Selasa 11/05/2010 –
Jum’at, 07 Mei 2010 | 01:49 WIB

Mestinya lembaga-lembaga publik tidak menganggap enteng pemberlakuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mulai awal bulan ini. Kelambanan para pejabat publik menyiapkan layanan informasi secara terbuka tak hanya akan mengecewakan masyarakat. Mereka juga bisa terkena sanksi pidana bila melalaikan kewajiban ini.

Sikap yang meremehkan UU No. 14/2008 itu terlihat dari ketidaksiapan mereka menyediakan sarana pendukung. Menurut Komisi Informasi Pusat–badan yang mengawasi dan menengahi sengketa soal informasi publik–saat ini baru belasan institusi yang benar-benar siap membuka diri. Padahal undang-undang ini telah memberi waktu dua tahun untuk persiapan.

Amburadulnya persiapan ini akibat pemerintah kurang serius menggelar sosialisasi. Hingga sekarang pun baru tiga daerah yang telah membentuk Komisi Informasi Provinsi, yakni Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur. Padahal pelaksanaan undang-undang ini amat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan, baik di pusat maupun daerah.

Jika lembaga pemerintah belum siap, bisa dibayangkan pula kondisi instansi nonpemerintah yang menikmati anggaran negara. Mereka hampir tak menunjukkan gereget sama sekali menyongsong pemberlakuan undang-undang itu. Jangan heran bila Menteri Komunikasi dan Informatika Tifaful Sembiring meminta Komisi Informasi lebih mengutamakan sosialisasi dan menunda pemberian sanksi.

Masalahnya, penundaan seperti itu hanya mungkin dilakukan jika menyangkut penanganan sengketa soal informasi publik oleh Komisi Informasi. Bagaimana jika masyarakat menuntut secara pidana lembaga publik yang lalai? Hakim jelas tak bisa mengabaikan ketentuan pidana dalam undang-undang itu, karena sudah menjadi hukum positif. Di situ jelas dinyatakan, misalnya, lembaga yang lalai menyediakan informasi publik dan merugikan orang lain dapat dihukum satu tahun penjara.

Risiko itulah yang perlu diantisipasi oleh para pejabat publik. Mereka wajib menyediakan informasi secara transparan mengenai rencana kerja, kinerja, penggunaan anggaran, bahkan perjanjian dengan pihak lain. Tentu saja, ada sejumlah informasi yang dikecualikan, seperti informasi keamanan negara dan yang menghambat proses penanganan kasus hukum.

Dengan adanya pengecualian itu, memang ada kekhawatiran bahwa undang-undang itu justru akan menghambat kebebasan pers. Tapi hal ini tak perlu terlalu dicemaskan, lantaran ada klausul dalam UU Keterbukaan Informasi yang mengutamakan undang-undang yang lebih khusus. Artinya, jika ada kasus pidana mengenai informasi publik yang berkaitan dengan pers, ketentuan dalam Undang-Undang Pers-lah yang mesti digunakan.

Yang justru perlu kita cemaskan adalah bila undang-undang itu tak bisa dilaksanakan sama sekali gara-gara ketidaksiapan berbagai pihak, terutama pemerintah. Apalagi jika penegak hukum juga berkompromi untuk memproses pelanggaran yang terjadi. Ini akan merugikan kita semua karena upaya menciptakan pemerintahan yang transparan terhambat.

Sumber, tempointeraktif