Belum Semua Lembaga/Kementerian Membuka Diri

Belum Semua Lembaga/Kementerian Membuka Diri

Open Government Kebebasan Informasi org

KebebasanInformasi.org – Tenaga Ahli Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Open Government Indonesia (OGI), Danardono Siradjudin, mengungkapkan, salah satu tantangan OGI ialah apa yang disebut dengan kolaborasi. Oleh karenanya, gerakan yang dibangun untuk mewudukan pemerintahan terbuka ini membutuhkan dua syarat utama, yakni keterbukaan dari pemerintah dan adanya kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil.

Untuk memenuhi kedua hal itu, butuh effort yang lebih dari masing-masing pihak. Sekretariat OGI pun dituntut dapat memfasilitasi dua belah pihak. “Karena kalau kemauannya datang dari salah satu, namanya bukan OGI,” kata Danar, di Jakarta, Minggu (19/10).

Danar menyadari, saat ini belum semua kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah bersedia dan mau percaya untuk bekerja sama dengan masyarakat sipil. Menyadari realita yang demikian, Sekretariat OGI memulai gerakannya dari instansi-instansi yang mau terbuka serta masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu-isu yang akan dilakukan.

“Jadi memang OGI ini berbasis voluntary, jadi memang nggak mandatory. Strateginya memang dari sekretariat sendiri memulai dari kementerian/lembaga yang mau dulu itu akan lebih mudah untuk kita,” tandasnya.

Ia menambahkan, kolaborasi mensyaratkan keahlian tertentu. “Contohnya parlemen, kalau mau terbuka ada IPC kan enak karena IPC kan sudah paham tentang parlemen. Sehingga, IPC punya kontribusi yang dibutuhkan, baik ide, saran, ataupun kalau parlemen mau mengimplementasikan soal keterbukaan, maka IPC akan bisa membantu lebih mudah, karena IPC sudah punya pengalaman di parlemen,” jelas Danar.

Sekretariat OGI juga tidak memaksakan diri untuk masuk dalam isu tertentu di luar kemampuan mereka. “Kalau isu tertentu mau kita paksakan, agak kesulitan. Misalnya Kebijakan Satu Peta. Kita agak kesulitan misalnya mencari teman-teman yang selama ini paham tentang teknis bagaimana membuat pemetaan, seperti membuat Koordinat GIS dan segala macam,” tutur Danar.

“Kalau masyarakat sipil nggak ada, artinya masyarakat sipil tidak paham isu yang sedang dibahas maka jadi repot. Jadi kita agak berhitung dalam bagaimana membuka peluang baru bagi kementerian lembaga. Dengan pertimbangan itu, kita nggak terlalu ambisius mendorong semua kementerian lembaga. Jadi yang mau dulu saja,” tambahnya.

Saat ini ada sekitar 16 kementerian/lembaga yang bekerjasama dengan OGI. Sementara lembaga yang menjadi lead sector di Pemerintah ialah Bappenas di bawah Direktur Aparatur Negara, Kantor Staf Presiden (KSP) di bawah Debuti 2, dan Kementerian Luar Negri di bawah KTLN. Melalui kolaborasi yang ada ini, Danar berharap gaung OGI semakin luas dan memberi dampak besar pada masyarakat. (BOW)

Memilih Antara Kolaboratif atau Jadi Watchdog Pemerintah

Memilih Antara Kolaboratif atau Jadi Watchdog Pemerintah

30052016-Renaksi-OGIKebebasanInformasi.org – Perumusan Renaksi 2016-2017 menekankan pada proses partisipatoris dengan memperkuat pelibatan civil society organizations (CSO), pemerintah daerah, dan sektor swasta. Oleh sebab itu, kolaborasi antara Pemerintah dan masyarakat sipil menjadi syarat utama mewujudkan Pemerintahan Terbuka.

Danardono Siradjudin, Tenaga Ahli Kebijakan Publik, Sekretariat Nasional Open Government Indonesia (OGI), mengatakan, butuh keahlian khusus untuk melakukan kolaborasi. Menurutnya, Platform CSO yang biasa bererak dengan metode mengkritik dari luar relatif tidak cocok masuk wilayah ini.

Namun kata Danar, kondisi ini tidak terlalu jadi masalah dalam kontkes Jakarta. “Paling tidak, kedewasan teman-teman CSO di Jakarta sudah relatif sampai ke situ, untuk menyadari bahwa misalnya pilihannya menjadi watchdog dari luar. Bahwa ia nggak mungkin kolaborasi dari dalam seperti teman-teman,” terangnya.

Kondisi berbeda terjadi di luar Jakarta. “Antara teman-teman yang kolaboratif dan watchdog dari luar nggak ada masalah, nggak akan ada konflik, itu kalau di Jakarta. Tapi kalau di daerah ini jadi tantangan,” ungkap Danar.

Ia berharap, ke depan teman-teman CSO dengan kesadaran penuh untuk memilih, apakah mau kolaboratif atau menjadi watchdog dari luar. Hal ini tentu dengan segala konsekuensinya. Jika mereka memilih kolaboratif, maka harus siap dituntut keahlian tertentu untuk bisa membantu pemerintah.

Ia mengatakan, apa yang dilakukan OGI selama ini ialah upaya fasilitasi dua belah pihak, yakni memfasilitasi agar pemerintah percaya dan bekerjasama dengan masyarakat sipil dan memfasilitasi masyarakat sipil supaya lebih produktif ketika diajak kerjasama dengan pemerintah. (BOW)

OGI Berharap Renaksi 2016-2017 Sesuai Siklus Rencana Pembangunan

OGI Berharap Renaksi 2016-2017 Sesuai Siklus Rencana Pembangunan

30052016-Renaksi-OGIKebebasanInformasi.org – Tenaga Ahli Kebijakan Publik, Sekretariat Nasional Open Government Indonesia (OGI), Danardono Siradjudin, menerangkan, proses penyusunan Rencana Aksi (Renaksi) OGI 2016-2017 dimulai lewat serial diskusi publik dengan dua kelompok. Pertama, dengan CSO yang dibutuhkan, dan kedua, dengan kementerian/lembaga yang bersedia turut dalam gerakan kolaborasi ini.

Setelah itu, kedua pihak akan bertemu untuk mengetahui kesesuaian rumusan konsep dari kementerian/lembaga dengan CSO terkait. “Dari situ kita terus perdalam sampai ke rumusan renaksi yang konkret. Setelah ada draft rumusan, kita biasanya diundang lagi untuk semacam penyepakatan dengan kementerian lembaganya,” jelas Danar.

Ia mengatakan, saat ini OGI telah melewati fase di mana sebagian besar kementerian/lembaga mencapai kesepakatan. Setelah semuanya final, OGI berencana menggelar launching bahwa Indonesia akan menyelenggarakan berbagai hal yang ada dalam formula OGI.

“Kita berharap, ke depan perumusan renaksi ini bisa sesuai dengan siklus rencana pembangunan. Sehingga akan mempermudah membuat alur logis dari RPJMN, program prioritas pemerintah dengan inisiatif-inisiatif keterbukaan yang ingin kita lakukan,” kata Danar.

Selain itu, agar sesuai dengan rencana kerja pembangunan, ia ingin memastikan bahwa renaksi ini akan dilakukan karena sudah masuk dalam siklus rencana pembangunan pemerintah. (BOW)

Tiga Tahap Teknis Mewujudkan Open Government

Tiga Tahap Teknis Mewujudkan Open Government

Ahmad Alamsyah Saragih kebebasan informasi org

KebebasanInformasi.org – Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, mengatakan, ada dua aspek dalam penerapan open government, yakni aspek yang berkaitan dengan mindset dan aspek teknis. “Pertama, mindset. Apa yang mau open, kalau open mind saja belum,” kata Alamsyah.

Untuk membangun open mind, lanjutnya, diperlukan pihak luar yang terlibat dalam memanfaatkan data dari pemerintah. Dengan itu, pemerintah bisa mengambil keputusan yang baik sebagai penyelenggara negara. “Itu yang harus dikampanyekan di internal pemerintah satu per satu. Ini tampaknya belum dilaksanakan sehingga peraturan-peraturan seperti Perpres, Inpres, dan sebagianya semua cuma jadi kertas karena orang tidak mengerti arahnya mau kemana,” ujarnya.

Sedangkan terkait dengan aspek teknis, Alamsyah menjelaskan, setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilakukan. Pertama, mulai dengan digitalisasi. “(Tanpa digitalisasi) open data ini ya paling cuma menjadi semacam open information, mengikuti informasi apa yang sudah disarankan oleh UU KI Pusat, dokumen-dokumen mana yang harus bisa diakses publik, yakni dokumen-dokumen yang sifatanya umum, yang menjadi satu basis data untuk menghasilkan sesuatu. Mereka harus mengentri ulang, itu tidak mungkin. Makanya harus selesai dengan tahap digitalisasi.,” paparnya.

Jika tahap digitalisasi ini sudah tercapai, maka masuk pada tahap kedua. Yakni mulai membangun suatu komunitas-komunitas data. “Misalnya di pelayanan publik kesehatan tentunya dia harus mulai membangun relasi dengan komunitas yang berkepentingan dengan data kesehatan. Sehingga data itu mereka taruh dalam satu platform, orang juga bisa mengaksesnya. Termasuk yang saya sebut komunitas itu bukan hanya yang ada di publik, di  antara instansi pemerintah juga. Sehingga ada instansi lain yang juga bisa mengambil datanya,” terang Alamsyah.

Namun ia menegaskan, untuk menunjang terbangunnya komunitas ini butuh satu pra syarat, yaitu penggunaan mesin aplikasi yang sama. Antara kementerian satu dengan kementerian lain tidak menggunakan aplikasi yang berbeda sehingga berakibat tidak bisa terbacanya aplikasi tersebut.

Berikutnya tahap ketiga, yang menurut Alamsyah menjadi tahap paling atas ialah, yaitu kemampuan memfasilitasi semua pengguna data untuk mengambil sebuah keputusan publik yang baik. Jika tahap ini sudah terlaksana, berarti apa yang disebut open government itu telah tercapai.

“Para pengguna data atau komunitas ini kemudian bisa memiliki mengelola komunikasi, kemudian memberikan masukan, melakukan perbaikan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Itu menurut saya baru bisa sampai pada tahap yang disebut open government,” pungkas Alamsyah. (BOW)

Selain Kolaborasi, CSO Harus Identifikasi Diri sebagai Komunitas Partner

Selain Kolaborasi, CSO Harus Identifikasi Diri sebagai Komunitas Partner

Open Goverment Indonesia Kebebasan Informasi

KebebasanInformasi.org – Salah satu langkah besar, yang menjadi gerak maju bangsa Indonesia, ialah peran negara dalam membangun sebuah inisiatif internasional, Kemitraan Pemerintahan Terbuka, di mana Indonesia adalah co-pendiri dan menjabat sebagai co-chair pada 2012-2014. Kemitraan Pemerintahan Terbuka atau Open Government Partnership  (OGP) merupakan sebuah inisiatif sukarela di tingkat Internasional yang bertujuan untuk menjamin komitmen pemerintah kepada warganya dalam meningkatkan transparansi, memberdayakan masyarakat, melawan korupsi, dan memanfaatkan teknologi baru untuk memperkuat sistem pemerintahan.

Perjalanan Indonesia dalam melaksanakan inisiatif OGP kian menguat sejak OGP diresmikan pada September 2011. Keterbukaan Pemerintah tidak hanya merupakan katalisator utama untuk reformasi, namun juga bagian tidak terpisahkan dalam pembangunan Indonesia dan agenda reformasi.

Tiga Rencana Aksi (Renaksi) Open Government Indonesia (tahun 2012, 2013 dan 2014-2015) sudah digulirkan, dua Laporan Pelaksanaan OGI /Government Self Assessment Reports (GSAR) telah terpublikasikan, dan tiga Independent Report Monitoring (IRM) telah dijadikan bahan refleksi bagi pemangku kepentingan OGP di Indonesia.

Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil juga semakin menguat terutama melalui kerja sana Tim Inti OGI. Hal ini ditandai dengan berkembangnya jumlah anggota Tim Inti OGI, dari 5 (lima) Kementerian dan 4 (empat) CSO di tahun 2012, menjadi 7 (tujuh) Kementerian dan 7 (tujuh) CSO semenjak 2013. Inisiatif OGP merupakan proses yang dinamis, dan harus berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pilar dan pemangku kepentingan. Kesinambungan ide, gagasan, dan kolaborasi dalam menjalankan prinsip-prinsip OGP akan tercermin dalam Renaksi yang djalankan setiap tahun.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka Renaksi 2016-2017 dihadirkan sebagai dokumen operasionalisasi OGI dua tahun ke depan dengan tetap memperhatikan proses OGI di tahun sebelumnya dan kontekstual OGP terkini. Perumusan Renaksi 2016-2017 ini menekankan pada proses partisipatoris dengan memperkuat pelibatan civil society organizations (CSO), pemerintah daerah, dan sektor swasta.

Meski demikian, masih banyak CSO yang bergerak membangun dan memperkuat pemerintahan dari luar, di antara aksinya ialah melakukan kritik terhadap pemerintah. Anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih berpendapat, platform CSO sepeti itu memang sedikit menghambat upaya OGI dalam merealisasikan Renaksi. Tetapi, menurutnya, hal yang lebih penting dalam penerapan Renaksi ini ialah identifikasi diri dari CSO-CSO tersebut.

“Problemnya CSO itu berkolaborasi, (tapi) kalau dia gagal mengidentifikasi dirinya sebagai pengguna percuma. Akhirnya dia (penyedia data) cuma mendengar NGO yang berkegiatan saja. Dia (penyedia data) menggunakan civil soceity organization (CSO) tapi ya sebetulnya kelompok masyarakat yang bukan pengguna data. CSO-nya ini malah mengkritik dalam mengawal renaksi,” ungkapnya.

Untuk itu, Alamsyah menyarankan Pemerintah untuk meminta CSO-CSO yang berkolaborasi membagi diri sesuai identifikasinya. Dengan begitu Renaksi tidak sekadar bergerak pada wilayah wacana dan dapat direalisasikan secara konkret berdasarkan instansi penyelenggara pelayanannya.

“Kalau dia tidak diturunkan sampai ke tingkat itu, maka nggak akan konkret. Saya belum melihat sesuatu yang betul-betul turun dari renaksi kemudian dijalankan dan ada hasilnya. Saya lihat renaksi itu cuma menggabung-gabungkan apa yang sudah dilakukan kemudiaan dikumpulkan,” kata Alamsyah.

Ia mengambil contoh dalam pelayanan kesehatan, hanya sedikit komunitas-komunitas pengguna data yang melakukan pemetaan, sehingga mereka berjalan sendiri-sendiri. “Open government di sektor kesehatan tidak ada urusan dengan Renaksi, mereka memang jalan sendiri. Tidak ada misalnya komunitas-komunitas yang melakukan pemetaan, itu pun jumlahnya sendikit,” jelasnya.

“Kalau masalah akuntabilitas yang berkaitan dengan pengadilan, misalnya, yang harus di-lead tentunya para instansi para penegak hukum. Di situ harus konsentrasi pada satu komunitas sendiri yang mendorong,” tambahnya. (BOW)