Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Selasa, 10 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Akuntabilitas Dalam Perspektif Relasi Sosial

Istilah akuntabilitas, dari sisi semantik, sangat berkaitan dengan akuntansi atau yang lebih dikenal dengan istilah pembukuan (Boven, 2008).[1] Penelusuran akar sejarah konsep akuntabilitas merujuk pada masa William I, suatu dekade setelah penguasaan Norman di tanah Inggris pada tahun 1066. Pada tahun 1085 William mensyaratkan semua pemilik properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat perhitungan atas apa yang mereka miliki. Kepemilikan tersebut ditaksir dan didaftar oleh para agen kerajaan dalam sesuatu yang disebut sebagai ‘Buku Perhitungan’ (Doomesday Books). Buku ini mencatat apa saja yang dikuasai oleh raja, bahkan juga termasuk tentang sumpah setia pemilik lahan terhadap raja yang berkuasa (Dubnick, 2007).[2]

Berdasarkan sejarah tersebut, beberapa ahli akhirnya berupaya memaknai akuntabilitas sebagai suatu hubungan antara pemegang kedaulatan (sovereign) dan pelaksana (subject) atau apa yang sering dikenal sebagai hubungan antara principle dan agent atau forum dan aktor (Bovens, 2008).[3] Penelusuran atas penggunaan istilah Accountability di Kongres Amerika Serikat menunjukkan sesuatu yang ironis (Dubnick, 2002):[4]

A quick count of titles placed in the House and Senate hoppers for the past several sessions of Congress indicate that the word is applied to 50-70 distinct proposals each two-year term. As reflected in the list from the current (107th) Congress, the focus of “Accountability” bills can range from specific individuals (Yasir Arafat) and nations (Syria) to industries (electricity providers), agencies (the IRS and the INS), professionals (accountants and pharmacists), and the members of Congress themselves. When examined in detail, the content of the proposed legislation rarely mentions the term again, except in provisions designed to change the titles of current laws so that they too can be adorned with the “Accountability” élan.

Kesulitan lain yang dialami dalam penggunaan istilah akuntablitas adalah apa yang disebut oleh Dubnick (2002),[5] sebagai “incommensurability”— istilah geometry yang diperkenalkan oleh Thomas Kuhn—sebagai metafora untuk kesenjangan inheren dari suatu kata dimana tak mudah untuk menerjemahkannya ke dalam kata-kata lintas konteks dan kultur. Dengan demikian akan lebih mudah memahami akuntabilitas sebagai suatu konsep daripada sebuah upaya untuk mencari kata terjemahan yang pas.

Di Indonesia, beberapa pihak telah mencoba menerjemahkannya sebagai ‘tanggung gugat’. Namun demikian terjemahan tersebut tetap memerlukan penjelasan yang cukup mendalam secara konseptual untuk memahaminya. Kata akuntabilitas semakin sering digunakan dan telah menjadi konsumsi publik luas sejak isu tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi begitu dominan di era rezim reformasi, sebagaimana halnya kata partisipasi dan transparansi.

Mulgan (2000) [6]  menyatakan bahwa debat akademik tentang akuntabilitas di wilayah ilmu administrasi publik paling tidak dapat diikuti sejak sebelum perang dunia kedua. Perdebatan terjadi antara Carl Friedrich (1940)[7]  dan Herman Finner (1941)[8]  dalam melihat relasi antara publik dan birokrat dengan terminologi pertanggungjawaban (responsibility). Perdebatan antara Friedrich dan Finner berkisar pada tarik menarik antara keharusan seorang pelayan publik untuk bertumpu pada profesionalisme dan moralitas personal di satu sisi dengan keharusan untuk mengikuti perintah dari pihak yang disebut sebagai ‘political masters’ di sisi lain.

Friedrich lebih menekankan tanggung jawab internal birokrat terhadap standar profesional dan nilai-nilai, sedangkan Finner menegaskan keutamaan tanggung jawab terhadap perintah politik eksternal. Perbedaan dua cara pandang tersebut telah menyebabkan akuntabilitas mengalami apa yang disebut: an ever-expanding concept (Mulgan, 2000),[9] yang mengarah pada tema umum untuk menjelaskan berbagai mekanisme agar suatu institusi responsif kepada publik tertentu (Mulgan, 2003).[10]

Principle–Agent Relationship

Dalam perkembangan, pembahasan tentang akuntabilitas mengarah pada upayaupaya penggalian skema internal organisasi yang bersandar pada aspek profesionalisme di satu sisi dan relasi eksternal yang mengarah pada pertanggungjawaban sosial dan politik di sisi lain. Upaya untuk membedakan kedua hal tersebut telah pula dilakukan oleh Boven (2008)[11] dengan membedakan akuntabilitas sebagai kebajikan (as a virtue) dan akuntabilitas sebagai suatu hubungan sosial (as a social relation).

However, there is a pattern to the expansion. Particularly, but not exclusively, in American academic and political discourse, accountability is used mainly as a normative concept, as a set of standards for the evaluation of the behaviour of public actors… [t]he focus of accountability studies is not whether the agents have acted in an accountable way, but whether they are or can be held accountable ex post facto by accountability forums.

Di tataran praktik, penerapan mekanisme akuntabilitas kepada siapa suatu pertanggungjawaban diberikan (principle–agent relationship) telah melahirkan berbagai zona akuntabilitas. Dalam beberapa pembahasan, sering juga dinyatakan sebagai hubungan antara forum dan aktor. Fokus bukan pada apakah aktor tersebut telah melakukan prosedur secara akuntabel, tapi apakah mereka dinilai akuntabel oleh forum.

Ketika mekanisme akuntabilitas memasuki wilayah parlemen, dikenal istilah akuntabilitas politik. Untuk wilayah peradilan dikenal istilah akuntabilitas legal. Pada saat mekanisme memasuki wilayah-wilayah administratif dikenal istilah akuntabilitas administratif. Sebagai contoh, akuntabilitas administratif dapat ditemukan ketika lembaga publik harus mempertanggungjawabkan konsistensi mereka atas prosedur administratif pelayanan di hadapan Ombudsman, atau terkait pengelolaan keuangan di hadapan auditor. Pada saat memasuki mekanisme yang mengarah kepada relasi antara lembaga publik terhadap warga negara atau masyarakat sipil, dikenal istilah akuntabilitas sosial (Bovens, 2008).[12]

Akuntabilitas Sosial dan Open Government

Dalam Memorandum Januari 2009, Obama menyatakan: “A democracy requires accountability, and accountability requires transparency. Pada bagian lain dinyatakan: Freedom Of Information Act (FOIA) should be administered with a clear presumption: In the face of doubt, openness prevails.[13] Pernyataan ini menunjukkan keyakinan bahwa akuntabilitas adalah tujuan dari penerapan transparansi dalam kebijakan Open Government di Amerika Serikat.

FOIA yang disahkan pada tahun 1966 memang dimaksudkan agar warga negara dapat menguasai informasi sebagai suatu masyarakat demokratis, memerangi korupsi dan memastikan pemerintah akuntabel terhadap rakyatnya (Jennifer Shkabatur, 2012). [14] Dengan FOIA diharapkan warga dapat melakukan hal tersebut tanpa harus melalui suatu proses politik.[15]

Dalam kenyataan transparansi memang penting tapi tidak cukup untuk mendorong terjadinya akuntabilitas sosial. Hal ini karena transparansi yang diterapkan melalui FOIA dalam pemerintahan Obama belum berhasil mendorong akuntabilitas akibat beberapa kendala dalam penerapnnya: (i) Undang-Undang ini sangat bergantung pada dorongan pemohon nformasi; (ii) kalangan pers menilai administrasi layanan informasi memakan waktu, biaya dan membutuhkan keahlian ketika harus menempuh proses hukum (litigasi). [16]

Dua fakta di atas bukan hanya dialami Amerika Serikat, tapi juga di beberapa negara, termasuk Indonesia yang telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik. Gagasan pemanfaatan ICT melalui kebijakan Open Government diharapkan dapat memecahkan persoalan tersebut. Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai Open Data. Melalui Open Data, berbagai data pemerintah dan informasi diletakkan ruang publik dalam format masinal agar publik dapat menggunakannya tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pemegang otoritas terlebih dahulu. Melalui kebijakan ini diharapkan kendala administratif tersebut dapat diatasi.

Dalam beberapa hal, menerapkan Open Government tanpa Open Data dilihat tak lebih hanya sebagai suatu wacana dalam kebijakan. Penerapan Open Data dalam Open Governent dinilai lebih memiliki kekuatan untuk menciptakan akuntabilitas publik (Yu dan Robinson, 2012 ):[17]

[t]he term “open government” has become too vague to be a useful label in most policy conversations. Open data can be a powerful force for public accountability—it can make existing information easier to analyze, process, and combine than ever before, allowing a new level of public scrutiny.

Tidak semua pihak berpendapat sama. Telah dibahas sebelumnya bahwa akuntabilitas merupakan suatu relasi sosial (principal-agent relationship). Peixoto (2012) [18] menjelaskan, jika mekanisme akuntabilitas dilihat dalam perspektif keterbukaan informasi paling tidak ada rantai yang terkait: (1) adanya keterbukaan dalam informasi pemerintah; (2) informasi yang dibuka sampai kepada publik yang dituju; (3) masyarakat dapat memproses informasi yang dibuka dan bereaksi terhadapnya; (4) pejabat publik merepon reaksi publik atau dikenakan sanksi oleh publik melalui cara-cara yang institusional.

Menurutnya, transparansi memang hanya merupakan langkah awal menuju akuntabilitas. Selebihnya, akuntabilitas ditentukan oleh dua hal: kondisi publisitas (a.l: tingkat kebebasan pers) dan kondisi kelembagaan politik (a.l: kebebasan dalam hak sipil dan politik). Peixoto mengamati relasi antara penerapan Open Government Data dengan akuntabilitas di beberapa negara. Pada negara-negara dimana kedua kondisi tersebut tidak terpenuhi, penerapan Open Government Data memberikan pengaruh yang kurang berarti terhadap akuntabilitas.[19] Jadi penerapan Open Government Data bukanlah faktor yang paling kuat dalam mendorong akuntabilitas sosial, melainkan kondisi publisitas dan kondisi hak-hak sipil-politik di negara tersebut.

Catatan Kaki


[1] Bovens, Mark. Two Concepts of Accountability. Utrecht: Utrecht School of Governance, Utrecht University, 2008, hal. 8.

[2] Dubnick, M.J. Sabanes-Oxley and The Search for Accountable Corporate Governance, at ERSC/GOVNET Workshop The Dynamics of Capital Market Governance: Evaluating The Conflicting and Con-flating Roles of Complience, Regulation, Ethics and Accountability, Australian National University, Canbera, Autralia, 14-15 March 2007, hal. 11-13.

[3] Op.cit. hal. 18-19.

[4] Dubnick, M. J, Seeking Salvation for Accountability. Paper presented at Annual Meeting of the American Political Science Association, Boston. August 29-September 1, 2002, hal. 2.

[5] Ibid. hal. 4.

[6] Lihat Mulgan, R. Accountability: An ever expanding Concept? Public Administration, Blackwell Publishing Ltd, Oxford, UK, 2000, 78: hal. 555.

[7] Friedrich, C. J. Public Policy and the Nature of Administrative Responsibility. Public Policy, Cambridge: Havard University Press, 1940, hal. 3-24.

[8] Finner, H. ‘Administrative Responsibility and Democratic Government’. Public Administration Review 1, 1941,  hal. 335-350.

[9] Op. cit.

[10] Lihat Penjelasan Richard Mulgan dalam Holding Power to Account: Accountability in Modern Democracies. Basingstoke: Palgrave. 2003.

[11] Bovens, Mark. ‘Two Concepts of Accountability: Accountability as a Virtue and as a Mechanism, dalam West European Politics, 2010, 33: 5, hal. 946- 967.

[12] Ibid.

[13] Presidential Memorandum, subject: Fredom of Information Act. January 21, 2009

[14] Shkabatur, Jennifer, Transparency With(out) Accountability: Open Government in the United States (March 25, 2012). Yale Law & Policy Review, Vol. 31, No. 1, 2013. hal. 13

[15] Jennifer mengutip kasus NLRB v. Robbins Tire & Rubber Co., 437 U.S. 214, 242 (1978); dan  Dowdle, supra note 3, at 6: explaining that FOIA’s goal was “to allow a much wider range of civil society to hold public officials to account even without directly participating in political decisionmaking

[16] Opcit. Hal. 12

[17] Yu, Harlan dan Robinson, David G. dalam The New Ambiguity of Open Government. UCLA Law Review Discourse, 59 (2012), hal. 185

[18] Peixoto, Tiago. The Uncertain Relationship Between Open Data and Accountability: A Response to Yu and Robinson’s The New Ambiguity of “Open Government”. UCLA Law Review Discourse, 60 (2012), hal. 203.

[19] Ibid. hal 208-213

Open Goverment Transparansi, Partisipasi & Kolaborasi

Open Goverment Transparansi, Partisipasi & Kolaborasi

Selasa, 3 Desember 2013. Pkl: 19.00 – 21.00 WIB Tempat : Sekretariat FOINI, Jalan Intan No. 81 Cilandak Barat Jakarta Selatan Telp. 02175915498

Open Government  (Transparansi, Partisipasi dan Kolaborasi)

Gagasan ‘pemerintah terbuka’ (open government) di Amerika Serikat menjadi isu sentral sejak Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat di tahun 2008. Dalam catatan sejarah Amerika Serikat, terminologi ini mulai mengemuka di tahun 1953. Harrod Cross, yang mewakili perkumpulan para editor koran atau yang dikenal dengan American Society of Newspaper Editors (ASNE), menggunakannya dalam suatu laporan berjudul The People’s Right to Know: Legal Access to Public Records and Proceedings (Pope, 1953).[i]

Gagasan tentang pemerintah yang terbuka dan hak untuk tahu ini akhirnya melahirkan Undang-Undang Kebebasan Informasi (FOIA) di tahun 1966. Gagasan ini mengemuka kembali di tahun 1974 ketika Kongres mengamandemen FOIA dan menerbitkan Undang-Undang Privacy (Yu and Robinson, 2012).[ii] Terminologi pemerintah terbuka, yang semula hanya ditemukan di pernyataan-pernyataan para politisi atau dalam perbincangan di berbagai pertemuan publik, akhirnya mulai digunakan pula dalam putusan-putusan pengadilan (Yu and Robinson, 2012).[iii]

Demokrasi, Akuntabilitas dan Open Government

Pada hari pertama di Gedung Putih,  Presiden Obama menandatangani dua memorandum yang ditujukan ke seluruh pimpinan eksekutif dan lembaga. Satu di antaranya mengenai Freedom of Information Act, dan yang lain mengenai Transparency and Open Government.

Pemerintahan Obama berinisiatif mendorong gagasan pemerintah terbuka ini melalui apa yang dikenal dengan prakarsa pemerintah terbuka (Open Government Initiative—OGI).

OGI dibangun atas keyakinan bahwa demokrasi membutuhkan akuntabilitas.[iv] Untuk membangun akuntabilitas, diperlukan pemerintah yang terbuka dengan tiga nilai utama, yakni: transparansi, partisipasi dan kolaborasi.[v] Dalam Open Government Directive, Obama menyatakan:

The three principles of transparency, participation, and collaboration form the cornerstone of an open government.  Transparency promotes accountability by providing the public with information about what the Government is doing.  Participation allows members of the public to contribute ideas and expertise so that their government can make policies with the benefit of information that is widely dispersed in society.  Collaboration improves the effectiveness of Government by encouraging partnerships and cooperation within the Federal Government, across levels of government, and between the Government and private institutions. [vi]

Satu yang menjadi ciri khas dari gagasan ini adalah pemanfaatan teknologi komunikasi dan infrmasi (ICT) sebagai media utama. Pemanfaatan ICT ini menyebabkan OGI tidak terlepas dari apa yang dikenal sebagai Open Government Data. Secara sederhana, Open Government Data menggagas penerapan sistem penyediaan data di sektor pemerintah agar dapat diakses dalam bentuk yang dapat digunakan tanpa harus mengajukan permintaan.[vii]

Catatan Kaki


[i]    Pope, James S. Foreword To Harold L. Cross, The People’s Right To Know: Legal Access To Public Records And Proceedings. American Society of Newspaper Editors, 1953.

[ii]   Lihat Harlan Yu dan David G. Robinson dalam The New Ambiguity of Open Government. UCLA Law Review Discourse, 59 (2012), hal. 185. Dalam amandemen FOIA, Kongres menyatakan: open government has been recognized as the best insurance that government is being conducted in the public interest.” S. Rep. No. 93-854, at 1 (1974); Dalam hal UU Privacy Kongres menyatakan bahwa: the Privacy Act of 1974 aimed to achieve the ideals of  accountability, responsibility, legislative oversight, and open government together, while respecting citizen privacy in government-held information.” S. Rep. No. 93-1183, at 1 (1974).

[iii]   Ibid, hal. 187

[iv]   Dalam memorandum ini Obama menyatakan: A democracy requires accountability, and accountability requires transparency. Pada bagian lain dinyatakan: Freedom Of Information Act should be administered with a clear presumption: In the face of doubt, openness prevails. Presidential Memorandum, subject: Fredom of Information Act. January 21, 2009.

[v]    Dalam memorandum ini Obama menyatakan: My Administration is committed to creating an unprecedented level of openness in Government. We will work together to ensure the public trust and establish a system of transparency, public participation, and collaboration. Presidential Memorandum, subject: Transparency And Open Government. January 21, 2009.

[vi]   Memorandum For The Heads Of Executive Departments And Agencies. M-10-06. Subject: Open Government Directive. White House, Dec. 8, 2009.

[vii] lihat http://opendatahandbook.org/. Secara lebih spesifik Open Data didefinisakan sebagai berikut: Open data is data that can be freely used, reused and redistributed by anyone – subject only, at most, to the requirement to attribute and sharealike.