlukan pengawasan pendahuluan untuk memastikan
dukungan anggaran pada KI Provinsi terpenuhi dengan baik.
oleh Parliamentary Center | Nov 8, 2019 | Berita, Kajian, Nasional, Opini, Pasca UU KIP
Analisis Putusan Komisi Informasi Pusat.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengakses informasi yang dikelola pemerintah. UU KIP juga mewajibkan pemerintah untuk membuka berbagai informasi yang dimilikinya. Setelah hampir sepuluh tahun UU KIP diterapkan, sayangnya, belum seluruh instansi pemerintah memiliki pandangan yang sama mengenai keterbukaan informasi publik, termasuk di sektor pengadaan barang dan jasa. Masih banyak badan publik yang menganggap informasi itu, khususnya dokumen kontrak, dikecualikan atau tidak dapat diakses publik. Masyarakat pun kesulitan memantau proyek pemerintah karena akses terhadap informasi pengadaan barang dan jasa tidak diberikan. Jika sudah begitu, tak heran kalau sektor pengadaan barang dan jasa di Indonesia masih rawan korupsi. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2010 sampai tahun 2017, 40 persen kasus korupsi yang ditangani penegak hukum setiap tahunnya terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Meski banyak faktor penyebab korupsi, namun minimnya partisipasi masyarakat mengawasi proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah karena informasi tidak disediakan memperparah hal itu. UU KIP secara jelas menyebutkan, informasi mengenai perjanjian antara pemerintah dan pihak ketiga merupakan informasi publik. Jadi sudah sewajarnya pemerintah membuka informasi kontrak pengadaan barang dan jasa kepada publik. Keterbukaan dokumen kontrak memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi yang tersedia dan menggunaknnya untuk memberi masukan kepada pemerintah dan memantau pelaksanaan proyek-proyek di lapangan. Hal itu dapat menghasilkan pengadaan barang dan jasa berkualitas serta mendorong efisiensi anggaran. Gagasan keterbukaan kontrak pengadaan barang dan jasa juga sejalan dengan Rencana Aksi Open Government Indonesia (Renaksi OGI) tahun 2018-2020, khususnya dalam hal peningkatan transparansi proses pengadaan barang dan jasa yang menargetkan publikasi seluruh dokumen pengadaan barang dan jasa dalam bentuk data terbuka. Untuk mencapai hal itu, setidaknya ada empat indikator yang perlu dipenuhi: (1) tersedianya pembaruan Surat Keputusan (SK) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) terkait Daftar Informasi Publik (DIP) untuk dokumen pengadaan barang dan jasa di lingkungan LKPP, (2) tersedianya rekomendasi implementasi SK DIP barang dan jasa pemerintah oleh LKPP, (3) terlaksananya konsultasi publik terkait pengaturan DIP pengadaan barang dan jasa di pemerintah pusat oleh Komisi Informasi Pusat (KIP), dan (4) terbitnya Peraturan Komisi Informasi (Perki) terkait DIP dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah serta penguatan kapasitas masyarakat sipil dalam mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sumber: https://antikorupsi.org/id/research/keterbukaan-kontrak-pbj-di-indonesia
oleh Parliamentary Center | Okt 31, 2019 | Berita, Opini

Oleh: Bejo Untung
Sebagai konsekuensi dari diberlakukannya UU Desa, Pemerintah Desa kini dituntut untuk mempraktikkan keterbukaan informasi. Sebab UU Desa mengkonstruksi desa sebagai komunitas yang berpemerintahan sendiri (self governing community) yang berpegang pada asas demokrasi, dimana warga desa juga diberikan hak untuk turut memegang kendali atas penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Keterbukaan informasi yang dipraktikkan oleh Pemerintah Desa dimaksudkan agar warga desa mengetahui berbagai informasi tentang kebijakan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan. Melalui mekanisme ini maka akan terbangun akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Klausul yang mengatur keterbukaan informasi tersebar dalam beberapa pasal dalam UU Desa. Yang pertama diatur dalam pasal 24, yang menyatakan bahwa asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa salah satunya adalah keterbukaan. Selanjutnya dinyatakan pada bagian penjelasan bahwa yang dimaksud dengan keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada pasal 26 ayat (4) huruf (f) diatur bahwa dalam menjalankan tugasnya Kepala Desa berkewajiban untuk melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Masih pada pasal dan ayat yang sama, pada huruf (p) diatur bahwa Kepala Desa juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Pada bagian lain, yakni pada pasal 27 huruf (d) diatur bahwa dalam menjalankan hak, tugas, kewenangan, dan kewajiban Kepala Desa wajib memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran. Pasal 68 ayat (1) huruf (a) dinyatakan bahwa masyarakat desa berhak meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Bagian akhir yang mengatur tentang keterbukaan informasi pada UU Desa terdapat pada pasal 86 ayat (1) dan ayat (5) yang menyatakan bahwa desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan sistem informasi tersebut dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.
Secara spesifik, kewajiban untuk menjalankan keterbukaan informasi bagi badan-badan publik selama ini telah diatur oleh UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Mengacu pada UU KIP, tak ayal lagi bahwa Pemerintah Desa tergolong sebagai badan publik, sebab Pemerintah Desa merupakan lembaga yang salah satu sumber pendanaannya berasal dari APBN dan APBD. Jika keterbukaan informasi yang diatur oleh UU Desa masih bersifat umum, UU KIP telah mengatur secara detil tentang mekanisme atau cara badan publik menyampaikan informasi, serta cara bagaimana masyarakat memperoleh informasi.
Terkait dengan cara bagaimana badan publik menyampaikan informasi, UU KIP telah mengatur bahwa setiap badan publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID inilah yang kemudian bertugas mengelola data dan informasi yang dikuasai oleh badan publik. Pengelolaan di sini meliputi pendataan, pengumpulan, pendokumentasian hingga pengarsipan. Selain pengelolaan, PPID juga bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ada dua cara menyampaikan informasi, yaitu pertama dengan cara mengumumkan melalui media yang mudah dijangkau, dan kedua dengan cara memberikannya kepada masyarakat yang melakukan permintaan informasi. Jadi, selain secara proaktif menyampaikan informasi dalam bentuk pengumuman, PPID juga harus memberikan informasi kepada setiap orang yang menyampaikan permintaan informasi kepada badan publik.
Terkait dengan cara masyarakat meminta informasi kepada badan publik, UU KIP telah mengatur bahwa masyarakat harus menyampaikan permintaan melalui berbagai media yang memungkinkan, baik secara lisan maupun tertulis. PPID kemudian mendata permintaan informasi tersebut, paling lama dalam waktu sepuluh hari kerja PPID harus memberikan informasi yang diminta, jika informasi yang diminta bukan termasuk informasi yang dikecualikan. Jika dalam waktu sepuluh hari kerja PPID belum menemukan informasi yang diminta, pemenuhan informasi dapat diperpanjang dalam jangka waktu tujuh hari kerja. Perpanjangan waktu ini harus disampaikan kepada pemohon. Jika akhirnya PPID tidak juga memberikan informasi yang diminta, pemohon dapat mengajukan keberatan kepada atasan PPID dan dapat berlanjut ke sidang di Komisi Informasi.
Jika aturan tentang keterbukaan informasi ini diaplikasikan dengan praktik dalam Pemerintahan Desa, maka Pemerintah Desa harus menunjuk PPID agar Pemerintah Desa dapat dengan baik melakukan pengelolaan terhadap informasi yang terkait dengan program, kegiatan, kebijakan, serta berbagai dokumentasi lain tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan pengelolaan informasi yang baik, dipastikan pelayanan informasi terhadap masyarakat desa juga akan baik pula, sehingga kewajiban-kewajiban keterbukaan informasi sebagaimana diatur oleh UU Desa dapat dijalankan secara maksimal.
Belakangan ini, sesungguhnya praktik keterbukaan informasi telah dijalankan oleh beberapa desa. Yang paling sering muncul di berbagai media sosial adalah bagaimana Pemerintah Desa memajang baliho tentang laporan pertanggungjawaban APB Desa. Selain itu, banyak juga desa yang telah memiliki website, yang memuat berbagai informasi tentang aktivitas yang dilakukan. Meskipun masih belum maksimal, tapi tentu saja upaya ini harus diapresiasi. Di Jawa Timur dan NTB, telah ada Standar Layanan Informasi Publik untuk Pemerintah Desa yang diterbitkan oleh Komisi Informasi Provinsi masing-masing. Hal ini mempermudah desa-desa di kedua provinsi tersebut dalam menjalankan keterbukaan informasi, karena telah ada panduan yang jelas. Komisi Informasi NTB telah meluncurkan gerakan Desa Benderang Informasi Publik yang mendorong agar Pemerintah Desa menunjuk PPID dan menjalankan keterbukaan informasi publik. Kedepannya diharapkan Komisi Informasi Provinsi lain akan melakukan hal yang sama.
Sumber: http://kedesa.id/id_ID/keterbukaan-informasi-pemerintahan-desa/
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]
oleh Parliamentary Center | Des 22, 2016 | Opini

Oleh Mustolih Siradj, Kordinator Jaringan Donatur dan Konsumen se-Nusantara
Alfamart ( PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk) ajukan keberatan atas Putusan Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) perihal perintah membuka data sumbangan uang kembalian ke publik (Konsumen). Tanya kenapa?
Uang yang dipungut dari Publik secara masif maka seharusnya bagi lembaga/organisasi yang profesional dan akuntabel akan mempertanggungjawabkan kepada publik kapan saja dibutuhkan, bahkan tanpa diminta sekalipun. Maka sangat janggal apabila ada penyelenggara sumbangan dimintai transparansi oleh donatur/konsumennya “mengelak” dan terkesan “buang badan”. Ada apa dengan Alfamart?
Bagi saya sebagai donatur dan konsumen transparansi dan akuntabikitas yang telah disampaikan Alfamaft (PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk) terkait sumbangan uang kembalian sangat subjektif dan hanya klaim sepihak. Masih jauh dari asas transparansi & Good Corporate Governance (GCG). Buktinya apakah pernah ada publikasi Laporan Keuangan yang sudah diaudit akuntan publik? Maka Alfamart harus diuji. Apalagi sumbangan yang terkumpul mencapai puluhan milyar.
Kedududukan Alfamart dan konsumennya harus diposisikan sejajar, berimbang dan bermartabat karena ini adalah amanat UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan asas dalam international consumer protection yang sudah di sepekati di dunia international.
Putusan KI Pusat merupakan putusan yang sangat progresif karena mencerminkan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi konsumen/donatur Alfamart. Maka putusan itu harus dikawal bersama-sama (oleh masyarakat) hingga tuntas.
Putusan KI Pusat adalah kado indah di akhir tahun 2016 bagi konsumen Indonesia. Ini kemenangan bagi konsumen.
Namun, jikapun Alfamart (PT Sumber Alfaria TBk) banding/keberatan dengan putusan KI Pusat saya tidak akan mundur selangkah pun dan tidak akan tinggal diam.
Sederhananya, Alfamart “JUAL”, saya (siap) “BORONG”!!!
oleh muhammad mukhlisin | Jan 12, 2015 | Opini