UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Keterbukaan Informasi Publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Latar belakang munculnya UU KIP salah satunya adalah untuk memastikan terpenuhinya hak asasi manusia dalam memperoleh informasi. Karenanya, UU KIP menjadi ciri penting sebuah negara demokratis, termasuk Indonesia.
Dalam sejarahnya, disahkannya UU Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia tidak terlepas dari adanya dorongan kelompok masyarakat sipil.
IPC (Indonesian parliamentary center), adalah salah satu dari banyak kelompok NGO lain yang ikut mendorong diimplementasikannya UU KIP di Indonesia. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Arbain, selaku Koordinator Divisi Kampanye dan Informasi IPC, dalam kegiatan workshop PPID DPR RI yang dihelat di gedung KK3 pada Jumat siang, 19 Mei 2017.
“Pendiri IPC hampir semuanya adalah orang-orang yang pada awalnya mendorong UU KIP ini sebagai RUU dari CSO yang kemudian menjadi RUU inisiatif DPR,” tandasnya.
Dalam keterangannya, Arbain juga menjelaskan IPC adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan tahun 2006 dan fokusnya ada di 3 area, parlemen, partai politik dan pemilu. Di tiga elemen itu kita menyasar isu akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi.
Sejak UU KIP diimplementasikan pada 2010, Indonesian Parliamentary Center terus ikut mendorong sosialisasi UU ini ke badan publik dan masyarakat, namun dengan cara yang agak berbeda.
“Cara yang digunakan IPC adalah dengan uji akses. Yaitu melatih beberapa komunitas masyarakat, kemudian komunitas bersangkutan yang meminta informasi ke badan publik sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Arbain.
Kiprah tersebut bisa dilihat sejak tahun 2014 sampai sekarang, di mana IPC membantu KPU RI untuk bagaimana mengimplementasikan keterbukaan informasi publik bagi lembaganya.
Bahkan, selain KPU RI, IPC juga melatih berbagai KPUD Provinsi. Di antaranya: DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, NTT, Bali, Papua, Maluku, Sulsel, Sulut, Kalsel, Kalteng, Aceh, Sumbar, dan Kepulauan Riau.
“IPC juga ikut mendorong seleksi komisi informasi baik di tingkat provinsi maupun pusat,” ungkap Arbain.
Dalam berbagai trainingnya, IPC selalu menekankan bahwa hak atas informasi publik itu perlu dilihat atas 3 perspektif. Pertama, filsosofis, kedua, praktis, dan ketiga, yuridis.