download

KebebasanInformasi.org – Sebelum ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) tahun 2008, akses masyarakat terhadap segala macam informasi sangat terbatas. Informasi hanya diberikan jika diminta. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dianggap sebagai hak institusi dan bersifat rahasia, kecuali yang dipublikasikan.

Setelah UU KIP disahkan, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi. Dengan demikian, publik bisa optimal menjalankan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik. Pengawasan ini penting untuk terciptanya tata pemerintahan yang lebih akuntabel dan transparan.

Hak publik atas informasi ini mendapat dukungan dari Presiden RI Joko Widodo. Melalui berbagai kesempatan, ia mengintruksikan seluruh instansi publik melaksanakan keterbukaan. Presiden menyadari betul bahwa masyarkat saat ini telah berubah. Masyarakat lebih tahu dan kritis akan haknya, serta memiliki kemauan tinggi untuk berpartisipasi aktif dalam proses tata kelola pemerintahan. Oleh karena itu, institusi-instansi publik harus siap melakukan open data.

Ada beberapa hal yang menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan open data ini. Tenaga Ahli Kebijakan Publik, Sekretariat Nasional Open Government Indonesia (OGI), Danardono Siradjudin, mengungkapkan, tantangan tersebut salah satunya berkaitan sistem kearsipan yang buruk.

“Sebenarnya open data itu cuma teknis. Jadi, menyediakan data yang memang sudah terbuka untuk publik dengan format data terbuka, yang tadinya orang harus baca di jpg, pdf, sekarang orang bisa buka di excel dan format data terbuka lain. Sehingga dalam menggunakannya lebih mudah. Itu kalau open data,” papar Danar.

Namun masih buruknya tata kelola arsip di Indonesia menjadi persoalan tersendiri dalam penerapan open data ini. Hal itu tidak terjadi di negara lain yang memiliki tradisi kearsipan sejak lama. “Di negara lain, mereka tradisi arsipnya sudah sekian ratus tahun berjalan. Jadi ketika internet ditemukan, itu hanya mempercepat proses arsip dan kemudian sharing informasi,” kata Danar.

“Arsip kita sudah lama tidak diurus. Jadi kita kayak jumping. (Sistem tatakelola) arsip belum jalan, kemudian ada internet, lalu seolah-olah kita dipaksa sampai ke level open data,” tambahnya.

Ego Sektoral Lembaga

Di samping itu, ego sektoral dari masing-masing lembaga juga menjadi tantangan yang harus dilewati. “Di kementrian/lembaga sekarang, tantangannya itu, antar lembaga atau bahkan di dalamnya sendiri, sharing informasi dan data bukan perkara yang mudah,” ujar Danar.

Ia menekankan, open data hanya bisa berjalan dengan baik apabila UU KIP dan UU Arsip dijalankan secara maksimal. Di sinilah OGI berperan dalam melakukan inisiatif untuk membuat eksperimentasi untuk mengurai masalah-masalah tersebut.

Secara kelembagaan, posisi OGI sangat memungkinkan melakukan hal itu karena Sekretariat OGI diampu beberapa kementerian/lembaga, salah satunya KSP. “Jadi kita bisa minta tolong kepada KSP, misalnya ada koordinasi yang kurang bagus dengan kementerian/lembaga. Kemudian ada Bappenas, kita bisa minta tolong untuk memastikan apa-apa yang menjadi inisiatif itu masuk rencana kerja Bappenas,” jelasnya.

“Misalnya ada inisiatif satu data, kita mencoba membuat akselerasi-akselerasi , inisiatif-inisiatif yang harus dilakukan kementerian/lembaga,” tambahnya. (BOW)