Penjelasan kampus di Kaltim dugaan pungli Rp 3,9 juta per mahasiswa

Penjelasan kampus di Kaltim dugaan pungli Rp 3,9 juta per mahasiswa

penjelasan-kampus-di-kaltim-dugaan-pungli-rp-39-juta-per-mahasiswa-1

Samarinda – Dugaan pungutan liar (pungli) pada program studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda mencuat dan menjadi perbincangan masyarakat. Meski membantah dugaan pungli, pihak fakultas mengakui belum menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan uang yang dihimpun mahasiswanya, selama tiga tahun terakhir ini.

Pihak fakultas memastikan akan memberikan data dan informasi penggunaan uang mahasiswanya, bagi pihak yang meminta, mengacu pada putusan sidang sengketa informasi publik, Senin (24/10). Namun data laporan pertanggungjawaban itu belum ada untuk saat ini.

“Mungkin nanti kita akan berikan secara global ya, karena itu kan ada rincian, misal jalan ke suatu lokasi di sana, secara global kita akan berikan kalau diputuskan (Komisi Informasi Kalimantan Timur (KI Kaltim), itu kita akan ikuti,” kata Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda Syarifah Hudayah di kantornya, Selasa (25/10).

Lebih lanjut, Syarifah menyebutkan, pihak fakultas baru akan membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan uang mahasiswa yang disusun oleh bagian keuangan program studi MM Unmul. Sebagai lembaga yang termasuk Badan Layanan Umum (BLU), Unmul mesti menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan tidak hanya bersumber APBN dan APBD, melainkan juga dana himpunan masyarakat,

“Mungkin kita akan buat laporannya. Itu kan buat bukan dana APBD dan APBN, jadi kami buatkan ini, dan itu ada. Ini kan karena ada yang menanyakan. Sebenarnya sudah ada catatannya, kami semua ada catatannya, tidak mungkin kami tidak ada rincian catatannya. Ini masyarakat mau tahu, jadi tidak ada masalah,” terang Syarifah.

Meski demikian, Syarifah mengaku tidak tahu persis, ada tidaknya laporan pertanggungjawaban penggunaan uang mahasiswanya. Padahal, penghimpunan dana mahasiswa itu sudah berlangsung enam angkatan selama tiga tahun, dan terkumpul sekitar Rp 2,5 miliar.

“Nanti ke bendahara ya. Khawatir salah, Mungkin ke bendahara saja tanyanya,” sebutnya.

Syarifah juga tidak membantah, dana mahasiswa program MM, disetorkan ke rekening pribadi staf keuangan program studi MM. Padahal, semestinya, dana itu diserahkan ke rekening fakultas.

“Iya, soal itu (disetor ke rekening pribadi staf keuangan), kita membantu pengelolaan itu ke UGM. Kalau mahasiswa sendiri kesulitan. Jadi, kita hanya bantu mengurus semua yang ada di sana (Yogyakarta). Tidak ada niatan apapun dari kami. Kontrak dengan UGM ada kok, sejak 2013,” ungkapnya.

Lantas, sebenarnya program apa sih yang ada di prodi MM, sehingga mahasiswa mesti nyetor rata-rata Rp 3,9 juta ke rekening staf keuangan, untuk mengikuti program kuliah pendek di UGM?

“Program ini untuk menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan budaya. Program ini, kita bicarakan ke mahasiswa, setelah kita tahu besaran dana dari sana (UGM). Mahasiswa tidak masalah, karena menjadi nilai tambah program S2 ini,” jelasnya.

Bahkan di tengah sorotan, pada angkatan VII ini, prodi MM tetap melanjutkan program kuliah ke UGM, namun biayanya diturunkan dari Rp 3,9 juta menjadi Rp 2,9 juta. Nominal baru itu, belum bisa dipastikan oleh Syarifah.

“Ketua prodi MM belum lapor. Jadi mungkin dengan nominal itu (Rp 2,9 juta), ada perubahan kegiatan, kontraknya yang berubah. Yang jelas, setelah ada rincian dana dari UGM, kita sampaikan ke mahasiswa. Kuliah pendek ini untuk menambah wawasan,” demikian Syarifah.

Diketahui, mahasiswa pascasarjana MM Fakultas Ekonomi Unmul Samarinda mempertanyakan penggunaan uang mereka yang dipungut Rp 3,9 juta per mahasiswa, untuk kuliah pendek di UGM Yogyakarta. Mereka heran, dana mereka disetor ke rekening pribadi staf keuangan prodi MM. Keingintahuan mereka, malah mendapat tekanan dari prodi MM, hingga akhirnya mereka melapor ke aktivis kelompok kerja (Pokja) 30 Kalimantan Timur.

Pokja menyeretnya ke KI Kaltim, sebagai aduan sengketa publik. Pada sidang KI Kaltim, yang dipimpin majelis hakim Sencihan, meski memutuskan untuk menolak gugatan sengketa publik Pokja 30 Kalimantan Timur, namun dalam sidang putusan Senin (24/10), KI Kaltim memerintahkan Fakultas Ekonomi Unmul membuka data dan informasi publik ke masyarakat. Sebab, dana himpunan masyarakat, laporan pertanggungjawaban wajib dibuat selain penggunaan APBN dan APBD, mengacu Undang-undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). []

Sumber: merdeka.com

KI Kaltim Minta Perguruan Tinggi Jadi Barometer Keterbukaan Informasi Publik

KI Kaltim Minta Perguruan Tinggi Jadi Barometer Keterbukaan Informasi Publik

ketua-ki-kaltim-senci-han

Ketua KI Kaltim, Senci Han

Samarinda – Universitas Mulawarman (Unmul), Samairnda, Kalimantan Timur (Kaltim), diduga melakukan pungutan liar (pungli) kepada mahasiswa pascasarjana Magister Manajemen (MM) sebesar Rp 3,9 juta. Pungutan ini sudah terjadi selama enam tahun. Pihak kampus terindikasi tidak dapat mempertanggungjawabkan himpunan dana yang dikalkulasi mencapai Rp2,5 miliar tersebut.

Data itu terungkap dalam sidang putusan Komisi Informasi (KI) Kaltim, yang digelar Selasa, (25/10/2016), dengan nomor putusan 0016/REG-PSI/X/2016. Sidang ini menghadirkan Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kaltim sebagai pemohon dan Fakultas Ekonomi Program Studi MM Universitas Mulawarman sebagai termohon.

Dalam putusannya, KI Kaltim memerintahkan Unmul, sebagai badan publik, untuk menjalankan kewajibannya membuka data dan informasi pengelolaan keuangan yang bersumber dari himpunan masyarakat. Sebab, transparansi anggaran tidak hanya dana yang bersumber dari dana APBN dan APBD untuk kampus.

“Termohon berkewajiban untuk menjalankan kewajibannya, sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),” kata Ketua KI Kaltim, yang juga Ketua Majelis Hakim Senci Han, didampingi dua anggota majelis hakim, Mochammad Imron Rosyadi dan Muhammad Khaidir, di ruang sidang kantor KI Kaltim, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda, Senin, (24/10/2016).

Sidang putusan ini merupakan sidang kedua, setelah sidang pertama digelar Jumat (21/10/2016).
“Kita harapkan perguruan tinggi dapat menjadi barometer untuk keterbukaan informasi publik,” tandasnya. ()

Sumber: kliksamarinda.com

Universitas Indonesia Gelar Workshop Keterbukaan Informasi Publik

Universitas Indonesia Gelar Workshop Keterbukaan Informasi Publik

Depok, Kebebasaninformasi.org – Universitas Indonesia, melalui Kantor Hubungan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Publik menyelenggarakan workshop Keterbukaan Infomasi Publik di Aula Terapung UI, Depok, Kamis (26/3/2015). Workshop ini diikuti staf Humas dari berbagai unit dan fakultas di UI dengan pembicara Komisioner Komisi Informasi Pusat, Henny S. Widyaningsih.

Henny menyatakan bahwa meskipun UI menduduki posisi pertama dalam pemeringkatan keterbukaan informasi publik kategori PTN 2014, UI tetap harus berbenah dan berbuat lebih baik dalam memenuhi kewajibannya terkait keterbukaan informasi untuk masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilakukan di antaranya dengan membuat situs web UI lebih mudah diakses dan lengkap dalam hal isi. Dengan demikian, apa yang diamanatkan oleh UU KIP, yakni layanan publik yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, dapat terwujud.

Selain itu, keterbukaan informasi dapat dimulai dari laporan keuangan yang transparan dan terus diperbarui sehingga dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat yang membutuhkan data tersebut. Keterbukaan informasi publik menjadi penting untuk menarik masyarakat agar berpartisipasi dalam membangun Indonesia. Ketika tidak terdapat transparansi dan keterbukaan informasi publik, partisipasi publik yang diharapkan tidak akan terjadi. (ui.ac.id)

Korupsi Dana BOS, Kepsek SMPN 1 Lausa Nisel Divonis 2,5 Tahun Penjara

Korupsi Dana BOS, Kepsek SMPN 1 Lausa Nisel Divonis 2,5 Tahun Penjara

Siwaris Budi Kepala Sekolah (Kepsek) SMP Negeri 1 Lausa Kabupaten Nias Selatan (Nisel), divonis bersalah selama 2 tahun 6 bulan (2,5 tahun)penjara, karena melakukan tindak pidana korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sekolahnya senilai Rp301.371.500, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (11/12/2013).

Selain kurungan badan, Majelis Hakim yang diketuai Lebanus Sinurat juga memerintahkan terdakwa membayar denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. Tambahan biaya lain pun juga dikenakan kepada Siwaris Budi dengan membayar uang pengganti Rp138.877.500.

“Dengan ketentuan  apabila 1 bulan setelah hasil putusan tetap pengadilan, tidak sanggup membayar maka harta benda disita untuk menutupi kerugian negara. Dan jika harta benda tidak mencukupi maka di penjara selama 3 bulan,”ucap hakim Lebanus yang beranggotakan majelis hakim Agus Setiawan dan Achmad Drajat.

Dalam amar putusannya, menilai terdakwa Siwaris Budi bersalah melanggar pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Disebutkan Majelis Hakim, terdakwa sebagai Kepala Sekolah yang diangkat Bupati, dana bantuan tersebut telah melakukan penyimpangan dana bos. Dimana terdakwa dengan wakil kepala sekolah, staff dan guru di SMPN 1 Lausa tidak ada kesepakatan bersama, yang saat itu menjadi peserta rapat.

Kemudian, dalam mengelola dana bos terdakwa tidak transparan kepala Wakil kepala sekolah serta staff dan guru-guru lainnya. Adanya manipulasi data dalam setiap pembelian barang yang tidak melibatkan Kepala Tata Usaha sebagai ketua panitia barang.

Pembelaan terdakwa yang mengatakan tidak ada melakukan pembelanjaan fiktif serta mark-up merupakan akal-akalannya karena  tidak melibatkan wakil kepala sekolah, staff serta guru-guru sekolah tersebut serta keterangan terdakwa yang tidak jujur.

Menurut majelis hakim dana Bos tersebut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut BPKP tidak sesuai. Dalam amar putusan tersebut majelis menilai perbuatan terdakwa yang merugikan negara sebesar Rp138.877.500.

Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Edi Tarigan yang menuntut terdakwa Siwaris Budi selama 6,5 tahun penjara denda Rp50 juta subsider 3 bulan. Serta meminta majelis hakim memberikan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti senilai Rp301.371.500 subsider 3 tahun 3 bulan penjara.

Jaksa pun saat itu, menyatakan terdakwa Siwaris Budi bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Mendengar putusan majelis hakim, terdakwa yang memakai kemeja berwarna kuning tersebut, mengaku menerima putusan tersebut. Sedangkan JPU mengatakan pikir-pikir.

Diketahui, dalam dakwaan jaksa sebelumnya bahwa  terdakwa selaku pengelola dana BOS yang diterima SMPN 1 Lausa menggunakan sebagian dana BOS tahun 2010-2012 tidak sesuai peruntukkannya. Dana BOS SMPN 1 Lausa yang diselewengkan terdakwa mulai Triwulan IV tahun 2010 sampai Triwulan I tahun 2012 senilai Rp301.371.500 dari total dana BOS yang diterima dalam periode itu senilai Rp800 juta lebih. Sebagian dana BOS yang tidak disalurkan terdakwa itu diduga digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya.

Sumber : starberita.com

ICW: Korupsi Pendidikan Capai Rp619,0 M di 2003-2013

ICW: Korupsi Pendidikan Capai Rp619,0 M di 2003-2013

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat selama kurun waktu 2003-2013, sebanyak 296 kasus korupsi pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp619,0 miliar telah ditangani oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Divisi Pengawasan dan Monitoring ICW Febri Hendri mengatakan, dari jumlah tersebut, secara data tidak ada tren peningkatan tindak pidana korupsi setiap tahunnya di dunia pendidikan.

Namun, meskipun data menunjukkan tidak pernah ada tren kenaikan jumlah tindak pidana korupsi setiap tahunnya di dunia pendidikan. Namun tren indikasi kerugian yang diderita oleh negara justru mengalami kenaikan yang luar biasa.

Di 2003 dan 2012 misalnya, jumlah kasus yang terjadi setiap tahunnya hanya delapan kasus. Namun ICW mencatat kerugian yang dialami negara mencapai Rp19,0 miliar di 2003 dan Rp99,2 miliar di 2013.

“Kesimpulan, meskipun jumlah kasus korupsi pendidikan tidak mengalami peningkatan, namun kerugian yang diderita oleh negara selalu meningkat signifikan setiap tahunnya,” papar Febri saat konferensi pers di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/12/2013).

Dari penelusuran ICW, Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan sektor primadona yang paling sering dikorupsi dengan jumlah kasus sebanyak 84 kasus. Dari jumlah tersebut, ungkap Febri, kerugian yang dialami negara terbesar Rp265,1 miliar.

Selain dana DAK yang sering menjadi langganan korupsi di kalangan Pendidikan, dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) menempati posisi terbanyak kedua dengan jumlah kasus sebanyak 48 kasus. Berbeda dengan DAK, kerugian negara dari tindak pidana korupsi dana BOS terlalu kecil, sehingga tidak masuk 10 besar. Termasuk juga kasus korupsi sarana prasarana (Sarpars) di Perguruan Tinggi hanya terjadi sembilan kasus tindak pidana korupsi, namun kerugian negara mencapai Rp57,7 miliar.

“Penggelapan adalah modus korupsi yang paling sering digunakan dengan jumlah 106 kasus dan indikasi kerugian negara sebesar Rp248,5 miliar. Penggelapan sering digunakan untuk menyelewengkan dana BOS dan DAK. Hampir 50 persen dari kasus dengan modus penggelapan terjadi pada dana BOS dan DAK. Dua dana ini merupakan dana yang mudah diselewengkan dengan cara penggelapan,” jelasnya.

Febri menambahkan dalam data yang dihimpun ICW, Dinas Pendidikan merupakan tempat terjadinya korupsi paling banyak terjadi dengan jumlah kasus sebanyak 151 kasus. Dari jumlah tersebut indikasi kerugian negara paling besar Rp356,5 miliar.

Yang menarik, dari tindak pidana korupsi di dunia pendidikan, baik di Kemendikbud maupun di perguruan Tinggi, ungkap Febri, setiap tahunnya jumlah kasus tidak pernah mengalami peningkatan, Namun, kerugian yang diderita negara luar biasa cukup besar.

Seperti halnya Provinsi Jabar meskipun provinsi paling banyak terjadi korupsi pendidikan yaitu 33 kasus namun kerugian negara tidak terbanyak, yaitu Rp22,7 miliar. Berbeda dengan provinsi yang dipimpin oleh Ratu Atut, Banten. Pada 2008, kasus korupsi di Provinsi Banten sebanyak 72 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp143,7 miliar. Kerugian negara terbanyak ada pada 2012 dengan jumlah Rp207,5 miliar.

“Untuk 2013, meskipun baru 16 kasus yang ditangani, namun kerugian negaranya sudah mencapai Rp121,2 miliar,” pungkasnya. (ade)

Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2013/12/08/373/909104/icw-korupsi-pendidikan-capai-rp619-0-m-di-2003-2013

Uji Akses YSKK Di 222 Sekolah: Dana BOS Sulit Diakses Warga

Uji Akses YSKK Di 222 Sekolah: Dana BOS Sulit Diakses Warga

Sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sangat tertutup pada masyarakat yang ingin mendapatkan informasi pengelolaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Informasi yang disediakan sekolah maupun Dinas hanya bersifat umum atau rekapitulasi, sehingga sulit dinilai akuntabilitasnya. Demikian temuan Yayasan Satu Karsa Karya Solo dan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS).

Temuan tersebut berdasarkan uji akses informasi publik di 21 Kabupaten/Kota pada 8 Provinsi (Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, D.I.Aceh, Banten).Uji akses yang berlangsung pada Oktober hingga November 2013 ini ditujukan pada 222 sekolah (110 SD dan 112 SLTP) dengan melibatkan 21 organisasi masyarakat sipil sebagai pendamping warga dalam memohon informasi.

Tujuan uji akses ini untuk mengetahui sejauhmana tingkat respon sekolah terhadap permintaan informasi (dokumen) pengelolaan dana BOS, yaitu: (1) Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) tahun 2012 dan rincian rencana penggunaannya. Formulir BOS-K1 dan K2. (2) Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Dana BOS dan bukti pendukungnya (kwitansi) tahun 2012. Formulir BOS K3, K4, K5, K6 dan K7.

Kegiatan tersebut bagian dari agenda Pengawasan Program BOS Berbasis Masyarakat yang diinisiasi oleh YSKK bersama OMS, sebagai inisiatif awal untuk mendorong pengawasan pada program dan anggaran pendidikan lainnya oleh masyarakat. Sebagai informasi,  YSKK merupakan lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk pada 12 Mei 2001 di Surakarta – Jawa Tengah, oleh sekelompok pegiat pemberdayaan masyarakat.