oleh Parliamentary Center | Nov 11, 2013 | Editorial, Pendidikan
Sebanyak 11 mahasiswa dari Universitas Putra Batam, diwakilkan oleh Nampat Silangit, yang merasa bahwa nilai mata kuliah mereka telah direkayasa oleh pihak Universitas meminta pihak Universitas untuk memberi penjelasan atas nilai mata kuliah tersebut.
Setelah proses perdebatan dan permintaan yang cukup panjang mengenai status informasi yang diminta oleh para mahasiswa ini, Komisi Informasi Kepulauan Riau memutuskan bahwa informasi tersebut merupakan informasi publik dan mewajibkan pihak universitas untuk segera memberikan informasi yang diminta kepada pemohonberupa salinan lembar jawaban ujian tengah semester 5 untuk 8 mata kuliah dan salinan lembar soal ujian tengah semester 5 untuk 8 mata kuliah(Putusan KI Nomor 003/VII/KI-Kepri-PS/2013 Pasal 2.2).
Pihak Universitas yang tidak terima atas putusan KI tersebut kemudian melakukan banding ke Pengadilan Negeri Setempat yang kemudian mengadakan mediasi selama 3 kali namun tidak ditemukan kesepahaman antara dua belah pihak. Sementara usaha atas permintaan informasi ini dilaksanakan, pihak universitas di sisi lain telah mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa dari 11 mahasiswa yang mengajukan informasi terdapat 2 mahasiswa yang dikeluarkan (Drop Out) dan 5 mahasiswa yang diskors dengan tuduhan yang sama “melanggar tata tertib UPB bab IV pasal 5 butir 16: bersikap dan bertindak yang dapat merongrong dan menjatuhkan nama baik almameter UPB” (berdasarkan Peraturan Universitas Putra Batam bab IV pasal 5 butir 16)”.
Alasan kenapa terdapat perbedaan hasil skorsing dan DO di antara mahasiswa tersebut pun tidak jelas dan tidak ada penjelasan tambahan dari pihak universitas mengenai hal tersebut. Usaha para mahasiswa yang dikenakan hukuman, baik DO maupun skorsing, untuk menyanggah tuduhan tersebut pun tidak ditanggapi oleh pihak universitas. Proses pengambilan keputusan di tingkat universitas melalui Rapat Senat yang sepihak dan tidak melibatkan pihak berwenang merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia.
Perguruan tinggi harus berada di garis terdepan dalam mengimplementasikan dan mendorong keterbukaan. Ya, karena perguruan tinggi merupakan badan publik yang tunduk pada UU No. 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lebih dari itu, kampus semestinya bagian utama dari sistem kaderisasi sumber daya manusia sebuah bangsa, menjadi tempat dimana karakter baik dibentuk, seperti keterebukaan kejujuran, dan nilai-nilai spritualitas dan kemanusiaan. Kampus semestinya wadah dimana panggilan hidup mahasiswa ditemukan dan semangat perubahan menyeruak. Begitulah, kampus semestinya.
Sayangnya, kesemestian itu hari ini kosong melompong, di banyak institusi pendidikan. Betapa tidak, hanya untuk tahu nilai ujian, mahasiswa justru dihadiahi pemberhentian. Lembaga pendidikan di ambang batas keberadaban! Ironis.
oleh Parliamentary Center | Nov 6, 2013 | Daerah, Editorial
Menelusuri timur Jawa Barat, kita akan menemukan suatu daerah yang telah lama menjadi sentra penghasil atap genteng, Majalengka. Sekilas tidak ada yang istimewa dari kabupaten yang membentang dari utara ke selatan di timur Jawa Barat ini. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Majalengka dengan indeks 71,18 masih di bawah rata-rata IPM Propinsi Jawa Barat sebesar 73,19. Namun, jika kita telusuri lebih mendalam, dalam hal keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat, kita bisa mengambil banyak pembelajaran menarik.
Situs desa. Ya, siapa menyangka, di era digital seperti saat ini, beberapa desa di majalengka telah akrab dengan teknologi informasi dalam bentuk situs atau website resmi dari pemerintah desa. Keberadaan situs desa salah satunya berkat fasilitasi Gerakan Desa Membangun (GDM). Pendampingan kepada para pemerintah desa di Majalengka dilakukan oleh Jingga Media, kumpulam pegiat media dan informasi dari Kabupaten Cirebon yang bekerja sama dengan para fasilitator PNPM di Majalengka.
Saat ini, sudah ada sekitar 40 desa di Majalengka yang telah memiliki situs resmi. Garawastu salah satunya, desa terpencil yang masih mengalami kesulitasn sinyal telepon selular ini sudah lama menggunakan situs resmi sebagai media penyampaian informasi.
“Kami sudah menggunakan website sebagai media pengenalan desa kami ke masyarakat luas, terutama mengenai hasil pertanian unggulan kami, yaitu cengkeh,” ungkap Azis Amrullah, Anggota Karang Taruna Gemara Desa Garawastu pada kesempatan diskusi penjangkauan di rumah makan Langen Sari, Jatiwangi (28/10). Tidak hanya itu, website juga menjadi media pelepas rindu bagi warga desa Garawastu yang jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) diluar negeri.
Mari kunjungi situs www.garawastu.desa.id, laman ini menampilkan banyak informasi publik mulai dari profil desa, data statistik penduduk, dan suara warga. Profil desa tertulis lengkap mulai dari sejarah desa, visi dan misi, sampai dengan strukur seluruh lembaga desa mulai dari pemerintahan desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Karang Tarunan, hingga PKK lengkap dengan seluruh personelnya.
Namun masih ada kendala mengenai konten website, perlu ada pengembangan kaspasitas lebih lanjut agar para pengelola mampu mengkalsifikasikan informasi berdasarkan UU KIP. Jika dilihat dari konten web-nya beberapa informasi publik menurut UU KIP sudah ditampilkan namun ada beberapa yang belum ditampilkan seperti laporan kinerja dan keuangan.
Selain klasifikasi informasi, pengelola juga harus diberikan pemahaman soal uji konsekuensi dan mekanisme pelayanan informasi untuk pemahaman yang paripurna mengenai keterbukaan informasi berdasarkan UU KIP. Ini menjadi PR kita semua para pegiat keterbukaan informasi dalam rangka melanjutkan inovasi yang telah ada dan membumikan isu keterbukaan informasi. (ek)
oleh Parliamentary Center | Okt 17, 2013 | Editorial, Pemerintahan
Desa/kelurahan merupakan arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan birokrasi. Karena dekatnya arena, masyarakat seharusnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat Desa. Di era pemerintahan modern, bukan zamannya lagi Kepala Desa atau lurah abai pada pengembangan tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan.
Sayangnya transparansi desa/kelurahan masih menjadi problem bersamaan dengan lemahnya akuntabilitas. Bahkan untuk DKI Jakarta, yang jabatannya lurahnya dilelang sekalipun. “60 persen tidak memuaskan,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Secara umum problem transparansi dan akuntablitas desa/kelurahan bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Masyarakat biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Warga umumnya tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan Desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas Desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif.
Khusus untuk desa, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupten/Kota kepada Desa, ada 31 Jenis urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada desa, seperti bidang perimbangan keuangan; bidang tugas pembantuan; Bidang pariwisata; Bidang pertanahan; Bidang kependudukan dan catatan sipil; Bidang kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat dan pemerintah umum; Bidang perencanaan; Bidang penerangan/informasi dan komunikasi; dll.
Di sisi lain, dengan pengetahuan yang kurang terhadap perundang-undangan, perangkat desa pun kerap menjadi objek dari pihak luar. Institute Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta pernah melakukan riset tentang penganggaran di 135 desa yang tersebar di 7 provinsi. Hasilnya, selama ini desa telah memperoleh anggaran pembangunan yang cukup besar, namun perencanaan dan pengelolaan dana tersebut masih dikendalikan oleh pihak di luar desa. Sebenarnya, bukan hanya urusan perencanaan, ada berbagai cerita oknum di luar desa yang bermain untuk mendapatkan fee pencairan anggaran desa.
Bukan zamannya kepala desa hanya mengandalkan kharisma atau hegemoni kepada warganya. Pun tak cukup dengan menjalankan fungsi sosial dengan bertandang ala kekerabatan desa. Seorang Kepala Desa/Lurah di hari ini, perlu belajar dan memperhatikan seluruh peraturan-perundangan yang menyangkut administrasi, pelayanan, transparansi, akses publik, dan akuntabilitas. Karena itulah, sejatinya peraturan-perundang-undangan, seperti UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimaknai sebagai panduan bagi pemerintahan desa, yang menjembatani hadirnya partisipasi warga, dan ketenteraman sosial pada ujungnya.
oleh Parliamentary Center | Sep 9, 2013 | Editorial
16 Mahasiswa yang hadir dalam diskusi “Mendorong Implementasi UU KIP di Kampus” yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC), Sabtu (7/9/13) menuliskan, “Materi tentang UU KIP” adalah sesuatu yang baru bagi mereka.
Mereka berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Universitas Negeri Jakarta, dan Sekolah Tinggi Agama Budha (STAB) Nalanda Jakarta.
Meskipun bukan mewakili gambaran seluruh mahasiswa di negeri ini, namun setidaknya kondisi ini memberikan beberapa pembelajaran. Pertama, ada indikasi gap (jurang) antara pelajaran di lembaga pendidikan formal dengan dinamika di lembaga perwakilan rakyat. Apa yang dihasilkan oleh DPR, khususnya pada issu-issu yang terkait proses penyelenggaraan pemerintahan, semestinya menjadi kajian di perguruan tinggi, seperti UU Keterbukaan Informasi Publik atau UU Pelayanan Publik.
Kedua, inisiatif untuk mendorong keterbukaan perlu ditumbuhkan dari luar. Dari tokoh masyarakat, NGO, atau individu-individu yang memiliki kepedulian. Sulit berharap dari pejabat internal kampus. Alih-alih mendorong perubahan, justru sebagian mereka menjadi aktor ketertutupan. Bahkan beberapa diantaranya menjadi tersangka sejumlah kasus korupsi. Para mahasiswa bercerita, modus ketertutupan kampus, antara lain dari uang beasiswa, uang parkir mahasiswa, dan dana-dana yang dihasilkan dari kerjasama dengan pihak ketiga.
Ketiga, pentingnya untuk merefleksikan visi pendidikan. Generasi seperti apa yang ingin dihasilkan dari sistem pendidikan yang saat ini kita bangun. “Lulusan siap kerja?” seperti motto sebuah lembaga pendidikan, atau seperti apa? Sejatinya, lembaga pendidikan bukan cuma wadah untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi yang lebih penting dari itu, lembaga pendidikan menjadi tempat dimana karakter dibentuk, dimana seseorang dapat menemukan panggilan hidup, lewat bidang yang menjadi passionnya, dimana semangat untuk memperbaiki negeri ini tumbuh di dadanya.
Hari ini, visi itu nyaris melekang karena tuntutan zaman yang membentuk makna kesuksesan karena hitungan angka. Angka nilai di sekolah, di kampus, angka nominal gaji saat bekerja, angka jumlah harta saat tua. Lalu siapa yang diharapkan memperbaiki negeri ini?
Di balik berbagai persoalan itu, Kampus sejatinya penyedia bahan bakar perubahan. Para mahasiswa yang hadir dalam diskusi hari itu, mulai membuka mata. Bahwa keterbukaan itu, tak lagi sebatas paradigma, ada UU yang bisa menghadirkan keterbukaan dengan segala instrument sanksinya bagi badan publik, termasuk Kampus. Mereka sadar pentingnya keterbukaan, pentingnya UU KIP, diperkenalkan pada mahasiswa-mahasiswa Kampus. Kini, siapa yang bisa merawat semangat itu?
Ada NGO dan masyarakat sipil yang terhimpun dalam Freedom of Information Network Indonesia. Dan jangan lupa dari tujuh komisioner Komisi Informasi Pusat periode 2013-2017, tiga diantaranya berlatarbelakang dosen. Ya, dosen Universitas Indonesia, dosen Universitas Lampung, dan dosen Universitas Islam Negeri Jakarta.
Ada lagi, yang bisa membantu merawat semangat teman-teman mahasiswa? Silakan tambah sendiri…. Jangan lupa, Anda sendiri.
oleh Parliamentary Center | Agu 27, 2013 | Editorial, Tata Ruang
Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, lagi-lagi membuat orang tercengang. Keseriusanya menata pedagang kaki lima di Tanah Abang kini sudah mulai terlihat hasilnya. Jalan Kebon Jati yang dahulu dipadati oleh ratusan pedagang kaki lima kini terlahat bersih dan lancar dilalui sepeda motor, mobil pribadi, angkutan umum, bahkan mobil-mobil besar. Sebelumnya banyak yang ketar-ketir atas rencana pria kelahiran solo ini untuk menata pusat grosir terbesar di Asia Tenggara tersebut. Pasalnya, para pedagang sudah membayar “uang saku” untuk membuka lapak rejeki mereka kepada para “anak wilayah” yang sedari dulu telah mengamankan wilayah tersebut. “Uang saku” tersebut membuat para pedagang merasa berhak untuk mengais rejeki dari jalanan yang semakin hari semakin semprawut.
Langkah berani duet Jokowi-Ahok juga sempat terhalang sebab terlibat aktifnya para aparat dengan melanggengkan semprawutnya keadaan di Tanah Abang. Mereka menutup mata sekaligus menikmati hasil pungutan liar yang dilakukan preman dan “anak wilayah” setempat. Besaran pungutan yang dikenakan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) sangat beragam. Mulai dari pungutan harian yang berkisar Rp. 5.000 – 100.000, pungutan bulanan sebesar Rp. 100 ribu – Rp. 1 juta, dan pungutan pemutihan dengan besaran Rp. 3,5 – 5 juta. Jenis-jenis pungutan juga sangat beragam seperti jasa keamanan, parkir pedagang, jasa kebersihan, uang RW, uang tempel, bahkan uang gelar meja sebelum pedagang membuka lapak.
Tidak dipungkiri, setelah dibangun oleh saudagar Justinus Vinck pada 1735, Pasar Tanah Abang menjadi pusat bisnis retail terbesar di Asia Tenggara. Kesemprawutan dan premanisme juga turut tumbuh berkembang mengiringi keramaian para saudagar dari berbagai daerah.
Jokowi dan Ahok sadar menata Tanah Abang tak semudah membalik telapak tangan. Banyak kalangan menilai, langkah berani keduanya akan membentur tembok. Namun semua asumsi tersebut berhasil di patahkan sang pemimpin ibu kota. Dengan pendekatan hati dan transparansi, Jokowi mampu menertibkan tanpa harus bersitegang dengan pedagang dan preman-preman lapangan. Beberapa kali Jokowi menyampaikan kepada media massa supaya pengelola blok G Tanah Abang transparan. Pengundian lokasi kios secara transparan adalah salah satu mekanismenya. Pedagang pun antusias.
Transparansi di pasar
Kesuksesan penataan Tanah Abang sekarang ini tidak jauh dari sikap transparan yang dilakukan Pemda DKI Jakarta. Pada dasarnya transparansi adalah kunci untuk menerapkan pemerintahan yang bersih, serta menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang merasa curiga terhadap segala jenis “proyek” yang dijalankan pemerintah karena pemerintah tidak membuka informasi publik tersebut.
Secara konstitusional, keterbukaan informasi publik dijamin oleh UUD 1945 pasal 28F yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Selain itu, semenjak 30 April 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengetok palu mengesahkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Dengan demikian semakin kokoh jaminan hukum keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Manfaat keterbukaan informasi dalam pengelolaan pasar diantaranya adalah terjalinnya suasana kondusif dan persaingan sehat antara para pedagang. Keterbukaan dan akses informasi masyarakat terhadap kegiatan jual beli di pasar harus dibuka luas. Badan Publik terkait jual beli pasar harus menyediakan informasi sesuai dengan amanat UU KIP. Sesuai UU KIP Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kantor Pelayanan (Kanpel) pasar dan Walikota adalah bagian dari Badan Publik yang acapkali bekaitan langsung dengan aktifitas jual beli di pasar.
Dengan UU KIP, pedagang pasar berhak mengetahui biaya retribusi serta legalitasnya. Sehingga tidak terjadi disinformasi dan miskonsepsi. Dengan demikian seharusnya pemalakan liar oleh para preman pasar tidak perlu terjadi. Pemanfaatan UU KIP pernah dilakukan oleh harian Jaya Pos, Riau. Jaya Pos mempertanyakan legalitas retribusi Pasar Dumai terhadap beberapa pedagang yang berjualan di luar pasar yang dikelola Pemko Dumai. Padahal sesuai dengan pasal 2 dan 3 Perda No 21 tahun 2011 tentang retribusi pelayanan pasar, cukup jelas bahwa nama dan objek retribusi pelayanan pasar adalah pedagang yang mendapatkan layanan berupa fasilitas oleh pemerintah. (harianjayapos.com / 18 Juli 2013)
Mendidik Masyarakat
Semenjak 2 Juli 2013, DPR RI telah menetapkan 7 anggota Komisi Informasi Pusat. Ironisnya tidak banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan Komisi yang berwenang untuk melakukan mediasi sengketa informasi tersebut. Lebih parah lagi, banyak pula masyarakat yang sampai saat ini tidak mengetahui keberadaan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Ironis memang. Oleh sebab itu, tugas berat menanti 7 anggota Komisi Informasi Publik yang baru saja disahkan Presiden beberapa waktu lalu tersebut. salah satunya adalah mendidik masyarakat supaya sadar informasi.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28F dan UU KIP keterbukaan informasi publik bertujuan untuk ; menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana, program, proses, serta latar belakang pembuatan sebuah kebijakan publik yang mempengaruhi kepentingan masyarakat, mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik (bottom up), mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel, mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mendorong peningkatkan kapasitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik, dan terakhir, menjamin kepastian hukum masyarakat dalam memperoleh informasi.
Jokowi dan Ahok sudah membuktikan.
[Mukhlisin]
oleh Parliamentary Center | Jul 23, 2013 | Editorial, Pemerintahan
“Apakah di dalam unit layanan publik tersebut terdapat Sistem Informasi Pelayanan Publik (Baik Manual maupun Elektronik) yang memuat Standar Pelayanan unit pelayanan/kementerian tersebut?” Inilah salah satu pertanyaan yang diajukan Ombudsman saat mensurvey 18 Kementerian RI.
Hasilnya? Cukup baik, ternyata 82,1 persen Kementerian menyatakan ada, sisanya 17,9 persen menyatakan tidak ada. Mengejutkankah? Sama sekali tidak. Coba baca sekali lagi, apa yang ditanyakan tersebut. Intinya, apakah ada muatan Standar Pelayanan dalam sistem informasi pelayanan publik di Kementerian tersebut. Ya, ini kan standar umum di semua lembaga.
Standar Pelayanan sendiri merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Jika kita mengacu pada UU No. 25 Tahun 2009, disebutkan bahwa Sistem informasi pelayanan publik yang selanjutnya disebut Sistem Informasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.
Jadi, untuk menilai Sistem Informasi Pelayanan Publik sebuah kementerian, tidak cukup hanya menanyakan ada tidaknya informasi tentang Standar Pelayanan. Jika mengacu pada pasal di atas, maka yang juga perlu ditanyakan apakah ada sistem:
1. penyimpanan informasi
2. pengelolaan informasi
3. mekanisme penyampaian informasi
4. bentuk penyajian informasi
Mungkin ada yang protes, kalau begitu, survey ini terlalu luas? Sama sekali tidak. Ini masih dalam konteks UU Pelayanan Publik. Tidak perlu pertanyaan yang rumit. Misalnya: Apakah Kementerian bersangkutan memiliki data tentang pelayanan publik apa yang paling banyak diurus masyarakat di kementerian tersebut? Jika informasinya masih tersebar di berbagai satuan kerja, artinya kementerian itu tidak memiliki pengelolaan terpadu. Bukankah ini tak sesuai dengan UU Pelayanan Publik sendiri?
Pernah ada yang nanya, “Yang dikhawatirkan, jadi bias donk antara permintaan informasi dalam konteks UU Pelayanan Publik dan permintaan informasi menurut UU KIP, dimana informasi yang diminta sangat luas, bukan hanya terkait pelayanan publik?” Saya jawab tidak bias. “Permintaan informasi pengurusan KTP di Kecamatan, dengan permintaan informasi berapa biaya perawatan gedung di kantor Kecamatan tersebut, masuk kategori pelayanan publik,” Mari lihat kembali UU Pelayanan Publik, pasal 5 Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Kembali ke persoalan, untuk memberi nilai bagaimana sistem informasi pelayanan publik, ombudsman perlu menggali bagaimana penyimpanan informasi, pengelolaan informasi, mekanisme penyampaian informasi dan bentuk penyajian informasi
Semoga, di tahun yang akan datang, survey ini bisa lebih mendalam. Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh ORI, harus diapresiasi. Sebelumnya Komisi Informasi, pun melakukan hal yang sama: rating badan publik dalam implementasi UU KIP. Bagaimana dengan implementasi UU Kearsipan, dan UU lainnya? Menarik, jika minimal implementasi tiga UU, yaitu UU Pelayanan Publik, UU KIP, dan UU Kearsipan, diteliti implementasinya di Kementerian. Jadi? Perlu sinergilah, ORI, KI, dan ANRI. 🙂
Redaksi Kebebasaninformasi.org