KPU Targetkan Pengesahan PKPU Keterbukaan Informasi Akhir Bulan Ini


Jakarta,- Pemilihan kepala daerah sedang hangat diperbincangkan orang di media massa dan gosip di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Para wakil rakyat sedang menggulirkan Rancangan Undang-Undang untuk mengembalikan pemilukada langsung ke pemilukada melalui DPRD menuia pro dan kontra.
Peneliti dari Indonesia Prliamentary Center (IPC) Erik Kurniawan berpendapat, dalam konteks Indonesia lebih cocok menggunakan sistem pemilihan umum kepala daerah atau Pemilukada langsung. “Yang pertama pemilu seperti sudah dipraktikan di Indonesia sejak 2005. Itu harus dipertahankan sebagai bentuk menjaga kedaulatan rakyat,” katanya kepada kebebasaninformasi, Kamis (11/9).
Kemudian, kata dia, harus dibaca pada UUD pasal 18 kepala daerah itu dipilih secara demokratis, tapi secara historis perubahan UUD di pasal 18 itu lebih dulu ketimbang pasal 6 a tentang Pilpres. “Nah, apa yang dikehendaki dalam pemilukada itu sama dengan pilpres, dalam artian pilihan langsung,” katanya.
Ia menambahkan, kita sepakat pemilihan lewat DPRD juga disebut demokratis, tapi kalau dibandingkan dengan pemilihan langsung, jelas lebih demokratis pemilihan langsung oleh rakyat karena daulat rakyat itu lebih diutamakan ketimbang daulat wakil-wakilnya di DPRD.
Ditanya kulitas pemimpin hasil pemilukada langsung dan melalui DPRD, Erik menjawab dengan contoh. “Produk-produk pemilukada langsung seperti Jokowi, itu kan jadi semacam jenjang kepemimpinan nasional, diuji dulu, dikehendaki nggak dia oleh rakyat untuk memimpin lokal. Nah setelah dia berhasil, dia naik ke tingkat nasional,” jelasnya.
Erik menambahkan, di pemilu tahun 2019, kalau pemilukada langsung bisa dipertahankan, produksi kepemimpinan lokal itu akan lebih dinamis dibanding pemilukada DPRD.
Karena, lanjut Erik, pemilukada lewat DPRD itu jelas menutup ruang-ruang bagi calon yang punya kapasitas, integritas, tapi tak punya kekuatan politik yang kuat, tidak punya duit yang banyak. “Tapi beda dengan pemilukada langsung, dia punya kesempatan untuk berkompetisi. Nah, kalau ini ditiadakan, 2019 estafet kepemimpinan bakalan putus,” terangnya.
Ia kembali memperkuat pernyataannya dengan contoh. Kata dia, wali kota Surabaya, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Banyuwangi, Bupati Bontaeng dan beberapa kepala daerah yang lain pada tahun 2019 sangat berpotensi untuk mengisi kepemimpinan nasional. “Bayangkan kalau seandainya ke depan, pemilukada langsung ditiadakan, habis sudah mereka.”
Berbeda dengan pemilu hasil DPRD, menurut Erik, pengalaman kita sebelum tahun 1999, tidak punya figur alternatif, “itu lagi, itu lagi,” katanya.
Ia menyebutkan, pemilukada lewat DPRD itu akan menutup ruang transparansi. “Kan kalau melalui pemilukada langsung kalau orang money politik, banyak alat dan regulasi untuk membuka ruang transparansi, dana kampanye harus ada laporananya, audit, kalau money politic sangat mudah diidentifikasi,” jelasnya.
Berbeda dengan kalau melalui DPRD 50 anggota untuk kabupaten kota, atau 100 orang untuk provinsi, ruang transparansi tertutup sama sekali. (AA)
Jakarta,-Kerja keras Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan keterbukaan informasi dengan mengunggah formulir C1 patut diapresiasi. Mempublikasi formulir C1 merupakan langkah transparansi hasil pemilu yang layak didukung, karena kecurangan hasil pemilu, termasuk pilpres, selalu berawal dari formulir C1 yang selama ini sulit diakses publik.
Namun demikian, menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, bukan berarti persoalan selesai. Potensi kecurangan tetap saja ada. Bahkan sejumlah kalangan mensinyalir adanya penggandaan formulir C1 sejak di TPS. Banyak kalangan memantau banyak formulir C1 yang tidak akurat.
Hal ini, kata Rumadi, bisa diketahui publik tentu karena KPU mempublikasikan formulir C1. Masyarakat perlu membantu KPU untuk menemukan kesalahan-kesalahan penulisan form C1 baik yang dilakukan dengan sengaja karena ingin curang maupun karena ketidaksengajaan. “KPU juga harus bertindak cepat untuk menangani persoalan-persoalan ini dengan cepat agar tidak menjadi persoalan besar di kemudian hari,” katanya kepada kebebasaninformasi.org Kamis (17/7).
Karena itu, sambung Rumadi, sebelum memasuki tahap akhir tanggal 22 Juli mendatang, berbagai kemungkinan kecurangan, termasuk penggandaan formulir C1 harus bisa dideteksi sejak awal.
“Segala bentuk perbedaan data harus bisa segera terklarifikasi agar tidak menjadi bom waktu tanggal 22 Juli mendatang. Masalah besar akan muncul karena masalah2 kecil tidak ditangani dengan baik dan tuntas,” tutupnya. (AA)
Jakarta,-Sebagaimana diketahui bersama, bahwa sejak selesainya pemungutan suara pilpres kemarin (9/7/14), sejumlah lembaga survey mengeluarkan rilis hasil quick count, sebagian besar dipublikasi melalui lembaga penyiaran televisi.
Sebagian lembaga survey memenangkan pasangan Jokowi-JK, sebagian yang lain memenangkan Prabowo-Hatta. Masing-masing kubu juga sudah menyampaikan pidato yang bisa ditafsirkan sebagai klaim kemenangan. Pendukung masing-masing kubu juga sempat turun ke jalan untuk merayakan kemenangan, dimana hal ini bisa mengarah pada konflik horizontal.
Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, Rumadi, hal ini terjadi karena informasi yang memenuhi ruang publik adalah informasi yang tidak semuanya akurat. “Ada informasi-informasi yang sengaja didistorsi untuk memenangkan cpres yang didukung lembaga survey tersebut,” katanya kepada kebebasaninformasi.org, Senin (14/7).
Menurut Rumadi, agar tidak terjadi distorsi informasi hasil pilpres 2014 lalu, Komisi Informasi Pusat meminta beberapa pihak untuk menyampaikan informasi dengan benar. Kepada Presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi badan publik negara berkewajiban untuk memberikan informasi publik ke masyarakat yang cepat, akurat dan tidak menyesatkan.
Menurut dia, Presiden juga perlu mengerahkan segala upaya agar ruang publik tidak dikotori dengan informasi-informasi yang justru bisa memicu ketegangan.
Dalam kaitan dengan proses penghitungan perolehan suara pilpres 2014, KI Pusat meminta KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memberi informasi yang akurat kepada masyarakat untuk memastikan proses rekapitulasi yang akan berakhir 22 Juli mendatang berjalan dengan transparan dan akutabel.
“Setiap tahapan penghitungan perolehan suara harus bisa dikontrol publik agar tidak menimbulkan syak wasangka di kemudian hari,” tegasnya.
Sementara kepada media massa sebagai salah satu pilar demokrasi dan penjaga akal sehat masyarakat, KI Pusat meminta agar tidak menjadi agen yang justru menyebarkan informasi yang menyesatkan hanya untuk membela dan memenangkan kandidat yang didukung.
“Komisi Informasi Pusat mendukung langkah-langkah untuk melakukan audit lembaga survey agar ke depan tidak adalagi lembaga survey yang justru mengotori ruang public dengan informasi yang menyesatkan,” pungkasnya. (AA)
Para penyandang disabilitas mengaku tidak mendapat sosialisasi yang cukup terkait proses pemilhan umum presiden yang akan digelar 9 Juli 2014. Penyuluhan terkait sistem, alat yang digunakan dan pendamping juga belum didapatkan.
“Sosialisasi dan informasi terakhir cara pemilihan presiden sangat kurang. Selama ini saya mendapat informasi melalui media-media audio,” kata Ismet Firmansyah salah seorang pengurus Ikatan Tunanetra di Yayasan Wiyata Guna Jalan Padjadjaran Kota Bandung, seperti dilansir antaranews.com (Jumat, 4 Juli 2014).
Ia mengaku belum mendapatkan informasi dari petugas di lapangan terkait sistem pemilihan bagi penyandang disabilitas, terutama bagi penyandang tunanetra.
“Saya belum tahu apakah pada Pilpres 2014 nanti kami didampingi atau diberi template braile, saya bolak balik ke Wiyata Guna juga belum mendapat informasi jelas,” kata Ismet.
Ismet juga menyatakan keprihatinannya kepada media yang belum memberikan informasi terkait tata cara pilpres bagi penyandang disabilitas. Baginya, media lah yang selama ini menjadi jembatan informasi bagi penyandang disabilitas.
Menurut Ismet, idealnya pemilih tunanetra bisa melakukan pencoblosan sendiri di TPS tanpa didampingi sehingga menjamin kebebasan dan kerahasiaan dalam memberikan hak pilihnya.
Ia mengaku sering risih memberikan hak pilihnya bila didampingi oleh pendamping yang disediakan di TPS, ia juga khawatir ada pendamping yang tidak independen.
“Selama ini saya memilih didampingi oleh istri, jika tidak boleh saya tidak akan memilih,” kata Ismet menambahkan.
Sumber: Antara
Jakarta,- Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Willi Sumarlin menilai, dari segi keterbukaan informasi Komisi Pemilihan Umum sudah terbuka menyampaikan informasi visi misi dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan menampilkannya di website KPU, kpu.go.id. Apalagi ditambah dengan debat kandidat yang disiarkan televisi.
Namun, menurut Willi, hal itu belum cukup untuk menjangkau seluruh masyarakata Indonesia, karena ada segmen-segmen lain yang membutuhkan pertemuan tatap muka dalam rangka melihat dan atau mendengar visi dan misi kandidat, misalnya di dearah-daerah terpencil, di komunitas adat dan lain lain.
Sementara soal sosialisasi tempat pemungutan suara (TPS) yang akan mungkin akan berbeda dari tempat sebelumnya, karena adanya penggabungan beberapa TPS, Willi mengatakan, sebenarnya mengenai TPS ini bisa dilihat di Data Pemilih Tetap (DPT), dan seharusnyanya bisa dilihat di Penyelenggara Pemungutan Suara (PPS) atau kelurahan-kelurahan.
“Karena kesibukan warga, apalagi di Jakarta, saya rasa jarang masyarakat atau warga yang mengecek namanya di DPT, selain itu masyarakat juga bisa mengecek namanya di DPT di website KPU,” katanya melalui surat elektronik, Rabu (19/6)
Ia menilai, sosialisasi mengenai perubahan jumlah TPS masih kurang, karena hal itu baru akan disampaikan oleh petugas pada saat mereka menyerahkan surat undangan. Bisa jadi pemilih yang tidak tahu TPS berubah akan datang ke lokasi TPS yang lama, kemudian baru dari situ dikasih tahu lokasi TPS yang baru.
“Tentu saya ini akan membuat waktu lebih lama, saya kira perlu dilakukan sosialisasi secepatnya, agar pemilih tahu lokasi TPS. “
Ia menganjurkan peran aktif dari masyarakat itu sendiri untuk mengecek namanya di DPT, apakah mereka sudah terdaftar dan di TPS berapa mereka akan menggunakan hak pilih. (AA)