Selasa 15/06/2010 – ANDAI saja dulu telah ada regulasi tentang keterbukaan informasi publik (KIP) yang mulai 1 Mei 2010 diberlakukan, kita mungkin tidak penasaran menanyakan kepergian bos ‘Golden Key’ Eddy Tansil, yang menjadi tersangka penggelapan uang negara sebesar Rp 1 triliun. Suatu jumlah yang mencengangkan publik kala itu, meskipun sekarang terdapat jumlah yang lebih mencengangkan.

Bukan hanya pengungkapan misteri Eddy Tansil, namun korban korban indoktrinasi rezim dan intrik-intrinya bisa langsung diadopsi publik. Dalam hal ini kita pun berpersepsi alangkah indahnya bila Indonesia dihiasi dengan mekanisme saling berbagi informasi yang sehat dan serasi.

Gambaran seperti tersebut di atas ternyata bukan hanya isopan jempol saja, saat diberlakukan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.

Memang suatu realita kita temui, saat Soeharto masih berkuasa, segala sesuatu tentang informasi publik adalah ‘asset yang angker’. Oleh karena itu tidak sembarang pihak dapat memperoleh pelayanan informasi. Namun pelayanan publik pun akan terasa nyaman setelah diberlakukan regulasi tersebut dalam koridor pembuatan kebijakan publik, mengaktifkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik tersebut, menstimulasi kehidupan bernegara partisipatif, meningkatkan managemen pelayanan informasi yang berkualitas.

Tanggapan yang positif dan sangat dinanti adalah respon dari dunia pers, yang tentunya akan lebih mampu lagi dalam melayani masyarakat dengan pers yang berbobot, cermat, santun sekaligus akuntabel. Meskipun dunia pers telah memiliki Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, dengan berlakunya UU KIP, maka kualitas materi pers yang disodorkan kepada publik tentunya akan menjadi lebih kredibel, karena telah terjadi jalinan bersama dengan lingkaran badan publik (share value) bukan berupa gangguan pers.

Meskipun gangguan terhadap kebebasan pers, merupakan urusan setiap pihak, manakala right to know dan right to express di lingkungan masyarakatnya terhalang akibat tekanan kekuasaan, dari sini dapat diterima pandangan bahwa yang perlu dijaga dan didukung bukanlah media pers dan jurnalisnya, melainkan kebebasan pers. Soalnya, pers dan jurnalis dapat terjerumus menjadi bagian dari “kejahatan” kekuasaan. Sedangkan gangguan terhadap kebebasan pers ini kerusakannya tidak hanya dilihat pada lingkungan suatu masyarakat, tetapi lebih jauh dapat merugikan pada tataran peradaban (Ashadi Siregar, Dewan Pers 2008).

Di sinilah letak berkah dunia pers dengan adanya UU KIP tersebut. Salah satu manfaat dari UU KIP tersebut adalah berkah di dunia pendidikan Indonesia yang miskin informasi iptek yang dimiliki institusi strategis, seperti TNI, Pertamina, Telkom dsb. Bukankah informasi iptek tentang kapal selam, peluru kendali satelit, pembangkit listrik dan lain sebagainya, sebenarnya adalah laboraorium kering untuk bahan ajar pembelajaran putra kita. Mereka toh berhak mencermati alutsista yang dimiliki TNI yang dibeli dari kantong mereka.

(Bambang Sukmadji Guru MA Futuhiyyah 1. Mranggen, Demak Jateng).

Media Indonesia – Minggu, 09 Mei 2010 02:16 WIB