ICW Usul Penjarakan 100 Koruptor dalam Program 100 Hari Kerja Presiden

ICW Usul Penjarakan 100 Koruptor dalam Program 100 Hari Kerja Presiden

Jakarta,- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk mendorong langkah-langkah pemberian efek jera terhadap koruptor. Salah satunya dengan meminta kepada Kejaksaan Agung untuk segera memasukkan ke penjara terhadap 100 koruptor yang telah berkekuatan hukum tetap atau yang melarikan diri.

“100 hari ada 100 koruptor yang ditangkap, ini suatu yang masuk akal,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho, dalam paparannya, di Warung Daun, Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2014).

Emerson menuturkan, dalam temuan yang diperoleh ICW, dalam satu semester, ada sekitar 200 kasus korupsi yang terjadi. Menurutnya, dengan adanya sekitar 300 kejaksaan negeri, 33 kejaksaan tinggi, dan satu kejaksaan agung, maka memenjarakan 100 koruptor dalam program 100 hari presiden terpilih dapat terlaksana.

“Kalau satu kejaksaan tinggi ada 3 kasus korupsi yang ditangani, saya pikir akan bisa dilaksanakan,” ujar Emerson.

Meskipun demikian, Emerson menegaskan bahwa ICW tidak fokus pada kuantitas, melainkan pada kualitas. 100 koruptor yang ditangkap harus koruptor yang memiliki kasus yang besar.
Emerson juga meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri agar bekerja secara maksimal dalam menangani kasus korupsi tersebut. Menurutnya, perlu adanya komitmen yang tegas dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian agar usulan ini dapat terlaksana.

“Sepanjang Jaksa Agung-nya betul. Sepanjang Kapolri-nya betul, mau bekerja dengan maksimal, itu bisa dilakukan,” harap Emerson.

Sebelumnya, ICW mengusulkan 20 agenda kerja memberantas korupsi kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk dimasukkan dalam program kerja 100 hari. Hal itu dilakukan guna mendukung pemerintahan baru untuk mencegah dan melawan korupsi.

“Untuk itu kami coba membantu pemerintahan akan datang dalam memberantas korupsi melalui usulan 20 agenda ini,” ujar Koordinator Badan Pekerja ICW, Ade Irawan, dalam paparannya, di Warung Daun, Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa. (Kompas.com)

Temuan Uji Akses Pemilu 2014

Temuan Uji Akses Pemilu 2014

Tangerang, Temuan umum  uji akses pada penyelenggaraan pemilu 2014 dikemukakan peneliti Indonesia Parliamentary Center, Erik Kurniawan. Ia menyampaikan kondisi keterbukaan informasi di Pemilu 2014 pada Workshop Menggali Pembelajaran Hasil Uji Akses di Serpong, 14-16 Agustus 2014 di Hotel Ara Gading, Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten.

Erik merinci beberapa persoalan kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan Daerah hasil penelitian di Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Menurut dia, persoalan itu adalah masih belum memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Pada poin ini menurut Erik, semua KPU, baik pusat maupun daerah belum membentuk PPID, kecuali di KPU Banda Aceh. “SK pengangkatannya sudah ada. Itu sebenarnya bisa jadi role model,” katanya.

Erik menjelaskan, KPUD Banda Aceh memiliki PPID disebebkan adanya peran-peran pemerintah yang mendorong semua unit untuk memiliki PPID dan. Kedua, dia selalu aktif memberikan informasi-informasi yang dishasilkan. “Nah, itu yang menyebabkan KPUD Banda Aceh memiliki PPID. Di samping itu paradigma komisionernya cukup baik terkait keterbukaan informasi,” tambahnya.

Poin persoalan kedua, belum ada Standar Operating Prosedure (SOP) Pelayanan Informasi. Menurut Erik, di empat wilayah penelitian itu tidak ada yang berjalan SOP-nya. Ini yang kemudian memunculkan beberapa dampak uji akses. “Ketika itu diajukan lewat individu, responnya beragam, ada yang ditolak, direspon, lho kok warga negara berhak menanyakan hal itu? Kamu sebenarnya dari mana?  Kalau mengajukan data itu, kamu bikin organisasi dulu,” ungkapnya menirukan respon KPUD.

Ketiga, daftar Informasi Publik belum ada. Keempat, dukungan kesekretariatan yang masih minim. Kelima, kendala koordinasi antara komisioner dan sekretariat.” Yang terakhir ini bukan persoalan keterbukaan informasi saja yang muncul, tapi dalam aspek penyelenggaraan pemilu,” katanya.

Meski demikian, Erik menyebutkan pada Komisi Pemilihan Umum Pusat ada kesadaran keterbukaan informasi dengan membuka dokumen c1, tapi sayangnya UU Keterbukaan Informasi Publik belum menjadi platform keterbukaan di KPU.

Sementara dari sisi aktor Erik membidik tiga peran, yaitu penyelenggara pemilu, kedua organisasi masyarakat sipil dan komisi Informasi. Dari sisi penyelenggara pemilu sangat disadari terasa ketika periode KPU 2012 2017, meski pemahaman keterbukaan informasi dinilai minim, tapi ada komitmen di pusat dan daerah untuk keterbukaan informasi. “Kesdaran itu yang muncul,” katanya.

Kedua, peran organisasi masyarakat sipil masih sangat rendah. Tapi setidaknya ada dua peran yang dijalankan dalam konteks mondorong keterbukaan informasi publik. “Mereka jadi aktor langsung dalam uji akses kepada KPU.” Dalam hal ini Erik menyebutkan misalnya yang dilakukan IPC melalui mitranya yaitu Mata Aceh, Yasmib Sulawesi Selatan, KIPP Jawa Timur.

Yang kedua, peran organisasi mayarakat sipil yang menjadi simpul penyebar informasi. Informasi itu dia kelola, disampaikan dan disebarkan ke masyarkat sesuai bidang-bidangnya yang diakses, ada yang anggaran, ada data kandidat, data pemilih. “Itu produk informasi KPU sebenarnya, tapi yang minta temana-teman.” (AA)

Tafsir dan Logika Hukum Hubungan KI Pusat dan Provinsi

Tafsir dan Logika Hukum Hubungan KI Pusat dan Provinsi

Jakarta,- Hubungan antara Komisi Informasi (KI) Pusat dan KI Provinsi tidak diatur UU KIP sebagai lembaga yang hirarkis. Tapi menurut Komisioner KI Pusat Yhanu Setiawan keduanya memiliki hubungan seperti itu.

Menurut Yhanu, secara tekstual memang tidak ada relasi struktural bahwa Komisi Informasi Pusat lebih tinggi dari komisi-komisi informasi provinsi. Tapi harus dipahami Indonesia merupakan negara kesatuan. “Dalam negara kesatuan itu tentu ada center, pusat, dan ada yang pada wilayah-wilayah. Jelas dari sisi itu,” katanya kepada kebebesaninformasi.org ketika ditemui selepas diskusi bertajuk “Ahli HTN: Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi” yang difasilitasi Indonesia Parliamentary Center (IPC) di Hotel Harris, Jakarta, Rabu siang, (20/8).

Kemudian dari sisi pembiayaan, menurut Yhanu, di dalam undang-undang, Komisi Informasi Pusat dibiayai APBN sementara Komisi Informasi Provinsi dibiayai APBD. Begitu juga KI di kabupaten dan kota. “Ini bukan lantas karena pembiayaan berasal dari pintu berbeda membuat dia tidak punya relasi keorganisasian karena toh semuanya sama kan, bahwa di APBN maupun di APBD itu semuanya uang rakyat,” jelasnya.

Menurut Yhanu, harus dilihat pada posisi pengabdian Komisi Informasi yang tiada lain ke rakyat Indonesia. Tidak berarti KI Pusat yang berada di Jakarta mengabdi kepada rakyat Jakarta, tapi semua warga negara. “Jadi Komisi Informasi Pusat itu bukan komisi informasi Jakarta plus. Begitu,” tegasnya.

Relasi lain menurut Yhanu bisa dilihat ketika Komisi Informasi Provinsi tidak mampu menyelesaikan sengketa, dia bisa melimpahkan ke KI Pusat. “Kalau tidak ada hubungan organisasi bagaimana bisa melimpahkan? Melimpahkan itu kan memberikan sesuatu kepada yang dianggap lebih mampu. Nah, ini kan tidak mungkin kalau tidak ada relasi keorganisasi, relasi hirarki, itu bisa main melimpahkan,” terangnya.

Format semcam itu, menurut Yhanu bukan desentralisasi atau terpusat. “Kita tidak kenal itu, bukan kedua-duanya. Kita bukan based on teritory, tapi based on budget. Karena dia dibiayai oleh APBD, maka dia mengelola badan publik yang sumber pembiayaannya dari APBD. Tapi kalau yang badan publik yang sumber pembiayaannya lembaga dan badan publiknya dari APBN maka di area kewenangannya informasi pusat,” tambahnya.

Yhanu mengakui, pendapatnya seperti itu adalah tafsirnya dari UU karena teks tersuratnya memang tidak ketemu, tapi yang ada adalah logika hukum. “Hukum itu kan selain ada tafsir gramatikal, juga ada tafsir yang sifatnya kontektual. Konteksnya apa? Bahwa tidak mungkin ada organisasi berdiri sendiri, tidak punya relasi keorganisasian apa pun, tapi menggunakan sistem yang sama,” pungkasnya. (AA)

KI Pusat: Komisi Informasi Butuh Kemandirian Administrasi dan SDM

KI Pusat: Komisi Informasi Butuh Kemandirian Administrasi dan SDM

Jakarta,- Komisioner Komisi Informasi Pusat Yhannu Setiawan mengatakan salah satu tugas Komisi Informasi adalah menyelesaikan sengketa informasi. Tugas seperti itu membutuhkan kemandirian administrasi untuk pembiayaan serta sumber daya manusia.

“Kita tidak bisa memilih orang-orang kapabilitasnya, kapasitasnya sesuai dengan penyelesaian sengketa,” katanya kepada kebebesaninformasi.org ketika ditemui selepas diskusi bertajuk “Ahli HTN: Mencari Model Ideal Kelembagaan Komisi Informasi” yang difasilitasi Indonesian Parliamentary Center (IPC) di Hotel Harris, Jakarta, Rabu siang, (20/8).

Menurut Yhanu, hal itu terjadi karena struktur organisasi di Komisi Informasi Pusat masih diatur Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Ada beberapa struktur organ yang kosong dan itu sampai sekarang beberapa waktu belum terisi. Begitu. Nah, tugas-tugas ini memang harus dilakukan oleh orang yang punya kapabilitas dan potensi yang cukup sehingga akan lebih profesional,” jelasnya.

Hal-hal semacam ini, kata dia, kerap kali menjadi persoalan tersendiri buat KI Pusat. “Kita bicara soal apa namanya, komitmen pegawai. Memang dia tidak dalam otoritas Komisi Informasi secara kelembagaan komisioner, maka dia tunduk kepada sekretaris, sekretaris tunduk pada Kominfo. Ini yang jadi persoalan,” tambahnya.

Menurut dia, KI Pusat membutuhkan satu dukungan SDM yang memiliki loyalitas kepada kelembagaan Komisi Informasi karena selama ini performa mereka menunjukkan pegawai Kominfo ketimbang KI Pusat.

Persoalan  KI Pusat semacam itu, tambah Yhanu, dalam beberapa komunikasi yang sifatnya formal dan diskusi-diskusi informal disampaikan kepad Kominfo atau Sekjen Kominfo. Tapi sayangnya, semua berujung kepada ketersediaan pegawai.

“Belum lagi terkait misalnya dengan pengelolaan budeget. Posting budget, tentu kan kita punya ukuran, bahwa untuk melahirkan satu institusi yang profesional, kita membutuhkan ABCD yang ternyata tidak bisa sama ukurannya. Ukuran yang dimiliki oleh pegawai Kominfo itu terlaksananya tugas-tugas mereka, sedangkan kita selesainya sengketa. Jadi kan akhirnya berbeda,” ujarnya. (AA)

FoINI Inovation Award untuk KPU dan kawalpemilu.org

FoINI Inovation Award untuk KPU dan kawalpemilu.org

Tangerang,- Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) atau jaringan organisasi masyarakat sipil dan individu yang intensif mendorong keterbukaan informasi di Indonesia, memberikan penghargaan kepada Komisi Pemilihan Umum dan Kawalpemilu.org. Penghargaan dalam bentuk sertifikat itu bernama FoINI Inovation Award.

Menurut Widiyarti dari PATTIRO yang tergabung di FoINI , penghargaan yang untuk pertama kali ini diberikan FoINI di Hotel Sofyan Kamis (14/8) lalu tersebut karena KPU dan kawalpemilu.org dinilai telah membantu melakukan pemenuhan informasi Pemilu presiden 2014.

Widi menjelaskan, KPU diapresiasi atas kesadaran untuk membuka dokumen C1 yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Sementara untuk kawalpemilu.org diapresiasi karena aplikasi mereka membantu publik mengetahui informasi saat dibutuhkan.

Khusus kawalpemilu.org, Widi menambahkan, FoINI memberikan award itu karena dilakukan masyarakat dengan suka rela yang melibatkan ratusan orang. Juga penggunaan teknologi yang kemudian memudahkan pemenuhan atas informasi.

Ketika ditanya award ini akan berlanjut atau tidak, Widi mengatakan, FoINI Inovation Award akan diberikan lagi kepada pihak-pihak yang membuat inovasi progresif di dalam mendorong keterbukaan dan pemenuhan informasi.

“Kesadaran dari sebagaian masyarakat yang paham pentingnya kita berpartisipasi sehingga itu mendorong masyarakat lainnya karena ini menjadi tindakan bareng dimana-mana,” katanya menjelaskan di Ara Hotel, Serpong, Banten, Sabtu (16/8) ketika ditanya penomena kemunculan kawalpemilu.org.

Sementara Desiana Samosir dari IPC yang juga tergabung FoINI mengatakan, kemunculan kawalpemilu.org menunjukkan orang memang sudah jengah dengan proses politik yang terkesan traksaksional yang selama ini terjadi. Kemudian karena kejengahan itu bermacam cara dilakukan orang untuk mengawal proses pemilu.

“Mereka relawan, punya kemampuan membangun aplikasi sebagai kesadaran. Pertemuan antara ide dan kemampuan itu kemudian membuka terobosan baru dengan adanya informasi utama dibukanya c1. Pengawasan itu tidak perlu dilakukan di TPS. Pengawasan itu bisa dilakukan kapan saja di mana saja dengan bantuan teknologi,” pungkasnya.

IPC Gelar Workshop Uji Akses Pemilu

IPC Gelar Workshop Uji Akses Pemilu

Tangerang, – Indonesia Parliamentary Center (IPC) menggelar workshop uji akses pemilu 2014 di Hotel Ara Gading Serpong, Tangerang, Banten. Kegiatan tersebut dimulai Kamis (14/8) dan akan berlangsung sampai Sabtu (16/8).

Workshop dimulai dengan presentasi uji akses dan temuan riset yang dikemukakan peneliti IPC Erik Kurniawan dan Arbain. Kemudian dilanjutkan dengan temuan empat mitra IPC yaitu Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur, Mata Aceh, Yasmib Sulawesi Selatan dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta. Kegiatan tersebut diikuti KPU Pusat, Komisi Informasi, Panwaslu Tangerang, Indonesia Budget Center (IBC) dan KIPP.

Pada hari kedua, peserta workshop dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membahas rekomendasi untuk perbaikan pelayanan informasi yang lebih baik, serta dukungan regulasi apa yang dibutuhkan untuk mencapai tuntutan tersebut.

Sementara kelompok dua, merumuskan apa rekomendasi untuk perbaikan pelayanan informasi yang lebih baik, dukungan kelembagaan apa yang dibutuhkan untuk mencapai tuntutuan tersebut seperti anggaran, sumber daya manusia dan sarana dan prasarana. (AA)