KIP Riau Simpulkan Kwitansi Besifat Rahasia dan Bukan Dokumen Publik

KIP Riau Simpulkan Kwitansi Besifat Rahasia dan Bukan Dokumen Publik

Terkait tuntutan sebuah lembaga swadaya masyarakat terkait kuitansi dan akta notaris, KPI tegaskan itu wajib rahasia.

Pekanbaru,-Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Riau menyatakan bahwa Kwitansi dan Akte Notaris bukanlah informasi publik, tapi dikategorikan sebagai informasi yang dirahasiakan. Hal itu telah menjawab pertanyaan publik, lembaga pemerintahan dan badan hukum yang menggunakan anggaran Negara.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Riau, Mahyudin Yusdar, saat dihubungi pada hari Ahad (7/9/14). Mahyudin mengungkapkan bahwa penelaahan Kwitansi dan akte notaris suatu badan hukum sebagai informasi yang dirahasiakan berdasarkan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh KIP Riau di Dinas Kehutanan Provinsi Riau.

“Kita beberapa waktu yang lalu melaksanakan pemeriksaan setempat di Dinas Kehutanan Provinsi Riau berdasarkan permohonan gugatan sengketa LSM TOPAN AD kepada Dishut Riau. Berdasarkan UU KIP Nomor 14 tahun 2014 kita memutuskan bahwa kwitansi dan akte notaris tidak termasuk ke dalam informasi publik. Dan ini kita jadikan yurisprudensi terhadap kasus serupa ke depannya”ujar Mahyudin.

Mahyudin menerangkan bahwa kwitansi tidak termasuk ke dalam informasi publik, karena mengandung beberapa informasi pribadi yang tidak boleh diketahui oleh pihak yang lain. Informasi tersebut adalah nomor rekening dan tanda tangan yang dilindungi oleh undang-undang perbankan dan undang-undang administrasi kependudukan. Sedangkan untuk Akte Notaris, beliau juga menyatakan bahwa terdapat beberapa poin kesepakatan antara beberapa pihak yang tidak boleh diketahui oleh umum.

“Setiap informasi pribadi atau yang dirahasiakan dapat dibuka jika telah seizin tertulis dari pribadi tersebut atau informasi itu dibutuhkan dalam penegakan hokum pada kasus tertentu. Namun itu, berdasarkan UU KIP juga, dinyatakan bahwa publik dapat melihat kwitansi tersebut namun tidak boleh memfotokopi atau mencatatnya”ujar Mahyudin.

Mahyudin juga menerangkan bahwa di dalam setiap kontrak kerja yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, terdapat informasi yang dirahasiakan yang tidak boleh diketahui oleh publik. Untuk hal itu dia menyatakan, pemberi informasi cukup menghitamkan informasi yang dirahasiakan tersebut dan diberi catatan bahwa informasi tersebut termasuk dirahasiakan. (riauterkini.com)

Gubernur Lantik Anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Gubernur Lantik Anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Padang,– Gubernur Sumatera Barat hari ini melantik anggota Komisi Informasi (KI) Provinsi Sumatera Barat Masa Jabatan 2014 -2018 di Auditorium Gubernuran pada Kamis (4/9).

Pelantikan ini didasarkan atas SK Gubernur Nomor 555 – 673 – 2014 tertanggal 2 September 2014. Adapun lima orang anggota Komisi Informasi Sumatera Barat yang dilantik adalah Syamsurizal,SE, Arfitriati,S.Ag, Yurnaldi,S.Pd, Sondri,S.Pd, Adrian Tuswandi,SH.

Komisi informasi ini dibentuk sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui meditasi dan ajudikasi nonlitigasi. Dalam melaksanakan tugasnya anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat berpedoman kepada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno dalam sambutannya menyampaikan “Semoga dengan adanya Komisi Informasi ini dapat membantu pemerintah dalam hal keterbukaan informasi publik dan dapat menjadi lembaga yang baik, untuk membantu masyarakat.” Gubernur pun berharap anggota Komisi Informasi yang telah dilantik dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Tampak hadir dalam pelantikan yang dimulai pada pukul 08.30 ini adalah Muspida Provinsi Sumatera Barat, Dishubkominfo Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat, Kepala SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera, perwakilan pers maupun Lembaga Masyarakat/LSM yang ada di Sumatera Barat.

Acara pelantikan pun ditutup dengan pembacaan do’a oleh rohaniwan dan pemberian ucapan selamat oleh tamu maupun undangan yang hadir kepada Anggota Komisi Informasi yang telah dilantik. (DishubkominfoSB)

KI Pusat Apresiasi Pemkot Banda Aceh Luncurkan Aplikasi Layanan Online

KI Pusat Apresiasi Pemkot Banda Aceh Luncurkan Aplikasi Layanan Online

Jakarta,-Komisioner Komisi Informasi Pusat, Yhanu Setyawan, mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Banda Aceh meluncurkan aplikasi permohonan informasi online di Aula Balai Kota, Selasa (2/9). Aplikasi ini dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses dan memperoleh berbagai informasi.

Menurut Yhanu, secara obyektif, penggunaan teknologi informasi akan berpengaruh secara signifikan terhadap kecepatan dan kemudahan dalam pelayanan informasi publik. Hal tersebut tentunya sejalan dengan semangat UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)  yang menjadikan asas dalam keterbukaan informasi, bahwa pemenuhan kebutuhan terhadap informasi publik itu harus cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Yhanu menambahkan, keuntungannya yang paling utama dengan penggunaan media online, selain terkait dengan kemudahan dan kecepatan warga Banda Aceh memperoleh informasi publik, maka adalah keluasan sebaran informasi tentang kinerja Badan Publik kepada stakeholders Pemerintah Kota Banda Aceh.

Akses internet, lanjut dia, tentu saja memberikan peluang tidak hanya bagi Warga Banda Aceh tetapi juga bagi seluruh kalangan untuk mengakses informasi tentang Aceh. “Dengan demikian masyarakat dunia juga dapat memperhatikan dan mempelajari secara mandiri tentang bagaimana teknik mengelola Kota yang baik, transparan dan akuntabel sebagimana yang disajikan oleh Pemkot Banda Aceh,” ungkapnya pada kebebasaninformasi.org Rabu (10/9) ketika dihubungi melalui surat elektronik.

Yhanu berharap, fenomena penggunaan media internet yang dilakukan pemkot Banda Aceh menjadi ini stimulasi bagi pemerintah daerah lainnya agar menggunakan instrumen teknologiinformasi publik sebagai media penyebarluasan informasi publik, sehingga keberhasilan dan ketertiban dalam pengelolaan pembangunan di daerah dapat diketahui dengan cepat, cara yang sederhana dan berbiaya ringan. (AA)

Pemerintah Kota Banda Aceh Luncurkan Aplikasi Informasi Online

Pemerintah Kota Banda Aceh Luncurkan Aplikasi Informasi Online

Banda Aceh,– Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Banda Aceh meluncurkan aplikasi permohonan informasi online di Aula Balai Kota, Selasa (2/9). Aplikasi ini dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses dan memperoleh berbagai informasi.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal usai meluncurkan aplikasi tersebut mengatakan masyarakat tidak perlu lagi berdesakan dan mengantre untuk mendapatkan informasi dari Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh. Adanya keterbukaan informasi dan transparansi publik ini, maka kepercayaan publik dan partisipasi masyarakat dalam mendukung program Pemko dapat meningkat.

Ia juga meminta Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dapat memberikan informasi yang real kepada masyarakat, melalui sistem aplikasi tersebut.

Sementara Kabid Pengembangan Sistem Informasi Dishubkominfo Banda Aceh sekaligus tim PPID, T Taufik Mauliansyah kepada Serambi mengatakan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, maka masyarakat dapat membuka website ppid.bandaacehkota.go.id.

Selanjutnya mengisi formulir yang tersedia di website berupa form permohonan informasi. Setelah itu akan diproses oleh PPID dinas terkait terhadap informasi yang dibutuhkan.

Misalnya, kata Taufik informasi terkait e-KTP maka Disdukcapil yang akan memproses informasi yang dibutuhkan itu. Untuk memperoleh data tersebut maka diperlu waktu satu atau dua hari, karena dinas terkait menyiapkan terlebih dahulu data-data itu. Selanjutnya akan dikirim melalui email pemohon.

Terkait manfaat yang diperoleh dari aplikasi ini, antaranya memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi dan tidak perlu ke dinas tertentu serta menghemat waktu. “Selain biodata yang diisi, masyarakat juga wajib mengisi nomor hp dan alamat email. Sebab informasi yang diperlukan tersebut akan dikirim ke email yang bersangkutan, dan apakah informasi yang diinginkan itu sudah tersedia atau belum maka akan diberitahu melalui sms. Jadi masyarakat tidak perlu membuka email tiap hari,” demikian Taufik.

Sementara itu, sehari sebelumnya, Senin (1/9), Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal melaunching aplikasi e-disiplin di Balai Kota. Aplikasi ini digunakan untuk memantau kedisiplinan pegawai di Pemerintah Kota Banda Aceh.

Illiza mengatakan untuk tahap awal penerapan e-disiplin ini hanya berlaku pada lima SKPD, yaitu  Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRK, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta Kantor Pelayanan Perizinan, Terpadu Satu Pintu.

“Semua ini dilakukan sebagai upaya pembinaan PNS dan untuk mendorong terwujudnya Banda Aceh model kota madani. Kehadiran aplikasi e-disiplin ini bukanlah suatu hal yang perlu dirisaukan oleh PNS kota, karena disiplin merupakan bagian dari ajaran Islam,” kata Illiza lewat siaran pers kepada Serambi kemarin. (una)

Ketidakmandirian Komisi Informasi dan Dampaknya

Ketidakmandirian Komisi Informasi dan Dampaknya

Soal kemandirian Komisi Informasi menjadi kendala yang significan karena hal itu lembaga tersebut menjadi tidak leluasa menjalankan tugasnya. Upaya-upaya sudah dilakukan tapi belum mendapatkan hasil maksimal.

Apa dan bagaimana kemandirian Komisi Informasi, kebebesaninformasi.org mewawancarai salah seorang komisioner KI Pusat Yhanu Setyawan ketika ditemui selepas diskusi bertajuk “Ahli HTN: Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi” yang difasilitasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Harris, Jakarta, Rabu siang, (20/8). Berikut Petikannya.

Apa persoalan yang dihadapi Komisi Informasi, khususnya KI Pusat terkait dengan kemandirian organisasi?

Pada intinya komisi Informasi ini punya kewajiban untuk menyelesaikan sengketa. Nah, ketika dia bertugas menyelesaikan sengketa, maka dia membutuhkan suport, dukungan administrasi yang kemudian nanti akan berinteraksi dengan hal-hal yang berkaitan dengan pembiayaan dansebagainya. Termasuk sumber daya manusianya.

Nah, yang jadi persoalan adalah ketika kita tidak memiliki kemandirian yang memberikan daya dukung terhadap berjalannya proses penyelesaian sengketa. Nah, daya dukungnya pa SDM misalnya, kita tak bisa memilih orang-orang yang dalam orang-orang kapabilitasnya, kapasitasnya sesuai dengan kebutuhan penyelesaian sengketa.

Kenapa?

Karena struktur organisasi di Komisi Informasi Pusat sudah diatur dari sana, masih diatur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Ada beberapa struktur organ yang kosong dan itu sampai sekarang beberapa waktu belum terisi. Begitu. Nah, tugas-tugas ini memang harus dilakukan oleh orang yang punya kapabilitas dan kompotensi yang cukup sehingga akan lebih profesional.

Hal-hal semacam ini kerap kali menjadi persoalan tersendiri buat KI Pusat. Kita bicara soal apa namanya, komitmen pegawai. Memang dia tidak dalam otoritas Komisi Informasi secara kelembagaan komisioner, maka dia tunduk kepada sekretaris, sekretaris tunduk pada Kominfo. Ini yang jadi persoalan.

Kita membutuhkan satu dukungan SDM yang memiliki loyalitas kepada kelembagaan Komisi Informasi. Belum lagi dari tampilan-tampilan bagaimana mereka performanya mereka menunjukkan performa pegawai Kominfo ketimbang KI Pusat.

Upaya yang dilakukan KI untuk itu?

Ya, dalam beberapa komunikasi yang sifatnya formal maupun dalam diskusi-diskusi informal disampaikan kepad Kominfo atau Sekjen Kominfo. Tapi kan semua terkait dengan ketersediaan pegawai. Kan begitu.

Belum lagi terkait misalnya dengan pengelolaan budget. Posting budget, tentu kan kita punya ukuran, bahwa untuk melahirkan satu institusi yang profesional, kita membutuhkan A, B, C, D yang ternyata tidak bisa sama ukurannya. Ukuran yang dimiliki oleh pegawai Kominfo itu terlaksananya tugas-tugas mereka, sedangkan kita selesainya sengketa. Jadi kan akhirnya berbeda.

Mau tanya soal keorganisasian, hubungan Komisi Informsai Pusat dengan Provinsi itu bagaimana?

Jadi begini, ada Komisi Informasi Pusat, ada Komisi Informasi Provnsi. Komisi Informasi itu, dia masih suka diperdebatkan apakah ada relasi keorganisasian, ralasi struktural antara Komisi Informasi  Pusat dan KI Provinsi. Secara tekstual memang tidak ada, relasi bahwa Komisi Informasi Pusat lebih tinggi daripada Komisi Provinsi, tidak ada. Tapi kita juga kan memahami bahwa kita ini negara kesatuan. Dalam negara kesatuan itu tentu ada berada center, pusat, dan ada yang pada wilayah-wilayah. Jelas dari sisi itu. Nah, Kemudian dari sisi pembiayaan, norma jelas di dalam undang-undang bahwa Komisi Informasi Pusat itu dibiayai APBN, sementara Komisi Informasi Provinsi dibiayai APBD. Begitu juga KI di kabupaten dan kota, kalau ada. Ini bukan lantas karena pembiayaan berasal dari pintu berbeda membuat dia tidak punya relasi keorganisasian karena toh semuanya sama kan, bahwa di APBN maupun di APBD itu semuanya uang rakyat. Karena pengabdian Komisi Informasi yang tiada lain ke rakyat Indonesia. Tidak hanaya karena KI Pusat yang berada di Jakarta mengabdi kepada orang Jakarta, tapi semua warga negara baik dia berada dimana pun sepanjang dia berada dalam wilayah negara kesatuan erepublik Indonesia, dia adalah warga negara Indonesia, maka dia punya hak konstitusi yang sama. Jadi Komisi Informasi Pusat itu bukan komisi informasi Jakarta plus. Begitu.

Yang kedua, bagaimana tidak ada relasi kalau hukum acaranya sama. Ketika misalnya Komisi Informasi Provinsi tidak mampu menyelesaikan sengketa, dia bisa melimpahkan ke KI Pusat. Nah, kalau tidak ada hubungan organisasi bagaimana bisa melimpahkan? Melimpahkan itu kan memberikan sesuatu kepada yang dianggap lebih mampu. Nah, ini kan tidak mungkin kalau tidak ada relasi keorganisasian, relasi hirarki, itu bisa main melimpahkan.

Format hubungan semacam itu apa namanya, desentralisasi atau terpusat?

Kita tidak kenal itu. Kita bukan based on teritory, tapi based on budget. Jadi karena dia dibiayai oleh APBD, maka dia mengelola badan publik yang sumber pembiayaannya dari APBD. Tapi kalau yang badan publik yang sumber pembiayaannya lembaga dan badan publiknya dari APBN, maka dia di area kewenangannya Informasi Pusat.

Menurut Anda struktur hubungan KI cocok seperti itu atau bagaimana?

Kalau KI di semua provinsi sudah ada, sudah seatle, maka harusnya KI Pusat, selain dia yang sifatnya lintas provinsi, dia menjadi lembaga banding. Tapi ini memang masih wacana. Jelas dia harus sentralistik, dalam arti terkoordinasi, hukum acara dan penyelesaian sengketanya terkoordinasi. Ada relasi keorganisasian sehingga ada komunikasi yang sifatnya administratif antar-kepaniteraan. Nah ini kaitannya dengan konteks penyelesaian sengketa. Nanti penting, termasuk pasca-sengketa. Karena bisa jadi pasca-sengketa itu ada keberatan yang diajukan oleh para pihak yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Komisi Informasi Pusat. Padahal itu perkara diselesaikan di komisi informasi Provinsi. Nah, hal-hal seperti ini juga seharusnya menjadi perhatian kita sehingga semuanya on the track ya. Bisa dalam jalurnya.

Kalau mencari teksnya memang tidak ketemu, tapi itu kan logika hukum. Bahwa hukum itu kan selain ada tafsir gramatikal, juga ada tafsir yang sifatnya kontektualitas. Konteksnya apa? Bahwa tidak mungkin ada organisasi berdiri sendiri-sendiri, tidak punya relasi keorganisasian apa pun, tapi menggunakan sistem yang sama.

Jadi, bisa terpusat dengan syarat KI-KI Provinsi suda seatle?

Iya, ya.

Kalau dari sisi kelembagaan, KI sudah berdiri di mana saja?

Belum, belum semuanya, yang terkahir, saya hafal yang terakhir, di Sumatera Barat ya. Tapi lebih kurang 26 ya.

Kenapa belum semuanya?

Itu tadi karena pemerintah daerah menganggap belum waktunya, belum mampu membiayai dan sebagainya. Padahal kan ini perintah Undang-Undang. Berarti kan secara sengaja banyak kepala daerah mengabaikan Undang-Undang

Penyebabnya apa?

Soal komitmen, soal tanggung jawab kepala daerah itu melaksanakan Undang-Undang. Yang kedua juga kepedulian masyarakat sipil. Masyarakat sipil di daerah itu mungkin kurang serius memperjuangakan kehadiran Komisi Informasi maupun pemenuhan atas hak akses informasi publik.

Ada semacam ketakutan tidak, misalnya kalau KI didirikan masyarakat akan meminta informasi yang selama ini ditutup-tutupi?

Saya kira mungkin. Tapi itu kan hanya ada dalam pikiran kepala daerah yang menggunakan cara berpikir yang lama, yang tidak mau terbuka, yang mau hanya dia sendiri yang mengelola pemerintahannya. Saya kira kepala daerah yang berpikirian seperti ini, tidak akan punya kualitas yang sama dengna kepala daerah yang berpikiran maju. Jadi ketika dia itu mau terbuka, sebetulnya dia lebih punya keberanian untuk mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan. Nah, justru kita patut curiga dengan kepala-kepala daerah yang tidak concern dengan agenda keterbukaan informasi. Sebetulnya apa yang terjadi di daerah itu? Kenapa dia tidak mau transparan?  Persoalannya apa? Kan begitu. Ini yang perlu ditelusur secara lebih dalam. Kalau cuma persoalan posting anggaran Komisi Informasi  itu belum cukup misalnya, tapi saya kira semua akan menyesuaikan dengan kondisi anggaran di daerah.

UU itu mengamantkan KI itu sampai kabupaten?

Bila diperlukan. Itu melihat dari kondisi geografis dan kebutuhan. Jadi, kondisi geografis itu memang sangat jauh, begitu kan dari pusat kota sehingga warga akan kesulitan kalau menyelesaikan sengketa karena Komisi Informasi Provinsi ini dimungkinkan. Tapi ada nggak orang yang bisa mengelola Komisi Informasi? Karena ingat Komisi Informasi adalah sekumpulan orang yang sekedar ingin menjadi komisioner, tapi orang-orang yang mempunyai kemampuan analisa, status dari informasi atau dokumen itu, informasi atau dokumen yang terbuka atau terutup. Dengan begitu dia harus punya kompetensi yang punya kemampuan analisa dokumen. Dan beberapa syarat kualitatif lainnya yang itu nanti akan membantu dia yang ketika dia berfungsi sebagai komisioner. Bukan sekadar menjadi orang yang berstatus komisioner

Ada semacam batas waktu ke provinsi itu harus dibentuk tahun sekian?

Ada, seharusnya semua sudah terbentuk tahun 2010. Dua tahun setelah diundang-undangkan. Nah, ini seharusnya jadi concern pemerintahan baru sekarang, bagaimana mendorong transparansi itu menjadi ujung tombak dari upaya merealisasi janji-janji kampanye. Jadi menurut saya pemerintahan baru sekarang, tentunya akan berharap ada pembeda dari pemerintahan terdahulu. Pembedanya dimana? Nah, pembedanya bahwa dia lebih memiliki akuntabilitas. Akuntabilitas itu akan semakin kuat ketika ruang partisipasi publik dan transparansi penyelenggara pemerintahan itu semua terbuka dan bisa diakses.

Tugas Komisi Informsai itu menyelesaikan sengketa. Tadi disebutkan salah satu lambatnya KI berdiri kurangnya dorongnya masyarakat sipil, berarti terkait dengan sosialisasi. Yang bertugas menyosialisasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik itu siapa?

Secara umum, Komisi Informasi juga punya tugas untuk melakukan sosialisasi, tetapi tentunya pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang, karena hakikatnya pemerintah itu pelaksana undang-undang, DPR pembuat Undang-Undang, mereka yang secara lebih memungkinkan di dalam budgeting, memiliki anggaran yang cukup untuk mendorong transparansi dalam pemerintahan. Tetapi juga saya kira masyarakat daerah juga harus diingatkan bahwa meraka juga harus terus memperkuat dan mendorong kepala daerahnya untuk menghadirkan transparansi dalam pemerintahannya. Nah, untuk menjamin akses itu maka dibutuhkan Komisi Informsi. Jadi, masyarakat di daerah apakah dia masyarakat sipil maupun masyarakat politik, masyarakat politik berarti dia dari partai-partai politik di level daerah maksudnya, di DPRD, ini yang seharusnya didorong kepada kepala daerahnya untuk segera mengimplementasikan Undang-Undang no 14 tahun 2008  di daerahnya masing-masing, karena ini perintah Undang-Undang.

Ini tersendat-sendat karena yang pertama soal komitmen, yang kedua, soal pengetahuan, yang ketiga soal kemampuan daerah. Tapi kemampuan daerah tidak terlalu siginifican tapi komitmen dan pengetahuan.

Semenjak UU disahkan, menurut Anda  bagaimana antusiasme masyarakat memanfaatkan UU itu?

Semakin lama, semakin banyak. Di awal-awal undang-undan itu hadir, memang jumlah pemohon individu itu tidak significan, tetapi sekarang, yang lebih banyak itu pemohon individu. Beberapa masyarakat sipil yang tergabung dalam organiasi atau NGO itu juga ada yang melakukan, tetapi dia melakukan permohonan informasi biasanya ke banyak tempat, jadi kita anggap ini sebagai satu pemohon. Tapi kalau pemohon individual, walauppun kasusnya cuma tiga, atau empat, menurut kita itu top, jelas lebih dari itu. Jumlah permohonan informasi itu sudah lebih dari seribu perkara, dengan begitu saya kira, upaya untuk memaksimalkan UU ini dan manfaat uu ini bagi publik baik secara individu maupun kelompok itu mulai terasa significan.

Data itu, akumulusi seluruh KI atau hanya KI Pusat.

Kalau sama provinsi bisa lebih lagi. KI Jakarta saja bisa lebih 500 perkara lebih setahun.

Dengan data seperti itu menggembirakan atau bagaimana?

Dua sisi. Satu sisi yang menggembirakan adalah masyarakat semakin sadar atas haknya untuk mendapatkan informasi publik, tetapi di sisi yang lain yang mengecewakan justru kita melihat bahwa pemerintah belum mampu mengimbangi pelayanan informasi publik dan mampu mengimbangi kebutuhan informasi publik karena masih pemerintahannya berkutat dengan penggunaan metode pelayanan yang konvensional yang berbasis dokumentatif. Coba kalau pemerintahannya lebih modern, menggunakan teknologi informasi, maka tidak akan terlalu banyak permohonan informasi langsung.

Bisa dikatakan, semakin banyak sengketa informasi, berarti lembaga-lembaga publik itu tidak menyediakan apa yang dibutuhkan masyarakat?

Itu yang pertama, mulai dari tidak menyediakan sampai dengan lamban memberikan respon karena banyak juga perkara-perkara sengketa informasi yang sebetulnya ini berangkat dari sistem dan tata kelola layanan. Jadi, ada kewajiban badan publik itu membentuk PPID. Dalam institusi ini ada petugas pelayanan infformasi publik. Nah, ketika petugas pelayan informasi publik tidak secara efektif menjalankan perannya, maka secara otomatis pelayanan kebutuhan informasi itu akan terhambat. Nah, seringkali ini, dokumennya bukan dokumen yang dirahasiakan, tetapi karena keterlambatan dalam pelayanan. Nah, ini yang kerap kali jadi persoalan.

Berapa persen lembaga publik membentuk PPID?

Saya tidak begitu hafal datanya. Itu teman-teman di kelembagaan, saya lebih ke sengketa informasi. Tapi pada intinya, sekarang sudah waktunya bagi pemerintah. Kalau level kementraian sudah, maupun lembaga-lembaga negara pusat, maupun nonstruktural, yang belum banyak itu adalah di pemerintahan daerah kabupaten kota terutama, kemudian juga badan usaha milik negara yang juga punya kewajiban untuk tunduk kepada UU ini, juga teman-teman partai politik. Nah, saya juga berharap teman-teman masyarakat sipil juga menunjukkan kepada publik, siapa PPID-nya, begitu. Misalanya IPC, harus menunjukkan kepada publik, siapa PPID-nya supaya ini menjadi teladan, contoh, buat badan publik di luar, bawa masyarakat sipil juga siap kok.

Termasuk KI ya Pak?

Termasuk KI, termasuk badan publik yang wajib membuat PPID

Sudah terbentuk?

Iya.

Pentingnya UU ini dijalankan apa di konteks Indonesia itu apa?

Itu yang pertama mengembalikan kepercayaan warga terhadap penyelenggara negara. Transparansi adalah alat yang paling mungkin untuk menunjukkan komitmen penyelenggara negara bahwa dia adalah orang yang siap melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar. Itu yang paling penting. Jadi, suatu suat mungkin, kita memang tidak membutuhkan lagi Komisi Informasi karena penyelenggaranya sudah transparan. Nah, kalau semuanya sudah transprasan, ngggak akan dibutuhkan Komisi Informasi dan mungkin di ujungnya tidak akan dibutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi terjadi kan karena ada ruang orang untuk melakukan abuse of power. Kemudian penyimpangan ada pengelolan keuangan negara dan sebagainya. Nah, kalau semuanya dilakukan secara transparan, semua masyarakat bisa mengakses, masyarakat turut serta, kan begitu, semuanya akan tereduksi potensi negatif kan begitu, dari bias penyelenggaraan keuangan negara.

Posisi media massa berkaitan dengan UU tersebut?

Sangat penting, baik cetak, elektronik, online. Ini menjadi ujung tombak di dalam pemberian informasi, tetapi bukan mereka bukan yang memproduksinya? Yang memproduksi informasi siapa? Yang memproduksi informasi adalah institusi-institusi kenegaraan atau badan-badan publik, maka dia menjadi informasi publik. Nah, kalau media, dia menjadi penyebarluasan. Nah, makanya, kemudian kita juga perlu mendorong Informasi Pusat, mendorong elektronik government sehingga informasi tentang penyelenggaraan pemerrintahan daerah, mulai dari sektor hulu, mulai dari sektor perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan pertanggungjawaban, itu semua terbuka, orang bisa akses, ini abad abadnya teknologi informasi, maka menggunakan insturmen menggunakan teknologi informasi ada website yang bisa digunakan untuk komunikasi. Jadi setiap saat keterbukaan informasi itu memberikan ruang interaksi antara warga dengan penyelenggara negara, baik pada level nasional maupun pada level lokal, dengan apa? Dengan cara dia melihat web. Dengan melihat web, menjadi pengunjung, dengan menjadi pengungjung, dia otomatis mengunjungi badan publik, terjadi interaksi antara warga dengan penyelenggara negara, terjadi interaksi, semakin dekat antara warga dengan penyelenggara. Tapi bukan dekat dalam konteks bertatap muka, tapi dekat dengan program. Jadi program yang dekat dengan rakyat itu program yang transparan, program yang transparan, pertanggungjawaban yang transparan.

Terkait dengan pemerintahan baru, bagaimana kecenderungan keterbukaan informasi ke depan?

Suka atau tidak suka, pemerintahan baru sekarang berhdapan dengan abad informasi, maka akan terjadi banyak persoalan yang terkait dengan informasi yang perlu diakses publik, maka kewajiban mutlak bagi penyelenggara pemerintahan sekarang, sebagai presiden, dia punya kewajiban untuk segera memberikan format pemerintahan yang terbuka yang melibatkan partisipasi publik sehingga menghadirkan akuntabilitas, sehingga akan terlihat perbedaan nanti cara berpemerintahan negara yang sekarang dengan pemerintahan yang terdahulu. Termasuk misalnya kalau berpotensi melakukan kejahatan atau penyimpangan akan mudah sekali kelihatan oleh publik. Sekarang kan orang akan dengan mudah misalnya mengupload foto ke media sosial, kan begitu. Tentang apa yang dilakukan oleh pejabat pubik atau siapa pun kan begitu. Nah, ini kan mudah sekali kalau mereka kalah cepat dengan publik maka mereka akan kehilangan kepercayaan publik. Nah, ini kan tentu kan tidak baik  bagi pemerintahan yang berasal dari rakyat.