oleh Arif Adiputro | Nov 7, 2024 | Buku, Kajian, Nasional
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dibentuk sebagai bentuk pemenuhan hak atas informasi sesuai Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hingga tahun 2023, UU KIP telah diterapkan selama 13 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, tujuan spesifik dan dampak-dampak dari penerapan keterbukaan informasi sebagaimana tertera dalam tujuan UU KIP belum tercapai dengan baik. Pasal 3 UU KIP menyebutkan bahwa UU ini bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik; mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Dari sejumlah tujuan di atas, tujuan spesifik yang dapat dicapai melalui UU KIP adalah meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Jika hal ini tercapai, maka diharapkan akan muncul sejumlah dampak sebagaimana tertera pada tujuan-tujuan dalam UU KIP, seperti partisipasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. Hasil monitoring dan evaluasi (Monev) Komisi Informasi yang memperlihatkan bahwa jumlah badan publik yang informatif masih sangat sedikit. Monev ini dilakukan dengan metode SAQ (self assessment questionnaire), pemantauan situs web, dan presentasi. Selebihnya bisa klik link berikut ini; Softfile White Policy Paper
oleh IPC | Apr 5, 2013 | Buku
Judul
: Apa Itu Kebebasan Memperoleh Informasi?
Penulis : Ignatius Haryanto
Penerbit : Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan didukung oleh UNESCO
Tebal : x + 74 halaman
Sebelum krisis moneter menimpa Indonesia di pertengahan 1997, hidup nungki wagar kelurahan Maccini Sombala, Ujung Pandang, tergolong berkecukupan. Sehari-hari dia mengelola ekspor udang lobster ke luar negeri. Namun ketika badai krisismenoter datang seluruh usahanya bagai terkena putting beliung Nungki jadi penduduk biasa, bukan konglomerat. Oleh karena itu, Nungki sekarang masuk dalam program Jaminan Pengaman Sosial (JPS). Setiap bulan Nungki berhak memperoleh jatah beras sebanyak 10 kilogram dengan harga Rp. 10.000, lebih murah dibanding harga pasar Rp. 17.500. Tapi, lama kelamaan jatah beras tersebut menyusut. Dari 10 kilogram dipotong oleh lurah Maccini Sombala sebanyak 2-3 liter. Waktu pembagian diulur-ulur. Dari setiap bulan menjadi tiga bulan dua kali pembagian.
Kasus pemotongan beras oleh lurah ini tidak terjadi jika keterbukaan informasi diberlakukan. Nungki yang dipotong jatah beras JPS-nya, bisa mengetahui kebijakan pemerintah secara jelas dalam hal ini. Informasi publik sepertii criteria yang berhak menerima, dan berapa jatah per keluarga yang dapat ia akses. Apabila pada kenyataannya terjadi penyusutan jatah, berkat informasi yang diterima Nungki bisa mempertanyakan bahkan menggugat aparat pemerintahan yang bertanggungjawab atas hal ini.
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh dan simulasi jika undang-undang keterbukaan informasi diberlakukan. Buku “Apa Itu Kebebasan Memperoleh Informasi?” memang ditulis sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Keterbukaan Informasi Publik disahkan. Contoh-contoh seperti di atas diharapkan mampu menggugah para pembaca tentang pentingnya keterbukaan informasi, yaitu “…kalangan pejabat pemerintah, kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kalangan Aktifis Swadaya Masyarakat, pendamping masyarakat akar rumput itu sendiri (kata pengantar).
Buku ini merupakan respon terhadap panjangnya pembahasan Rancangan UU Keterbukaan Memperoleh Informasi (KMI) di DPR. RUU tersebut sudah masuk di DPR semenjak tahun 2000. Namun, hingga buku ini diterbitkan pada 2005, pembahasan belum selesai. Terlebih 2005 merupakan tahun paska Pemilihan Umum 2004. Sehingga kehadiran buku ini sangat penting untuk mendorong kembali pembahasan RUU KMI kembali. Tampaknya, buku yang ditulis oleh Ignatius Haryanto tersebut cukup memberi pengaruh kepada anggota DPR dan Pemerintah. Walhasil, tahun 2008 RUU KMI disahkan dengan nama Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dengan usaha advokasi yang lain tentunya. [AH]