Catatan Suram Kinerja KI Periode 2013-2017

Catatan Suram Kinerja KI Periode 2013-2017

Pernyataan Sikap

Koalisi Masyarakat Sipil

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI)

Jakarta, Kamis 9 Juni 2016

 

“Evaluasi Kinerja dan Kelembagaan Komisi Informasi Pusat”

 

[Jakarta] Komisi Informasi merupakan lembaga kuasi Negara (state auxiliary body) yang dibentuk berdasarkan mandat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), dan bertugas menjalankan UU KIP, yaitu: a) menyelesaikan sengketa informasi; b) menetapkan kebijakan atau peraturan teknis pelaksanaan UU KIP, baik standar layanan informasi publik maupun tata cara penyelesaian sengketa informasi publik.

 

Kini, Komisi informasi Pusat periode 2013-2017 telah memasuki akhir masa jabatan. Koalisi FOINI mencatat terdapat 4 (empat) catatan buruk dalam kinerja dan kelembagaan Komisi Informasi Pusat 2013-2017, yaitu:

 

  1. a.      Lemahnya Komitmen Penuh Waktu Anggota KI Pusat

Pasal 30 ayat (1) huruf f UU KIP menyebutkan bahwa “anggota Komisi Informasi Pusat bersedia melepaskan keanggotaan dan jabatannya dalam Badan Publik apabila diangkat menjadi anggota Komisi Informasi”  dan huruf g yang menyebutkan “bersedia bekerja penuh waktu”. Namun demikian, beberapa anggota Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) telah melanggar  komitmen dan mandat Pasal 30 ayat (1) huruf f dan g UU KIP. Dari data yang diperoleh FOINI, pelanggaran yang dilakukan bebeberapa anggota tersebut antara lain:

  1. mengikuti Kursus LEMHANAS selama 6 bulan dan tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai anggota KI Pusat;
  2. mendaftar dan mengikuti seleksi calon anggota KOMPOLNAS meski kemudian tidak lolos tahapan 24 besar seleksi (Lihat lampiran 1);
  3. tetap menjadi dosen;
  4. menjadi pengurus salah satu organisasi massa.

 

Pelanggaran atas kewajiban Pasal 30 ayat (1) huruf f dan g UU KIP tersebut menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi anggota KI Pusat menjadi tidak maksimal.

 

  1. b.      Konflik Internal KI Pusat

Buruknya komunikasi dan relasi internal Komisi Informasi, baik antar anggota KI Pusat maupun anggota KI Pusat dengan sekretariat pendukung menyebabkan terjadinya konflik internal di tubuh KI Pusat. Imbas dari konflik ini, misalnya: tidak terselenggaranya rapat pleno[1] anggota KI Pusat selama 1 tahun untuk menyepakati dan mengesahkan agenda kerja, agenda strategis KI Pusat dalam mengakselerasi keterbukaan informasi publik di Indonesia. Selain itu, ketiadaan rapat pleno menyebabkan terkendalanya pelaksanaan mandat serta usulan kebijakan yang dirumuskan dalam RAKORNAS KI.

 

FOINI mencatat, akibat adanya konflik internal di tubuh KI Pusat ini juga menyebabkan:

  1. terbitnya surat menyurat kepada Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika RI mengenai keputusan pleno yang meminta rotasi Sekretaris Komisi Informasi Pusat, yang kemudian secara sepihak dibatalkan/ditangguhkan oleh Ketua KI Pusat mengirimkan surat pembatalan pergantian sekretaris Komisi Informasi Pusat;
  2. ketidakkompakkan anggota KI Pusat dalam berbagai kegiatan dan forum-forum strategis KI Pusat dalam mengakselerasi keterbukaan informasi. Misalnya: Hari Hak Untuk Tahu, Peringatan Ulang Tahun UU KIP), ketidaktahuan agenda masing-masing anggota, bersikap kasar pada pejabat dan staf sekretariat, tidak bertegur sapa dengan pejabat sekretariat KI.

 

Puncak dari konflik internal di tubuh KI Pusat adalah, pergantian secara paksa Ketua KI Pusat oleh 4 anggota KI Pusat yang menyelenggarakan rapat pleno tanpa dihadiri oleh 3 anggota KI Pusat lainnya.

 

Konflik internal KI Pusat juga berdampak pada hubungan KI Pusat dan KI provinsi. Terjadi krisis kepercayaan KI provinsi pada sebagian anggota KI Pusat. Demikian pula dengan komunikasi antara KI Provinsi dan KI Pusat yang juga turut memburuk (Lihat lampiran 3).

 

Demikian pula dalam proses penyelesaian sengketa, beberapa anggota KI Pusat yang bertugas sebagai majelis sering menggunakan kalimat kasar dan menyudutkan pemohon informasi dalam proses penyelesaian sengketa informasi. Hal ini telah beberapa kali dipublikasikan di beberapa media (Lihat Lampiran 4).

 

  1. c.      Capaian Rencana Strategis Tidak Maksimal

Konflik internal KI Pusat juga berdampak pada buruknya pencapaian Renstra KI Pusat 2013-2017 yang telah dirumuskan di awal periode, diantaranya (Lihat Lampiran 5):

  1. Tersusunnya KI Prudensi.
  2. Sampai dengan tahun 2015 tersusunnya berbagai regulasi hukum acara PSI (seperti Pemeriksaan Setempat, Persidangan Jarak Jauh, Pelimpahan Perkara, dan lainnya).
  3. Terbentuknya kepaniteraan PSI yang berdiri sendiri dan tidak dirangkap oleh sekretariat pada tahun 2016.
  4. Komisi Informasi berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan Negara, minimal tiga kebijakan setiap tahun, mulai tahun 2014.
  5. Semua provinsi telah memiliki Komisi Informasi pada akhir tahun 2015.

 

Kelima mandat Renstra KI Pusat 2013-2017, hingga press rilis ini dikeluarkan, belum tercapai. Tidak tercapainya kelima mandat Renstra tersebut tidak hanya berdampak pada penilaian buruk kinerja KI Pusat Periode 2013-2017, tetapi juga pada buruknya pelaksanaan keterbukaan informasi di Indonesia.

 

  1. d.      Penyelesaian Sengketa Informasi Lambat

Hingga Desember 2015, permohonan penyelesaian sengketa informasi publik sebanyak 94 kasus. Sementara sisa permohonan dari tahun 2014 belum seluruhnya diselesaikan (Lihat tabel). Sedangkan pada dokumen Rencana Strategis KI Pusat, Juni 2017 ditargetkan sengketa 0 (nol).

 

 

 

 

 

Rekapitulasi Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi di KI Pusat

Tahun

Jumlah Permohonan PSI

Diselesaikan

2014

1354 kasus

123 kasus

2015

71

94 kasus.

2016

Sumber: Laporan Sekretariat KI Pusat 2015

 

Evaluasi Kinerja dan Kelembagaan KI Pusat ini dilakukan Koalisi  Masyarakat Sipil dalam rangka meminta KI Pusat berkonsentrasi pada tugas dan fungsi Komisi Informasi Pusat.

 

Di sisi lain, konflik internal di tubuh KI Pusat juga berpotensi mempermalukan Indonesia, karena pada tahun 2017 akan menjadi tuan rumah penyelenggaran International Conference of Information Commissioners (ICIC) yang ke sepuluh.

 

Berdasarkan kondisi di atas, FOINI menuntut kepada:

  1. Komisi Informasi Pusat untuk:
    1. Fokus pada tugas dan fungsi hingga masa jabatan berakhir pada Juni 2017.
    2. b.      Memprioritaskan Penyelesaian Sengketa Informasi yang telah menumpuk sejak 2014.
    3. Mempertanggungjawabkan Rencana Strategis Komisi Informasi Pusat 2013-2017.
    4. Membentuk Dewan Etik/Kehormatan dalam waktu maksimal 2 bulan untuk memproses laporan dugaan pelanggaran etik anggota KI Pusat dan tidak menghalang-halangi penyelesaian dugaan pelanggaran etik sesuai ketentuan PERKI No. 2 Tahun 2013 tentang Kode Etik Komisi Informasi.
    5. Mempersiapkan penyelenggaran International Conference of Information Commissioners (ICIC) yang ke sepuluh.
    6. Komisi I DPR RI untuk :
      1. Memanggil dan meminta keterangan pada 7 (tujuh) anggota Komisi Informasi Pusat atas kondisi internal yang tengah berlangsung.
      2. Memperbaiki mekanisme fit and proper test yang akan berlangsung tahun 2017 sehingga tidak menghasilkan anggota KI bermasalah.
      3. Memastikan Komisi Informasi Pusat segera membentuk Dewan Etik/Kehormatan dalam waktu 2 bulan sesuai ketentuan PERKI No. 2 Tahun 2013 tentang Kode Etik Komisi Informasi.
      4. Memastikan persiapan penyelenggaran International Conference of Information Commissioners (ICIC) yang ke sepuluh.

 

Tertanda Anggota FOINI:

IPC, PATTIRO, ICW, Media-Link, ICEL, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, IBC, Perkumpulan Inisiaitif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, YAPPIKA, Artikel 33, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, KOAK Lampung, PUSAKO Univ. Andalas, PATTIRO Semarang, KRKP Blitar, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, GEMAWAN, Jari Kalimantan Tengah, LPI PBJ Banjar Baru, KOPEL Makassar, Tifa Damai, SKPKC Papua, Serikat Buruh Migran Indonesia, KH2 Institute, PIAR NTT, PATTIRO Serang, MaTa Aceh.

 

Kontak:

  1. Hendrik Rosdinar: 0811 1463 983
  2. Agus Sunaryanto: 0812 1205 6660
  3. Dessy Eko Prayitno: 0815 9086 006
  4. Rochmad Munawir: 0812 2642 586
  5. Desiana Samosir: 0813 6928 1962

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 1

Mengikuti Seleksi KOMPOLNAS:

 

Sumber: http://makassar.tribunnews.com/2016/03/17/daftar-nama-50-orang-lolos-seleksi-calon-anggota-kompolnas

Mengikuti Kursus LEMHANAS :

 

 

Lampiran 2

Belum meninggalkan keanggotaan dan kepengurusan di Badan Publik :

Susunan Lengkap PP Lakpesdam NU 2015-2020

Penasehat:
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc
KH. Masdar Farid Masudi
KH. Taufiqurrahman Yasin, Lc
Dr. Hj. Sri Mulyati
H. Imam Pituduh, SH. MH

Ketua : Dr. H. Rumadi
Wakil Ketua : M. Hanif Dhakiri
Wakil Ketua : Prof. Ali Ramdhani Cecep Syarifuddin
Wakil Ketua : Andi Budi Sulistiyanto, SH, M.kom
Wakil Ketua : Ahmad Suaedy
Wakil Ketua : Indam Suryanto
Wakil Ketua : Daniel Zuhron, M.Si
Wakil Ketua : Dr. Dadi Darmadi
Wakil Ketua : Abdul Quddus Salam, S.Hum, MIP
Wakil Ketua : Ahmad Baso
Wakil Ketua : Dr. Velix Wanggai
Wakil Ketua : Dr. Khamami Zada
Wakil Ketua : Dr. Syafie Siregar
Wakil Ketua : Dr. Zainul Arifin Noor, SE, MM
Wakil Ketua : Dr. Nur Munir
Wakil Ketua : Eman Hermawan
Wakil Ketua : Ala’i Najib, MA
Sekretaris : Dr. Marzuki Wahid
Wakil Sekretaris : A. Musthofa Haroen
Wakil Sekretaris : Umarudin Masdar
Wakil Sekretaris : Moh. Jamaludin,S.Pd.I
Wakil Sekretaris : Ahmad Maulani
Wakil Sekretaris : Irwan Masduqi, Lc
Wakil Sekretaris : Idris Mas’ud, Lc, S.Th.I.
Wakil Sekretaris : Nuruzzaman Amin
Wakil Sekretaris : H. Moh. Hadipurnomo
Wakil Sekretaris : Dr. Subhan Nasution
Wakil Sekretaris : Syaikhul Islam M.Sos
Wakil Sekretaris : Husni Mubarok Amir, M.Si
Wakil Sekretaris : Moch. Aly Taufiq, M.Si
Wakil Sekretaris : Abdul Basith, M.Pd, M.Si
Bendahara : Yanuar Prihatin
Wakil Bendahara : Andi Rahman
Wakil Bendahara : Iftah Ahmad Siddiq
Wakil Bendahara : Upar Siregar

 

Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/62265/susunan-lengkap-pp-lakpesdam-nu-2015-2020

 

 

Sumber: http://commdept.fisip.ui.ac.id/dosen/#

 

 

Lampiran 3

 

Komunikasi dan Koordinasi Yang Buruk :

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Kiriman Ibu Diah Aryani, Jumat 3 Juni 2016.

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 4

 

Pelanggaran Etik Anggota KI Pusat:

 

 

 

Sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/11/29/nykrxc346-hakim-kip-diadukan-ke-presiden-komisi-i-biar-kode-etik-yang-proses

 

 

 

 

Lampiran 5

 

Rencana Strategis KI Pusat Tahun 2014-2017:

 



[1] Rapat Pleno merupakan mekanisme pengambilan keputusan anggota Komisi Informasi untuk menetapkan berbagai agenda kerja dan agenda strategis Komisi Informasi.

Pengelolaan Data Pemerintah Perlu Dibenahi

Pengelolaan Data Pemerintah Perlu Dibenahi

Pernyataan Sikap

Koalisi Freedom of Information Network Indonesia

Perkuat Infrastruktur Transparansi untuk

Benahi Pengelolaan Data Pemerintah

Presiden Joko Widodo menyampaikan kekecewaannya terhadap data yang tidak sinkron antar satu kementerian beberapa waktu lalu. Ia menyebut Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berbeda dalam data kemiskinan, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Pedagangan (Kemendag) berbeda dalam data pangan.

Data yang valid diperlukan oleh pemerintah sebagai dasar perumusan kebijakan yang tepat. Perbedaan data antar kementerian berpotensi menimbulkan data yang tidak valid. Padahal data yang valid menentukan keputusan yang akan diambil agar tepat dan berkeadilan. Sementara menggunakan data yang tidak valid berpotensi menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna.

Sinkronisasi data antar kementerian bukan masalah baru di negeri ini. Ada ego sektoral di kementerian. Setiap kemeterian melakukan survey untuk mendukung kepentingannya. Misalnya, dalam data pangan KEMENTAN mencatat surplus pangan untuk menunjukkan kesuksesan kinerja sektor pertanian, sementara KEMENDAG mencatat minus untuk mendukung kebijakan impor beras.

Terhadap situasi tersebut, Jokowi menginginkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sumber data utama. “Hentikan semua survey yang selama ini dilakukan,” katanya.

Kesatuan data pemerintah bukan hal yang mudah dilakukan dalam waktu singkat. Tingginya variasi jenis data, tidak memungkinkan semua data dioleh oleh satu lembaga saja. BPS mungkin bisa mengumpulkan survey ekonomi dan kependudukan tapi, data cuaca dan kebakaran hutan, hanya bisa diperoleh dengan kewenangan dan peralatan yang dimiliki oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI)  memandang bahwa kesatuan data bisa dilakukan jika kualitas data dari masing-masing lembaga negara memadai. Hal itu hanya bisa didapat jika pemerintah mau membenahi infrastruktur pengelolaan data dan pelayanan informasi publik pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kedua undang-undang terebut merupakan jangkar utama untuk mendukung kesatuan data.

UU KIP disahkan pada 30 April 2008, dan efektif diberlakukan 30 April 2010. Kini UU KIP telah genap 6 tahun diberlakukan, namun persoalan pelayanan informasi yang memadai masih belum terwujud di seluruh badan publik. Salah satunya persoalan infrastruktur informasi.

FOINI menilai saat ini ada dua agenda utama yang perlu disiapkan pemerintah:

1. Memperbaiki infrastruktur transparansi dan kearsipan

UU KIP memandatkan dibentuknya infrastruktur keterbukaan informasi publik yakni:

  1. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi;
  2. SOP Pelayanan Informasi;
  3. Daftar Informasi Publik; dan
  4. Komisi Informasi,

Namun hingga April 2016, masih terdapat provinsi yang belum membentuk PPID, dan Komisi Informasi (Lihat tabel). Demikian pula dengan penyusunan Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi. Proses penyusunan DIP merupakan fase penentuan, informasi mana saja yang dikecualikan dan informasi mana yang dapat diberikan pada publik. Masih banyak badan publik yang sekedar menggugurkan kewajiban UU KIP dengan membentuk PPID namun tidak melengkapi Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi.

DIP menempati posisi kunci dalam kerangka penguatan pengelolaan informasi dan data di badan publik pemerintah. Dengan adanya DIP, seluruh bagian pada satu badan publik memiliki panduan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengolah informasi dan data dalam berbagai format. DIP juga dapat menjadi panduan untuk sinkronisasi informasi dan data antara satu badan publik dengan badan publik lainnya.

Di sisi lain, persoalan kearsipan juga masih menjadi kendala. Budaya mendokumentasikan arsip dalam bentuk digital belum menjadi budaya. Sehingga sangat bergantung pada dokumentasi/pengarsipan konvensial. Padahal, setiap hari produksi data semakin tinggi. Terlebih di era teknologi informasi digital seperti sekarang.

Rekapitulasi Infrastruktur Transparansi per April 2016

No

Infrastruktur

Status

1. PPID K/L 100 % terbentuk.
2. PPID Provinsi 94% Provinsi terbentuk PPID.
3. PPID Kabupaten 67% Kab/Kota terbentuk PPID
4. Komisi Informasi 82% KI Provinsi terbentyuk

Sumber: database FOINI dan Kemendagri.

2. Meningkatkan kualitas data dan informasi.

Salah satu masalah utama perbedaan data terjadi karena masing-masing kementerian menyelenggarakan survey sendiri. Meski data BPS digunakan sebagai dasar, masalah muncul disebabkan perbedaan indikator dan metodologi survey antara satu kementerian dengan kementerian yang lain. Perbedaan data, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan: apakah datanya valid? up to date? komplit? bisa digunakan? tidak mengulang? apakah ada konsistensi variabel dalam kurun waktu tertentu?

Dalam kerangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka pemerintah perlu:

  1. Menyusun standar dalam hal indikator dasar yang digunakan dalam setiap kategori pengumpulan data pada setiap sektor. Misalnya, dalam merumuskan kategori kemiskinan tidak hanya bisa diukur dengan pendapatan per hari, per keluarga. Perlu dirumuskan dimensi apa saja yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Tentu saja indikator masing-masing dimensi yang perlu dibicarakan oleh kementerian lintas sektoral.

Selain indikator, perumusan kebutuhan data, proses pengumpulan data,  otorisasi, hingga publikasi mesti dirumuskan dan disepakati bersama dan membuka ruang partisipasi masyarakat.

  1. Membentuk forum akuntabilitas data yang melibatkan stakeholder internal pemerintah dan masukan dari masyarakat luas. Dalam forum akuntabiltas data, berbagai elemen masyarakat dapat komplain bahwa mereka dihitung atau dimasukkan dalam data tersebut sebagai data terpilah. Misalnya, perempuan dan kelompok terpinggirkan harus dihitung secara terpilah dalam data kemiskinan.

Dalam forum ini, akan dicek sejumlah hal oleh sejumlah pihak: kekomplitan data, bisa digunakan dan bisa diakses publik, menjamin kerahasiaan pribadi, tidak mengulang dan valid.

Menyikapi persoalan di atas, FOINI menyatakan perlunya hal berikut:

  1. Tingkatkan pengawasan dan penguatan infrastruktur transparansi: PPID, KI Pusat dan KI Provinsi, Daftar Informasi Publik dan SOP Pelayanan Informasi (Pemenuhan amanah UU KIP).
  2. Buat pusat data terpadu untuk memudahkan akses kelembagaan terhadap data dan akses informasi publik (amanah UU Kearsipan).
  3. Tingkatkan kualitas data dengan membuat standar perencanaan dan pengelolaan data bagi seluruh K/L dan forum akuntabilitas data.

 

 

Contact Person

Hendrik Rosdinar        : 0811 1463 983

Tama S. Langkun        : 0811 9937 669

Dessy Eko Prayitno     : 0815 9086 006

Desiana Samosir          : 0813 6928 1962

Anggota FOINI

PATTIRO, IPC, ICW, Media-Link, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, ICEL, Perkumpulan Inisiatif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, LSPP, YAPPIKA, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, Pusako Univ. Andalas, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, Kopel Makassar, TIFA Damai, Mata Aceh, MaPPI FH UI, Gerak Aceh, FITRA SUMUT,  PATTIRO Banten, PATTIRO Semarang, FITRA JATIM, JARI Borneo, GEMAWAN, JARI Indonesia Kalteng, LPPAMS, ALPEN Sultra, YASMIB, PUSPAHAM.

Lampiran 1

Reakap Detail Infrasturktur Transparansi

No

Infrastruktur

Status

1. PPID K/L 100 % terbentuk.
2. PPID Provinsi Provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Utara belum membentuk PPID.
3. PPID Kabupaten Yang belum terbentuk:

  1. Gayo Luwes (NAD)
  2. Asahan (Sumut)
  3. Labuhan Batu Selatan (Sumut)
  4. Nias Barat (Sumut)
  5. Nias Selatan (Sumut)
  6. Nias Utara (Sumut)
  7. Simalungun (Sumut)
  8. Tapanuli Selatan (Sumut)
  9. Tapanuli Tengah (Sumut)
  10. Solok Selatan (Sumbar)
  11. Bengkalis (Riau)
  12. Indragiri Hilir (Riau)
  13. Kuantan Singingi (Riau)
  14. Pelalawan (Riau)
  15. Siak (Riau)
  16. Bungo (Jambi)
  17. Merangin (Jambi)
  18. Kerinci (Jambi)
  19. Tebo(Jambi)
  20. Sarolangun (Jambi)
  21. Musi Rawas (Sumsel)
  22. Lahat (Sumsel)
  23. Ogan Ilir (Sumsel)
  24. Ogan Komering Ilir (Sumsel)
  25. OKU Selatan (Sumsel)
  26. OKU Timur (Sumsel)
  27. Seluma (Bengkulu)
  28. Bengkulu Utara (Bengkulu)
  29. Rejang Lebong (Bengkulu)
  30. Muko-Muko (Bengkulu)
  31. Lebong (Bengkulu)
  32. Lampung Tengah (Lampung)
  33. Tanggamus (Lampung)
  34. Lampung Timur (Lampung)
  35. Way Kanan (Lampung)
  36. Mesuji (Lampung)
  37. Tulang Bawang Barat (Lampung)
  38. Pesisir Barat (Lampung)
  39. Karimun (Kep. Riau)
  40. Belitung Timur (Bangka Belitung)
  41. Bangka Selatan (Bangka Belitung)
  42. Indramayu (Jawa Barat)
  43. Kuningan (Jawa Barat)
  44. Jember (Jawa Timur)
  45. Ponorogo (Jawa Timur)
  46. Probolinggo (Jawa Timur)
  47. Alor (NTT)
  48. Belu (NTT)
  49. Ende (NTT)
  50. Kupang (NTT)
  51. Lembata (NTT)
  52. Malak (NTT)
  53. Manggarai Barat (NTT)
  54. Manggarai Timur (NTT)
  55. Nagekeo (NTT)
  56. Sikka (NTT)
  57. Sumba Tengah (NTT)
  58. Sumba Timur (NTT)
  59. Timor Tengah Selatan (NTT)
  60. Sabu Rai Jua (NTT)
  61. Ngada (NTT)
  62. Sumba Barat (NTT)
  63. Sanggau (Kalbar)
  64. Barito Timur (Kalteng)
  65. Barito Utara (Kalteng)
  66. Murung Raya (Kalteng)
  67. Seruyan (Kalteng)
  68. Sukamara (Kalteng)
  69. Kotawaringin Barat (Kalteng)
  70. Tapin (Kalsel)
  71. Barito Kuala (Kalsel)
  72. Kutai Barat (Kaltim)
  73. Mahakam Ulu
  74. Tanah Tidung (Kaltara)
  75. Malinau (Kaltara)
  76. Bolaang Mongondow (Sulut)
  77. Bolaang Mongondow Timur (Sulut)
  78. Minahasa Tenggara (Sulut)
  79. Minahasa Selatan (Sulut)
  80. Minahasa Utara (Sulut)
  81. Kep. Talaud (Sulut)
  82. Siau Tagulandang Biaro (Sulut)
  83. Barru (Sulsel)
  84. Bone (Sulsel)
  85. Gowa (Sulsel)
  86. Jeneponto (Sulsel)
  87. Enrekang (Sulsel)
  88. Pinrang (Sulsel)
  89. Wajo (Sulsel)
  90. Luwu Timur (Sulsel)
  91. Bombana (Sulsel)
  92. Buton Utara (Sulsel)
  93. Kolaka Utara (Sulsel)
  94. Kolaka Timur (Sulsel)
  95. Konawe (Sulteng)
  96. Konawe Utara (Sulteng)
  97. Wakatobi (Sulteng)
  98. Konawe Kepulauan (Sulteng)
  99. Muna Barat (Sulteng)
  100. Buton Tengah (Sulteng)
  101. Buton Selatan (Sulteng)
  102. Boalemo (Gorontalo)
  103. Pohuwato (Gorontalo)
  104. Gorontalo Utara (Gorontalo)
  105. Mamasa (Sulbar)
  106. Mamuju Tengah (Sulbar)
  107. Mamuju Utara (Sulbar)
  108. Buru (Maluku)
  109. Kep. Aru (Maluku)
  110. Seram Bagian Barat (Maluku)
  111. Seram Bagian Timur (Maluku)
  112. Maluku Tengah (Maluku)
  113. Maluku Tenggara (Maluku)
  114. Maluku Tenggara Barat (Maluku)
  115. Maluku Barat Daya (Maluku)
  116. Buru Selatan (Maluku)
  117. Halmahera Barat (Maluku Utara)
  118. Halmahera Tengah (Maluku Utara)
  119. Halmahera Timur (Maluku Utara)
  120. Halmahera Utara (Maluku Utara)
  121. Kep. Sula (Maluku Utara)
  122. Morotai (Maluku Utara)
  123. Pulau Taliabu (Maluku Utara)
  124. Biak Numfor (Papua)
  125. Jayapura (Papua)
  126. Jayawijaya (Papua)
  127. Kepulauan Yapen (Papua)
  128. Paniai (Papua)
  129. Asmat (Papua)
  130. Sarmi (Papua)
  131. Mappi (Papua)
  132. Tolikara (Papua)
  133. Waropen (Papua)
  134. Yahukimo (Papua)
  135. Memberamo Raya (Papua)
  136. Memberamo Tengah (Papua)
  137. Yalimo (Papua)
  138. Lanny Jaya (Papua)
  139. Nduga (Papua)
  140. Puncak (Papua)
  141. Dogiyai (Papua)
  142. Intan Jaya (Papua)
  143. Deiyai (Papua)
  144. Sorong (Papua Barat)
  145. Teluk Wondama (Papua Barat)
  146. Kaimana (Papua Barat)
  147. Teluk Bintuni (Papua Barat)
  148. Tambrauw (Papua Barat)
  149. Maybrat (Papua Barat)
  150. Manokwari Selatan (Papua Barat)
  151. Pengunungan Arfak (Papua Barat)
4. PPID Kota Yang belum terbentuk:

  1. Gunung Sitoli (Sumut)
  2. Tebing Tinggi (Sumut)
  3. Padang Panjang (Sumbar)
  4. Sawahlunto (Sumbar)
  5. Pekan Baru (Riau)
  6. Sungai Penuh (Jambi)
  7. Lubuk Linggau (Sumsel)
  8. Pagar Alam (Sumsel)
  9. Kupang (NTT)
  10. Bima (NTT)
  11. Banjarmasin (Kalsel)
  12. Tomohon (Sulut)
  13. Kendari (Sultra)
  14. Bau-Bau (Sultra)
  15. Tual (Maluku)
  16. Gorontalo (Gorontalo)
  17. Ternate (Maluku Utara)
  18. Jayapura (Papua)
  19. Sorong (Papua Barat)
5. Komisi Informasi Yang belum terbentuk:

  1. Provinsi Nusa Tenggara Timur;
  2. Provinsi Kalimantan Utara;
  3. Provinsi Maluku Utara;
  4. Provinsi Papua Barat;
  5. Provinsi Sulawesi Barat; dan
  6. Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sumber: database FOINI dan Kemendagri.

Lembar Jawab Komputer dan Hasil Seleksi CPNS Merupakan Informasi Terbuka

Pernyataan Sikap

Koalisi Masyarakat Sipil

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI)

Jakarta, Jumat 19 Februari 2016

 

“Lembar Jawab Komputer dan Hasil Seleksi CPNS Merupakan Informasi Terbuka”

 Salah satu permasalahan seleksi CPNS adalah perihal transparansi hasil tes. Hal ini sebagaimana terjadi di Pemerintah Kota Medan, dimana 17 peserta ujian CPNS menggugat pengumuman hasil ujian CPNS Kota Medan tahun 2011. Komisi Informasi Pusat kemudian memutuskan bahwa daftar rangking para peserta yang lulus, salinan lembar jawaban komputer yang identitas peserta sudah dihitamkan dapat diberikan kepada pemohon informasi.

Kasus lainnya adalah antara Gede Kamajaya melawan Universitas Pendidikan Ganesha Bali. Dalam kasus ini Gede Kamajaya meminta kepada Rektor Universitas Pendidikan Ganesha Bali terkait informasi lembar kerja asli tes tertulis pada saat mengikuti TKB, soal ujian, nilai tes unjuk kerja maupun tes tulis dan cara menghitungnya. Terhadap kasus ini, Komisi Informasi Provinsi Bali memutuskan bahwa informasi yang diminta Gede Kamajaya merupakan informasi yang terbuka untuk bisa diakses oleh publik. Atas putusan Komisi Informasi Bali Universitas Pendidikan Ganesha mengajukan banding ke PTUN Denpasar. PTUN Bali memutuskan berbeda dengan putusan Komisi Informasi Bali, yaitu informasi mengenai lembar kerja tes tertulis TKB, nilai tes unjuk kerja maupun tes tulis TKB dan cara menghitungnya merupakan informasi terbuka dan wajib diberikan kepada Gede Kamajaya. Sedangkan informasi mengenai soal seleksi dan kunci jawaban diputuskan sebagai informasi yang dikecualikan dengan kata lain putusan Komisi Informasi Bali dikabulkan sebagian. Kasus ini tengah diajukan kasasi di Mahkamah Agung oleh pihak Universitas Pendidikan Ganesha.

Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menilai bahwa penting untuk mendorong keterbukaan dan akuntabilitas dalam seleksi CPNS yang meliputi pengumuman, proses, dan hasil seleksi. Sengketa informasi terkait dengan hasil CPNS sebagaimana terjadi di Bali dan Medan harus menjadi refleksi bersama. FOINI memandang bahwa lembar jawaban tertulis peserta dan hasil nilainya wajib dibuka kepada publik. Namun demikian identitas peserta (seperti: nama, nomor ujian, dan tanggal lahir) wajib dihitamkan. Publikasi dokumen dengan penghitaman informasi pribadi tidak bertentangan dengan Pasal 17 huruf h UU KIP.

Untuk itu, koalisi FOINI menghimbau:

  1. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadil tertinggi untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas seleksi CPNS.
  2. Penyelenggara seleksi CPNS untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas seleksi CPNS, dan mematuhi putusan Komisi Informasi, pengadilan, dan Mahkamah Agung untuk membuka kepada publik mengenai lembar jawaban tertulis peserta dan hasil nilainya.
  3. Meninjau kembali/merevisi Permendikbud No. 50 Tahun 2011 Tentang Layanan Informasi Publik di Lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan karena ada beberapa pasal yang kontradiktif dengan Undang-Undang No 14 Tahun 208 Tentang Informasi Publik.

Tertanda Anggota FOINI:

IPC, PATTIRO, ICW, Media-Link, ICEL, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, IBC, Perkumpulan Inisiaitif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, YAPPIKA, Artikel 33, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, KOAK Lampung, PUSAKO Univ. Andalas, PATTIRO Semarang, KRKP Blitar, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, GEMAWAN, Jari Kalimantan Tengah, LPI PBJ Banjar Baru, KOPEL Makassar, Tifa Damai, SKPKC Papua, Serikat Buruh Migran Indonesia, KH2 Institute, PIAR NTT, PATTIRO Serang, MaTa Aceh.

Kontak:

  1. Desiana Samosir: 0813 6928 1962
  2. Dessy Eko Prayitno: 0815 9086 006
  3. Bejo Untung : 0817 6030 417

Surat Keputusan Gubernur Gorontalo No. 323/11/VIII/2015 melanggar UU KIP dan UU Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Pernyataan Sikap

Koalisi Masyarakat Sipil

Freedom of Information Network Indonesia (FOINI)

Manado, Senin 23 November 2015 

[Manado, 23 November 2015] Untuk memastikan pemenuhan hak atas informasi yang dilindungi oleh UU KIP, dibentuk Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan. Kini Komisi Informasi Pusat telah memasuki periode kedua. Demikian pula di tingkat provinsi, dari 28 (dua puluh delapan) provinsi yang telah memiliki Komisi Informasi, 13 Komisi Informasi memasuki periode kedua pada rentang Juli 2015 hingga September 2016.

Di Gorontalo, Komisi Informasi periode 2010-2014 seharusnya berakhir pada 10 Desember 2014. Tak ada proses seleksi dan fit and proper test untuk pengisian jabatan Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019. Pemerintah Provinsi Gorontalo membiarkan kekosongan jabatan KI Provinsi Gorontalo. Hingga keluarlah Surat Keputusan (SK) Gubernur Gorontalo No. 323/11/VIII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Periode 2015-2019.

SK tersebut melanggar UU KIP dan UU Penyelenggaraan Negara  Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena: pertama, menetapkan kembali anggota Komisi Informasi Gorontalo periode 2010-2014 menjadi Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019 tanpa melalui proses seleksi dan fit and proper test di DPRD Gorontalo terlebih dahulu sebagaimana dimandatkan Pasal 30, 31, 32 dan 33 UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Keputusan Komisi Informasi Pusat Nomor 01/KEP/KIP/III/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota KI Provinsi dan KI Kab/Kota. Kedua, SK tersebut ditandatangani Agustus 2015 dan berlaku surut sejak Januari 2015. Ketiga, SK tersebut bertentangan dengan Asas Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan karena tidak didasarkan pada hasil seleksi sebagaimana diatur dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32. Keempat, terbitnya SK tersebut bertentangan dengan Asas Keterbukaan karena tidak didasarkan pada hasil seleksi anggota Komisi Informasi sebagaimana mekanisme rekrutmen yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) yakni dilaksanakan Pemerintah secara terbuka, jujur dan objektif.

Pengangkatan kembali anggota KI seperti di Gorontalo menjadi preseden buruk dalam pengisian jabatan anggota KI provinsi secara khusus dan pengisian jabatan publik secara umum. Hal ini berpotensi ditiru oleh provinsi lainnya.

Berdasarkan kondisi di atas, Penggugat bersama Koalisi FOINI dan LBH Manado YLBHI, meminta kepada:

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Manado cq Majelis Hakim agar memutus sengketa dengan sebaik-baiknya demi pemenuhan hak atas informasi di Gorontalo.

Kontak:

  1. Hendra Baramuli (LBH Manado) : 0812 8905 5966
  2. Desiana Samosir (IPC/FOINI) : 0813 6928 1962
  3. Hendrik Rosdinar (YAPPIKA/FOINI) : 0811 1463 983

Pembentukan KI Provinsi Gorontalo dan Sejumlah Provinsi Bermasalah, Pelayanan Informasi Publik di Provinsi Terancam Terganggu

[Jakarta] Hak publik untuk memperoleh informasi publik terancam tak dapat dipenuhi oleh penyelenggara Negara, terutama di Provinsi dan Kab/Kota. Organ pelayan informasi, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) memang sudah terbentuk. Tapi keberatan terhadap permintaan informasi tak bisa diproses karena pembentukan Komisi Informasi provinsi sebagian besar bermasalah.

Di Gorontalo, Komisi Informasi periode 2010-2014 seharusnya berakhir pada 10 Desember 2014. Tak ada proses seleksi dan fit and proper test untuk pengisian jabatan Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019. Pemerintah Provinsi Gorontalo membiarkan kekosongan jabatan KI Provinsi hingga Juli 2015. Hingga keluarlah Surat Keputusan (SK) Gubernur Gorontalo No. 323/11/VII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Periode 2015-2019.

SK tersebut melanggar UU KIP karena: pertama, menetapkan kembali anggota Komisi Informasi Gorontalo periode 2010-2014 menjadi Komisi Informasi Gorontalo periode 2015-2019 tanpa melalui proses seleksi dan fit and proper test di DPRD Gorontalo terlebih dahulu sebagaimana dimandatkan Pasal 30, 31, 32 dan 33 UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Keputusan Komisi Informasi Pusat Nomor 01/KEP/KIP/III/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota KI Provinsi dan KI Kab/Kota. Kedua, SK tersebut hanya menetapkan 4 anggota KI Gorontalo yang seharusnya 5. Ketiga, SK tersebut ditandatangani Agustus 2015 dan berlaku surut sejak Januari 2015.

Pengangkatan kembali anggota KI seperti di Gorontalo menjadi preseden buruk dalam pengisian jabatan anggota KI provinsi. Hal ini karena sinyalemen pengangkatan kembali tanpa proses seleksi dan fit and proper test menguat pada RAKORNAS Komisi Informasi seluruh Indonesia pada 12-14 September 2014 di Mataram-Nusa Tenggara Barat. Dalam RAKORNAS tersebut, beberapa KI provinsi seperti KI Sumatera Utara, KI Banten, dan KI Lampung mengusulkan agar KI Pusat mengeluarkan keputusan mengenai ketentuan pengangkatan kembali anggota KI provinsi. Bahkan KI Sumatera Utara mengajukan diri untuk menyusun draft keputusan KI Pusat tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, FOINI menuntut kepada:

  1. Gubernur Gorontalo dan DPRD Gorontalo untuk mencabut SK No.323/11/VII/2015 dan melakukan seleksi anggota Komisi Informasi Gorontalo sesuai Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU KIP dan Pedoman Seleksi Komisi Informasi.
  2. Komisi Informasi Pusat untuk melakukan pengawasan dan terlibat aktif dalam proses seleksi anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo sesuai Pedoman Seleksi yang telah KI Pusat keluarkan.
  3. Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan kepada Gubernur dan DPRD dalam pelaksanaan seleksi anggota KI provinsi sebagaimana mandat UU KIP. Hal ini karena telah terjadi fenomena pengabaian terhadap proses seleksi KI provinsi seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.

Apabila Gubernur dan DPRD Gorontalo, Komisi Informasi Pusat dan Kementerian Dalam Negeri tidak melaksanakan tuntutan ini, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) setelah pernyataan sikap ini, FOINI akan melakukan upaya hukum berupa gugatan ke pengadilan.

Tertanda Anggota FOINI:

IPC, PATTIRO, ICW, Media-Link, ICEL, PWYP Indonesia, SEKNAS FITRA, IBC, Perkumpulan Inisiaitif Bandung, PERLUDEM, TI-Indonesia, YAPPIKA, Artikel 33, Perkumpulan IDEA Yogyakarta, FITRA Riau, KOAK Lampung, PUSAKO Univ. Andalas, PATTIRO Semarang, KRKP Blitar, Sloka Institute Bali, SOMASI NTB, GEMAWAN, Jari Kalimantan Tengah, LPI PBJ Banjar Baru, KOPEL Makassar, Tifa Damai, SKPKC Papua, Serikat Buruh Migran Indonesia, KH2 Institute, PIAR NTT, PATTIRO Serang, MaTa Aceh LP2 Gorontalo.

Kontak:

  1. Sad Dian: 0812 8003 045
  2. Hendrik Rosdinar: 0811 1463 983
  3. Desiana Samosir: 0813 6928 1962
  4. Dessy Eko Prayitno: 0815 9086 006
  5. Harun: 0813 4029 5670
  6. Agus Sarwono: 0818 0860 3177

 

Revisi UU MD3, Lanjutkan Reformasi Parlemen

Revisi UU MD3, Lanjutkan Reformasi Parlemen

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3
 
“Revisi UU MD3, Lanjutkan Reformasi Parlemen”
Dewan Perwakilan Rakyat mengecewakan rakyat di awal periode. Satu masa sidang tersia akibat perseteruan  KIH dengan KMP. Persetujuan DPR atas Budi Gunawan bertentangan dengan aspirasi rakyat. Reformasi parlemen terancam mandek jika DPR generasi keempat paskareformasi tak lagi memasukkan UU MD3 sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
 
Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat DPR tak henti-hentinya berseteru sepanjang masa sidang pertama. Perseteruan tersebut dimulai pada saat Pemilihan Presiden 2014. Paska DPR dilantik mereka memperebutkan kursi pimpinan Alat Kelengkapan DPR. Hingga pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran terabaikan karenanya.
Memasuki masa sidang kedua, rakyat kembali terkejut ketika DPR menyetujui calon Kapolri Budi Gunawan (BG) yang diajukan Presiden meski dua hari sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan BG sebagai tersangka kasus korupsi. Bagaimana mungkin DPR menyetujui calon Kapolri yang sudah jelas statusnya secara hukum dan dipertanyakan oleh rakyat?
Kedua kasus tersebut terjadi akibat pengaturan pemilihan pimpinan alat kelengkapan dan seleksi calon pejabat publik yang tidak standar dalam Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Kasus tersebut berpotensi berulang dan bertambah karena pengaturan dalam undang-undang tersebut selalu disahkan menjelang pemilihan umum sehingga sarat dengan kepentingan politik.
Dalam catatan koalisi, setidaknya ada lima point penting yang berpotensi menimbulkan kasus:
  1. Pengaturan rapat tertutup secara tidak ketat berpotensi menimbulkan mafia anggaran julid II. (Pasal 229 dan munculnya klausa  “rahasia” pada pasal 189, pasal 186, pasal 132  dan klausa “tertutup” pada pasal 132)
  2. Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam memberikan persetujuan tertulis bagi anggota yang dipanggil dan dimintai keterangan oleh pengadilan melebihi kewenangan etik dan berpotensi melindungi pelaku tindak pidana korupsi di parlemen. (pasal 224 dan pasal 245)
  3. Penghapusan alat kelengkapan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara tanpa pengalihan fungsi dan sistem pendukung di Komisi berpotensi memperlemah pengawasan anggaran dan memberi ruang yang lebih leluasa untuk “bemain.”
  4. Desain kewenangan dan jumlah Komisi tanpa mempertimbangkan efektifitas kerja berpotensi memperlemah kinerja DPR dalam mencapai target legislasi, pengawasan dan penganggaran. Jumlah komisi seharusnya menjadi hal yang tetap dan bisa diprediksikan sesuai dengan bidang kerja yang diusulkan oleh pemerintah. Sehinga dengan adanya jumlah komisi yang seimbang dengan bidang kerja pemerintah akan menciptakan keseimbangan dan efektifitas dalam bekerja oleh para anggota Komisi.
  5. Penambahan hak anggota untuk mengusulkan program daerah pemilihan tanpa diikuti mekanisme akuntabilitas berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran.
Agenda utama reformasi parlemen adalah untuk menciptakan parlemen yang bersih, akuntabel, transparan, representatif dan partisipatif. Kedua kasus di atas dan sejumlah potensi kasus seharusnya diantisipasi dan tak perlu terjadi. Berdasarkan argument di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 mendesak DPR dan pemerintah untuk:
  1. Memasukkan revisi UU MD3 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Prioritas Prolegnas 2015.
  2. Membahas dan merampungkan revisi UU MD3 maksimal selesai selambat-lambatnya pada 2016. Karena untuk menghindari kepentingan politik.
Kontak Person:
Ahmad Hanafi (IPC)                : 08119952737
Ronald Rofiandri (PSHK)        : 0818747776
Roy Salam (IBC)                      : 081341670121
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3
 
PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan),
IPC (Indonesian Parliamentary Center),
YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia), PATTIRO (Pusat Telaah Informasi Regional),
KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi),
TII (Transparansi International Indonesia),
ICW (Indonesia Corruption Watch),
IBC (Indonesia Budget Center)