Warga Desa Tg. Harap Kalahkan PTPN Dalam Sengketa Informasi

Warga Desa Tg. Harap Kalahkan PTPN Dalam Sengketa Informasi

Majelis Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat, akhirnya memenangkan Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (Sahdar) mewakili masyarakat Desa Tanjung Harap, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Serdang Bedagai, dalam sengketa informasi melawan PTPN3 Kebun Sarang Ginting. Putusan sengketa KIP ini diadakan di Hotel Swiss Bellin Medan, Rabu (30/10) malam yang diketui Majelis Komisioner KIP Yhannu Setiawan .

Dalam putusannya, majelis komisioner menyatakan bahwa dalil-dalil PTPN3 Kebun Sarang Ginting dalam menolak permohonan informasi yang diajukan masyarakat Desa Tanjung Harap yang diwakili oleh SAHdaR sama sekali tidak berdasarkan hukum.

“Menyatakan bahwa informasi yang diminta, berupa: Satu, Salinan Peta HGU Kebun Sarang Ginting; Kedua, salinan Sertifikat HGU No 4 Kebun Sarang Ginting, dan SK BPN RI Tgl. 37.HGU BPN RI – 2009; Ketiga, Salinan Surat Ukur Tgl. 06-04-2009, No. 03/Serbajadi/2009; Empat, Salinan Surat Ijin Usaha Perkebunan PTPN3, Kebun Sarang Ginting; Lima, Salinan Dokumen AMDAL Kebun Sarang Ginting; Enam, Salinan Kontrak Kerja antara PTPN3 dengan Perusahaan Rekanan Pelaksana replanting; Tujuh, Salinan Laporan CSR Tahun 2010 dan 2011 Kebun Sarang Ginting adalah informasi publik yang terbuka,” kata Yhannu Setiawan saat membacakan amar putusan.

Karena, sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP (Keterbukaan Informasi Publik) dan Pasal 13 ayat (1) huruf g Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik dinyatakan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat yang sekurang-kurangnya terdiri atas; syarat-syarat perijinan, ijin yang diterbitkan dan atau yang dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya dan laporan penataan ijin yang diberikan.

Oleh karenanya, PTPN3 Kebun Sarang Ginting sebagai badan Publik wajib memberikan dan menyediakan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU No 14 Tahun 2008 dan Perki No 1 Tahun 2010.

Diolah Dari MedanBisnis

Kades Melung, Khoeruddin: Selapangan, Tradisi Transparansi Desa

Kades Melung, Khoeruddin: Selapangan, Tradisi Transparansi Desa

Desa Melung adalah desa di Selatan Gunung Slamet, masuk dalam wilayah kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Selain bergiat untuk menjadikan Desa Agrowisata dan Ekowisata, Desa Pendidikan dan Laboratorium Alam, Desa ini juga berupaya membangun prinsip-prinsip akuntabilitas dengan kearifan lokal dan implementasi UU KIP.

Pada Juni 2013 lalu, Desa Melung memiliki seorang Kepala Desa Baru. Pak Khoeruddin, begitu warga memanggil namanya. Pria 41 tahun ini merupakan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman. Sebelumnya, Desa Melung dipimpin oleh seorang Kepala Desa, Pak Agung Budi Satrio.

Apa saja kisah sukses yang dilakukan perangkat Desa Melung untuk mendorong keterbukaan dan partisipasi warga, berikut wawancara tim redaksi kebebasaninformasi.org dengan Kepala Desa Melung, Bpk. Khoeruddin.

Apa saja yang dilakukan untuk membuka wawasan warga tentang pentingnya pengetahuan dan informasi?

Desa kami ini, dulunya adalah desa tertinggal. Selama dua periode kepemimpinan Kepala Desa sebelumnya, banyak hal yang kami benahi. Jadi, saya melanjutkan apa yang telah beliau rintis.

Supaya warga di sini, melek informasi, desa kami berlangganan koran. Karena jauh, ya harus bayar tukang ojek. Setelah jaringan telepon masuk kami memasang speedy. Dengan itu, kami bisa membangun jaringan dengan desa-desa lain, termasuk dengan desa-desa yang tergabung dalam ada Gerakan Desa Membangun.

Saat ini, kami membuat tujuh titik akses hotspot internet. Warga menggunakannya untuk mencari informasi tentang pertanian, peternakan, harga komoditas, dan kepentingan anak-anak sekolah. Ya, beragamlah.

Tantangannya, bagaimana mengajarkan warga untuk menggunakan komputer dan internet. “Kami kan terbiasanya megang arit,” kata mereka. Ya, saya bilang, “Megang arit kan siang-siang, nah kalau malam kita belajar megang mouse, hahaha..” Secara perlahan, mereka akan terbiasa.

Bagaimana cara Anda menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan kepada  warga?

Ada beberapa cara yang dilakukan, antara lain:

Pertama, Selapangan (pertemuan bersama warga, red), setiap 40 hari, bersama RW, RT, perangkat desa, dewan desa, dan warga. Kami memili 4 RW dan 17 RT. Total jumlah penduduk, sekitar 2.240 lebih. Selapangan ini biasanya dihadiri kurang lebih 100-an orang. Tergantung kesibukan warga juga.

Kedua, rapat di RT masing-masing, yang dihadiri oleh warga di RT tersebut.

Ketiga, kami memiliki website melung.desa.id. Di web itu, berbagai informasi tentang desa kami sampaikan. Antara lain, program-program desa dan laporan keuangannya. (Saat ini desa melung juga memiliki aplikasi android: melung APK, red). Ada tim yang ngurus itu.

Keempat, kami telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), sebagaimana di Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Sejak kapan mengenal Undang-Undang KIP?

Saya dulu perangkat desa, waktu Kepala Desanya pak Budi (Agung Budi Satrio). Beliau menjabat dua periode 2002-2007, kemudian 2007-2013. Saat menjabat sebagai perangkat desa, saya sudah mengenal UU KIP, melalui gerakan membangun desa.

Apa dampak dari keterbukaan ini?

Apa yang kami lakukan ini masih berproses, dampak secara finansial (pemasukan terhadap anggaran desa, red) belumlah. Secara pribadi, warga akan tetu akan mendapat manfaat jika desa ini dikenal, bukan saja keterbukaannya dalam pemerintahan, tetapi juga dikenal karena komoditas unggulan desa. Yang pasti, dengan keterbukaan partisipasi warga meningkat, infrastruktur desa semakin baik. Misalnya, terakhir kami itu rapat tentang program PNPM, dihadiri 45 orang. Ada beberapa pembangunan yang diupayakan.

Apa saja?

Untuk PNPM ini, secara fisik antara lain pembangunan TK Pertiwi dan irigasi untuk RT I. Secara nonfisik, pengadaan simpan-pinjam perempuan.

 

Apa harapan Anda ke depan?

Sekali lagi ini proses. Desa kami memang terpencil, tetapi harapannya tidak ketinggalan informasi dan pengetahuan. Prinsipnya, semua upaya ini untuk membentuk pelayanan publik yang prima, akuntabel, dan dapat dipercaya. Desa-desa lain, mudah-mudahan juga bisa melakukan hal yang sama.

 

Dengan Transparansi, Pendapatan Desa Klothok Mencapai Rp 1,6 Miliar

Dengan Transparansi, Pendapatan Desa Klothok Mencapai Rp 1,6 Miliar

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra)  Jawa Timur berpendapat, kemiskinan masyarakat di desa sekitar proyek migas seharusnya tidak terjadi jika program yang dilakukan pemerintah maupun operator tepat sasaran, transparansi dan akuntabel.

“Selain itu jangan hanya berdasarkan keinginan namun kebutuhan,” kata Koordinator Analisis dan Advokasi Fitra Jatim, Miftahul Huda kepada Suarabanyuurip.com, Jum’at (17/10/2013).

Huda mengatakan, kemiskinan masyarakat di sekitar tambang migas bukan hal yang baru lagi. Walapun di desanya tersimpan kandungan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan hasilnya berpengaruh pada pendapatan desa melalui penetapan Alokasi Dana Desa (ADD).

“Jika salah pengelolaanya justru kalah dengan desa yang tidak punya potensi kekayaan alamnya,” imbuhnya.

Huda mencontohkan, seperti di Desa Klothok, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Desa tersebut memiliki ADD dengan jumlah yang besar meski tidak memiliki kandungan migas.

“Tahun 2013 ADD mencapai Rp 1,6 Miliar,” ujarnya.

Raihan jumlah tersebut berasal dari pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD), pasar dan kinerja pengurus Himpunan Petani Pengelola Air (HIPPA). Pendapatan itu berhasil dikelola dengan baik oleh pihak desa karena dalam perencanaan maupun pelaksanaan memenuhi prinsip transparansi dan akuntabel.

“Tiap tahapan juga melibatkan masyarakat,” tuturnya.

Tidak hanya itu, pihaknya juga sempat mengkritik pemerintah maupun operator migas yang terkesan tidak menjadikan potensi ekonomi local.  Seperti pasar tradisional yang tidak dijadikan prioritas pemberdayaan ekonomi melalui Corporate Social Responsibility (CSR).(roz) 

Sumber : http://www.suarabanyuurip.com

Warga Transmigran Butuh Transparansi

Warga Transmigran Butuh Transparansi

Entah, apa alasan pemerintah provinsi Kalimantan Timur, enggan memberikan permintaan dokumen SK Gubernur Nomor 66/PH-Pem/1968 tanggal 20 Juni 1968, terkait peta transmigrasi dan peta penempatan transmigrasi di Kutai Kartanegara.

Tiga pimpinan badan publik yaitu Gubernur Kaltim, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim dan Kadisnakertrans Kaltim, yang dimintai informasi tersebut sama-sama mengabaikan permintaan ini. Pemohon informasi, Halimatu Sa’diyah keberatan atas pengabaian tersebut, akhirnya mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat.

Pada 14 Agustus 2013, sidang pertama antara pemohon Halimatus Sa’diyah dan termohon Kadisnakertrans dan Kepala BPN dilaksanakan, yang akan dilanjutkan pada tahap mediasi. Sementara sidang dengan tergugat Gubernur Kaltim, batal karena Gubernur maupun kuasa hukumnya tak hadir tanpa kejelasan. Padahal 27 orang warga lainnya yang juga menggugat telah hadir.

“Jika setelah dipanggil secara patut dua kali berturut-turut, Gubernur misalnya tak mau hadir. Maka perkaranya tetap disidangkan dan akan diputuskan, meski termohon (Gubernur) in absentia,” beber Ketua KI Kaltim, Jaidun, SH.,MH.

Kilas Balik Transmigrasi Kaltim

Program transmigrasi di Propinsi Kalimantan Timur dimulai tahun 1954 yang ditandai dengan peristiwa pengiriman 760 KK atau 3.049 jiwa dari Pulau Jawa menuju unit permukiman lokasi Palaran Kecamatan Palaran Kabupaten Samarinda dan sejumlah 748 KK atau 3.053 jiwa ke lokasi Petung Kabupaten Balikpapan.

Pada tahun 1957 dilanjutkan pengiriman transmigran sebanyak 283 KK atau 866 jiwa transmigran ke lokasi Samboja dan 738 KK atau 2.916 jiwa ke lokasi Pulau Atas Kabupaten Kutai. Kemudian pada tahun 1959 telah diberangkatkan sejumlah 353 KK atau 1.516 jiwa ke lokasi Waru Kabupaten Pasir dan selanjutnya pada masa orde baru Propinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi.

Dalam jangka waktu 46 tahun penyelenggaraan transmigrasi di Propinsi Kalimantan Timur, sejak Pra Pelita sampai Pelita VI (tahun 1999/2000) telah dibangun 235 desa dengan total 72.727 KK atau 293.240 jiwa. (Informasi lengkapnya bisa dilihat pada link di bawah)

Singkat kata, program perpindahan puluhan ribu penduduk ini, tentu menggunakan anggaran besar. Ia wajib dikelola secara benar, terbuka dan dipertanggungjawabkan. Bukan semata untuk laporan kepada pemerintah pusat, tetapi juga memastikan hak rakyat telah mereka peroleh secara layak.

Apa yang dilakukan Halimatu Sa’diyah dan warga, merupakan inspirasi bagi warga di daerah transmigran lain. Kita tunggu perkembangannya.

Diolah dari berbagai sumber

Kilas Transmigrasi Kaltim

Keterbukaan Informasi Berbuah “Reklaiming” untuk Petani Singorojo

Dusun Singorojo ditempuh kurang lebih 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari pusat kota Kendal, Jawa Tengah. Secara administratif, Dusun Singorojo berada di Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Dusun ini sangat terpencil dan terisolasi karena dikelilingi ribuan hektar tanah yang menjadi hak perusahaan swasta dan perusahaan negara berdasarkan Hak Guna Usaha  (HGU) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Penghuninya kurang lebih 140 kepala keluarga yang hampir semuanya berprofesi sebagai petani. Sebagai petani penggarap, kehidupan masyarakat di sini secara ekonomi dapat dikatakan susah. Ini ironi karena sebenarnya mereka hidup dikelilingi oleh tanah subur yang sayangnya HGU-nya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan. Lebih menyesakkan lagi karena ribuan hektar lahan subur yang saat ini ditanami cokelat, karet, pisang, dan lain-lain oleh perusahaan-perusahaan tersebut diyakini masih milik mereka. Benar-benar seperti tikus mati di lumbung padi. Masyarakat menjadi penggarap di lahan yang sebenarnya menjadi hak milik mereka.

Konon untuk keperluan memperluas lahan tanam guna memenuhi permintaan yang tinggi terhadap hasil pertanian di Eropa, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara membabi buta merampas tanah itu. Mengusir masyarakat dengan semena-mena adalah modus yang sering terjadi. Masyarakat Desa Singorojo termasuk yang menerima perlakuan tak adil kaum penjajah ini. Mereka terusir dari tanah yang secara turun temurun telah mereka diami. Asa mereka untuk menuntut hak sebenarnya muncul saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan kaum penjajah terusir. Hanya saja, itu lalu hanya menjadi sekadar harapan kosong karena sepeninggal kaum penjajah, tanah garapan yang semula diduduki penguasa kolonial malah beralih menjadi perusahaan-perusahaan dengan HGU.

Reformasi 1998 adalah momentum bagi rakyat banyak untuk berani menyatakan pendapat dan menuntut hak, tak terkecuali masyarakat di Singorojo dan banyak tempat lain di wilayah Indonesia yang mengalami peristiwa sejenis. Di Jomblang Singorojo sendiri mulai terbentuk kelompok masyarakat yang mengorganisasi diri untuk menuntut hak atas lahan mereka. Mereka mulai secara bisik-bisik dan terbatas mencari tahu dan mengurus hak ini. Sebagai masyarakat yang telah sekian lama hidup terisolasi, mereka menyadari bahwa tidak mudah untuk mewujudkan harapan mereka. Ada banyak hambatan. Mulai dari bagaimana sulitnya meyakinkan seluruh warga Dusun Jomblang untuk bersatu dan berani menuntut hak hingga intimidasi gerombolan preman dan aparat sewaan perusahaan.

Titik balik usaha warga Dusun Jomblang adalah saat mulai diinisiasi dan terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang ini menjamin masyarakat untuk mendapat akses terhadap informasi. Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pemerintah daerah termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memberi dan membuka informasi yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Ketertutupan dan tidak transparannya informasi kepemilikan tanah ini menjadi sumber masalah saat masyarakat Dusun Jombang akan menuntut hak mereka. Dengan didampingi oleh PATTIRO Sekolah Rakyat Kendal, usaha masyarakat Dusun Jomblang dalam menuntut hak atas tanah mereka dilakukan secara tertib dan sistematis.

Dari serangkaian Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan, akhirnya disepakati untuk membentuk sebuah paguyuban—Community Center (CC)—sebagai wadah bagi masyarakat Dusun Jomblang Desa Singorojo Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka. Paguyuban yang diberi nama Paguyuban Masyarakat Petani Singorojo (PMPS) itu selain sebagai tempat bertukar informasi dan diskusi, juga sebagai alat perjuangan bagi masyarakat Dusun Jomblang. Tujuan PMPS adalah memperjuangkan kepemilikan atas tanah mereka yang saat itu dikuasai sejumlah perusahaan dalam bentuk HGU.

PMPS yang dibentuk tersebut sekaligus dilengkapi struktur organisasi sebagai perangkat untuk bekerja. Dalam PMPS duduk seluruh komponen masyarakat yang ada di Dusun Jomblang. Ini penting untuk menjadikan PMPS sebagai satu-satunya organisasi masyarakat Dusun Jomblang dan diterima oleh semua pihak. Pada akhirnya keterlibatan seluruh komponen di Dusun Jomblang ini menjadi kunci keberhasilan PMPS dalam menuntut hak atas tanah mereka di kemudian hari. dalamai perangkat untuk bekerja. i setruktur organisasi yang saat itu ) ini ngorojo untuk tut hak atas tanah mereka dilakukan sePengurus dan anggota CC PMPS Paguyuban Masyarakat Petani Singorojo melakukan pertemuan rutin seminggu sekali.

Umumnya pertemuan tersebut dikemas dengan doa bersama (mujahadah). Doa bersama selain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dijadikan sebagai strategi untuk menghindari gesekan antaranggota serta gesekan sesama pengurus dan anggota masyarakat. Dalam pengajian tersebut, berbagai informasi didiskusikan, baik informasi yang datang dari luar maupun dari dalam organisasi. Diskusi dilakukan untuk menentukan arah strategi perjuangan dan agar organisasi tersebut tidak mudah terombang-ambing oleh rumor.

Sebelum membuat laporan ke Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah, PMPS terlebih dahulu melengkapi informasi untuk kepentingan advokasi sengketa tanah, seperti sejarah tanah (historis), bukti-bukti peninggalan (prasasti), dokumentasi (sertipikat, letter D/C, Peta Desa), dan hukum. Secara hukum dinyatakan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 Pasal 27 bahwa hak milik bisa hapus bila: tanah jatuh kepada negara; karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18; karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena ketentuan—pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2); atau tanahnya musnah.

Informasi-informasi ini digunakan sebagai dasar bagi PMPS dalam membuat laporan dan meminta informasi kepada Badan Pertanahan Nasional. Dari informasi ini kemudian dibuat sebuah strategi advokasi. Langkah pertama adalah membuat risalah kondisi tanah yang akan disengketakan. Di sini dinyatakan bahwa perusahaan melakukan penanaman cokelat, pisang, cengkeh, dan lain-lain setelah mengganti padi, jagung, dan tanaman lain yang ditanam masyarakat.

Faktanya, dari 250 hektar tanah yang dikuasai perusahaan, hanya 10 persen saja yang digarap secara produktif oleh perusahaan. Pada 2008 diam-diam warga mengajukan Surat Pembayaran Pajak Terhutang/SPPT melalui Kepala Desa Singorojo seluas kurang lebih 20 hektar. Pada saat itu tengah ada program dari pemerintah tentang pembagian tanah. Strategi selanjutnya, pengurus PMPS melaporkan secara tertulis tentang kondisi HGU tanah PT Jomblang yang diterlantarkan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah.

Setelah dilakukan investigasi lapangan, akhirnya BPN merekomendasikan agar tanah seluas 40 hektar didistribusikan ke masyarakat/objek landreform Dusun Jomblang Desa Singorojo Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal Jawa Tengah.

Melung, Kisah Sebuah Desa Internet

Melung, Kisah Sebuah Desa Internet

Ini sebuah kisah inspiratif, tentang pentingnya akses dan informasi. Jika saja, badan publik pemerintah menyadari pentingnya keterbukaan, salah satunya melalui internet. Tentu, akan berdampak besar bagi kehidupan warga. Bahkan untuk mereka yang terpencil sekalipun.

Selamat membaca

Menjelang senja, Desa Melung, Banyumas, Jawa Tengah, terlihat sepi. Suasananya seperti biasa, damai, sejuk, dan bersahaja. Tidak ada yang membuatnya tampak istimewa dibandingkan desa-desa tetangga. Kasat mata, hanya terlihat sekumpulan rumah sederhana, dikepung perbukitan serta pepohonan hijau di lereng Gunung Slamet.

“Dulu, jam segini, warga sering berkumpul di sudut jalan. Biasanya di kedai. Melepas lelah setelah seharian bekerja. Ada yang pulang bertani, dagang, macam-macam,” tutur Agung Budi Satrio kala berbincang-bincang dengan VIVAnews di rumahnya, 9 Juli 2013. Budi —begitu dia disapa— adalah mantan Kepala Desa Melung.

“Tapi, pemandangan itu sudah jarang terlihat lagi. Sejak warga di sini mengenal Internet, mereka lebih kerasan berada di rumah. Hanya sesekali kumpul-kumpul di luar rumah,” katanya, sembari menyeruput kopi.

Internet?

Melung bukan desa di pinggiran kota.  Memiliki luas area sekitar 1.320 hektar, ini desa di pelosok yang berada di ketinggian 600 meter dari permukaan laut, di lereng Gunung Slamet. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari jantung ibukota Kabupaten Banyumas.

Cuma, nama desa berpenduduk sekitar 2.000 jiwa ini kencang bergaung di dunia maya. Desa kecil ini sohor dengan julukan “desa-Internet”, desa yang melek teknologi informasi.

Modal Rp6 Juta

Budi bukan sembarang kepala desa. Dialah sang penggagas gerakan “Internet masuk desa” di Melung.

Saat wartawan VIVAnews menyalakan laptop, dia langsung menukas, “Tidak usah pakai modem. Buat apa?”

Tahu yang diajak bicara mendadak jadi bengong, Budi buru-buru menjelaskan sembari tersenyum. “Hampir seluruh kawasan di desa ini sudah menjadi hotspot area, tinggal disambung saja.”

Budi pun berkisah.

Suatu waktu di tahun 2008 dia merenung, menyadari lokasi desanya yang amat terpencil dan tersisih dari derasnya arus informasi di luar sana. Informasi hanya dapat diperoleh dari surat kabar, tapi cuma bisa diakses segelintir warga. Infrastruktur telekomunikasi sudah mulai menjangkau Melung, tapi jauh dari memadai; untuk tidak bilang memprihatinkan.

Entah bagaimana, dia pun bertekad memperkenalkan teknologi informasi, termasuk akses Internet, pada warganya. “Saya ingin membawa Internet sampai ke desa ini, apa pun caranya,” Budi mengisahkan tekadnya. Ketika itu dia masih menjabat Kepala Desa (2002-2012), memimpin empat Rukun Warga.

Bermodalkan Rp1,5 juta, yang diambil dari kas desa, Budi lalu menyewa jaringan Telkom Flexi, lengkap dengan koneksi Internetnya. “Tapi, setelah beberapa bulan, koneksinya mengalami kendala. Kecepatannya sangat lambat,” kisahnya.

Di tahun 2009, mereka beralih ke Telkom Speedy.

Namun, instalasi jaringan Telkom Speedy tak semulus yang dibayangkan. Karena keterbatasan jaringan, koneksinya tidak bisa menjangkau Balai Desa Melung. Lagi-lagi Budi dipaksa memutar otak.

Tak lantas patah arang, dia pun menemukan siasat: menyambung jaringan Speedy terdekat dengan rumahnya, yang berjarak satu kilometer dari Balai Desa.

“Untuk meneruskan koneksi Internet agar bisa sampai ke Balai Desa, kami mengambil dana lagi dari kas desa sebesar Rp4,5 juta. Dana itu untuk membeli antena pemancar dan penerima. Pemancar dipasang di rumah saya, sedangkan antena penerima di Balai Desa.”

Budi menjelaskan alat pemancar dan penerima yang dibelinya adalah antena omni. Ini antena nirkabel sederhana, berwujud tiang panjang menyerupai busur panah. Fungsinya pun tak mewah, cuma untuk memperluas area jangkauan sinyal Wi-Fi. Semakin besar volume dBi, maka semakin luas atau jauh pula area yang bisa dijangkau.

Sedikit demi sedikit, jangkauan Internet diperluas.

Selain di rumah Budi di Dusun Gerembul Melung dan Balai Desa, antena omni juga dipasangkan di gedung SMP Negri 3 Kedung Banteng. Ini sebagai entry point Internet untuk dua dusun lain, yaitu Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra (Lihat Infografik: Sistem Internet Desa Melung).

Untuk satu antena omni, diperlukan biaya Rp1,2 juta. Total, dia merogoh Rp3,6 juta untuk tiga antena.

Untuk antena yang menyebar sinyal hotspot di Balai Desa dibeli seharga Rp475 ribu. “Menggunakan router. Alat ini dipasang di tempat yang tinggi menggunakan pipa, supaya bisa menjangkau seluruh area Balai Desa,” terang Budi.

Router yang sama dipakai di Gerembul Depok dan Gerembul Kaliputra agar koneksi Wi-Fi merata. Per bulan, Pemerintah Desa Melung menyisihkan Rp219 ribu untuk berlangganan Paket Sosial, paket Internet Telkom Speedy yang paling terjangkau.

Strategi “Bisnis”

Untuk meringankan beban, biaya pemasangan jaringan ini dibagi dua antara Pemerintah Desa Melung dan SMP Negeri 3 Kedung Banteng.

“Awalnya, penggunaan Speedy masih dibatasi. Maksimal area hotspot hanya boleh di tiga lokasi, yaitu di rumah saya, Balai Desa, dan gedung SMP Negeri 3 Kedung Banteng,” ujarnya.

Tanpa diduga, antusiasme warga meledak tak terkendali. Perlahan tapi pasti, mulai dari bocah sampai orang tua melahap “makanan baru” bernama Internet itu. Satu demi satu warga mulai berburu PC dan laptop murah, sampai ponsel bekas, supaya bisa menikmati Internet. Bagi yang kurang mampu, dipersilakan menggunakan komputer di Balai Desa. “Ada juga yang mengambil program cicilan,” tutur Budi.

Tak pelak, jumlah netter di Desa Melung terus berkembang. Budi melihat momentum berharga.

Merogoh kocek pribadi, antena penerima dan pemancar hotspot dia tambah, dari tiga menjadi tujuh unit. Ini membuat jaringan Wi-Fi semakin luas, dan menjangkau hampir seluruh sudut desa.

Hari ini, dari empat Rukun Warga di Desa Melung, tiga di antaranya sudah dijangkau penuh oleh jaringan Wi-Fi, meliputi Gerembul Melung, Gerembul Depok, dan Gerembul Kaliputra. Yang tersisa tinggal Gerembul Salarendeng.

“Letaknya di tepi, satu kilometer dari Gerembul Salarendeng. Kondisi geografis yang sulit membuat Dusun Salarendeng belum dijangkau Internet. Tapi, ini hanya soal waktu,” ujar Budi optimistis.

Dari Website sampai Open Source

Memang, Budi mengakui, manfaat ekonomi yang langsung dinikmati warga Melung belum terlihat. Sejauh ini, akses Internet baru memudahkan warga memperoleh dan saling berbagi informasi. Seperti di kota hampir setiap warga Melung memiliki akun Facebook dan Twiter.

Di tingkat Desa, Budi dkk membuat website www.melung.desa.id. “Di Web ini, pemerintah desa dapat menuliskan seluruh informasi dan kegiatan yang berkaitan dengan Desa Melung,” ujar Margino. Dia adalah administrator website Desa Melung ex officio Kepala Urusan Keuangan Desa Melung.

Margino membagi pengelolaan sistem teknologi informasi di Melung menjadi dua. Pertama, pengelolaan jaringan Internet menggunakan akses Wi-Fi, termasuk software berbasis open source. Kedua, pengelolaan website Desa Melung.

Dalam mengurus jaringan Internet, Margino tidak sendirian. Dia dibantu oleh teknisi —juga warga desa setempat– yang bersiaga 24 jam jika terjadi kerusakan. Untuk sistem operasi, Margino memastikan segenap perangkat desa tidak lagi menggunakan Windows, tapi yang berbasis open source.

“Kami memakai Linux, Ubuntu, dan sistem operasi lokal, BlankOn Banyumas, yang memakai Bahasa Jawa Banyumas. Ini diciptakan agar warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia tetap bisa membuat berita atau kabar dengan Bahasa Banyumasan untuk di-update ke situs Melung,” Margino menjelaskan kepada VIVAnews.

Selain mudah diaplikasikan dan gratis, menurutnya, penggunaan sistem operasi open source relatif lebih aman dari ancaman virus. Beberapa tahun lalu, Margino mengisahkan, semua perangkat komputer di Balai Desa ngadat karena terinfeksi virus. “Masalah itu teratasi sejak kami menggunakan sistem operasi open source. Lebih aman, murah juga. Kami tak perlu membeli sistem operasi yang mahal, sampai 15 juta rupiah per tahun,” ungkapnya.

Bagaimana dengan pengelolaan website Desa Melung?

Dia menjelaskan, pembagian tugas meliputi berbagai hal terkait pengelolaan data –mulai dari data kependudukan, data potensi sumber daya alam, beragam peristiwa di desa, serta beragam informasi kegiatan desa.

“Supaya pengunjung website bisa mengetahui potensi Desa Melung seperti pertanian, peternakan, dan seni budaya. Semua ada. Lengkap. Bahkan, kami juga mempunyai daftar warga yang menjadi TKI di luar negeri. Jadi bisa dikontrol, mengantisipasi kalau ada apa-apa,” ucap Margino.

Untuk dicatat, selama ini Margino mengelola website Desa Melung melalui ponsel pintar di genggaman tangannya.

Masa depan Melung

Belum lama ini Budi lengser. Langkahnya diteruskan oleh penggantinya, Khoerudin.

Kepala Desa yang baru ini bertekad menggenjot akses dan fasilitas Internet di Melung ke tahap selanjutnya. Dalam satu tahun, dia bersiap menggelontorkan dana dari kas desa sebesar Rp78 juta. Porsi terbesarnya, yakni 70 persen, adalah untuk pembangunan infrastruktur.

Menurut Khoerudin, selama ini tidak ada sepeser pun dana dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi, apalagi Pusat yang diteteskan untuk membantu pembangunan infrastruktur Internet di desanya. Melung menjadi “Desa-Internet” sepenuhnya berkat inisiatif dan dana dari pemerintah desa dan warga setempat.

Ironis.

“Sejauh ini, keberadaan Internet telah banyak dimanfaatkan oleh warga masyarakat, meski baru sebatas mengenal situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Tapi beberapa sudah mulai mencari-cari informasi tentang pertanian dan usaha,” ungkap Khoerudin.

Dalam perkembangannya nanti, dia berharap warga mulai memanfaatkan Internet untuk memasarkan produk setempat dan bersiap menyambut era e-commerce.

Menginspirasi

Melung kini menjadi inspirasi sekaligus “sekolah” bagi desa-desa tetangganya di dalam maupun luar Kabupaten Banyumas (Lihat: Menembus Jagat Maya dari Desa).

Budi menjelaskan program Internet Melung menjadi embrio lahirnya Gerakan Desa Membangun. Ini sebuah gerakan yang dilandasi semangat membangun desa dengan berbasiskan Internet dan teknologi informasi, secara mandiri dan swadaya. Gerakan ini mencakupi sejumlah kegiatan mendasar, seperti membangun jaringan Internet, menggunakan sistem open source pada perangkat komputer, serta membuat Website gratis. Sejauh ini, sudah sekitar 30 desa yang bergabung dalam gerakan ini.

“Gerakan Desa Membangun yang dirintis dari Desa Melung terus berkembang. Di wilayah Kabupaten Banyumas saja tercatat lebih dari 28 desa yang terlibat. Gerakan ini juga berkembang pesat di sejumlah daerah lain di Indonesia,” ujar Budi, bangga, sembari berapi-api menekankan bahwa ini gerakan swadaya masyarakat. “Tanpa harus menggunakan anggaran pemerintah yang terkadang hanya berorientasi proyek, sementara program yang dijalankan nyaris tidak ada.”

Hal ini diamini Djadja Achmad Sardjana, pakar teknologi informatika ITB. Dia berpendapat Gerakan Desa Membangun bisa menjadi nafas baru rakyat pedesaan dalam membangun. “Ini gerakan desa membangun, bukan membangun desa,” kata Djadja.

Dia juga mengkonfirmasikan betapa “virus Internet” telah mulai menyebar dari Melung ke desa-desa lain di luar Banyumas. Salah satunya adalah Desa Mandalamekar di Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya. “Bahkan, di Mandalamekar, kepala desa di sana sudah membuat program jangka panjang 25 tahun untuk membangun desa,” kata Djadja.

Sumber: http://sorot.news.viva.co.id/news/read/428514-melung–kisah-sebuah-desa-internet