Jakarta, Kebebasaninformasi.org – Meskipun sudah meraih status patuh dalam inisiatif global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), Indonesia dinilai masih lemah dalam mengimplementasikan transparansi di sektor tambang. Di antaranya menyangkut tingkat kepatuhan perusahaan dalam membayarkan kewajiban penerimaan negara. Persoalan transparansi ini juga belum terselesaikan dalam renegosiasi kontrak karya.

Hal tersebut dinyatakan oleh Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/2). Ketidakpatuhan perusahaan tambang membuktikan mereka tidak komitmen terhadap transparansi di sektor ini. Contohnya, ketiadaan NPWP, keterlambatan pembayaran, hingga keterlambatan penyampaian bukti setor dalam proses perhitungan dana bagi hasil.

“Belum lagi tanggung jawab sosial dan lingkungan seperti pembayaran penjamin dana reklamasi dan paska-pelabuhan pengapalan bahan tambang dan eskpor yang belum terawasi dengan baik,” kata Maryati seperti dilansir hukumonline.com.

Hal yang senada diungkapkan oleh Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina. Menurut Poppy transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci dari kesuksesan pengelolaan sumber daya alam. Di beberapa negara, pengelolaan sumber daya alam yang transparan akan membawa dampak positif bagi kemajuan bangsa.

“Berdasarkan survei Indeks Tata Kelola Sumber Daya Alam atas 58 negara, keuntungan dari sektor ekstraktif di negara-negara tersebut mencapai total $2,6 triliun pada tahun 2010. Namun, sesungguhnya, banyak negara yang melewatkan peluang mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya alam akibat kesalahan manajemen dan korupsi,” katanya.

Oleh sebab itu, Poppy mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk lebih tegas mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor tambang.