oleh Parliamentary Center | Jul 1, 2013 | Editorial
“Selamat atas terpilihnya Komisioner baru KI Pusat,” itulah sebaris kalimat yang perlu kita sampaikan kepada tujuh komisioner baru Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) periode 2013 – 2017. Benar, ada catatan selama proses pemilihan ini, tertutupnya satu sesi penting yang perlu diketahui publik, yaitu pemilihan oleh para anggota Komisi I DPR RI, pasca uji kepatutan dan kelayakan. Namun, problem itu sesungguhnya teralamatkan ke DPR RI.
Bagaimana dengan Komisioner baru? Tentu, harus kita dukung bersama. Publik telah melakukan pengawalan proses pembentukan KI periode ini, mulai dari mengingatkan Presiden, mendorong pembentukan panitia seleksi oleh pemerintah dan mengusulkan wakil masyarakat di dalamnya, memberikan dukungan penelusuran rekam jejak para calon anggota Komisi Informasi, mensosialisasikan proses seleksi ini kepada publik, hingga memastikan agar mereka yang terpilih melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI, benar-benar berintegritas, memiliki komitmen, dan kapasitas, sampai dengan memberikan usulan roadmap baru bagi KI ke depan. Proses ini, antara lain dilakukan oleh Freedom of Information Network Indonesia.
Dukungan besar kepada KI periode II, selama proses pembentukannya ini, tentu tak boleh berakhir. Ada sejumlah hal krusial yang perlu dukungan publik, antara lain:
- Secara regulasi, hukum beracara di Komisi Informasi perlu pembenahan, sebab prosesnya selama ini cukup lama dan berbelit. Tentu, ada bagian dimana KI perlu koordinasi dengan Mahkamah Agung. Selain itu, juga ada kode etik yang perlu diselesaikan, sebagai panduan perilaku baik bagi komisioner.
- Secara kapasitas personal, beberapa Komisioner saat ini, tidak terlibat dalam proses pembentukan UU KIP dan kelembagaan Komisi Informasi, sehingga ada perspektif filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang mungkin saja terlewat pada mereka.
- Secara kepemimpinan, KI membutuhkan sosok yang mampu menggerakkan dan menjaga integritas komisioner lainnya, sehingga tidak ada lagi yang merasa sebagai petinggi (meminjam istilah salah seorang komisioner). Sebuah sindiran pada oknum Komisioner yang datangnya jika matahari telah tinggi (siang) dan pulang sebelum matahari terbenam.
- Sebagai badan publik, lembaga ini sendiri merupakan objek dari implementasi UU KIP. Sudahkah 100 % diterapkan? Ternyata belum. Bukan karena komitmen, tetapi di internal sendiri KI sendiri dukungan sekretariat belum memadai.
- Dan berbagai persoalan lainnya.
Pertanyaannya, dukungan seperti apa yang bisa diberikan publik? Apapun itu, bisa jadi berupa komitmen sebagai sebuah gerakan maupun melalui program yang disupport oleh pihak tertentu, sebagaimana yang dilakukan selama ini. Apapun itu, komunikasi antara Komisi Informasi dan masyarakat, tetap perlu dibangun. Harapannya, keterbukaan juga ditunjukkan juga oleh para Komisioner baru. Dari sini, awal sinergi mendorong keterbukaan informasi, akan terjaga. Selamat menghadapi tantangan baru. Meminjam istilah Liverpooldian, “You Will Never Walk Alone!”
Berikut profil singkat mereka.
1. Evy Trisulo
Selama ini, Evy Trisulo bekerja di Lembaga Administrasi Negara (LAN), sebagai salah satu pejabat struktural di Humas. Dia sendiri mengikuti perjalanan UU KIP mulai proses pembuatan, sosialisasi hingga implementasi. Di LAN, dia mengajar sistem administrasi, wawasan kebangsaan, dan beberapa mata kuliah lain. Menurutnya, keterbukaan harus menjadi budaya di individu birokrasi. Selama ini keterbukaan hanya formalitas di Birokrasi. “Misalnya dengan penunjukan PPID, seolah kewajiban UU itu telah gugur. Sementara dukungan pimpinan tidak ada,” katanya. Ia juga menyoroti bahwa keterbukaan perlu menjadi kurikulum dalam dunia pendidikan. Sebagai badan publik, pernah dimintai informasi oleh Fitra dan MHS. Namun telah diselesaikan, melalui mediasi. Sejak tahun 2010, menawarkan PPID di LAN, tapi prosesnya masih tarik ulur
2. Henny S Widyaningsih
Henny merupakan Dosen Komunikasi FISIP UI yang juga Komisioner KI periode lalu. Menurutnya, saat ini KI Pusat, lebih memprioritaskan ke mediasi karena belum banyak badan publik yang memahami UU KIP. Menurutnya, seharusnya ada laporan tahunan KI ke Presiden, tetapi selama ini kesulitan bertemu Presiden, hanya pernah sekali bertemu dengan UKP4. KI telah membuat pedoman pembentukan KI Provinsi. Membuat aturan turunan juklak dan juknis di Komisi Informasi dalam waktu setahun, berperan dalam menengahi potensi konflik di KI, membangun mekanisme evaluasi dan komunikasi. Internal: Komisioner harus memiliki kompetensi antara lain di bidang hukum/peradilan, kompetensi di bidang komunikasi. Eksternal: membangun jaringan komunikasi di seluruh daerah, mendorong pemahaman masyarakat terhadap UU KIP, mendorong pemahaman dan komitmen badan publik terhadap implementasi UU KIP dengan membangun komunikasi dengan UKP4 dan Kemendagri.
3. Rumadi
Rumadi merupakan Dosen Fak. Syariah UIN Syahid Jakarta dan juga aktif di Wahid Institute. Saat ditanya, soal peran PTUN dan KI oleh Pansel, ia menjelaskan bahwa PTUN dan KI dua lembaga yang berbeda. PTUN tidak memiliki kompetensi seperti yang dimiliki KI. Ia menjelaskan keterbukaan informasi bagian dari upaya merawat nalar publik yang dalam khazanah Islam disebut fungsi syariah untuk “menjaga akal” atau nalar publik. Seorang Komisioner, menurutnya, harus bersih dari cacat moral, integritas, dan tahan godaaan yang merusak kredibilitas. Selama ini fokus pada isu HAM khususnya kebebasan beragama. Kebebasan beragama, secara frame, sama dengan isu kebebasan informasi. Ia menegaskan bahwa prioritas kinerja KI antara lain asistensi implementasi UU KIP ke badan publik non negara, seperti lembaga publik keagamaan, penguatan struktur internal KI, melakukan asistensi ke kementerian, memberikan reward & punishment kepada kementerian terhadap implementasi UU KIP, dan melakukan sosialiasi ke publik.
4. John Fresly
John merupakan anggota KI DKI Jakarta, pernah bekerja sebagai pejabat sandi kedutaan besar di Yugoslavia dan mendampingi Sekretaris Lembaga Negara. Salah satu pendapatnya adalah uji konsekwensi diperlukan untuk semakin menspesifikkan informasi-informasi yang dikecualikan. Mengenai RUU Rahasia Negara, menurutnya perlu ditunda dulu pembahasannya menunggu pembahasan uji konsekwensi ini. Jika terpilih, ia akan mendorong pembentukan KI di provinsi, mendorong badan publik agar lebih siap menjalankan UU KIP, bersinergi dengan DPR dan Kemendagri untuk mendorong keterbukaan informasi, dan perbaikan hukum acara di KI.
5. Abdul Hamid Dipopramono
Abdul Hamid Dipopramono, merupakan mantan Redaktur Jurnal Nasional. Menurutnya, ia memiliki banyak pengalaman di organisasi sosial dan kemasyarakatan, pengalaman dalam bidang manajemen, pengalaman di media, dan memiliki networking yang luas, terutama dengan para pimpinan media. Sementara mengenai UU KIP, ia berpendapat bahwa pidana dalam UU KIP masih terlalu ringan (menyebarkan informasi yang dirahasiakan). Menurutnya, sosialiasi UU KIP saat ini masing sangat kurang. Bahkan menurutnya, masyarakat masih rancu antara KIP dan KPI sebab KPI lebih populer. Untuk menghindari penyimpangan anggaran, ia akan berkoordinasi dengan KPK, ICW, BPK. Ia mengatakan pernah menulis artikel tentang Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional. Apa yang prioritas kerja di KI? Menurutnya, antara lain penguatan kelembagaan, penguatan SDM, perbaikan web KI (Audio, visual, interaktif dan friendly), serta konsolidasi internal komisioner.
6. Yhannu Setiawan
Yhannu Setiawan merupakan Ketua Komisi Informasi Provinsi Banten. Menurutnya, KI Provinsi Banten telah menyelesaikan 140 sengketa informasi. KI Banten berhasil mendorong seluruh badan publik membentuk PPID pada tahun 2011, mendorong penggunaan IT dalam layanan informasi publik di pemerintah prov/kab.kota, membangun MoU dengan KPU, Panwas, mendorong agenda keterbukaan informasi. Ke depan, KI perlu mendorong badan publik secara transparan, menjaga hak warga negara, memastikan warga negara mendapatkan hak atas informasi, mendorong kelengkapan sistem internal dan eksternal di KI untuk menjadi supporting agency ke badan publik yang lain, mendorong badan publik pemerintah untuk mengimplementasikan UU KIP melalui koordinasi di tingkat kementerian. Ia berpendapat bahwa keputusan KI di daerah/pusat seharusnya bisa menjadi yurisprudensi. Keputusan tersebut juga seharusnya menjadi rujukan bagi lembaga negara lain untuk melakukan pengelolaan informasi, dokumentasi
7. Dyah Aryani
Dyah Aryani, selama ini aktif di Yayasan 28, sebuah lembaga kajian hukum dan media. Saat ini juga sedang mengadvokasi pembentukan Badan Perfilman Indonesia. Selain itu, ia juga Tenaga Ahli Komite III DPD RI (Pendidikan agama, kebudayaan, pariwisata, pemuda olahraga, perempuan). Menurutnya, KI seharusnya berwibawa, sebab dengan wibawa itulah, KI bisa menjamin dan memastikan seluruh badan publik menerapkan UU KIP. Ia menjelaskan, Yayasan 28 pernah melakukan penelitian implementasi UU KIP di tiga badan publik, Kemenkes, Kemendikbud, dan Polri. Hasilnya? Kemdikbud ternyata merupakan lembaga yang paling tidak terbuka. Agenda yang akan didorong di KI, antara lain: memastikan badan publik untuk mengimplementasikan UU KIP, mendorong pembentukan KI di seluruh provinsi, menjalin sinergi dengan DPR dan media untuk mendorong implementasi UU KIP.
oleh Parliamentary Center | Mei 1, 2013 | Editorial, Pemilu
Munculnya kontroversi kebocoran data verifikasi faktual yang dibawa oleh Ketua Umum Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) Daniel Hutapea dalam sidang lanjutan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai teradu menjadi pembelajaran penting bagi KPU. Sudah saatnya KPU memiliki sistem informasi dan dokumentasi sesuai dengan UU No 14 Tahun 2008 Tentang Informasi Publik (UU KIP).
Data yang bocor ke publik itu terkait data verifikasi administrasi partai politik, permohonan pengundangan PKPU yang terlambat, dan nota kesepahaman antara KPU dan International Foundation For Electoral System (IFES). Data tersebut berupa surat resmi KPU kepada Menteri Hukum dan HAM Nomor 1151/SJ/X/2012 perihal permohonan pengundangan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran dan Verifikasi Parpol dan PKPU Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Kedua PKPU tersebut dalam salinan yang dimiliki KPU diundangkan tanggal 25 Oktober namun baru dimohonkan pengundangannya ke Menkumham tanggal 31 Oktober 2012. Padahal PKPU tersebut menjadi landasan penetapan parpol lolos verifikasi administrasi. Data lain terkait data partai yang seharusnya tidak lolos verifikasi administrasi. Data terakhir adalah terkait Nota Kesepahaman antara KPU dengan IFES nomor 11/KB/KPU/Tahun 2012 tentang program bantuan teknis bagi penyelenggara pemilu nasional 2014.
Pada prinsipnya, mengacu pada UU KIP semua informasi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik. Dilihat dari subtansinya, data atau informasi yang ‘bocor’ tersebut bisa dikategorikan informasi publik yaitu informasi yang wajib disediakan dan diumumkan karena merupakan informasi yang berkaitan dengan badan publik serta informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 9 ayat (2) UU KIP.
Badan publik memang berhak menentukan apakah suatu informasi merupakan informasi publik atau bukan melalui uji konsekuensi. Pasal 19 UU KIP memberikan kewenangan kepada Pejabat Pengelelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji konsekuensi sebelum menyatakan suatu informasi bukan termasuk informasi publik atau informasi yang dikecualikan. Akan tetapi, faktanya kita melihat KPU justru membantah data tersebut dengan mengatakan bahwa data tersebut tidak valid dan kemudian berbagai pihak menganggap data tersebut bocor. Logika yang dibangun oleh KPU dengan membantah data tersebut yang kemudian tidak selaras dengan logika UU KIP. Sedari awal sebenarnya KPU bisa saja menyatakan bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang dikecualikan melalui uji konsekuensi.
Pembenahan dalam pengelolaan informasi
KPU mengaku akan mengoreksi dan melakukan pembenahan ke dalam atas terjadinya kasus ini. Sebagai bahan koreksi, komisioner KPU meminta kesekjenan untuk mengumpulkan seluruh biro dan memberitahukan pola kerja berdasar Standard Operational Procedure (SOP) yang digariskan sesuai peraturan. Yang menjadi pertanyaan SOP apa yang kemudian akan diterapkan oleh KPU agar kasus ini tidak terulang.
Sampai saat ini, KPU belum memiliki peraturan mengenai keterbukaan informasi publik. Padahal ini menjadi dasar hukum penting dalam mengelola informasi dan dokomentasi yang dimiliki KPU. Lebih lanjut, KPU berserta seluruh jajarannya sampai tingkat Kabupaten/Kota harus memiliki daftar data dan informasi yang dikuasainya. Kemudian mengklasifikasi jenis informasi seperti yang diatur dalam UU KIP. Dengan demikian KPU memiliki landasan yang kuat dalam menentukan suatu informasi apakah termasuk informasi yang dikecualikan atau tidak. Sehingga kedepan apabila terjadi kasus yang sama, pelaku bisa ditindak dengan tegas kerena telah menyalahgunakan informasi.
Sebenarnya KPU sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 688/KPU/XII/2012 mengenai pengumpulan data dan informasi. SE tersebut menghimbau kepada seluruh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk segera mengumpulkan dan mengidentifikasi data dan informasi yang dikuasai oleh masing-masing satuan kerja. Akan tetapi, sampai saat ini tindak lanjut atas SE ini belum jelas. Setidaknya terlihat dari kasus ‘bocornya’ data KPU.
Atas terjadinya kasus ini, KPU diuji serius dalam hal profesionalitas kerja terutama dalam pengelolaan informasi dan dokumentasi. Keterbukaan informasi sudah seharusnya menjadi agenda utama KPU disamping aspek penyelenggaraan pemilu. Tanpa keterbukaan informasi pemilu yang jujur dan adil akan sulit tercapai.[]
oleh Parliamentary Center | Apr 18, 2013 | Editorial

Masa jabatan komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) akan berakhir pada 2 Juni 2013. Pergantian komisioner KIP merupakan momentum yang menentukan nasib lembaga ini selama 5 tahun kedepan. Jika pansel meloloskan calon komisoner bermasalah, maka pansel punya andil dalam merusak masa depan lembaga KIP.
Pansel yang dibentuk oleh pemerintah (cq. Kementrian Kominfo) terdiri dari 7 orang yang merepresentasikan pemerintah, akademisi, media dan masyarakat sipil. Pansel sendiri memiliki tugas untuk mencari 28 calon komisioner KIP yang nantinya akan diserahkan kepada Presiden. Koalisi berharap, pansel meletakan indikator integritas sebagai alat ukur utama dalam meloloskan calon Komisioner KIP.
Berdasarkan UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Presiden harus menyerahkan 21 nama yang sudah melewati proses seleksi kepada DPR. Setelah itu, DPR akan menentukan 7 calon yang dianggap layak menjadi Komisioner KIP. Itu artinya, Presiden akan mencoret 7 dari 28 calon yang diajukan pansel.
Proses seleksi sendiri sudah dimulai sejak 21 Februari 2013, Pansel telah menyelesaikan beberapa tahap seleksi, yakni: tahap seleksi administrasi, tahap seleksi tes tertulis, tahap seleksi penulisan makalah, dan tahap psikotest. Dan saat ini, pansel sudah masuk pada tahap akhir (wawancara) yang diagendakan pada 17-18 April 2013. Sebagai informasi, pada tahap test tertulis, pansel hanya menyisakan 45 calon dari 199 orang yang mendaftar.
Guna mengawal proses panjang mencari Komisioner KIP, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam FOINI (freedoom of Information Network – Indonesia) sudah melakukan rekam jejak. Tujuan utamanya, mendapatkan informasi yang cukup tentang latar belakang kandidat komisioner KIP, sekaligus mencegah lolosnya calon bermasalah, yang justru akan melemahkan KIP di kemudian hari.
Koalisi hanya melakukan rekam jejak terhadap 41 calon. Argumentasinya, 4 dari 45 calon yang lolos tahap test tertulis tidak memenuhi panggilan Pansel untuk mengikuti tahapan psikotes. Sehingga, kami berasumsi sudah sewajarnya pansel tidak meloloskan 4 calon tersebut ke tahap selanjutnya.
Dari 41 calon, koalisi mencatat 59 temuan menarik, yang layak dijadikan pertimbangan bagi pansel untuk meloloskan atau tidak meloloskan. 59 temuan tersebut kedalam 7 bagian. Yaitu, Informasi data awal, integritas, sensitifitas gender, kapasitas dan pemahaman terhadap KIP, independensi, komitmen/kinerja, dan temuan lainnya yang dianggap relevan dengan proses rekam jejak.
Terdapat 6 temuan terhadap kejujuran terkait informasi pribadi (Kebenaran Alamat, Profesi dan data CV)
- Sebanyak 5 calon di indikasikan bermasalah terkait dengan alamat domisili.
- Satu calon mencantumkan alamat kantor.
- Empat calon ada ketidaksesuaian antara data CV dengan faktual di lapangan.
- Sebanyak 1 calon memberikan informasi riwayat pekerjaan yang tidak benar.
Terdapat 13 temuan terkait masalah Integritas (Ketaatan Hukum, Ketaatan Pajak, LHKPN, Penyalahgunaan Wewenang).
- Sebanyak 3 calon di indikasikan bermasalah terhadap ketaatan pajak
- Dua calon tidak memiliki NPWP ketika dilakukan pengecekan.
- Satu calon terdapat perbedaan data (tempat tanggal lahir) antara CV dan data kantor pajak untuk nama dan alamat yang sama.
- Sebanyak 4 calon terindikasikan terlibat conflict of interest dan penyalahgunaan wewenang
- Sebanyak 3 calon tidak patuh terhadap ketentuan LHKPN
- Dua calon tidak melaporkan padahal sebagai pejabat publik
- Satu calon melaporkan tetapi diindikasikan ada ketidaksesuaian dengan data lapangan
- Sebanyak 2 orang terindikasi menggunakan isu KIP sebagai alat untuk pemerasan dengan modus permintaan informasi dan sengketa
- Sebanyak 1 calon pernah diindikasikan terlibat kasus korupsi (korupsi lembaga-kolektif).
Terdapat 1 temuan terkait sensitifitas gender (KDRT, Poligami, Pelecehan Seksual, Traficking).
Hasil rekam jejak menemukan 1 orang calon terindikasi melakukan KDRT dan perselingkuhan.
Terdapat 14 temuan terkait dengan kapasitas dan pemahaman terhadap KIP (UU KIP, Pengelolaan Data dan Informasi).
- Sebanyak tujuh calon masih menjabat sebagai Komisioner KI Pusat dan Provinsi
- Satu calon menjabat sebagai Komisi Informasi Provinsi Lampung
- Tiga calon menjabat sebagai Komisi Informasi Provinsi DKI
- Satu calon menjabat sebagai Komisi Informasi Provinsi Banten
- Dua calon menjabat sebagai Komisi Informasi Pusat
- Sebanyak empat calon memiliki karya tulis tentang keterbukaan informasi
- Sebanyak satu calon mempunyai karir dan pengalaman dalam bidang kearsipan
- Sebanyak satu calon mempunyai karir dan pengalaman sebagai tenaga ahli Komisi Informasi Pusat
- Sebanyak satu calon mempunyai pengalaman di bidang kehumasan.
- Terdapat 9 temuan terhadap Independensi (Relasi dengan Ormas, Parpol, Bisnis).
- Sebanyak lima calon terindikasi terlibat dalam kegiatan partai politik/tim sukses atau memiliki hubungan dekat dengan partai politik.
- Sebanyak empat calon saat ini masih sebagai anggota ormas/badan usaha.
- Terdapat 13 temuan terhadap komitmen dan kinerja (Leadership, rangkap jabatan, job seeker, komitmen dan loyalitas).
- Sebanyak enam calon tergolong sebagai job seeker
- Latar belakang kemampuan tidak sesuai dengan kualifikasi komisi informasi bahkan sangat menyimpang jauh.
- Tidak ditemukan rekam jejak yang menunjukkan kapasitas dalam KIP.
- Mendaftar lebih dari satu seleksi komisi negara dalam satu kurun waktu.
- Namanya selalu tercantum sebagai pendaftar dalam hampir setiap seleksi komisi negara.
- 2. Sebanyak enam calon bermasalah dengan kepemimpinan
- One man show
- Mental tidak stabil/emosional
- Memanfaatkan konflik
- Tidak tegas
- Tanggung jawab kurang
- Sebanyak satu calon pernah mengalami permasalahan dalam pengelolaan keuangan di internal lembaganya
- Terdapat 3 temuan Lainnya yang dianggap relevan.
- Satu calon tergolong usia lanjut.
- Satu calon pernah tidak lolos pada seleksi KI tingkat provinsi karena mempertanyakan independensi pansel dan mempertanyakan gaji.
- Satu calon mempunyai mental yang tidak stabil dan mempunyai perilaku mabuk-mabukan.
Temuan-temuan ini menggambarkan bahwa, hampir setiap calon memiliki catatan. Baik pada sisi integritas maupun komitmen dari para calon. Sudah menjadi harga mati, bahwa kedepan, KIP tidak boleh diisi oleh orang-orang yang memiliki catatan terhadap integritas. Karena bisa dipastikan, lembaga KIP akan berada dalam bahaya. Untuk itu, berdasarkan temuan rekam jejak yang telah dilakukan, Koalisi mendesak pansel untuk melakukan beberapa hal :
Pansel memanfaatkan hasil tracking sebagai bahan pertimbangan penilaian dan tes wawancara para calon.
- Pansel harus menitikberatkan pertimbangan terhadap calon-calon yang terindikasi berintegritas rendah, bermasalah dalam kinerja, dan diduga pernah melakukan penyalahgunaan wewenang.
- Pansel wajib menolak keikutsertaan para calon yang tidak mengikuti tahap psikotes.
oleh Parliamentary Center | Apr 9, 2013 | Editorial, Pemerintahan
“Wajib ikut seleksi. Apabila tidak mengikuti akan kehilangan jabatan secara struktural,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, beberapa waktu lalu. Ada yang semangat, ada juga yang pasrah dengan berita ini.
Lelang jabatan ini adalah salah satu gebrakan Joko Widodo, yang sejak kampanye menjanjikan hadirnya Jakarta Baru di bawah kepemimpinannya. Pada Maret lalu, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) memberikan penilaian CC atau cukup terhadap pelayanan publik di Jakarta. “Mayan,” kata Joko Widodo menanggapi. Dia sendiri tidak hadir pada saat acara penganugerahan itu. Entah, apa alasan pastinya.
Mungkin karena nilai CC itu sejatinya merupakan peninggalan dari Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Mungkin juga karena nilai itu tidak pantas untuk Jakarta. Maksudnya, mungkin seharusnya di bawah CC. Gubernur Joko Widodo pernah mengatakan buruknya pelayanan publik di Jakarta. Sistem pelayanan dengan loket yang ada di kantor-kantor pemerintahan DKI Jakarta, kata dia, sudah ketinggalan 200 tahun. “Kita bisa lihat di bank-bank sudah tidak ada loket,” katanya. Dia juga sering datang sendiri dengan tiba-tiba di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan, sehingga merasakan sendiri bagaimana tidak siapnya pelayanan publik di Jakarta.
Tak hanya itu, camat dan lurah di Jakarta, ternyata dinilai tak cukup serius bekerja. Sederhana menilainya. Mari lihat 9 instruksi kepada RT dan RW se DKI Jakarta. Antara lain kerja bakti dua minggu sekali di RT-RW, membersihkan coretan-coretan liar pada bangunan, jembatan, dan pipa air, menjaga kebersihan sungai dan saluran air, penertiban spanduk liar. Sebuah instruksi sederhana yang seharusnya lahir dari seorang camat atau lurah. Tapi diambil alih oleh seorang Gubernur.
Padahal hal-hal di atas, diatur dengan jelas dalam Peraturan Guburnur DKI Jakarta nomor 46 tahun 2006 tentang pelimpahan sebagian wewenang dari dinas teknis kepada kecamatan dan kelurahan. Ada tiga kewenangan yang dilimpahkan, yaitu kebersihan, kesehatan, dan keamanan dan ketertiban.
Camat dan lurah juga perlu melek UU. Ada Undang-Undang Pelayanan Publik, Undang-Undang Keterbukaan Informasi, UU Kearsipan, dan lain-lain yang semestinya dimaknai sebagai panduan dalam membangun sistem dan memberikan pelayanan kepada publik.
Di tengah aturan yang jelas, namun camat dan lurah masih saja miskin inisiatif ini terasa aneh. Dari segi pendidikan, mereka umumnya lulusan IPDN. Dari sisi keuangan, total pendapatan camat sekitar Rp 14,9 juta dan lurah Rp 10 juta per bulan. Selain itu, Camat juga mendapatkan fasilitas mobil dinas, rumah dinas, dan jaminan kesehatan. Selain itu, 267 kelurahan yang ada di DKI Jakarta, menerima dana penguatan masing-masing Rp3 milyar per tahun.
Belajar dari kepemimpinan Gubernur periode sebelumnya, satu hal yang kurang, dan kini diisi oleh Jokowi, yaitu keteladanan seorang pemimpin. Lelang jabatan merupakan cara mendapatkan yang terbaik. Karena tak mungkin, Jokowi selalu blusukan. “Capek,” katanya. Nah, mereka yang mendaftar, seharusnya memiliki komitmen yang sama dengan Gubernur. Semoga lelang jabatan ini, melahirkan “Jokowi-Jokowi Baru” (ARB)