Indonesia Corruption Watch mengajukan sengketa informasi terhadap Mabes Polri terkait penolakan Mabes Polri untuk membuka data hasil pemeriksaan dan klarifikasi rekening mencurigakan milik 17 perwira Polri.

ICW meminta Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) agar menyatakan informasi tersebut tidak tergolong sebagai informasi rahasia dan bisa diakses publik. ICW juga meminta Majelis Komisioner KIP memerintahkan Mabes Polri untuk membuka data tersebut.

Majelis Komisioner KIP yang dipimpinan Alamsyah Saragih menggelar sidang sengketa informasi, Selasa (28/12). Hadir dalam sidang tersebut, pemohon yang diwakili Febri Diansyah dan Tama S Langkun dari ICW serta Kepala Biro Bankum Mabes Polri Brigjen (Pol) Iza Fadri.

Kasus ini bermula ketika Mabes Polri mengumumkan hasil klarifikasi internal tentang rekening mencurigakan milik 25 perwira Polri pada 22 Juni lalu. Hasilnya, Mabes Polri menyatakan rekening ke-17 perwira itu wajar. Terkait hal tersebut, ICW meminta Mabes Polri untuk membuka hasil pemeriksaan serta nama dan jumlah rekening 17 perwira yang dinyatakan wajar.

Atas permintaan tersebut, Mabes Polri melalui surat tertanggal 4 Agustus 2010 menolak permohonan ICW. Alasannya, data itu tak dapat dibuka karena menyangkut hak pribadi para perwira. Mereka mengacu pada ketentuan Pasal 6 Ayat (3) Huruf c dan Pasal 17 Huruf (h) Butir (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang menyebutkan, informasi hak-hak pribadi tidak dapat diberikan. Hak pribadi yang dimaksud adalah kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang.

Mabes Polri juga menyebutkan bahwa pembukaan informasi tersebut bakal mengganggu proses penyelidikan dan penyidikan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Huruf (a) Butir (1) pada UU yang sama.

Febri Diansyah membantah semua argumentasi pihak kepolisian. Alasan untuk menutup informasi tentang hasil klarifikasi dan pemeriksaan rekening gendut tersebut lemah. Ini berpijak pada prinsip di UU KIP, khususnya soal transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Dalam UU tersebut pada Pasal 18 Ayat (2) Huruf b disebutkan bahwa pengungkapan informasi tidak dapat dikecualikan jika seseorang dalam posisi menduduki jabatan publik.

Ia juga mengemukakan alasan berlakunya UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN. Prinsip dalam UU tersebut antara lain kekayaan penyelenggara negara harus diumumkan dan dibuka untuk publik. Prinsip ini tentunya selaras dengan UU KIP. (ANA)
Sumber: Kompas, 29 Desember 2010
————-
Bareskrim Polri Diminta Jelaskan Kasus Rekening Gendut
“Kalau tak mau dibuka, berarti tak pernah melaporkan harta.”

Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat meminta Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI hadir dalam sidang sengketa informasi publik soal rekening gendut sejumlah perwira Polri. Kehadiran Bareskrim dalam persidangan mendatang itu untuk menjelaskan sejauh mana pengusutan 17 rekening mencurigakan para perwira tersebut.

“Dari 17 rekening itu, mana yang penyelidikannya sudah selesai dan mana yang lanjut,” kata Ketua Majelis Komisioner Ahmad Alamsyah Saragih dalam persidangan di gedung Kementerian Informasi kemarin.

Sidang sengketa itu digelar setelah pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) mengajukan gugatan terhadap Mabes Polri untuk membuka data 17 rekening gendut dari 25 rekening mencurigakan yang dimiliki perwiranya. Gugatan diajukan setelah, pada 22 Juni lalu, Mabes Polri mengumumkan hasil klarifikasi internal bahwa 17 rekening perwira tersebut dinilai wajar. Menurut ICW, informasi tersebut sudah menjadi milik publik sehingga Polri tak perlu menutup-nutupi hasil pemeriksaan asal-usul duit itu.

Dalam persidangan, Kepala Biro Bantuan Hukum Mabes Polri Brigadir Jenderal Iza Fadri, yang mewakili institusinya, berkukuh enggan membuka data 17 rekening gendut itu. Alasannya, meski para pemilik rekening sudah diperiksa, data tak bisa dibuka demi kepentingan proses hukum. Selain itu, kata Iza, “Rekening tak bisa dibuka, sebab menyangkut rahasia pribadi.”

Febri Diansyah, pegiat ICW, tak setuju dengan pendapat itu. Menurut dia, lantaran pengusutan kasusnya sudah selesai dan 17 rekening itu dianggap wajar, polisi semestinya membuka data tersebut. “Kalau memang sudah masuk proses hukum, masuk proses hukum yang mana?” katanya. Proses hukum, Febri melanjutkan, “Tak relevan dijadikan alasan untuk menutup-nutupi data rekening gendut.”

Adapun alasan bahwa rekening termasuk rahasia pribadi, menurut Febri, juga tak bisa dijadikan dasar. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, kekayaan pejabat publik termasuk informasi yang dikecualikan kerahasiaannya. “Rahasia pribadi juga tak relevan,” kata dia.

Tama S. Langkun, aktivis ICW lainnya, menambahkan bahwa ke-17 perwira polisi itu termasuk penyelenggara negara yang mesti melaporkan hartanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. “Kalau tak mau dibuka, berarti tak pernah melaporkan harta,” katanya.

Lantaran wakil pihak Polri tak bisa menjelaskan proses hukum rekening gendut dan kualifikasi informasinya, Majelis Komisioner meminta Bareskrim hadir dalam persidangan yang akan digelar pertengahan Januari tahun depan. Selain untuk mendengarkan keterangan Bareskrim selaku penyelidik kasus rekening gendut, sidang dijadwalkan untuk mendengarkan keterangan ahli.

“Polri kita minta tidak resisten dengan prinsip keterbukaan ini,” kata Febri. Sebab, keterbukaan informasi, khususnya soal rekening gendut, penting untuk menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi di institusi kepolisian. ANTON SEPTIAN | DWI WIYANA
Sumber: Koran Tempo, 29 Desember 2010