CHINA-IESR

Jakarta – Isu keselamatan dan pencemaran lingkungan pada perusahaan-perusahaan tambang asal China yang mencuat belakangan ini membuat pemerintah China semakin berbenah diri. Hal tersebut terungkap dalam diskusi “Kerja Sama ASEAN-China: Tantangan dan Peluang bagi Pengelolaan Industri Ekstraktif” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Resources (IESR) di Jakarta (27/06).

Salah satu nara sumber, Hendra Sinadia dari Indonesia Mining Association (IMA) mejelaskan bahwa China saat ini sedang menyiapkan platform kebijakan green mining dan menyatakan ketertarikannya terhadap Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Hal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk menaikkan daya tawar perdagangan di hadapan China. “Tapi, tampaknya komitmen pemerintah rendah dalam kerjasama ini. Padahal, ini bisa dijadikan titik masuk untuk memperbaiki kondisi pertambangan di Indonesia sejalan dengan EITI,” Jelasnya.

Utama Kayo, dari Kamar Dagang Indonesia menambahkan bahwa tidak dapat dipungkiri permintaan batubara yang besar dari China mendorong munculnya pertambangan skala kecil. Sebagian tidak berizin dan illegal. Melalui pengumpul, hasil tambang tersebut kemudian diekspor ke China. “Dalam hal ini bukan permintaan tersebut letak masalahnya. Akan tetapi regulasi dan implementasinya yang tidak berjalan” ungkapnya.

Menurut Utama, pemerintah selama ini kurang terbuka terhadap masyarakat mengenai kerjasama ini, baik yang menyangkut sektor pertambangan ataupun sektor lainnya. Sehingga partisipasi masyarakat untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh karjasama ini diniali kurang. “Yang paling kena dampak dari kerjasama ini kan masyarakat kecil. Terlebih 2015 mulai dibuka ASEAN free trade. Tantangannya akan semakin berat” pungkasnya.[]