Skandal Dana BOS

Hanya dua pihak yang mengetahui detail pengelolaan dana bantuan operasional sekolah di sekolah, yakni kepala sekolah dan Tuhan.

Demikian keluhan orangtua murid, guru, dan bahkan wakil kepala sekolah yang disampaikan kepada Indonesia Corruption Watch terkait dengan ketertutupan pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah. Pertanyaan mengapa masih ada pungutan sekolah dan berapa anggaran pembelian buku pelajaran sering tidak terjawab.

Sebaliknya, orangtua dan guru justru mendapat ancaman jika terus bertanya mengenai pengelolaan dana BOS, dari anak dikeluarkan sekolah sampai kenaikan pangkat guru terhambat.

Korupsi baru?
Kemendiknas mulai menggunakan mekanisme baru penyaluran dana BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari bendahara negara ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening sekolah.

Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak ada penyelewengan. Mungkinkah itu? Atau sebaliknya, dana BOS lambat ditransfer, dipotong, atau malah memunculkan penyelewengan dengan modus baru?

Harus diakui, masalah utama dana BOS terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak transparan. Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah.

Akibatnya, kepala sekolah (kepsek) harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada yang meminjam kepada rentenir dengan bunga tinggi. Untuk menutupi biaya ini, kepsek memanipulasi surat pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kuitansi kosong dan stempel toko mudah didapat.

Kepsek memiliki berbagai kuitansi kosong dan stempel dari beragam toko. Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran sesuai dengan panduan dana BOS, seakan- akan tidak melanggar prosedur.

Tidaklah mengherankan apabila praktik curang dengan mudah terungkap oleh lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ibarat berburu di kebun binatang, BPK dengan mudah membidik dan menangkap buruan. BPK dengan mudah menemukan penyelewengan dana BOS di sekolah.

BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS tahun 2007-2009, sebesar Rp 5,7 miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain dalam SPJ.

Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolah di bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolah ini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi, BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya.

Berdasarkan audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi, ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp 28 miliar.

Penyimpangan terjadi pada 2.054 atau 63,5 persen dari total sampel sekolah itu. Rata-rata penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp 13,6 juta. Penyimpangan dana BOS yang terungkap antara lain dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI, dan insentif guru PNS.

Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk dana BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi.

Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun pemotongan dana sebagai syarat pencairan dana BOS. Kepsek dan guru juga harus loyal pada kepentingan politisi lokal ketika musim pilkada. Dengan demikian, praktik korupsi dana BOS akan semakin marak karena aktor yang terlibat dalam penyaluran semakin banyak.

Partisipasi publik
Salah satu penyebab utama maraknya penyelewengan dana BOS adalah minimnya partisipasi dan transparansi publik dalam pengelolaannya. Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali kepsek tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orangtua murid, komite sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah. Partisipasi warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur.

Pemahaman pihak sekolah dan dinas pendidikan atas partisipasi publik ini perlu diluruskan. Partisipasi publik merupakan syarat mutlak untuk menekan kebocoran dana pendidikan. Partisipasi publik harus senantiasa dimunculkan, bahkan dilembagakan, sampai pada tingkat pengambilan keputusan kebijakan strategis sekolah.

Warga sekolah seharusnya berperan menentukan kondisi masa depan sekolah lima atau sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu, mereka juga didorong untuk terlibat merumuskan kebijakan sekolah mulai perencanaan, pengalokasian, sampai pengelolaan anggaran sekolah.

Lebih dari itu, warga sekolah dapat mencermati pengelolaan dana sekolah lebih dalam. Warga sekolah dapat melihat seluruh dokumen pencatatan dan pelaporan keuangan sekolah. Hal ini dimungkinkan karena Komisi Informasi Pusat telah memutuskan dokumen SPJ dana BOS adalah dokumen terbuka sepanjang telah diperiksa oleh lembaga pemeriksa dan disampaikan kepada lembaga perwakilan.

Publik, terutama warga sekolah, dapat memanfaatkan putusan ini guna mendapatkan informasi pengelolaan dana sekolah. Mereka juga dapat menggunakan putusan ini untuk menilai apakah penggunaan dana sekolah sudah wajar atau tidak.

Partisipasi dan keterbukaan informasi publik akan menguntungkan sekolah. Selain dapat menekan kebocoran anggaran, pihak sekolah juga dapat mengajak orangtua murid untuk menghimpun dan mengerahkan sumber daya untuk menutupi kekurangan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan.

Sekolah yang jujur dalam pengelolaan dana sekolah dengan mudah meraih simpati orangtua murid. Segala kekurangan sekolah, terutama dana pendidikan, akan mudah diatasi karena warga sekolah dengan ikhlas mencari dana itu pada pemerintah, swasta, atau

mereka sendiri. Mereka pasti menginginkan sekolah yang jujur dan terbaik bagi anak-anak mereka.

Febri Hendri AA  Peneliti Senior ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 15 Januari 2011

Kebohongan Penghematan Anggaran

“Belanja Plesiran” 2011 Membengkak Rp. 24,5 Triliun

Pada Sidang  Kabinet tanggal 07 Oktober  2010, Presiden SBY menyatakan akan mengeluarkan Inpres dan Perpres tentang penghematan anggaran khususnya belanja perjalanan pada APBN dan APBD mulai tahun 2011. Faktanya, Pemerintah “berbohong”.  Belanja perjalanan justru membengkak, yang pada rancangannya (RAPBN 2011) Rp. 20,9 triliun, menjadi Rp. 24,5 triliun atau hampir 5 kali lipat anggaran JamKesMas 2011 sebesar Rp. 5,6 triliun. Ironisnya, belanja fungsi kesehatan justru menurun, dari Rp. 19,8 triliun pada APBNP 2010 menjadi Rp. 13,6 trilyun pada APBN 2011.

Pantas saja, belanja perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen Data Pokok APBN 2011, tidak lagi diuraikan (dicantumkan). Rupanya, untuk menghindari kritik publik atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi  belanja perjalanan ini.

Belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Pada APBN 2009 misalnya, alokasi belanja perjalanan Rp. 2,9 trilyun, namun melonjak pada APBN-P 2009 menjadi Rp.12,7 triliyun, bahkan membengkak menjadi Rp.15,2 trilyun pada realisasinya. Hal yang sama terjadi di tahun 2010, pada APBN Pemerintah menetapkan Rp.16,2 trilyun, pada APBN-P membengkak menjadi Rp.19,5 trilyun.

Sumber: Data Diolah Seknas FITRA. Data Pokok APBN

Belanja perjalanan juga, menjadi lahan subur penghasilan baru birokrasi. Berdasarkan hasil audit BPK semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya pada 35 Kementerian/Lembaga ditemukan penyimpangan anggaran perjanalan dinas senilai Rp.73,5 milyar. Modus yang digunakan perjalanan fiktif, tiket palsu, pembayaran ganda dan kelebihan perjalanan dinas masih banyak terjadi di birokrasi. Diyakini, temuan ini masih jauh lebih besar lagi, mengingat audit BPK masih dilakukan sebatas uji petik.

Sumber: Data diolah Seknas FITRA dari Audit Semester I 2010 BPK

Sampai saat ini, Presiden masih ingkar janji dengan belum diterbitkannya  Inpres  penghematan anggaran. Jika Presiden serius melakukan penghematan anggaran termasuk belanja perjalanan dinas, seharusnya dilakukan penghematan sejak anggaran disusun. Sehingga, anggaran bisa di realokasi pada program yang lebih bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Penghematan anggaran ketika APBN telah ditetapkan, akan menjadi anggaran tidak terserap, sehingga fungsi APBN menjadi tidak optimal.

Dari permasalahan di atas, Seknas FITRA meminta Presiden SBY:

1.     Segera menepati janji untuk menerbitkan Inpres Penghematan Anggaran.

2.     Memangkas belanja perjalanan dinas separuhnya pada APBN-P 2011.

3.     Memerintahkan seluruh Kementerian Lembaga untuk membuka DIPA anggaran pada web site masing-masing, sehingga publik bisa memantau penghematan yang dilakukan.

Jakarta, 16 Januari 2010

Yuna Farhan

SekJen FITRA

Penyelidikan 17 Rekening Polri Belum Selesai

Penyelidikan 17 Rekening Polri Belum Selesai

VIVAnews – Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar sidang ketiga ajudikasi sengketa informasi atas gugatan yang diajukan Indonesian Corruption Watch (ICW) terkait kasus ‘rekening gendut’ milik sejumlah perwira tinggi Polri.

ICW meminta agar data soal para perwira dan rekening itu ditetapkan sebagai informasi publik, dan karenanya harus dibuka ke khalayak ramai. Sementara itu Mabes Polri menilai jumlah uang di 17 rekening perwira itu wajar-wajar saja dan karenanya tidaklah patut dibuka ke publik.

Dalam sidang ini, Ketua Majelis Hakim Alamsyah Saragih meminta kepada Mabes Polri selaku termohon untuk menjelaskan kriteria wajar yang dikemukakan Mabes Polri itu. Polri menghadirkan Kombes Pol. Agung Setiadi yang merupakan Kepala Sub Bidang Tindak Pidana Pencucian Uang Bareskrim Polri.

Dalam sidang, Agung menjelaskan prosedur penyidikan tindak pidana pencucian uang. “Gelar perkara itu menentukan bila ditemukan indikasi pencucian maka akan dilakukan penyelidikan,” kata Agung dalam sidang yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa, 18 Januari 2011.

Hakim Alamsyah meminta Agung menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan kategori wajar itu. “Jadi apakah 17 rekening itu sudah terlepas dari tindak pidana pencucian uang? Tolong jangan diambangkan,” kata Alamsyah.

Pertanyaan itu kemudian dijawab Kepala Biro Bantuan Hukum Polri, Iza Fadri, yang mengatakan, “Belum bisa dipastikan.”

Alamsyah pun bertanya kembali, “Jadi, apakah ada pencucian uang atau tidak, prosesnya masih berlanjut?”

“Ya,” jawab Iza.

Sementara itu, Agus Sunaryanto dari ICW mengatakan bahwa yang disampaikan Mabes Polri baru sebatas prosedur penyidikan, dan tidak menjelaskan kriteria wajar dimaksud.

Agus juga mempertanyakan penjelasan bahwa 17 rekening tersebut masih diselidiki. Ia merujuk pada pernyataan Kepala Divisi Humas Polri saat itu, Irjen Pol. Edward Aritonang, yang mengatakan bahwa dari hasil penyelidikan seluruh rekening itu dinyatakan wajar.

“Karena itu kami minta dibuka,” kata Agus.

***

Dalam sidang itu, penyidik Bareskrim Polri yang hadir di sidang, ditegur oleh Komisioner KIP, Henny Widyaningsih, karena tidak melaporkan kinerja penanganan kasus 17 rekening perwira Polri kepada publik.

Henny menngungkapkan, dia selalu memantau situs Bareskrim Mabes Polri, namun tidak pernah melihat adanya informasi  perkembangan penanganan kasus tersebut. “Beberapa hari saya lihat website Bareskrim semua tidak tampak,” kata Henny.

Sesuai dengan Pasal 9 UU KIP ayat (2)b, merupakan kewajiban setiap institusi publik, seperti Mabes Polri, untuk mempublikasikan kinerjanya secara priodik ke masyarakat.

Atas teguran itu, pihak Mabes Polri tidak memberikan tanggapan. (kd)

Uji Akses UU KIP di Palu. Komitmen Polisi Dipertanyakan

Uji Akses UU KIP di Palu. Komitmen Polisi Dipertanyakan

Dari 9 Badan Publik yang diajukan permohonan informasi,  hanya Bapeda Sulawesi Tengah dan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang tidak bersedia memberikan informasi. Alasannya pun sama: permintaan informasi tidak bisa dilakukan oleh individu. Untuk pihak Kepolisian, cara penolakan secara langsung ini, selain bertentangan dengan UU KIP sendiri, juga tidak sejalan dengan perintah Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) bahwa seluruh pejabat humas kepolisian harus dapat menjelaskan segala bentuk pelayanan kepada masyarakat hingga ke tingkat Polres dan Polsek. Dalam sebuah berita media, disebutkan:

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Bambang Hendarso Danuri memerintahkan kepada seluruh jajaran Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) Polri harus sudah bisa beroperasi mulai bulan April 2010. Kepada Masyarakat, seluruh pejabat humas Polri harus dapat menjelaskan dan membeberkan segala bentuk pelayanan kepolisian.

“PPID harus bisa beroperasi pada April 2010. Saya harap ke depannya tidak ada lagi pejabat humas yang no comment kepada masyarakat,” kata Kapolri Bambang Hendarso Danuri di sela-sela memimpin acara serah terima jabatan (Sertijab) di Mabes Polri, Senin (4/1).

Bambang menjelaskan, PPID dilaksanakan berdasarkan kesiapan menghadapi UU No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang penerapan seluruhnya dilaksanakan mulai 30 April 2010. Disebutkan, seluruh pejabat humas kepolisian harus dapat menjelaskan segala bentuk pelayanan kepada masyarakat hingga ke tingkat Polres dan Polsek.

Pernyataan petugas piket di Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, bahwa pihaknya akan membentuk PPID pada Agustus 2010, hanya sebatas informasi. Ini tidak memiliki korelasi dengan penolakan secara langsung terhadap informasi yang diminta. Bahkan sebaliknya, dengan diketahui UU KIP, maka semestinya petugas piket kepolisian justru melayani permintaan informasi dari publik sesuai dengan mekanisme yang ada dalam UU KIP. Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi, Pasal 42 menyebutkan jika PPID belum terbentuk, maka tugas tersebut dilaksanakan sementara oleh pejabat yang berwenang di bidang pelayanan informasi.

No Badan Publik
1 Kantor DPRD Kota Palu
2 Dinas kesehatan donggala
3 Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala
4 Dinas kehutanan Sulteng
5 BPN Kota Palu
6 Dinas social
7 BAPEDA Sulawesi Tengah
8 Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah
9 Dinas Kelautan dan perikanan kota palu
Uji Akses di Padang. Keinginan Petugas Diikuti, Dokumen Tetap Tak Diberi

Uji Akses di Padang. Keinginan Petugas Diikuti, Dokumen Tetap Tak Diberi

Dari 30 permintaan informasi, ada 16 penolakan oleh 15 Badan Publik, dengan beragam alasan. 7 diantaranya, menolak memberikan informasi dengan alasan informasi tidak bisa diberikan kepada peminta informasi atas nama Individu. Harus atas nama lembaga, melalui surat dengan kop resmi.

Apa yang disampaikan oleh petugas Badan Publik tersebut, sebenarnya menyimpang dari UU KIP, sebab individu tetap memiliki hak untuk meminta informasi. Tetapi pemohon informasi mencoba mengikuti prosedur yang disampaikan petugas Badan Publik tersebut, untuk memastikan bagaimana reaksi selanjutnya dari Badan Publik bersangkutan. Ada 6  permintan informasi yang diajukan kembali sesuai telah arahan petugas Badan Publik sebelumnya. Tetapi tetap saja informasi yang diminta tidak diberikan, dengan alasan lain.

No Badan Publik Informasi diminta Keterangan Dari Badan Publik
1 Kemenkumham KanwilSumatera Barat. Data notaries dan PNBP dari jaminan pidusia Surat tidak mencantumkan alamat. Ketika ingin diberi alamat/nomor Hp oleh pemohon informasi, petugas menolak dengan alasan tidak bisa menghubungi karena banyak pekerjaan yang lain/sibuk. Permintaan ditolak
2 DPRD Kota Padang Prolegda Kota Padang Diminta untuk mengonfirmasi kembali. Tetapi hingga kini, informasi diminta belum diberikan, alasan surat permintaan sedang diproses.
3 Universitas Imam Bonjol Padang Pemasukan keuangan mahasiswa baru Universitas Imam Bonjol Padang Masih dalam proses, alur birokrasinya berbelit-belit, data akhirnya tidak diberikan.
4 PTUN Padang. Anggaran PTUN Padang tahun 2010 Dokumen belum bisa diberikan karena Ketua Pengadilan, selalu tidak di tempat.
5 Data Jamkesmas Sumatera Barat tahun 2010 Data Jamkesmas Sumatera Barat tahun 2010 Diminta untuk melakukan konfirmasi kembali, tetapi informasi tetap belum diberikan karena permintaan sedang diproses.
6 Kantor Pelayanan Pajak Sumatera Barat Data penyetoran pajak Sumatera Barat tahun 2010 Data belum bisa diberikan karena kerusakan system informasi di komputer