Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak boleh bersembunyi di balik Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) untuk tidak membuka Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigasi proyek Hambalang tahap II kepada publik.

LHP investigasi seharusnya diserahkan kepada penegak hukum. Tetapi BPK justru menyerahkan kali pertama kepada DPR. LHP investigasi II Hambalang dikhawatirkan justru akan dipolitisasi. Oleh karenanya, BPK harus membuka hasil audit investigasi itu.

Hal itu disampaikan oleh Mantan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Alamsyah Saragih menanggapi penyerahan LHP investigasi Hambalang II kepada DPR, baru setelah itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut dia, audit investigasi adalah sebuah langkah projusticia, audit yang dilakukan karena adanya dugaan tindak pidana. Maka seharusnya hasil audit itu diserahkan kepada KPK sebagai penegak hukum yang menangani kasus dugaan korupsi Hambalang.

Sebelumnya, BPK telah menyerahkan LHP investigasi Hambalang II kepada DPR kemudian kepada KPK pada Jumat, (23/8/2013). Ketua BPK Hadi Poernomo menolak membeberkan hasil audit dengan alasan hasil audit ini termasuk dalam rahasia negara seperti yang disaratkan oleh Pasal 7 ayat 1 UU Keterbukaan Informasi Publik. Pasal tersebut mengatur kewajiban untuk memberikan informasi, kecuali yang dikecualikan.

“Apakah pengecualian (LHP Hamabalang II) tersebut masih relevan atau tidak? Seharusnya audit ini diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Forum akuntabilitas dari proses hukum itu di pengadilan. Ketika disampaikan ke DPR, apakah DPR adalah forum yang tepat untuk projusticia?” kata Alamsyah kepada wartawan dalam jumpa pers Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KUAK Negara), Minguu (25/8/2013).

Ia mengatakan, ketika hasil audit sudah disampaikan kepada DPR maka hasil audit sudah menjadi milik publik. Artinya, BPK tidak bisa lagi bersembunyi di balik UU KIP untuk menutup informasi itu. “Kalau ingin kembali ke jalur yang benar, maka hasil audit itu harus dibuka seluas-luasnya,” ujarnya.

Meski DPR juga meminta BPK melakukan LHP investigasi atas proyek Hambalang, menurut Alamsyah, BPK bisa saja hanya memberikan resume hasil audit, tidak perlu seluruhnya. Hal itu dikhawatirkan justru menarik proses penegakan hukum ke ranah politik.

Hal itu sangat mungkin terjadi sebab hasil audit tersebut sudah menguraikan secara detil dan menyeluruh bagaimana penyelewengan terjadi dan siapa saja yang terlibat. Hasil audit itu menyebut setidaknya 15 anggota DPR terlibat meloloskan anggaran Hambalang.

“Ketika diserahkan ke DPR akhirnya terjadi konflik kepenting. Kemungkinan hilangnya barang bukti juga bisa. DPR jangan main-main dengan laporan ini. Kasus Hambalang ini lebih besar dari cicak buaya. Kasus ini hanya 1 inchi dari jantung penguasa,” tuturnya.

Apung Widadi dari KUAK Negara mengatakan, ada indikasi ketidakberesan ketika BPK menyelesaikan LHP Hambalang II ini lebih dari tiga bulan dari LHP yang pertama. Seharusnya audit bisa dilakukan secara cepat.

“Tiga bulan itu waktu yang sangat cukup bagi tersangka kasus Hambalang untuk menyelamatkan aset-asetnya. Sehingga nanti kalau dikenakan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) tidak semua asetnya kena,” katanya.

Ia mengatakan, kecurigaan itu karena dalam auditnya BPK tidak banyak mengungkap soal aliran dana. BPK berhasil menemukan indikasi kerugian proyek Hambalang lebih besar dalam LHP Hambalang II, yaitu sebesar Rp 471,7 miliar. Indikasi kerugian pada LHP I hanya sebesar Rp 243,66 miliar.

Tetapi audit BPK itu tidak menunjukkan aliran dana yang mengalir ke para tersangka kasus ini, seperti Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, dan Mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor, dan Mantan Ketua Umum Partai Demokrat.

Darwanto dari Indonesia Budget Center (IBC) mengatakan, kini saatnya DPR meneruskan hasil audit BPK itu ke Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Alat kelengkapan DPR inilah yang berwenang untuk menelaah hasil audit BPK itu demi penagakan akuntabilitas keuangan negara.

“Hasil audit investigatif tahap II Hambalang wajib dibuka kepada publik. Hal ini untuk menghindari politisasi dan penghilangan informasi subtansial terkait kasus korupsi Hambalang,” katanya.

Kepada KPK, Darwanto meminta agar lembaga antikorupsi itu menepati janjinya untuk segera menahan tersangka kasus Hambalang, Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum. “KPK harus mengusut tuntas aliran korupsi Hambalang hingga dana poltiik Kongres Demokrat,” katanya.

Sumber: Pikiran Rakyat