Badan Publik Lamban Respon UU KIP. Uji akses UU KIP di Bali ini dilakukan mulai 2 Juni 2010, atau sekitar satu bulan sejak undang-undang tersebut dinyatakan efektif berlaku, yaitu pada 30 April 2010. Semestinya semua Badan Publik, telah siap ketika UU ini dinyatakan berlaku. Kenyataannya tidak demikian, Pemerintah pusat sendiri baru menetapkan Peraturan Pemerintah No. 61 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukan Informasi Publik, pada 20 Agustus 2010. Padahal menurut UU, PP yang antara lain mengatur soal masa retensi dan tata cara pembayaran ganti rugi oleh badan publik ini harus sudah ditetapkan sejak diberlakukannya UU KIP (30 April 2010).
Dengan adanya PP ini, kemudian lahirlah Permendagri No. 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. Permendagri ini menjadi sangat penting sebagai jawaban atas kultur buruk birokrasi provinsi/kabupaten/kota yang baru mau mempersiapkan diri untuk mengimplementasikan UU jika ada intervensi melalui Kementerian Dalam Negeri. Meskipun pada kenyataannya, hadirnya permen ini hanya direspon oleh beberapa Gubernur/Walikota/Bupati, dengan berupaya membentuk PPID, SOP pelayanan informasi di Badan Publik, dan/atau pembentukan Komisi Informasi di provinsi/kab/kota.
Namun, betapa pun tidak siapnya Badan Publik, ini tidak menghilangkan hak masyarakat atas informasi. Karena itu, mengabaikan permintaan masyarakat atas permintaan informasi, sejak UU KIP dinyatakan berlaku, jelas sebuah pelanggaran hukum. Yang seharusnya dilakukan Badan Publik, pada tingkat paling minimal adalah melayani permintaan informasi, tidak mengabaikannya. Melayani bukan berarti selalu memberi informasi yan
g diminta, tetapi ada kejelasan siapa petugas khusus yang menerima kedatangan masyarakat ketika meminta informasi sehingga mereka tidak diabaikan, ditolak atau dialihkan kesana-kemari. Karena itulah, Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi, Pasal 42 menyebutkan jika PPID belum terbentuk, maka tugas tersebut dilaksanakan sementara oleh pejabat yang berwenang di bidang pelayanan informasi. Poin ini menegaskan tentang keharusan adanya petugas yang melayani permintaan informasi publik.
Dari uji akses UU KIP terhadap 22 Badan Publik di Bali, tidak satupun Badan Publik yang memiliki/menempatkan petugas dengan fungsi sejenis PPID. Memang ada beberapa Badan Publik seperti RSUD Kapal Badung Denpasar Bali yang memiliki Petugas Khusus Pelayanan Informasi, tetapi fungsinya lebih pada penyuluhan kesehatan, tidak melayani permintaan yang tidak terkait dengan kesehatan, misalnya permintaan Daftar Pelaksanaan Anggaran RSUD. Petugas serupa juga ada di tingkat Puskesmas. Di Institute Hindu Dharma (IHD), ada Kepala Puskom (Pusat Komunikasi) yang bertugas menjelaskan informasi akademik di lembaga tersebut. Demikian pula di PT. Askes, ada Pegawai Bagian Pelayanan Askes yang antara lain difungsikan memberikan penjelasan atas permintaan informasi seputar program asuransi kesehatan. Karena itu, petugas-petugas seperti ini, tidak termasuk dalam kategori PPID sebagaimana disebutkan dalam UU KIP.
2. Badan Publik Abaikan Pencatatan
Di samping itu, dari uji akses ini tergambar bagaimana perilaku Badan Publik terhadap permintaan informasi di Bali. Ada indikasi diskriminasi pelayanan, minimnya inisiatif pada tindakan administratif yang paling dasar, seperti mencatat permintaan informasi, memberikan tanda terima, dan memberikan konfirmasi atas permintaan informasi.
3. Akses Dokumen Tertulis, Sulit.
Dari 48 jenis permintaan informasi kepada pejabat Badan Publik, 38 diantaranya direspon pejabat Badan Publik dengan memberikan informasi. Tetapi mayoritas permintaan informasi tersebut (ada 35), dijawab secara lisan tanpa memberikan dokumen tertulis. Jawaban lisan tentu juga tidak menyalahi undang-undang. Dalam UU KIP Pasal 1 disebutkan bahwa informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, dan seterusnya. Namun ada jenis permintaan informasi yang memerlukan jawaban berupa dokumen tertulis misalnya permintaan tentang informasi pengelompokan hutan dan luas wilayahnya di Bali, tetapi ini pun hanya dijawab secara lisan.
Satu-satunya permintaan informasi yang dijawab dengan memberikan dokumen adalah permintaan informasi mengenai limbah B3 (dokumen yang diberikan adalah perda limbah B3). Yang juga patut dicatat adalah ada dua permintaan informasi yang dijawab dengan memperlihatkan dokumen, tetapi pemohon informasi tidak diizinkan untuk menggandakan dokumen tersebut tanpa alasan jelas. (Permintaan informasi No. 47 dan 48, mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah-BOS di SDN 1 Kesiman, Denpasar dan SDN 1 Sumerta, Denpasar).
4. Beda peminta, beda layanan
Dari 48 permintaan informasi, ada 6 permintaan informasi yang diajukan atas nama pribadi/LSM. 5 di antaranya ditolak dan 1 dijanjikan akan diberikan oleh badan publik. Dengan kata lain, 6 permintaan informasi atas nama pribadi/LSM, tidak ada satu pun yang diberikan oleh Badan Publik, baik secara tertulis maupun lisan. Informasi tersebut adalah informasi tentang abrasi pantai, jumlah populasi flora dan fauna di Bali, data hutan Bali, data air di kota Denpasar, dan data air bawah tanah.
Alasan penolakan ini karena yang bersangkutan hanya mengajukan secara lisan (tidak membuat surat secara resmi). Padahal dua permintaan informasi lain yang diajukan atas nama mahasiswa/pribadi, di Badan Publik yang sama dengan cara yang juga sama (lisan), dilayani lebih baik
5. Pentingnya pemahaman UU KIP bagi Pemohon Informasi
Dari 48 permintaan permintaan informasi, semuanya dilakukan secara lisan. Permintaan informasi secara lisan dijamin oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 22 ayat (1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.
Namun demikian, pemohon seharusnya tetap memberikan nama, alamat, dan tujuan permohonan informasi kepada Badan Publik, dan sebisa mungkin meminta tanda terima, bahkan dengan format yang sederhana sekalipun, kepada Badan Publik. Tetapi pemohon mengabaikan hal ini. Padahal hal tersebut penting, jika yang bersangkutan ingin mengajukan keberatan ke Badan Publik bersangkutan dan/atau ke Komisi Informasi.